Labels

Pages

Selasa, 27 Maret 2012

civic virtue


A.PENDAHULUAN
Moneter, ekonomi, politik, dan agama yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada waktu itu pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu (Tilaar, 2004: 123).
Dengan kata lain, pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultural dan agama sangat beranekaragam.Berbeda dengan era reformasi sekarang, walaupun pendidikan multikultural sebagai hal yang baru di tanah air, akhir-akhir ini sangat intensif dibicarakan dan didiskusikan oleh berbagai elemen, baik akademisi, LSM, dan organisasi kemasyarakatan. Berakhirnya sentralisasi Orde Baru juga memaksakan monokulturalisme, pada gilirannya telah memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami kembali kebhinnekaan, multikulturalisme Indonesia.
Di samping itu, wacana multikulturalisme Indonesia yang semakin mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa kondisi (Saifuddin, 2006:137), pertama, desentralisasi mendorong ditingkatkannya batas-batas identitas kebudayaan di Indonesia, baik identitas etnik, agama maupun golongan. Integrasi sosial dan nasional mendapat tantangan besar dari perubahan yang terjadi. Kedua, desentralisasi politik masa kini sangat kurang memperhatikan dimensi kebudayaan. Keputusan untuk melaksanakan desentralisasi lebih pada keputusan politik oleh para elit politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi kebudayaan yang sesungguhnya sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika batas-batas kebudayaan itu semakin nyata dan tajam, dan orientasi primordialisme mulai memicu konflik yang tajam antar etnik, agama, dan golongan, dan gejala ini dikuatirkan mengancam integrasi bangsa, para elit politik tergesa-gesa mencari obat penawarnya, mencari strategi untuk membangun kembali integrasi bangsa dan kebudayaan mulai diperhatikan.Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkembangannya bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman agama, budaya, suku, dan bahasa, tidak lagi membutuhkan konsep pendidikan monokultural-eksklusifdan diskriminatif (Bikhu Parekh 2002: 224-225). Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya, Indonesia sangat membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya yang merupakan unsur yang dapat dilahirkan oleh pendidikan multikultural.
Sebelum kita berbicara jauh tentang ini, maka perlu dijabarkan lebih dulu apa itu multikulturalisme yang dengan pendidikannya. Istilah multikulturalisme menurut Parekh (1997:2001) sebagaimana dikemukakan oleh Saifuddin (2006:139) mencakup sedikitnya tiga unsur, yaitu (1) terkait dengan kebudayaan, (2) merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara tertentu untuk merespon pluralitas tersebut. Dengan demikian, maka multikulturalisme adalah cara pandang kebudayaan yang diwujudkan secara konkret dalam kehidupa yang nyata.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Lawrence A Blum, seorang profesor filsafat di University of Massachusetts di Amherst menawarkan definisi multikulturalisme sebagai berikut:
Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri. (Blum, 2001:16)
Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997: 348).
Pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (James A. Bank, 2001: 28).
Pendidikan multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek: konsep, gerakan, dan proses (James A. Bank, 1989: 2-3). Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa—tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya—memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menjadi suatu keniscayaan, karena kondisi sosial budaya bangsa dan negara Indonesia yang sangat beragam. Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan budaya yang sangat beragam. Sekitar 222,7 juta penduduk yang tersebar lebih dari 6.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3 juta siswa dan 3,31 juta guru.
Dan dari tujuan pendidikan multikultural maka dapat kita lihat bagaimana ruang lingkup dari pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam tujuan, yaitu: tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan pembelajaran (Lawrence J. Saha, 1997: 349). Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap (attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsive terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik.
Kedua, tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang kesadaran perspektif kultural.
Terakhir, tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alatalat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika kultural.
Maka pada makalah ini kita akan membahas bagaimana dalam pengembangan pendidikan multikultural tersebut  dengan cara kesadaran kewarganegaraan ( Civic Virtue) dimana hal ini dapat dikaitkan dan mungkin akan erat sekali akan hubungannya dengan multikulturalisme.
B. KAJIAN TEORI
1. Masyarakat Multikultural
Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen. Sebaliknya, dalam masyarakat homogen masyarakat yang memiliki identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan watak kultural yang sama umumnya tidak ada keinginan publik untuk menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia, tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan dalam kehidupan sosial.
