Labels

Pages

Kamis, 29 Maret 2012

Politik Hukum


1. Intro
Salah satu pengertian politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Pengertian itu mengungkapkan adanya pokok-pokok penting dalam politik hukum, dimana memberikan suatu arti yang esensial dalam pembentukan hukum. Pokok-pokok itu diantaranya: tujuan apa yang hendak dicapai, metode yang tepat yang akan digunakan, waktu dilaksanakan, dan perumusan hukum yang bagaimana supaya tujuan negara tercapai.
Pengertian-pengertian politik hukum, menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Artinya hukum yang diberlakukan dipergunakan sebagai alat oleh negara untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, politik hukum juga dijadikan alat untuk membentuk hukum; baik dalam rangka menciptakan hukum yang baru, maupun mengganti dan/atau merubah hukum yang lama. Hukum yang dibentuk tersebut kemudian secara politis diakui dan diberlakukan kepada masyarakat. Dengan demikian, politik hukum yang oleh Sudarto diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, menjadikan politik hukum sebuah langkah bagi pemerintah untuk membentuk sistem hukum demi mencapai tujuan negara.
Politik hukum di Indonesia sendiri memiliki dua sifat, yakni : (a) sifat permanen atau jangka panjang, dimana sifat ini merupakan prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD, yang selanjutnya berlaku sebagai politik hukum; (b) sifat periodik, dimana politik hukum dibuat pada situasi dan kondisi pada periode tertentu, yang dimaksudkan untuk memberlakukan atau mencabut hukum tertentu.
Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilihat dan diteliti. Politik hukum lebih bersikap formal pada kebijakan resmi, sedangkan studi politik hukum mencakup kebijakan resmi dan kaitannya dengan hal-hal yang lainnya. Sebagai sebuah studi terhadap perkembangan politik hukum, maka studi politik hukum memiliki cakupan tertentu, yakni :
a) Kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan dan hukum yang tidak diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara;
b) Latar belakang lahirnya sebuah produk hukum;
c) Penegakan hukum pada kenyataannya di lapangan.
2. Politik Hukum sebuah Urgensitas
Politik dan hukum dalam konteks ilmu sosial dan humaniora adalah variabel-variabel yang memiliki keterkaitan erat dalam sebuah hubungan kausalitas yang masing-masing memberikan pengaruh. Secara konseptual, keduanya memiliki kekuatan untuk saling mempengaruhi. Dengan demikian bilamana politik dan hukum dipisahkan dan berdiri sendiri, maka keduanya tidak memiliki arti bagi pemakainya. Dalam melihat hubungan di antara keduanya, maka akan muncul banyak asumsi yang digunakan demi medapatkan visi tertentu. Asumsi-asumsi yang muncul adalah asumsi-asumsi yang menempatkan politik dan hukum sebagai variabel yang saling bertumbukan.
Munculnya asumsi-asumsi dilatarbelakangi oleh pengenaan das sollen dan das sein dalam melihat politik dan hukum. Apabila menggunakan pemikiran yang berlandaskan pada analisis das sollen maka hukum akan menjadi dominan atas politik. Sementara itu, jika berlandaskan pada das sein maka yang terjadi adalah hukum didominasi oleh politik. Karena hukum dan politik adalah variabel, maka dengan landasan yang demikian, maka kedudukan sebagai independent variable dan dependent variable akan sangat ditentukan olehnya. Pada kerangka yang lain, das sollen-das sein menjadi perspektif-perspektif untuk memandang politik dan hukum, yang terbagi atas beberapa pendapat, diantaranya :
• Hukum determinan atas politik
• Politik determinan atas hukum
• Politik dan hukum determinasinya seimbang
Di dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kebenaran yang ada adalah kebenaran relatif. Artinya bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak yang ditemukan secara ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kedua asumsi di atas, menemukan tujuannya masing-masing. Asumsi pertama politik adalah produk hukum, bukanlah kesimpulan yang salah mengingat landasan asumsi yang dipergunakan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Demikian sebaliknya, bilamana hukum merupakan produk politik, maka secara ilmiah kesimpulan itu dapat dipertanggungjawabkan pula.
Studi politik hukum merupakan sebuah studi yang masih diperdebatkan letaknya secara ilmiah. Politik hukum dianggap sebagian orang sebagai bagian dari ilmu hukum, sementara ada yang menganggap sebagai bagian dari ilmu politik. Sebagai bagian dari ilmu hukum, politik berakar dari filsafat. Politik kemudian menghasilkan berbagai produk hukum (hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, dan lain sebagainya), yang kemudian mengisi kehidupan masyarakat.
Studi politik hukum di Indonesia, terkait erat dengan pengertian atau definisi politik hukum. Akan tetapi ada perlunya untuk memperhatikan kesamaan-kesamaan substantif antar berbagai pengertian yang ada. Umumnya politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang mana yang sifat dan arahnya hukum akan dibangun dan ditegakkan. Secara khusus, studi politik hukum di Indonesia cenderung pada pengertian politik hukum sebagai legal policy yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional di Indonesia, yang meliputi : (1) pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan (2) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
3. Hukum sebagai Produk Politik
Mahfud MD dalam bukunya ini, menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. Hal ini berarti bahwa politik sebagai independent variable menjadi variabel yang berpengaruh bagi terbentuknya hukum, dimana hukum diletakkan sebagai dependent variable. Hukum dalam tulisannya Mahfud tersebut adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara politis. Realitas bahwa hukum di Indonesia tergantung atas politik yang berkembang, yakni politik determinan atas hukum, dapat dilihat dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing satu dengan yang lainnya, kemudian mengkristalisasi membentuk peraturan-peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif).
Pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik dikarenakan di Indonesia peraturan perundangan merupakan hasil dari kontestasi kepentingan dan aspirasi politik dari pihak-pihak yang secara bersama-sama membentuk undang-undang. Undang-undang yang terbentuk merupakan hasil dari upaya akomodasi dari kekuatan politik dan aspirasi politik. Maka dengan demikian hukum sendiri adalah produk politik.
Sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti undang-undang yang merupakan produk politik, tetapi juga hukum yang mencakup konstitusi atau undang-undang dasar. Dalam kerangka keluasan arti hukum tersebut, nampak bahwa konstitusi merupakan resultante yang sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat pembuatannya. Inilah kemudian yang dikenal dengan konfigurasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, yang mempengaruhi pembentukan hukum.
Konsentrasi pada ‘hukum sebagai produk politik’ mengesampingkan konfigurasi-konfigurasi yang lain, sebab asumsi yang dipakai menyatakan bahwa hukum merupakan produk dari perkembangan politik. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa dalam suatu keadaan politik yang menimbulkan pemerintahan dan hukum baru, dapat sah menjadi pemerintah dan konstitusi baru bila pemerintah tersebut secara politik bisa mempertahankan dan memberlakukannya.
Determinasi politik terhadap hukum menyebabkan politik menjadi independent variable yang dibedakan menjadi politik yang otoriter dan politik yang demokratis. Sementara hukum yang berkedudukan sebagai dependent variable dibedakan menjadi hukum yang ortodoks dan hukum yang responsif.
4. Konfigurasi Politik
Dalam perkembangan politik dikenal dengan adanya konfigurasi politik. Konfigurasi politik dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni; peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan media dan pers, serta peranan eksekutif. Adapun dinamisasi indikator tersebut menyebabkan hukum menjadi salah satu produk bagi perkembangan konfigurasi politik itu sendiri. Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yakni konfigurasi politik yang otoriter dan konfigurasi politik yang demokratis. Pada kenyataannya, konfigurasi politik ini sangat tergantung pada penyelenggaraan negara, baik demokratis maupun yang otoriter. Hal ini karena beragamnya variasi pelaksanaan demokratisasi dan otoriterisme, bahwa secara teoritis yang demokrasi tidak selalu murni dilaksanakan, ataupun yang otoriter juga tidak selalu murni otoriter.
a. Konfigurasi politik demokratis
Yakni susunan sistem politik yang membuka kesempatan/peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Demokratis dalam pengertian ini adalah demokratis dimana ada pembatasan-pembatasan kewenangan pemerintah untuk melindungi individu dan kelompok melalui tata cara pergantian pemimpin secara berkala, tertib, dan damai yang diselenggarakan dengan menggunakan efektivitas alat-alat perwakilan rakyat. Selain itu, nampak adanya toleransi terhadap sikap oposisi, tuntutan akan fleksibilitas, dan kegiatan-kegiatan eksperimental di bidang politik. Kemudian, demokrasi juga menekankan pada penghargaan terhadap kaum minoritas, dimana partisipasi mereka tidak didiskriminasi.
Dalam konfigurasi politik demokratis, dapat ditemukan bahwa kedudukan parpol dan parlemen sangat menentukan kebijakan negara. Selain itu lembaga eksekutif (pemerintah) memiliki posisi yang tidak berpihak, sehingga pers dapat terselenggara secara bebas, sensor yang akomodatif, serta anti pembredelan.
b. Konfigurasi politik otoriter
Yakni susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir semua inisiatif dalam membuat kebijaksanaan negara. Dalam konteks ini, negara mendorong untuk memaksakan persatuan, penyamaan persepsi (dengan menghilangkan oposisi), dengan percaya diri menjalankan kebijaksanaan pemerintah tanpa mendengar kritikan, dan mempertahankan status quo (elite tertentu). Untuk melaksanakan itu semua, negara menyusupkan doktrin-doktri pembenaran atas tindakan negara (termasuk kehendaknya sendiri) demi tujuan-tujuan tertentu yang diasumsikan sebagai sejarah. Akibatnya, muncul perilaku-perilaku untuk menghilangkan perbedaan pendapat, kritik, dan mengusahakan suatu ide mengenai masyarakat sosial yang homogen dan seragam.
Dalam konfigurasi ini, partai politik dan parlemen seringkali berada dalam kontrol pemerintah, sehingga menjadi susah bergerak. Intervensi-intervensi pemerintah menyebabkan pers tidak berkembang sesuai dengan asas-asas kebebasan media, dan penuh dengan ancaman-ancaman sensor.
5. Karakter Produk Hukum
Dalam studi politik hukum yang dituangkan oleh Mahfud, maka dapat ditarik sebuah keadaan dimana hipotesa awal yang digunakan adalah konfigurasi politik diasumsikan sebagai independent variable dan karakter produk huku sebagai dependent variable. Berdasarkan pembahasan di atas, serta dampak dari pengaruh konfigurasi politik dalam upaya pembentukan hukum, maka produk hukum yang dihasilkan terdiri dari dua karakter, yaitu :
responsif/populistik:
- Definisi: hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat
- Proses pembuatan mengikutsertakan masyarakat (sebanyak-banyaknya) yang diwakili melalui individu-individu, atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
- Aspiratif : memuat materi-materi yang umumnya sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarakat
- Limitative : artinya bahwa peluang untuk menafsirkan suatu materi sangat dibatasi karena kedetailan isi dan tujuannya (peraturan pelaksana hanya bersifat teknis)
konservatif/ortodoks/elitis
- Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara
- pembuatannya didominasi oleh elite-elite politik tertentu, atau lembaga negara terutama oleh pemegang kekuasaan eksekutif
- Positivis-instrumentalis : substansinya memuat materi-materi demi mewujudkan keinginan dan kepentingan program pemerintah saja
- Open interpretative : peluang untuk ditafsirkan sangat terbuka, karena isi hukumnya singkat, hanya pokok-pokoknya saja sehingga cenderung dijadikan alat untuk mengatur sesuai visi dan misinya sendiri

