FILSAFAT POLITIK
SEBAGAI DISIPLIN AKADEMIK
Dua cara nampaknya bisa dibayangkan ketika kita harus menggambarkan
‘state of the play’ dari filsafat politik.[1] Cara pertama, filsafat politik bisa dijelaskan dengan
mengatakan sesuatu tentang usaha filsafat politik itu sendiri. Dengan cara ini,
kita mungkin diharapkan dapat membuat definisi tentang apa itu filsafat
politik. Cara ini tidak mudah dilakukan, mengingat bukan hanya bahwa rumusan
dalam bentuk kalimat pendek tidak pernah mencukupi untuk menggambarkan
keseluruhan maksud filsafat politik, tetapi juga karena filsafat politik pada
hakikatnya bukan sesuatu yang tidak berubah. It is not an essence with
eternal nature! Filsafat politik adalah ”kegiatan yang kompleks yang hanya
dapat dipahami dengan baik melalui analisis terhadap banyak sekali cara yang
dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkannya” (Wolin 2004: 3).
Cara kedua, yang akan kita coba tempuh,
adalah dengan melihatnya sebagai tradisi wacana khusus. Dengan ini kita dapat mendiskusikan ciri-ciri umum tradisi tersebut, juga berbagai minat atau keprihatinan yang telah melatarbelakangi mereka yang mengembangkannya, dan pergeseran yang menandai garis-garis penting dalam perkembangannya. Dengan kata lain, filsafat politik dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa telah ada orang-orang yang mengajarkan tema ini di berbagai universitas. Cara ini juga menyarankan kita untuk memanfaatkan pencapaian bidang ilmu lain yang relevan dalam mendeskripsikan pokok masalah dan pendekatan yang mungkin dapat dikembangkan. Apa yang mereka kerjakan dan apa yang telah mereka capai? Hal ini berhubungan dengan dua pertanyaan:
adalah dengan melihatnya sebagai tradisi wacana khusus. Dengan ini kita dapat mendiskusikan ciri-ciri umum tradisi tersebut, juga berbagai minat atau keprihatinan yang telah melatarbelakangi mereka yang mengembangkannya, dan pergeseran yang menandai garis-garis penting dalam perkembangannya. Dengan kata lain, filsafat politik dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa telah ada orang-orang yang mengajarkan tema ini di berbagai universitas. Cara ini juga menyarankan kita untuk memanfaatkan pencapaian bidang ilmu lain yang relevan dalam mendeskripsikan pokok masalah dan pendekatan yang mungkin dapat dikembangkan. Apa yang mereka kerjakan dan apa yang telah mereka capai? Hal ini berhubungan dengan dua pertanyaan:
- Apa pokok masalah (subject-matter) filsafat
politik yang semestinya menjadi pegangan kita dalam bekerja?
- Metode dan pendekatan apa yang mungkin membantu untuk
mengembangkan pokok masalahnya, dan bagaimana mereka yang mempelajari
filsafat politik memilih metode dan berbagai pendekatan itu?
Jawaban terhadap beberapa butir
pertanyaan itu akan saya berikan secara ringkas, tidak dalam bentuk argumen
tetapi dalam bentuk paparan, karena tujuan saya adalah sekedar memberikan
deskripsi umum tentang filsafat politik sebagai disiplin akademik, yaitu
mengungkapkan pandangan umum (general point of view) tentang filsafat
politik, sesuatu yang diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih jauh bagi
siapa saja yang berminat mengembangkannya. Saya akan menutup uraian ini dengan
catatan akhir bagi mereka yang tertarik dengan bidang ilmu ini untuk membantu
mengembangkan filsafat politik di Universitas dan menarik manfaatnya dalam
kehidupan masyarakat.
POKOK MASALAH
(SUBJECT-MATTER) FILSAFAT POLITIK
Apa pokok
masalah filsafat politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita agaknya harus
menelusuri sejak kapan filsafat politik muncul dan mulai berkembang. Menurut
sebuah penilaian, filsafat politik ada sejak manusia menyadari dapat hidup satu
sama lain dengan cara yang lebih bermanfaat.[2] Dengan ini, kerjasama di antara manusia dimungkinkan, dan
usaha mengembangkan atau menata kehidupan bersama yang ideal melalui
rasionalitas (dan ini berarti menggantikan naluri), mulai dikembangkan. Dengan
rasionalitas manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur
dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana diantara
berbagai pilihan itu yang dapat dianggap paling baik, bahkan pertimbangan yang
relevan untuk menentukan berbagai pilihan itu juga sering kabur.[3]
Pada titik
itulah pertanyaan filsafat politik dimulai. Dengan rasionalitasnya manusia
mencoba mempertanyakan apa hakikat dari organisasi masyarakat yang baik (good)
dan tepat (right)[4] atau “bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat
bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok” (Brown, 1986, p.