Mengapa demikian? Karena dalam setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka yang memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk. Misalnya, setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang perangkat prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi, misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China, dan sebaliknya. Golongan penduduk Islam menyimpan sejumlah prasangka terhadap golongan Kristen,dan sebaliknya. Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat langgeng. Dari waktu ke waktu, berbagai prasangka itu berubah. Perubahan dalam prasangka ini dapat menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai, saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri masing-masing.
Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih serasi dan kreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam masyarakat. Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing.
Alasan yang melatar belakangi adanya pendidikan multikultural adalah keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social class). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (Bank, 1989: 14). Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya.              Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryadinata, dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179). Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).
Hal lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya tiga teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-42) ada 3 teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk (communal theory). Ketiga teori sosial tersebut adalah:
(1) Melting Pot I: Anglo Conformity,
(2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis,
(3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy.
Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang—seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya—harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnik Jawa, maka individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dalam etnik Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat tidak demokratis.
Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua, yaitu Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Mengingat teori kedua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari individu yang sangat pluralistik, sehingga masingmasing identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah.
2. Peran Civic Virtue  Pendidikan kewarganegaraan dalam masalah multikultural
Pendidikan kewrganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education secara substantive dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur pendidikan dan jenjang pendidikan ( Udin S W,2003:745). Secara akademik PKn memiliki visi sebagai nation and character building atau sering dikenal memiliki mengIndonesiakan orang Indonesia. Pkn hadir untuk mendidik kebangsaan warga Negara dari perspektif politik, etnis yang berbeda-beda. ( Hasan Suryono, 2008 : 21)
Secara Yuridis PKn tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai muatan wajib dalam kurikulum setiap jenjang pendidikan, dimana masing-masing kurikulumnya memuat substansi norma dan perundang-undangan baik pada tingkat pusat maupun daerah. Masing-masing jenjang pendidikan memuat standar kompetensi di jabarkan dalam kompetensi dasar selalu ditekankan adanya pengamalan atau pelaksanaan, tidak terkecuali pelaksanaan atau penerapan apa yang telah dipelajari.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Dengan adanya ketentuan UU tersebut maka kedudukan pendidikan kewarganegaraan sebagai basis pengembangan masyarakat multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia semakin jelas dan mantap. Oleh karena itu, jika siswa mempelajari norma atau perundang-undangan pada akhirnya harus dapat mengamalkan atau menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.             Secara epistimologis, pendidikan kewarganegaraan dikembangkan dalam tradisi citizenship education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional masing-masing negara. Namun secara umum, tujuan negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan adalah agar setiap warganegara menjadi warganegara yang baik (to be good citizenship), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan, baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab; dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.         Istilah civic dan civic education telah muncul masing-masing dengan nama: Kewarganegaraan (1957) yang membahas tentang cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara; Civics (1962) yang lebih banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama diarahkan untuk ”nation and character building” bangsa Indonesia; dan Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Tahun 1975, nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas, dan Pendidikan Pancasila untuk perguruan tinggi. Pada tahun 1994, berubaha menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan terakhir berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 berubah lagi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam hal ini kita dalam mengaplikasikan kesadaran berwarga negara ( civic virtue) bisa sebagai indikator untuk pemahaman implentasinya dalam multikultural. Dimana dalam hal ini kta melihat bahwa civic virtue memiliki suatu gagasan tentang warga negara memilki hak dan kewajiban sama di setiap warga negar. Hal ini tentu bisa membentuk Pengembangan warganegara multikultural lebih lanjut dengan  adanya  kompetensi kewarganegaraan yang bercirikan multikultural.