Ciri-Ciri Negara Demokrasi menurut Magnis Suseno


1.      Ciri-Ciri Negara Demokrasi  menurut Magnis Suseno
       a.   Negara hukum
       b.   Pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat
       c.   Pemilihan umum yang bebas
       d.   Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis
       e.   Prinsip mayoritas
2.      a.   Negara Hukum
Menurut Mustafa Kamal Pasha Negara Hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum. Supremasi hukum harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karena itu di negara hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
b.      Pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat
Dalam pelaksanaannya kontrol dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan harus proses perumusan kebijakan berlangsung, sebab dalam proses tersebut terdapat beragam informasi yang harus diketahui secara jelas oleh masyarakat agar nanti saat diimplementasikan, masyarakat memiliki kemampuan menganalisa serta memetakan beragam praktik pemerintahan serta penyelewengan dan kecurangan yang berpotensi terjadi dan diharapkan pemerintahan berjalan sesuai aspirasi rakyat dan sesuai hukum yang berlaku.
c.       Pemilihan umum yang bebas
Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dan menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara dan Pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan seseorang yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi pemerintahan Negara yang diharapakan dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam suatu pemerintahan yang berkuasa. 
d.      Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis
Dalam penyelenggaraan Negara demokrasi setiap penyelenggara Negara harus memperhatikan aspirasi rakyat. Para pemimpin atau penguasa tidak boleh manjalankan kekuasaan sekehendak hatinya dan tidak boleh sewenang-wenang menyalahgunakan kekuasaan. Hak-hak demokratis dapat dicontohkan dengan Hak-hak demokratis seperti hak dipilih dan memilih, menyuarakan pendapat dan aspirasi rakyat yang bertanggung jawab.
e.       Prinsip mayoritas
Dalam negara demokrasi pemilu yang diselenggarakan selalu menggunakan prinsip mayoritas untuk menentukan pemenang suara (minimal 50% + 1). Suara mayoritas yang diperoleh tersebut akan menentukan program-program pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
3.      Menurut saya, Indonesia sudah termasuk dalam kriteria Negara yang demokratis, akan tetapi masih dalam taraf perkembangan. Secara nyata, nilai pokok demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bila dilihat melalui kriteria menurut Magnis Suseno Indonesia termasuk Negara hukum. Hal ini terlihat dari pelaksanaan hukum yang ada di Negara kita. Pemilu di Indonesia sudah dilaksanakan selama 9 kali yang pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Amandemen ke-4 UUD 1945 tahun 2002, pilpres yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati dilakukan langsung oleh rakyat. Pada 2007, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan pilkada juga dimasukkan sebagai rezim pemilu. Pelaksanaan pemilu yang LUBERJURDIL juga merupakan perwujudan dari demokrasi yang ada dimasyarakat. Dengan adanya pemilu, masyarakat dapat memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya kelak. Suara mayoritas dari hasil pemilu yang dapat dijadikan penentuan dari pemenangnya. Hal ini ditentukan dengan ketentuan minimal 50% + 1 dari seluruh suara. Hak-hak demokratis seperti hak dipilih dan memilih, menyuarakan pendapat dan aspirasi masyarakat yang telah dijamin oleh pemerintah dalam Pancasila, DUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lain. Banyaknya partai-partai politik yang ada di Indonesia merupakan ciri lain dari sistim demokrasi di Indonesia. Selain sebagai struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan kekuasaan dankedudukan politik, parpol adalah sebagai wadah bagi penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi yakni keterlibatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara

DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM : SUATU TINJAUAN TEORITIS

Dominasi Politik Terhadap Hukum : Suatu Tinjauan Teoritis

JUDUL  DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM : SUATU TINJAUAN TEORITIS

PENULIS          ASDIAN SAMSUL ARIFIN

BAB I
PENDAHULUAN

“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Adagium dari Mochtar Kusumaatmadja itu secara sederhana namun tepat menggambarkan betapa erat kaitan antara kekuasaan dan hukum. Kekuasaan merupakan salah satu unsur dari politik, yaitu mengenai proses mendapatkannya. Sedangkan hukum merupakan suatu produk yang diidealkan sebagai konsensus (kecuali hukum dari raja, yang bukan merupakan suatu konsensus) yang dihasilkan dari proses-proses politik dan dikukuhkan dengan kekuasaan yang diperoleh juga dari proses politik. Maka dari itu, tepatlah jika Bintan Regen Saragih mengibaratkan hukum dan politik sebagai dua sisi dari satu mata uang, dimana sisi yang satu tidak akan lepas dari (pengaruh) sisi yang lainnya.
Hubungan yang tidak dapat dipisahkan ini tidak terlepas dari hakikat bahwa hukum dan politik sama-sama merupakan sub sistem sosial kemasyarakatan, yang merupakan sistem yang terbuka, sistem yang satu mempengaruhi sistem lainnya. Melihat hubungan politik dan hukum dari sudut pandang hukum, maka adagium yang dicetuskan oleh Moh. Mahfud MD, yaitu dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, patut dicermati.
Tulisan ini menggunakan asumsi yang berakar dari “das sein” bahwa hukum merupakan produk politik. Dengan asumsi ini maka dalam menjawab hubungan antar keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangka politiik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh) dan akan mencoba menjawab pertayaan-pertanyaan mengapa politik dominan terhadap hukum? Dan bagaimana politik mendominasi hukum?