11; Kymlicka, 1990, p. 1). Pandangan semacam ini memang merujuk pada pengertian
modern atau kontemporer tentang filsafat politik, sebuah tradisi yang
berbeda dengan tradisi filsafat politik pada masa klasik dan abad pertengahan,
dan mengesampingkan pengaruh filsafat bahasa dan filsafat analitik yang
merupakan tradisi tersendiri.[5]
Kecenderungan
filsafat politik klasik, seperti yang nampak dalam pemikiran Plato, adalah
tidak membedakan filsafat politik dan filsafat pada umumnya, karena
penyelidikan tentang hakikat kehidupan individu yang baik (the nature of the
good life of individual) diasosiasikan dengan penyelidikan yang
mempertemukan (meskipun tidak sejajar) dengan hakikat masyarakat yang baik (the
nature of the good community). Banyak filsuf klasik lain yang terkenal
memberikan sumbangan pada perkembangan ide-ide politik, dengan menawarkan
metode analisis dan kriteria penilaian, dan karena itu secara historis
perbedaan utama antara filsafat dan filsafat politik sering dianggap sebagai
masalah spesialisasi, bukan sebagai masalah metode atau pembawaan (Wolin, 2004:
4). Persekutuan yang erat antara filsafat dan filsafat politik ini menjelaskan
mengapa para filsuf politik menerima dorongan untuk mengejar pengetahuan yang
sistematis seperti yang dilakukan para filsuf pada umumnya.
Namun, ada
pengertian lain yang lebih fundamental tentang keterkaitan yang erat antara
filsafat politik dengan filsafat pada umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha
mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya, meskipun kualitas esensial tentang
apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di kalangan para
ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter) filsafat politik
mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap
”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena filsafat digambarkan sebagai
usaha sistematis untuk memahami prinsip yang mendasari semua hal, penyelidikan
tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap harus membentuk bagian
dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1). Cicero menunjukkan pokok
perhatian filsafat politik ketika menyebut Commonwealth sebagai ”res
publica”, yang artinya ’benda publik’ (public thing), atau ’milik
rakyat’ (property of a people). Dengan ini, tatanan politik (political
arrangement) dipahami sebagai sesuatu yang unik, yang berhubungan dengan
sesuatu yang umum (common) dalam masyarakat. Satu-satunya institusi yang
menyaingi otoritas tatanan politik ini adalah Gereja abad pertengahan, meskipun
hal ini terjadi karena Gereja, dalam mengontrol ciri-ciri regim politik, telah
menjadi sesuatu yang berbeda dengan badan keagamaan.
Karena itu,
filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan
dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara
keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Dalam bahasa Robert N. Beck filsafat
sosial (atau politik) adalah ”kritik kefilsafatan terhadap prinsip-prinsip yang
mendasari proses sosial (atau politik) dengan cara mengembangkan argumen yang
dapat membenarkan institusi-institusi sosial dan politik, baik sebagaimana
adanya (as they actually are), atau sebagaimana yang dibayangkan (as
they imagined)” (Beck, 1967: 3). Saya berpendapat bahwa filsafat politik
sebaiknya memang dikembangkan sebagai studi tentang penilaian dan kritik moral
terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang
diarahkan pada penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat.
Ada dua keunggulan yang terdapat dalam rumusan demikian itu: di satu pihak,
karena ia menggarisbawahi, dan menurut saya beralasan, bahwa ada hubungan yang
erat antara filsafat politik dengan praktek aktual, dan di pihak lain, karena
ia mengakui bahwa filsafat politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau
citra bayangan (mirror images) tentang masyarakat. Sebab, jauh sebelum
manusia mulai berefleksi atau berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik
dan struktur sosial sudah ada lebih dahulu sehingga ”batas dan substansi dari subject
matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang
sudah ada dalam masyarakat” (Wolin, 2004:7). Akan tetapi, sebagian besar temuan
penting dalam studi filsafat politik juga terjadi dalam masa krisis, yaitu sebuah
masa ketika kerusakan institusional melepaskan fenomena politik menjadi tidak
lagi terintegrasi secara efektif, sehingga ”filsafat politik selalu mengandung
aspek aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan keadaan yang sedang
berlaku, dan secara demikian juga mengimplikasikan kritik terhadap keadaan yang
ada sekarang” (McBride, 1994: 3)
Filsafat
politik juga memiliki sejumlah karakteristik yang lain. Salah satu yang utama adalah
studi filsafat politik pada dasarnya merupakan cabang dari filsafat praktis (practical
philosophy), yaitu cabang filsafat yang, terkait erat dengan etika atau
filsafat moral, menangani pertanyaan moral dari kehidupan publik. Para ahli
mengakui adanya kontinuitas yang fundamental antara moralitas dan filsafat
politik. Robert Nozick, misalnya, mengatakan bahwa “filsafat moral menentukan
latar-belakang dan batas bagi filsafat politik“[6]. Namun, ada pandangan yang berbeda di antara para filsuf
politik menyangkut pembagian bidang moralitas dan filsafat politik dan tentang
kriteria untuk argumen yang dianggap paling berhasil (Kymlicka, 1990, p. 6).