Kompentisi ini selain dari unsur civic virtue juga ada kaitan lain yang saling berkesinambungan yaitu kompetensi kewarganegaraan menurut Branson (1998:16), terdiri atas tiga komponen penting, yaitu: 1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara; 2) Civic skill (keterampilan kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris warganegara yang relevan; dan 3) Civic disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Maka dalam hal ini sebagai warga negara tidak hanya sebagai warga negara yang pasif tetapi harus bisa sebagai warga negara yang aktif dalam statusnya sebagai warga negara yang bisa di arahkan ke civic Virtue.     Bagaimana strategi civic virtue di pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan multikultural yang dibutuhkan bagi pengembangan masyarakat multikultural?                                      Di sebuah pendapat ahli,  Ricardo L. Garcia (Abdullah Aly, 2005) menyebutkan tiga faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran peserta didik yang duduk di jenjang pendidikan memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman,pengajar  dapat mempertimbangkan aspek fasilitas yang memadai dalam Kegiatn belajar mengajar. Pengajar yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya.            Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran pengajar  yang menggembirakan. Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan pengajar sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan pengajar berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas . Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan Pengajar kepada siswa ditentukan sendiri oleh pengajar. Sebaliknya, gaya kepemimpinan pengajar yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, pengajar yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas pengajar menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas.
Sehingga hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan cara di tas bisa memberikan keluasaaan peserta didik dalam mengembang diri yang tidak di tekan, mudah beradatasi dan mengenal di lingkungan sekitar temannya. Maka hal ini Peserta didik akan memiliki kesadaran sendiri dalam menemukan bakat dirinya , perilaku untuk menghormati teman walaupun berbeda jenis, sikap, ras. Maka disini pengajar sebagai fasilitator di kegiatan belajar mengajar baik di kognitif, afektif, dan psikomotor. Akan tetapi jika pengajar terlalu menekan peserta didiknya maka dapat menghambat peserta didika berkreasi, berinisiatif dalm mengenal teman dan lingkungannya. Sehingga perlu di ketahui civic virtue disini tidak hanya berkaitan denga sadar akan warga negara dalam implementasinya di pendidikan  multikulturalisme tetapi juga mengangung unsur cara-cara siswa dalam memulai beljar mengenal lingkungan pendidikan awal.
Untuk memenuhi hal di atas pengajar harus memiliki kompetensi multikultural. Menurut, Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (Abdullah Aly, 2005) menawarkan enam kompetensi multikultural guru, yaitu:
(a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas,
(b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa,
(c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender;
(d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas,
(e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan
(f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu, James A. Bank
Dilihat dari kompetensi itu bisa di kata civic virtue di kehidupan pendidikan sangat erat hubungannya dengan pendidikan moral yang mengajarkan nilai-nilai dan norma sebagai warga negara yang baik( citizenship). Sehingga peran sadar untuk statusnnya sebagai warga negara akan sangat perlu di bina sejak dini karena hal ini untuk di terapkan di pendidikan multikultural yang tidak bisa secara kognitif tetapi harus ada afektif dan psikomotorik sebagai perantaranya. Makanya di sini pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu promotornya yang kaitannya denag civic virtue selain ada pendidikan keagamaan yang di ajarkan berdasarkan ajaran agama masing-masing di setiap individu
C. PENUTUP
Jika melihat uraian di tas bisa di jelaskan bahawa pendidikan multi kultural khusunya di Indonesia sendir sanagt perlu sekali di bina sejak anak-nak mulai mengenal lingkungan agar nanti pada waktu sudah dewasa bisa mengakui bangsa Indonesia dalah satu keluarga walaupun ada yang dari sisi berbeda ras, agama, jenjang sosial dan lain-lain. Salah satu pendidikan yang mengembang masalah multikultural dalah pendidikan kewarganegaraan yang saat ini masih sengai pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan dan di harapkan ada civic virtue sebagai salah satu jembatan pembelajarannya.


0 komentar:

Posting Komentar