BAB II
POLITIK, HUKUM DAN HUBUNGANNYA DALAM ABSTRAKSI
Dalam Bab ini, akan diuraikan mengenai tinjauan teoritis mengenai politik dan hukum dalam otonomi segi keilmuan masing masing, serta hubungan antara politik dan hukum dalam satu kesatuan sistem sosial.
A.  Politik
Sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial atau ilmu tidak pasti, politik mempunyai banyak definisi sebanyak jumlah manusia (quot homines, tot sententiae). Namun, dalam tulisan ini, penulis mencari pengertian politik yang sesuai dengan hubungannya dengan hukum, yaitu mengenai penyelenggaraan negara. Politik, dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai The science of the organization and administration of the state (ilmu pengetahuan tentang organisasi dan penyelenggaraan negara (Bryan A Garner, 1999 : 1179). Dalam ilmu politik banyak sekali definisi-definisi mengenai politik. Salah satunya sebagaimana dicetuskan oleh Miriam Budiharjo, yang menyatakan bahwa pada umumnya politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan sistem tersebut (Miriam Budiharjo, 1988 : 8).
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (legal policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara yang dipakai dapat bersifat persuasi dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa paksaan, kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Miriam Budiharjo, 1988 : 8). Jadi, dalam uraian teoritis diatas, kita dapat mengabstraksi unsur-unsur dari suatu politik, menyangkut penyelenggaraan negara oleh organisasi negara, (yang diberikan) kekuasaan, (untuk menentukan) kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara. Unsur-unsur pokok dalam pengertian politik diatas adalah :
1.   Negara
Konsep negara sebagai organisasi kekuasaan dicetuskan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa negara dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat, yang hidup dalam satu bagian permukaan bumi tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu, hingga membentuk satu negara, satu teritorial, satu kekuasaan dan satu rakyat (Hans Kelsen , 2006 : 360).
2.   Kekuasaan
Hobbes mendefinisikan kekuasaan sebagai sarana yang ada sekarang untuk mendapatkan kebaikan yang nyata di masa mendatang (Carl Joachim Friedrich, 2008 : 107). Dalam lingkup kenegaraan, kekuasaan berarti validitas dan efektivitas tatanan hukum yang dari kesatuannya diperoleh validitas territorial dan validitas rakyat (Hans Kelsen, 2006 : 360). Kekuasaan merupakan salah satu tujuan dari politik.
3.   Kebijaksaaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijaksanaan (beleid) diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990 : 115).
B.  Hukum
Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (yang biasanya disebut norma atau kaidah) perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa (Utrecht, 1983 : 2, 3 dan 8). Pandangan ini merupakan pandangan normatif dari hukum, sedangkan hukum secara filosofis dan sosiologis, juga terkait dengan perkembangan hubungan antar masyarakat dalam suatu sistem sosial.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi juga lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970 : 11). Jika Utrecht mendefinisikan hukum dari sudut pandang normative, maka Mochtar melihat hukum tidak hanya dari sudut pandang normatif, tetapi juga empiris atau realisme.
Dalam pandangan realisme, maka hukum bukan merupakan sistem yang tertutup dan tidak dapat dipengaruhi, melainkan sebaliknya sebagai sistem terbuka, yang dapat dipengaruhi oleh sistem lainnya dalam sistem sosial kemasyarakatan. Misalkan, dalam kaitan dengan hubungan hukum dan kekuasaan negara, John Austin menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara, dan hakikat hukum itu terletak pada unsur perintah itu (Shidarta Darji Darmodiharjo, 2002 : 128). Perintah itu merupakan suatu simpul luar dari simpul dalam kekuasaan, yang diperoleh politik, maka hukum tidak terbebas dari pengaruh sistem politik.
Sebagaimana yang dikatakan Jarome Frank, tujuan utama kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan “bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum” sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat mencangkup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum (Phillipe Nonet dan Phillip Selznick, 2008 : 83). Maka dari itu, hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu aturan yang kaku dan bersifat dogmati, tetapi hendaknya dilihat sebagai suatu kesatuan komprehensif dengan sistem sosial lainnya.
C.  Hubungan Antara Politik dan Hukum
Langkah pertama penyaluran/pengarahan perkembangan sosial menuju ke kemajuan sosial ialah meyakini bahwa kejadian-kejadian politik-ekonomi-teknik-administrasi tidak merupakan kejadian yang lepas satu sama lain, melainkan merupakan kejadian yang mutual-interdependent (Astrid S Susanto, 1983 : 161). Hal ini terjadi karena kesemua itu hidup dalam satu sistem sosial kemasyarakatan.
Dalam bukunya, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Mochtar Kusumaatmadja membuat adagium “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” (R. Otje Salman, 1992 : 31). Adagium ini sederhana namun tepat menggambarkan betapa erat kaitan antara kekuasaan dan hukum.
Dalam hubungan kekuasaan dan hukum, juga dipandang perlu untuk mencermati pendapat dari Sutandyo Wijnsubroto, yang menyatakan bahwa bukanlah menurut idealnya (yang dinamakan konstitusionalisme), apa yang disebut kosntitusi selalu dimaksudkan untuk mengatur hubungan yang fungsional antara “kekuasaan” (yang dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negara) dan “kebebasan” (yang tetap diakui sebagai bagian dari eksistensi kodrati manusia-manusia warga negara). Itu berarti bahwa besar kecilnya kekuasaan yang akan dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negeri itu amat ditentukan oleh luas-sempitnya ranah kebebasan yang tetap dikukuhkan para warga (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002 : 415). Pandangan Sutandyo Wijnsubroto sesuai dengan konsep filsafat hukum ditinjau dari segi negara yang lahir sebagai produk perjanjian bersama oleh masyarakat yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes dan J.J Rosseau. Maka, memperluas pandangan filsuf ini, menurut Sutandyo, konstitusi sebagai hukum tertinggi merupakan suatu kehendak bersama warga masyarakat mengenai luas atau sempitnya kebebasan yang diingini oleh para warga tersebut.
Dalam prespektif keilmuan, maka Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan sebagainya (Moh. Mahfud MD, 1998 : 7-8). Jadi, sebagai suatu kesatuan pohon, jenis atau perbuatan akar akan mempengaruhi batang pohon yang kemudian juga mempengaruhi cabang dan ranting pohon.
Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas anatara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada, maka kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum (Moh. Mahfud MD : 1998 : 7-8). Salah satu unsur penting dalam politik dan hukum yang menentukan hubungan antara keduanya adalah dalam hal pencapaian tujuan negara. Tujuan negara ditentukan oleh proses politik pada masa kemerdekaan dan dirumuskan dalam pembukaan konstitusi, yang merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia (UUD 1945).
Pola hubungan diatas kemudian disistematisasi menjadi suatu ajaran baru, suatu ilmu pengetahuan yang dinamakan politik hukum. Padmo Wahyono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Abdul Hakim Garuda Nusantara mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu yang dapat meliputi : 1) pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang telah ada; 2) pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru; 3) penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya; dan 4) peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elite pengambil kebijakan. Atas beragam definisi politik hukum, rumusan sederhana dibuat oleh Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara(Moh. Mahfud MD, 2006 : 13. Menurut penulis, definisi yang diberikan oleh Moh. Mahfud MD adalah definisi yang paling menjelaskan hubungan antara politik dan hukum dalam suatu ilmu yang dinamakan politik hukum.
Hal penting lainnya dalam perumusan hubungan antara politik dan hukum adalah bahwa keduanya merupakan sub sistem dari masyarakat. Politik pada segi idea merupakan kehendak masyarakat. Dari proses politik, dihasilkan suatu consensus (kecuali dalam hukum raja, yang bukan merupakan suatu konsensus) yang mengatur masyarakat melalui hukum. Sedangkan hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk merubah masyarakat.