Filsafat politik berbeda dengan etika: etika berhubungan dengan dimensi moral
pribadi, misalnya bagaimana seseorang seharusnya hidup, nilai atau gagasan
ideal apa yang seharusnya dipegang dan aturan hidup macam apa yang hendaknya
diperhatikan. Karena itu, sebagai cabang filsafat praktis, filsafat politik
berhubungan dengan sisi atau aspek sosial dari etika atau lebih tepat
berhubungan dengan pertanyaan tentang bagaimana pengaturan dan pengorganisasian
kehidupan masyarakat yang seharusnya (Brown, 1986, p. 11).
Namun, perbedaan
antara moralitas pribadi (privat morality) dan filsafat politik yang
menekankan etika bersama tidak mudah ditentukan. Aristoteles misalnya menyatakan
dalam halaman pertama Politics-nya bahwa negarawan (politikos)
tidak boleh dikacaukan dengan pemilik budak atau kepala rumah tangga: negawaran
menyangkut sesuatu yang ’politis’, sedangkan pemilik budak atau kepala rumah
tangga tidak bersangkut paut dengan yang ’politis’. Di sini, Aristoteles
menyinggung kesulitan yang dialami para filsuf politik dalam memisahkan subject-matter
yang dalam realitasnya tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya, tanggungjawab
moral yang ada pada seseorang kepada orang lain kadang menjadi sesuatu yang
pribadi, hanya melibatkan peraturan perilaku personal, namun kadang juga
menjadi masalah publik yaitu harus dipaksakan melalui lembaga-lembaga politik.
Misalnya, ketika seorang wanita mengatakan bahwa ”yang pribadi adalah politis”
(the personal is political), ia mulai menyadari bahwa apa yang dianggap
sebagai masalah privat, domestik dan individual, dalam kenyataannya adalah
publik dan struktural.[7] Jadi, salah satu persoalan yang dihadapi filsafat
politik dalam hubungannya dengan etika nampaknya terkait dengan pertanyaan mana
yang lebih penting antara moralitas pribadi dan moralitas publik dan juga
tentang konflik yang dapat ditolerir dari nilai-nilai moral politik dan
personal.
Karakteristik
lain filsafat politik yang tak kalah penting adalah sebagai pengetahuan normatif,
yaitu bahwa filsafat politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar
ideal), yang dapat dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba
menguraikan bagaimana sesuatu secara apa adanya (Wolf, 2006: 2). Studi normatif
mencari tahu bagaimana sesuatu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara
moral tepat, sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik,
sosiolog, dan ahli sejarah. Maka, meskipun filsuf politik memiliki perhatian
yang sama seperti halnya ilmuwan politik yang mempertanyakan distribusi
barang-barang dalam sebuah masyarakat, misalnya, seorang filsuf politik
(berbeda dengan ilmuwan politik) akan memusatkan perhatiannya pada aturan atau
prinsip apa yang menentukan distribusi barang-barang tersebut. Seorang filsuf
politik tidak bertanya ’bagaimana properti didistribusikan’, tetapi ’distribusi
properti semacam apa yang adil dan fair’, ia tidak bertanya ’hak dan kebebasan
apa yang sesungguhnya dimiliki rakyat’ tetapi ’ hak dan kebebasan apa yang
seharusnya dimiliki rakyat’. Tentu saja, pembagian antara studi normatif dan
studi deskriptif tidak selalu sejelas seperti yang mungkin disangka karena
masalah perilaku manusia seringkali berada di antara dua titik pembagian
deskriptif dan normatif.
Cara lain
yang kadang dilakukan untuk lebih memahami subject matter filsafat
politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan teori politik.
Menurut Brown (1986, p.14), pokok perhatian ilmu politik adalah realitas atau
peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan
antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang
menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu. Sebagai pengetahuan
deskriptif, ilmu politik, tidak berkepentingan dengan pertanyaan tentang nilai,
yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian etis, jadi nilai dianggap
sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya dilihat sebagai
gagasan ideal. Akan tetapi, karena pertanyaan tentang nilai harus
dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan ini.
Disinilah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu
pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun
ada perbedaan diantara keduanya:
Teori
politik, di satu pihak, merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi
masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau
anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk
masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan didalamnya juga terkandung berbagai
rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai
ideologi.[8] Filsafat politik, di pihak lain, juga menaruh perhatian
terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat
politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap
doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan
sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki
justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek
politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata
melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik
diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap
doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat
dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan
rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan
bentuk pada teori atau doktrin itu.