BAB III
DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM
Setelah mengurai mengenai hubungan antara politik dan hukum, maka penulis mengambil satu asumsi determinan, yaitu politik yang determinan terhadap hukum, karena penulis berpendapat bahwa asumsi inilah yang secara nyata menggambarkan kondisi di Indonesia saat ini.
A.  Tinjauan Teoritis Mengenai Dominasi Politik
Selain pendekatan yuridis normatif dalam pengkajian hukum, hukum juga masih mempunyai sisinya yang lain, yaitu hukum dalam kenyataannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam kenyataan sosial itulah hukum menemukan kenyataannya yang paling hakiki, bahwa sebagai salah satu dari sub sistem sosial, hukum tidak lepas dari pengaruh sub sistem sosial lainnya, termasuk politik.
Dalam Black’s Law Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or something) or to control (someone or something))(Bryan A Garner : 502).Yaitu, keadaan menguasai seseorang atau sesuatu.
Tanpa disadari oleh manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan dominasi dalam sistem sosial.
Pada awal abad ke-21 ini semakin banyak orang menyadari bahwa politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup manusia. Politik hadir di mana-mana di sekitar manusia, sadar atau tidak mau, politik ikut mempengaruhi kehidupan manusia sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Politik akan berlangsung sejak kelahiran sampai kematian manusia, maka dari itu, aristoteles pernah mengatakan bahwa politik itu merupakan master of science dan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara (Abdul Manan, 1999 : 101). Hal yang terpenting diatas adalah bahwa politik berpengaruh pada modernisasi. Modernisasi adalah proses menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan. Ditinjau dari segi politik, modernisasi dengan berpegang pada demokrasi sangat sukar diwujudkan, yaitu karena sistem demokrasi sendiri tergantung dari konsensus. Berbeda halnya dengan negara totaliter, di mana perubahan dapat diadakan dengan dipaksakan dari atas, tanpa menghiraukan manusianya (Astrid S Susanto : 180). Jadi, secara teoritis, politik dapat mengubah sendi-sendi kehidupan sosial suatu bangsa.

B.  Politik Dominan Terhadap Hukum
Max steiner, mengutarakan idiom bahwa “sejemput kekuasaan lebih bermanfaat daripada sekarung hak” (L.J. Van Appledoorn, 2008 : 57). Hal ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh politik pada hukum. Secara politis historis, terbuktikan bahwa perkembangan masyarakat dapat dihambat oleh beberapa negara yang mampunyai pemerintahan absolut atau pemerintahan colonial (Astrid S Susanto : 163). Seperti Indonesia pada masa 200 tahun pertama pemerintahan Hindia Belanda, pada masa tersebut, masyarakat cederung bersifat keaderahan, belum menyadari kesatuannya karena dijejali politik devide et impera, sehingga belum bersatu padu.
Adanya perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan diantara keduanya, terutama perbedaan antara alternatif jawaban yang pertama dan kedua pada baba terdahulu, disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkatan hubungan antar anggota masyarakat termasuk daam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari segi das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya (Moh. Mahfud MD, 1998 : 8).
Karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah (Moh. Mahfud MD, 1998 : 13). Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik.
Konstatasi ini dapat dilihat fakta bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan penegakkan hukum tidaklah berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya. Dikatakan bahwa jika program kodifikasi dan unifikasi hukum dijadikan ukuran maka pembangunan struktur hukum telah berjalan cukup baik dan stabil karena dari waktu ke waktu ada peningkatan produktivitas (Moh. Mahfud MD, 2006 : 64 ).
Teori-teori yang melengkapi khasanah pengetahuan mengenai dominasi politik terhadap hukum adalah sebagai berikut :
1.   Pascal menyatakan bahwa : La justice est sujette a dispute, la force est tres reconnaissable et sans dispute. Ainsi on n’a pudonner la force a la justice, parce que la force a contredit la justice et a dit qu’elle etait injuste, et a dit que c’etait elle qui etait juste. Et ainsi ne pouvant faire que ce qui etait juste fut fort, on a fait que ce est fort fut juste (L.J. Van Appledoorn : 57-58). Yang artinya kurang lebih adalah keadilan menimbulkan pertentangan, kekuasaan tampak nyata dan tidak menimbulkan pertentangan. Keadilan tidak dapat disetarakan dengan kekuasaan, karena kekuasaan dapat menyangkal keadilan dan menyatakan bahwa keadilan itu tidak adil. Sehingga kemudian dapat membuat apa yang benar itu adalah kekuatan dan kekuatan itu benar.
2.   Lassalle, seorang teoritis aliran hukum alam, menyatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis dan hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara (L.J. Van Appledoorn : 57-58).
3.   Ludwig Gumplowicz menyatakan bahwa negara adalah eine organisation der herrschaft einer minoritat uber eine majoritat (yaitu, organisasi berdasarkan dominasi kaum minoritas terhadap kaum mayoritas). Hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya (L.J. Van Appledoorn : 57-58).
4.   Anton Menger memperoleh kesimpulan : alle bisherigen rechtsordnungen sind in letzter reihe aus machtverhaltnissen entstanden und haben deshalb immer den zweck verfolgt den nutzen der wenigen machtingen auf kosten der breiten volkmassen zu fordern (L.J. Van Appledoorn : 59). Kesimpulan dari pendapat Menger adalah bahwa semua ketentuan hukum berada pada garis akhir dari keseimbangan kekuasaan yang dikembangkan and oleh karena itu tujuannya selalu akan mengejar penggunaan alat kekuatan negara untuk meredam tuntutan masyarakat.
5.   Para aliran positivis menarik kesimpulan bahwa kepatuhan kepada hukum itu tak lain daripada tunduknya orang-orang yang lebih lemah pada kehendak orang-orang yang lebih kuat. Jadi, hukum adalah “hak orang terkuat” (L.J. Van Appledoorn : 59).
6.   John Austin mendefinisikan hukum sebagai peraturan yang diadakan untuk member bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa diatasnya (Wolfgang Friedmann, 1990 : 149). Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang baik dan buruk, namun didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.
Menggunakan asumsi dasar kedua dalam hubungan antara politik dan hukum, yaitu politik determinan terhadap hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Sebagai produk politik bisa saja hukum itu memuat isi yang lebih sarat dengan kepentingan politik kelompok dan jangka pendek yang secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya (Moh. Mahfud MD, 2006 : 37). Di dalam sistem demokrasi di Indonesia, masyarakat berhak, bahkan wajib berpolitik untuk menentukan haluan negara, membuat undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan kekuasaan negara. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil proses politik dalam masyarakat. Setelah hukum dibentuk dalam wujud undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain, maka setiap orang yang mendiamiwilayah republik Indonesia harus tunduk kepadanya, tidak terkecuali organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh politik yang semula ikut menyusun hukum (Zainuddin Ali, 2007 : 34).

C.  Konfigurasi Politik dan Karakter Hukum
Jadi, meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya (Moh. Mahfud MD, 2006 : 65). Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi politik ini biasanya terwujud dalam partai politik. Bila partai-partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya,maka disebutkn bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Jika partai-partai politik yang ada itu tidak berperan secara nyata dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya, maka dikatakan bahwa konfigurasi itu adalah konfigurasi politik yang non-demokratis (Bintan Regen Saragih, 2006 : 33).
Di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15). Dari pernyataan tersebut, maka Moh. Mahfud MD membagi dua variabel antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum yang dipengaruhi konfigurasi tersebut, yang dibuat berdasarkan penelitian beliau atas konfigurasi politik dan karakter hukum di Indonesia.
Hubungan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15):
No Konfigurasi Politik  Karakter Hukum
Demokratis        Otoriter           Responsif        Konservatif
1    Parpol dan parlemen berperan aktif menentukan kebijakan negara Parpol dan parlemen lemah dan fungsinya lebih sebagai rubber stamps Pembuatannya partisipatif bagi masyarakat    Pembuatannya sentralistik di lembaga eksekutif
2    Eksekutif bersifat netral sebagai pelaksana Eksekutif bersifat intervensionis         Isinya aspiratif atas tuntutan masyarakat            Isinya positivis instrumentalis

3    Pers bebas    Pers terpasung, terancam pembredelan           Cakupannya bersifat limitative (close interpretative)          Cakupannya cederung open interpretative

Dapat diakatakan bahwa politik hukum pada konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk menciptakan hukum yang mendekatkan tata hukum pada realitas sosial, sedangkan pada konfigurasi politik yang non-demokratis umumnya menciptakan hukum untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata hukum dengan realitas soosial (Bintan Regen Saragih : 34). Konfigurasi politik, baik demokratis maupun non demokratis telah menjadi bagian dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Konfigurasi politik demokratis tercermin sejak masa kemerdekaan, dengan sistem multipartai, menciptakan produk-produk hukum yang menhapus dominasi colonial dan mengutamakan kebebasan rakyat Indonesia. Hal ini merupakan euphoria kemerdekaan dan kebebasa Indonesia dari belenggu penjajah. Sedangkan fase politik non demokratis secara visual, walaupun disuarakan secara demokratis, tampak pada masa orde baru. Dengan pemasungan kepada aspek-aspek tertentu, seperti ketidakbebasan pers dan partai.
Pada era reformasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem kentatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralisasi ke sistem otonomi. Perubahan paradigm ini sudah barang tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini, yaitu yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat dan juga prduk-produk hukum yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah (Abdul Manan : 104). Produk hukum yang dihasilkan oleh konstitusi selayaknya harus mengedepankan kepentingan rakyat dan daerah, namun, pada kenyataannya dominasi politik kian kencang dan tidak terkendali. Partai politik yang secara teoritis merupakan penjelmaan kehendak rakyat, malah menjadi ajang perebutan kekuasaan, sedangkan hukum menjadi salah satu alatnya.
Partai politik melalui DPR mempunyai peran penting dalam pembentukan hukum, namun, jika kenyataannya partai politik hanya menjadi ajang mempertahankan maupun memperoleh kekuasaan, maka dengan determinannya politik atas hukum, yang terjadi adalah hukum akan mengikuti arah politik yang keliru, sehingga hukum dapat kehilangan legitimasinya. Seorang dosen pernah berbicara, bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, uang dan kepentingan-kepentingan yang koruplah yang berbicara, dan dalam kenyataannya hal ini terjadi, misalnya tentang pembentukan peraturan mengenai peralihan hutan lindung, yang menjebloskan beberapa anggota DPR ke dalam penjara, atau yang lebih tinggi indikasinya adalah suap dalam pembentukan UU tentang pemekaran daerah. Jika hal ini terjadi, maka dominasi politik terhadap hukum membuka peluang adanya tindak pidana korupsi berupa political bribery maupun political kickback. Mengenai political bribery maupun political kickback, akan dibahas penulis dalam tulisan yang lain.

BAB IV KESIMPULAN
Tanpa disadari oleh manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan dominasi dalam sistem sosial, termasuk pada hukum.
Hubungan antara politik dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das sein. Meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, hal ini terjadi karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.
Politik mempengaruhi hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis.
Pada saat sekarang ini di Indonesia, dominasi politik terhadap hukum semakin menguat. Partai politik yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang hanya terkesan menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan. Hal ini akan berakibat yang sangat serius, karena tentunya akan menghasilkan hukum yang hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa memperhatikan kesesuaiannya dengan tujuan negara
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Appledoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, Cetakan XI, 1988.
Darmodiharjo, Shidarta Darji, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan ke-3, 1990.
Friedmann, Wolfgang, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), CV. Rajawali, Jakarta, 1990, hlm 149. (terjemahan dari Wolfgang Fiedmann, Legal Theory penerjemah : Mohamad Arifin).
Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum; Prespektif Historis, Nusamedia, Bandung, cetakan keduan, 2008
Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group, St.Paul Minn, 1999.
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung, 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipa, Bandung, 1970.
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hlm 7-8
Mahfud MD, Moh., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006
Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005
Nonet, Phillipe dan Selznick, Phillip, Hukum Responsif, Nusamedia, bandung, 2008.
Salman, R. Otje, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992.
Saragih, Bintan Regen, Politik Hukum, CV Utomo, Bandung, 2006
Susanto, Astrid S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, 1983.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, 1983.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, Jakarta

Selasa, 27 Maret 2012

MANFAAT GURU DALAM MODEL KURIKULUM KTSP TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