Pada
tempatnyalah sekarang memberikan gambaran tentang sejumlah perkembangan filsafat
politik. Pertama, ada perbedaan yang signifikan dalam hal perhatian filsafat
politik pada masa lalu (sekitar duapuluh lima tahun yang lalu) dengan perhatian
filsafat politik dewasa ini di sebagian negara Barat. Buku-buku teks filsafat
politik kontemporer umumnya memusatkan perhatian pada tema yang berbeda dengan
perhatian studi filsafat politik di masa lalu, dan sejumlah isu yang dulu
pernah dianggap penting seperti tokoh-tokoh sejarah[9], analisis konsep kekuasaan, kedaulatan negara dan
hakikat hukum tidak lagi mendapat porsi pembahasan yang ekstentif (cf. Kymlicka,
1990; Brown, 1996; Murray, 1953). Hal ini kemungkinan besar juga mencerminkan
perubahan dan orientasi wawasan politik di dunia internasional dan dalam negeri
di banyak negara dewasa ini. Satu implikasi yang penting adalah bahwa anggapan tentang
prinsip politik yang kerap menjadi haluan politik seseorang, kelompok
masyarakat atau negara dapat dibedakan dengan cara menggambarkannya seolah
menyerupai garis tunggal yang membentang dari kiri ke kanan sudah mulai
diabaikan (Kymlicka, 1990: 1-4). Sering digambarkan bahwa mereka yang ada di
kiri dikategorikan sebagai penganut sosialisme dan karena itu mempercayai
pentingnya persamaan (equality) dan yang di kanan dikategorikan sebagai
penganut kapitalisme dan karena itu mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang menganut campuran antara
kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan kapitalisme negara
kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya
realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan
tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara
ketiga titik itu dan banyak orang menerima bagian yang berbeda dari berbagai
teori yang berbeda. Jelas bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai sebuah
garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai. Munculnya
aliran teori seperti feminisme atau komunitarianisme, misalnya, dapat menjadi
petunjuk yang menjelaskan kesalahan menyederhanakan kompleksitas kehidupan
politik. Maka, mahasiswa filsafat politik memang ditantang untuk lebih kritis
dalam melihat berbagai prinsip atau haluan politik yang dianut seseorang,
sekelompok masyarakat atau sebuah negara.
Kedua, studi
filsafat politik kontemporer juga menunjukkan implikasi lebih jauh dari penyederhanaan
garis politik antara kiri dan kanan. Misalnya, jika seseorang mendukung
persamaan (equality) maka orang itu pasti dianggap menganut sosialisme,
atau jika seseorang mendukung kebebasan, maka orang itu pasti menganut
kapitalisme. Pandangan semacam ini muncul karena anggapan bahwa tiap-tiap teori
atau prinsip politik selalu memiliki landasan nilai (foundational values)
yang bertentangan, saling menolak dan tidak dapat dipadukan. Jadi, pandangan
ini mengatakan bahwa karena orang menganut nilai-nilai dasar (fundamental
values) yang berbeda, maka perbedaan prinsip-prinsip dan haluan politik
mereka tidak akan mungkin bisa diselesaikan. Hal ini berarti tidak ada jalan
yang bisa dilakukan seseorang untuk mendukung persamaan diatas kebebasan atau
mendukung kebebasan di atas persamaan, karena masing-masing merupakan landasan
nilai, dan tidak ada nilai atau premis lain yang lebih tinggi tempat keduanya
memungkinkan mencapai titik temu.
Studi
filsafat politik kontemporer membuktikan bahwa landasan nilai dalam kehidupan
politik justru lebih kompleks daripada apa yang semula disangka itu. Dengan
kata lain, landasan nilai utama dalam kehidupan politik mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat, seperti yang terlihat dalam karya filsuf-filsuf kontemporer
seperti John Rawls (kesepakatan kontrak), kaum komunitarian (kebaikan bersama),
kaum utilitarian (kemanfaatan), Ronarld Dworkin (hak) atau kaum Feminisme
(androgini). Kenyataan ini menjelaskan bahwa mahasiswa filsafat politik harus
menerima keharusan memadukan berbagai teori yang paling relevan, ketimbang
mengharapkan suatu teori dapat memberikan petunjuk yang komprehensif. Mahasiswa
bisa mencoba memeriksa kebenaran pandangan tentang apakah landasan nilai yang
lebih dalam yang dapat menyelesaikan pertentangan di antara berbagai teori yang
ada bisa ditemukan, seperti yang misalnya telah dimulai oleh Ronald Dworkin.[10]
METODE DAN
PENDEKATAN DALAM STUDI FILSAFAT POLITIK
Sejauh ini
kita telah memahami bahwa filsafat politik bukanlah disiplin akademik yang
berdiri sendiri.[11]
Pertama, sebagai cabang dari filsafat praktis, filsafat politik berhubungan
erat dengan etika atau filsafat moral, yaitu studi yang menangani pertanyaan
tentang apa yang baik dan yang buruk dan mengapa sesuatu dianggap baik atau
buruk. Tetapi, berbeda dengan studi etika pada umumnya, perhatian filsafat
politik diarahkan pada sisi sosial dari pertanyaan-pertanyaan etis. Kedua,
sebagai studi normatif, filsafat politik tidak bisa mengabaikan begitu saja
pertanyaan faktual; pertanyaan faktual tentang perilaku manusia adalah sama
relevannya dengan isu-isu normatif, karena ”studying how things are helps to
explain how things can be, and studying how they can be is indispensable for
assessing how they ought to be” (Wolf, 2006: 3).