MANFAAT GURU DALAM MODEL KURIKULUM KTSP TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum ini adalah kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyempurnakan Kurikulum berbasis Kompetensi (KBK), kurikulum ini menghendaki otonomi sekolah umtuk berkreativitas mangelola dan mengembangkan metode pendididkan yang cocok bagi para siswanya .
Ada beberapa hal dasar yang menjadi alasan kenapa KTSP dibuat, kurikulum yang dibuat sebelumnya oleh pemerintah yang berlaku secara nasional tidak melihat kondisi semua sekolah yang ada di negeri ini, kondisi sekolah di negeri ini sebenarnya sangat beragam. Sebagai contoh tidak mungkin kondisi sekolah SMA di Jakarta sama dengan kondisi sekolah yang ada di papua. Sehingga KTSP ini mungkin bisa menyempurnakan kurikulum yang ada sebelumnya, dengan KTSP sekolah dapat mengembangkan (memperkaya, memodivikasi) metode pendidikan apa saja yang bisa memajukan siswanya namun tetap tidak menyimpang dari kurikulum yang berlaku secara nasional ini.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka secara otomatis pola pikir masyarakat berkembang dalam setiap aspek. Hal ini sangat berbengaruh besar terutama dalam dunia pendidikan yang menuntut adanya inovasi baru yang dapat menimbulkan perubahan, secara kualitatif yang berbeda dengan sebelumnya. Tanggung jawab melaksanakan inovasi diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dimana guru memegang peranan utama dan bertanggung jawab menyebarluaskan gagasan baru, baik terhadap siswa maupun masyarakat melalui proses pengajaran dalam kelas.
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan dimana IPTEK sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Oleh karena itu, kurikulum dalam pendidikan harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan IPTEK. Perubahan yang terjadi pada kurikulum diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik lagi. Kurikulum yang diberlakukan sekarang yaitu kurikulum 2006 (KTSP), diharapkan dapat berjalan secara operasional, sehingga dapat memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya, namun tidak menyimpang dari peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Perubahan-perubahan kurikulum dalam setiap mata pelajaran, khususnya mata pelajaran PKn yang dalam KTSP ini merupakan suatu mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada Pancasila, UUD dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu pendidikan di Indonesia.
B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan sebuah rumusan masalah berikut:”BAGAIMANA PERANAN GURU DALAM MODEL KURIKULUM KTSP TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK ?”
C.     Tujuan Penulisan
Dengan makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui peranan guru dalam ktsp terhadap perkembangan peserta didik.



BAB II. PEMBAHASAN

A.    Pengertian
1.      Pengertian Guru
Guru adalah pendidik profesional, dia harus mampu menjadi motivator untuk murid-muridnya. Tujuan utama seorang guru adalah mewujudkan keinginan seseorang menjadi riil, selain itu konsekuensinya yaitu harus dapat membuat orang lain "bisa". Guru yang baik adalah guru yang mampu memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Guru disebut pendidik profesional sebab secara tidak langsung ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tida mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru.
2.      Pengertian kurikulum KTSP
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ).
a.       Konsep Dasar KTSP
Dalam Standar Nasonal Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-undagn No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1), dan 2) sebagai berikut.
1)      Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional  pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2)      Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut:
1)      KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta social budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
2)      Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervise dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggungjawab di bidang pendidikan.
3)      Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah meiliki keleluasaan dalam megelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntunan, dan kebutuhan masing-masing.
Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Pada sistem KTSP, sekolah memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan tersebut, sekolah dituntut untuk mengembangkan strategi, menentukan prioritas, megendalikan pemberdayaan berbagai potensi seklah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggunngjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah.
b.      Tujuan KTSP
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah unutk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:
1)      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemnadirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2)      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangankan kurikulum melalui pengembalian keputusan bersama.
3)      Meningkatkan kompetesi yang sehat antar satuan pendidikan yang akan dicapai.
Memahami tujuan di atas, KTSP dapat dipandang sebagai suatu pola pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum dalam konteks otonomi daerah yang sedang digulirkan sewasa ini. Oleh Karen itu, KTSP perlu diterapkan oleh setiap satuan pendidikn, terutama berkaitan dengan tujuh hal sebagi berikut.
1)      Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat menoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
2)      Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3)      Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan seklah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
4)      Keterlibatan semua warga seklah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih efesien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat sekitar.
5)      Sekolah daapt bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dam masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimalkam mungkin unutk melaksanakna dan mencapai sasaran KTSP.
6)      Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
7)      Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasikannya dalam KTSP.
c.       Landasan KTSP
1)      UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2)      PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3)      Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
4)      Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
5)      Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 Tahun 2006
d.      Ciri-ciri KTSP
1)      KTSP memberi kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah.
2)      Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
3)      Guru harus mandiri dan kreatif.
4)      Guru diberi kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan KTSP adalah sebagai berikut :
a.       Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak yang mulia, terutama pada mata pelajaran agama dan PKn.
b.      Peningkatan potensi, kecerdasan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistic yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotor) berkembang secara optimal.
c.       Perkembangan IPTEK dan Seni
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan. Oleh karena itu kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan IPTEK dan Seni.