Maka, dari
segi metode, pertanyaannya adalah bagaimana cara menjawab pertanyaan normatif:
bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan tentang sesuatu seharusnya? Berbeda
dengan pertanyaan deskripsi yang mudah dibayangkan dalam menjawabnya, yaitu
dengan cara mencari dan melihat fenomenanya, pertanyaan normatif hanya bisa
didekati dengan cara mempelajari dan masuk secara langsung kedalam pemikiran
para filsuf atau ahli filsafat politik yang telah bekerja dan memberi
kontribusi pada perkembangan filsafat politik. Karena itu, memilih di antara
bahan yang relevan dan pantas dipelajari dan memperhatikan bagaimana mereka
yang telah mengerjakan filsafat politik bernalar tentang politik akan
menentukan cara kita menguasai metode dalam studi filsafat politik: kita harus
memperhatikan bagaimana para filsuf politik membedakan konsep satu dengan
konsep yang lain, mengamati apakah proposisi satu bertentangan dengan proposisi
yang lain, atau apakah proposisi itu konsisten secara logis dan mereka mencoba
membuktikan bahwa tesis-tesis yang sangat mengejutkan dapat diajukan
berdasarkan tesis yang sudah dianggap jelas.
Masih ada banyak
tantangan untuk membuat metode filsafat politik menjadi lebih jelas dan
sistematis dan dapat membantu mengembangkannya. Seperti halnya ilmu politik,
ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, yang penemuannya
harus dipertimbangkan oleh studi filsafat politik, ada berbagai pendekatan yang
mungkin dapat dikembangkan dalam studi filsafat politik.
Pendekatan Sebagian
vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic Approach)
Salah satu
problematik yang muncul dalam studi filsafat politik adalah apakah filsafat
politik harus dikembangkan melalui pendekatan sebagian atau pendekatan
sistematis. Sejumlah buku filsafat politik kontemporer telah disusun dengan
orientasi pada sejumlah konsep, seperti legitimasi, otoritas, otonomi,
demokrasi, pemilikan, hak-hak asasi, kebebasan dan persamaan.[12]
Mengembangkan pembahasan atas konsep-konsep tersebut barangkali bermanfaat
untuk membantu memahami hakikat kekuasaan negara, dan dapat memberikan
inspirasi untuk membangkitkan pemikiran alternatif tentang bentuk ideal dari
organisasi masyarakat manusia. Namun, benarkah analisis konseptual merupakan
pendekatan yang paling sesuai dalam studi filsafat politik dan harus
dikembangkan oleh para mahasiswa kita?
Berbeda
dengan apa yang terjadi sekitar duapuluh lima tahun yang lalu, tekanan studi
filsafat politik di negara-negara Barat telah mengalami pergeseran, yaitu dari
sekadar memberikan analisis konseptual terhadap makna kekuasaan, kedaulatan
negara atau hakikat hukum kepada gagasan yang lebih ideal tentang keadilan,
kebebasan dan komunitas untuk memberikan evaluasi bagi kebijaksanaan dan
institusi politik (Kymlicka 1990, 1). Lagipula, dalam kenyataannya, aktivitas
para filsuf selama ini memang tidak hanya terbatas pada analisis
konseptual, yaitu mengembangkan kejelasan makna atas berbagai konsep
dasar, tetapi juga mencakup aktivitas spekulatif, aktivitas deskriptif
atau fenomenologi dan aktivitas normatif atau evaluasi.[13]
Alan Brown juga mengatakan bahwa analisis konseptual tidak dapat menuntaskan
filsafat politik; analisis konseptual
hanya merupakan bentuk penerapan suatu pendekatan dari sekian banyak konsep
kefilsafatan, sesuatu yang tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam
menyelesaikan tugas yang harus dijalankan oleh studi filsafat politik.
Karena itu,
menurut Brown (1986: 15), analisis konseptual hanya merupakan salah satu bentuk
pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik. Menurut Brown, disamping
analisis konseptual (project of conceptual analysis), pendekatan
sebagian dalam studi filsafat politik juga dapat mengambil bentuk berupa
pencarian konsep-konsep normatif (project of normative inquiry). Dalam
pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang demokrasi, misalnya,
dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat diterima sebagai sesuatu
yang bernilai atau tidak bernilai.
Berbeda
dengan pendekatan sebagian, pendekatan sistematis berusaha "mengembangkan
proyek yang sistematis dan bersifat mencakup semua filsafat praktis tentang politik"
(Brown, 1986, p. 15). Dengan ini, pertama, filsafat politik melangkah jauh dari
sekadar "proyek analisis konseptual", yaitu memberikan perhatian
terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan politik dengan memberikan petunjuk
tentang prinsip keadilan atau bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan
sistematis, filsafat politik juga dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam
pencarian secara sebagian atas premis nilai yang bersifat normatif (piecemal
normative inquire). Kajian tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal
jika dilihat hanya sebagai nilai (untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha
mengkaitkannya dengan keseluruhan nilai yang mendasari sebuah masyarakat.
Begitu juga, jika seseorang berpendapat, misalnya, bahwa kebebasan (freedom)
atau persamaan (equality) merupakan nilai-nilai yang penting, harus
dilihat penting dalam arti apa dan dibandingkan dengan apa. Secara demikian,
pendekatan sistematis menyarankan bahwa filsafat politik perlu terlibat dalam
totalitas citra politik, yaitu dengan terus menerus menemukan konsistensi
pandangan politik satu sama lain, dan karena itu mengharuskan bentuk kajian
yang bersifat perbandingan (interdisciplinary) atau memperhatikan antar
hubungan dari berbagai pandangan politik. Dengan pendekatan sistematis,
filsafat politik berarti melihat “kebenaran sebagai terletak pada keseluruhan”.
Asumsinya adalah politik mengatur keseluruhan bidang kehidupan dan banyak hal
yang merupakan perhatian utama individu ternyata juga harus mengalah dan diatur
oleh kehidupan politik. Pendekatan sistematis, pendek kata akan mendorong
filsafat politik terlibat untuk menangani baik aspek teoritis[14]
maupun aspek praktis dari pokok masalahnya.
Aspek
teoritis dari pokok masalah filsafat politik akan mencakup pembahasan sebagai
berikut (Brown 1986, p. ),
- logika atau analisa yang difokuskan pada makna atau
fungsi konsep-konsep seperti "baik", "benar", dan
"seharusnya". Jadi analisa diarahkan pada apa yang dimaksud jika
suatu masyarakat dikatakan tertib dan baik, misalnya.
- metode, yaitu bagaimana menentukan jenis-jenis
pertimbangan yang dianggap relevan dan dengan cara apa dapat dilakukan
evaluasi atas berbagai pilihan praktis yang saling bersaing; dengan ini
kita harus dapat memberikan alasan bagi argumentasi yang kita dipergunakan
dan bukti-bukti yang kita pilih.
- pertanyaan metafisik yaitu menyangkut pengujian
terhadap pranggapan atas pemikiran-pemikiran dan diskursus praktis, dan
memeriksa konsistensinya atau jika tidak dengan membandingkan atas dasar
penemuan ilmu pengetahuan faktual atau agama.
Sedangkan
aspek praktis dari pokok masalah filsafat politik menunjuk pada penerapan
(aplikasi) yaitu pengambilan keputusan atas suatu pilihan atau kebijakan.
Masalah yang diperhatikan adalah "tindakan-tindakan atau bentuk-bentuk
organisasi apa yang baik dan tepat". Disini mengambil keputusan tentang
bagaimana menjawab pertanyaan tidak sama dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan, karena hal ini akan menyangkut penerapan sebuah metode dan penggunaan
sebuah teori dalam kehidupan praktis.
Meskipun demikian, sejumlah pemikir lain seperti Virginia
Held mengajukan gagasan yang berbeda, mengatakan bahwa “adanya beragam teori
terpisah bagi beragam konteks terpisah layak kita terima“.[15]
Held dalam konteks ini memang tidak secara khusus membicarakan pendekatan
filsafat politik, tetapi berbicara tentang pendekatan studi etika atau filsafat
moral. Namun, pandangannya menarik dipertimbangkan mengingat, seperti yang
sudah diuraikan, filsafat politik berhubungan erat dengan studi tentang etika
atau filsafat moral. Salah satu argumentasi Held adalah bahwa usaha mencari
sebuah teori moral ilmiah tunggal yang benar untuk menjelaskan segala sesuatu
yang terjadi dalam bidang apa saja, merupakan suatu langkah keliru yang sangat
serius yang telah dilakukan oleh para ahli teori moral di masa lalu. Dengan ini
ia mengkritik pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan antara lain oleh John
Rawls (A Theory of Justice), Imannuel Kant (Imperative Catagories)
dan juga penganut utilitarianisme (utility), yang dinilainya sebagai
telah mengajukan teori moral yang bersifat ideal. Menurut Held, semua pandangan
itu menyajikan teori tentang apa keadilan, hak moral dan kepentingan umum dalam
sebuah masyarakat yang ideal, tetapi dalam kenyataannya masyarakat yang kita
hadapi saat ini masih sangat tidak ideal, kita bahkan belum memiliki “komunitas
manusia bebas“ seperti yang dimaksudkan oleh berbagai teori ideal. Sebaliknya,
yang kita miliki hanya masyarakat aktual, yaitu masyarakat yang merupakan
produk dari peperangan, imperialisme, eksploitasi, rasisme, patriarki, dan pemaksaan kehendak oleh yang kuat kepada
yang dikuasi. Maka, Held menganjurkan agar kita berpegang pada teori moral yang
berhubungan dengan konteks spesifik, yaitu dengan situasi aktual kita. Berbeda
dengan pendekatan sistematis, yang berusaha mengembangkan teori moralitas
politik yang tunggal dan ideal, Held menyarankan dikembangkannya teori
moralitas bagi beragam konteks. Pendekatan semacam ini disebut Held sebagai
metode moralitas eksperimental.