d.      Dinamika perkembangan global
Pendidikan harus menciptakan kemandirian baik pada individu maupun bangsa yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar bebas.
e.       Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
f.       Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurkulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus lebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
Hal-hal tersebut diatas mempunyai prinsip dan tujuan yang sama dengan mata pelajaran PKn di sekolah dasar karena secara ideal PKn membentuk warga negara yang memiliki wawasan berbangsa dan berneagara serta nasionalisme yang tinggi. Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia memiliki kelebihan masing-masing tergantung pada situasi dan kondisi pada saat kurikulum diberlakukan. Kelebihan-kelebihan KTSP ini antara lain :
a.       Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam pendidikan.
b.      Mendorong guru, kepala sekolah dan pihak manajemen untuk semakin meningkatkan kreatifitasnya dalam penyelenggaraan program pendidikan.
c.       KTSP sangat memungkinkan bagi tiap sekolah untuk mengembangkan mata pelajaran tertentu bagi kebutuhan siswa.
d.      KTSP mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20 persen.
e.       TSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhannya.
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia disamping memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan KTSP antara lain:
a.       Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.
b.      Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.
c.       Masih banyaknya guru yang belum memahami KTSP secara komprehensip baik konsepnya, penyusunannya, maupun praktek pelaksaannya di lapangan.
d.      Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran berdampak pada pendapatan guru.
B.     Peranan Guru dalam KTSP
KTSP yang mulai diberlakukan secara nasional pada tahun 2006 jelas berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa KTSP merupakan produk matang dari UU No. 23/2003 tentang sistem pendidikan nasional yang bernafaskan sistem desentralisasi dan otonomi satuan pendidikan. Ada dua hal penting yang membedakan KTSP dengan kurikulum sebelumnya, yakni
a.       Diberlakukannya kurikulum yang berdiversivikasi (kurikulum yang bernafas pada variasi dan inovasi masing-masing satuan pendidikan dengan kompetisi yang sehat dan bermutu),
b.      Adanya standarisasi pendidikan (yang didasarkan pada PP. No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Berlakunya kurikulum yang diversivikasi mau tidak mau harus memacu setiap satuan pendidikan yang ada untuk menciptakan keunggulan pada satuan masing-masing. Dalam satuan pendidikan semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, komite sekolah maupun dewan pendidikan) harus secara pro-aktif mengembangkan potensi yang dimiliki, di sinilah pentingnya guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum yang berbasis desentralisasi dan diversivikasi tersebut (KTSP). Dalam hal ini tampak jelas bagaimana urgensi guru dalam KTSP, yakni:
1.      Guru sebagai pelaksana kurikulum
Sudah jelas bahwa guru merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan kurikulum. Dalam menjalankan fungsi sebagai salah satu pelaksana kurikulum adalah dengan menciptakan iklim belajar yang kondusif dan nyaman yakni :
a.       Menyediakan pilihan bagi peserta didik bai yang lambat maupun cepat dalam melakukan tugas pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong dan memotivasi semangat bagi seluruh peserta didik berdasar kemampuan mereka masing-masing.
b.      Memberikan pembelajaran remedial bagi peserta didik yang kurang berprestasi atau berprestasi rendah.
c.       Mengembangkan organisasi kelas yang efektif, menarik, aman dan nyaman bagi perkembangan potensi seluruh peserta didik secara optimal.
d.      Menciptakan kerja sama saling menghargai, baik antar peserta didik, maupun antara peserta didik dengan guru dan pengelola pembelajaran lain.
e.       Melibatkan peserta didik dalam proses perencanaan belajar dan pembelajaran.
f.       Mengembangkan proses pembelajaran sebagai tanggung jawab bersama.
g.      Mengembangkan sistem evaluasi belajar dan pembelajaran dengan mengedepankan evaluasi diri sendiri (self evaluation).
Begitu penting peran guru dalam pelaksanaan kurikulum sehingga untuk keberhasilan KTSP itu sendiri maka guru diharapkan untuk kreatif, inovatif, mandiri dan mampu bekerja sama dengan komponen pembelajaran yang lain. Peran guru yang optimal akan semakin memperbesar keberhasilan penerapan KTSP dalam setiap satuan pendidikan.
2.      Guru sebagai pengembang kurikulum
Dalam hal pengembangan kurikulum (KTSP) peran guru juga penting, yakni dalam hal menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Fungsi dari RPP adalah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran agar lebih terarah dan berjalan secara efekrtif dan efisien. Guru merupakan pengembang kurikulum bagi kelasnya, yang akan meterjemahkan, menjabarkan, dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada peserta didik. Adapun sebagai developer terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan guru dalam membuat RPP yaitu :
a.       Mengidentifikasikan dan mengelompokkan kompetensi yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran.
b.      Mengembangkan materi standar. Materi standar mencakup tiga aspek yakni ilmu pengetahuan (kognitif), proses (psikomotorik) dan nilai (afektif). Di sinilah tugas guru untuk mengembangkan standar yang sudah ada menjadi bahan jadi yang siap dikonsumsi oleh siswa.
c.       Menentukan metode. Metode merupakan jalan atau kondisi yang mendorong siswa untuk termotivasi dlam proses yang sedang dijalankan sehingga tercipta kondisi pembelajaran yang nyaman dan menarik (joyful learning). Dengan terciptanya kondisi yang kondusif, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan diharapkan akan mencapai tujuan yang diharapkan.
3.      Profesionalisme guru sangat penting dalam berhasil atau tidaknya kurikulum tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa KTSP menuntut seluruh komponen satuan pendidikan untuk berpacu dan berkompetisi dengan satuan pendidikan lain untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Guru yang tidak profesional akan memperlambat pengembangan potensi dari satuan pendidikan tersebut sehingga akan tertingal atau kalah mutu dengan satuan pendidikan yang lain. Maka dengan kata lain mau tidak mau setiap satuan pendidikan harus bersendikan guru-guru yang profesional.
Guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di kelas. Guru merupakan garda terdepan dalam implementasi KTSP. Guru merupakan kurikulum berjalan sebab sebaik apapun kurikulum itu dan sebaik apapun sistem pendidikan yang ada, tanpa didukung guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Tanpa upaya peningkatan mutu dari guru, maka tujuan pendidikan tidak akan mencapai harapan yang diinginkan.



BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan

Kurikulum 2006 (KTSP) dalam pembelajaran PKn pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk melahirkan peserta didik sebagai ilmuan professional sekaligus warga negara Indonesia yang taat terhadap peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat serta cinta tanah air (Nasionalisme) yang tinggi. Kelebihan dari kurikulum 2006 (KTSP) yaitu mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, mendorong guru dan pihak manajemen sekolah untuk meningkatkan kreatifitas dalam program pendidikan, menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu bagi kebutuhan peserta didik, dan memberikan peluang yang lebih luas untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Kelemahan dari kurikulum 2006 (KTSP) yaitu kurangnya SDM, kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana, masih banyak guru yang belum memahami KTSP, pengurangan jam pelajaran yang berdampak pada berkurangnya pendapatan guru. Proses belajar mengajar pada pembelajaran PKn cukup baik, namun penggunaan alat peraga yang kurang maksimal dan format penilaian yang belum lengkap.

B.     Saran
Dari kesimpulan diatas maka penulis berusaha memberikan saran yang diharapkan dapat membantu program pelaksanaan KTSP dengan baik. Saran-saran tersebut antara lain :
1.            Lebih ditingkatkan lagi sosialisasi KTSP sehingga dapat meningkatkan SDM guru dan kepala sekolah sesuai dengan perkembangan IPTEK.
2.            Penyediaan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan program KTSP.
3.            Perlu ditingkatkannya proses belajar mengajar yang menggunakan alat peraga dalam setiap pembelajaran khususnya mata pelajaran PKn.




DAFTAR PUSTAKA