Saya
berpendapat, pendekatan sebagian dan pendekatan sistematis menyajikan teknik
yang berbeda dan memberikan kemungkinan hasil yang berbeda dalam usaha kita
mengembangkan filsafat politik, namun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan
pendekatan yang satu demi pendekatan yang lain. Pendekatan sebagian dapat
mendorong munculnya penemuan yang lebih mendalam dan kritis mengenai konsep
atau isu penting tertentu dalam filsafat politik dan akan membantu menjelaskan
relevansinya dengan situasi aktual yang kita hadapi, sementara pendekatan
sistematis memungkinkan lahirnya sintesis yang kreatif dari ide-ide besar dalam
teori filsafat politik. Hal yang lain adalah baik pendekatan sebagian maupun
pendekatan sistematis memerlukan kemampuan berspekulasi, berimaginasi,
sekaligus berdialog dengan ide-ide besar dalam sejarah pemikiran manusia dan
untuk pada akhirnya menghubungkannya dengan realitas kehidupan aktual.
B. Pendekatan
Pemecahan Masalah vs Pendekatan Kritis
(Problem Solving vs Critical Approach)
Pembedaan lain yang barangkali cukup penting dan dapat
membantu dalam memahami berbagai pandangan dan strategi dalam pendekatan studi
filsafat politik adalah pendekatan pemecahan masalah (problem solving
approach) dan pendekatan kritis (critical approach) seperti yang
diajukan oleh Robert Cox[16],
seorang ilmuwan terkemuka dalam studi hubungan internasional. Menurut Cox,
pendekatan pemecahan masalah adalah,
“menerima dunia seperti apa adanya, dengan keseluruhan
institusi dan hubungan kekuasaan dan sosial yang berlaku, tempat semuanya diorganisasi,
sebagai kerangka kerja pasti untuk menentukan tindakan. Tujuan umum pemecahan
masalah adalah untuk menjadikan berbagai institusi dan hubungan itu bekerja
secara lancar, dengan menangani secara efektif sumber masalah tertentu“
Maka,
pendekatan pemecahan masalah bukan saja menerima tetapi juga membantu
memperkuat paradigma pandangan politik yang dominan. Dengan pendekatan ini,
sistem ekonomi yang didasarkan pada paham kapitalisme atau sosialisme,
misalnya, akan diterima sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri tanpa
cacat ; berbagai masalah yang timbul didalamnya hanya dilihat sebagai
masalah teknis atau managerial semata sehingga memungkinkan sistem itu bekerja
secara lebih efektif dan efisien. Begitu juga, sebuah sistem dari
kepemerintahan internasional (international governance) yang
berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai “kenyataan“ juga
akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk mengharapkan
apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
Dalam kajian
ideologi berkembang apa yang dinamakan konsepsi netral (neutral conception)
tentang ideologi, yaitu ketika ideologi dikembangkan oleh berbagai penulis
dalam pengertian yang murni deskriptif ; orang berbicara tentang sistem
pemikiran, tentang sistem kepercayaan atau tentang praktek simbolis untuk
mempertahankan proyek politik atau tindakan sosial.[17]
Di Indonesia, karya kebanyakan ahli ideologi Pancasila dalam masa Orde Baru
mungkin memberikan contoh yang jelas mengenai bagaimana pendekatan semacam ini
dikembangkan.[18]
Tentu saja pendekatan semacam itu tidak sesuai dengan
cita rasa filsafat politik. Sifat dasar filsafat politik adalah kritis, dan teori kritis, sebagaimana dijelaskan
Robert Cox adalah,
berdiri terpisah dari tata dunia yang berlaku…(teori
kritis) tidak menerima begitu saja berbagai institusi dan hubungan sosial dan
kekuasaan, tetapi mempertanyakannya dengan memusatkan perhatian pada
asal-usulnya, pada bagaimana, dan apakah tata dunia itu berada pada proses
perubahan. Teori kritis diarahkan untuk menilai setiap kerangka kerja bagi
tindakan atau masalah yang oleh teori pemecahan masalah diambil sebagai
ukurannya.
Pendekatan kritis, menurut Cox,
juga ”diarahkan pada kompleksitas sosial dan politik sebagai keseluruhan
daripada pada bagian yang terpisah” (1986, p. 208). Teori yang berkembang
dalam filsafat politik karena itu juga mencerminkan kecenderungan untuk
menyajikan formula yang dapat dipergunakan dalam menjawab kompleksitas sosial,
politik dan ekonomi sebagai keseluruhan, dan bukan menangani bagian tertentu
dari isu sosial, politik atau ekonomi. Teori-teori filsafat politik yang
berkembang baik yang mewakili kubu utilitarianisme, persamaan liberal,
libertarianisme, marxisme hingga feminisme pada awalnya merupakan teori yang
radikal karena menentang kerangka berpikir
dan perilaku politik yang mapan, meskipun pada perkembangan selanjutnya
teori-teori itu bisa menjadi ortodoxi dan dogma. Ketika mahasiswa menerima
paradigma berpikir atau kumpulan teori tertentu dalam aliran filsafat politik
dan kemudian mempertahankan aliran teori itu atau bekerja didalamnya untuk memberi
pembenaran terhadap tata sosial politik tertentu, maka mahasiswa telah menjauh
dari pendekatan kritis ini dan mulai memeluk pendekatan pemecahan masalah.
C. Keterikatan
(Commitment) Vs Pengambilan Jarak (Detachment) dalam Filsafat Politik
Mahasiswa yang sedang mengerjakan filsafat politik sering
terdorong untuk menunjukkan keterikatannya terhadap sebuah teori dan berusaha
menerapkannya untuk menjawab atau menjelaskan berbagai masalah politik, ekonomi
atau sosial yang menarik perhatiannya. Kecenderungan ini muncul karena
pandangan bahwa dalam mengerjakan filsafat politik mahasiswa harus menunjukkan
komitmen secara politik. Dalam ilmu
politik, termasuk filsafat politik, kecenderungan semacam ini sering dianggap
negatif karena mengancam studi filsafat politik yang sungguh-sungguh (genuine),
dan mahasiswa perlu disarankan untuk selalu mengambil jarak terhadap seluruh
pandangan atau teori dalam filsafat politik.[19]
Ini berarti, mahasiswa harus dapat melepaskan diri dari hegemoni sebuah teori,
dan mencoba mencapai objektifitas
politik sebagai tujuan dalam mengembangkan filsafat politik, jika bukan sebagai
sesuatu yang memang hendak dicapai.
Memang tidak selalu mudah memisahkan preferensi pribadi
terhadap sebuah pandangan atau teori politik. Apalagi, apa yang dinamakan
”bebas nilai” dalam filsafat politik dan juga dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan sering dianggap sebagai ilusi. Mengambil jarak, karena itu, bukan berarti
mengesampingkan keyakinan pribadi atau nilai yang dianut, tetapi menyadari asumsi
nilai sebuah teori atau aliran filsafat politik, yaitu dengan mengungkapkan
secara terbuka asumsi nilai itu dalam mengembangkan argumen menurut sebuah teori
atau aliran filsafat politik. Ini adalah ungkapan lain tentang perlunya
bersikap kritis terhadap semua aliran teori, yaitu dengan memperlakukan nilai
yang mendasari setiap teori itu sebagai sesuatu yang juga harus diteliti.
Karena mempelajari filsafat politik berarti juga memahami
dan memberikan penilaian terhadap berbagai pemikiran para filsuf politik, maka
ini akan berhasil dilakukan jika orang memperhatikan konteks umum dari
pemikiran filsuf politik itu dan memperhatikan masalah yang dicoba
dipecahkanya. Dengan kata lain, adalah penting menghayati kondisi ketika para
filsuf politik itu menuliskan karyanya dan menghayati tujuan mereka dalam
menuliskan pemikirannya. Dalam situasi nyata, mahasiswa memang perlu
mengungkapkan “apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh John Stuart Mill“, misalnya, tetapi dalam
melakukan hal ini, mahasiswa juga perlu mempertimbangan interpretasi yang
berbeda dari sumber-sumber lain yang penting yang berhubungan dengan pandangan
utama John Stuart Mill.
Pilihan antara keterikatan (commitment) dan
pengambilan jarak (detachment) hanya menunjuk pada perilaku atau sikap
ilmuwan dalam menangani pokok masalah filsafat politik dan bukan pada keyakinan
filsofis yang dianut. Pendekatan dengan mengambil jarak barangkali dapat
dilakukan baik oleh mereka yang menganut paham relativisme maupun paham absolutisme
dalam ilmu pengetahuan.[20]
Orang tetap dapat menjadi absolutis atau relativis meskipun ia menunjukkan
keterikatan tertentu atau ia mengambil jarak dengan sebuah teori atau aliran
dalam rangka menjelaskan dan menangani masalah filsafat politik.
Memang tidak dapat dikatakan bahwa pendekatan keterikatan
selalu buruk dan tidak sesuai dengan cita rasa studi filsafat politik, sebab
kadangkala terjadi justru ketika seorang mahasiswa menunjukkan komitmennya terhadap
konflik politik tertentu dalam kehidupan politik maka ia berhasil mengungkapkan
kedalaman sisi lain dari karakter fenomena politik, dimana jika dilakukan
dengan mengambil jarak, hal semacam itu kecil kemungkinan akan diperoleh. Akan
tetapi, komitmen secara politik dapat membahayakan studi filsafat politik jika
ini kemudian meniadakan dorongan untuk mempertanyakan premis-premis nilai yang
dianut oleh mahasiswa sendiri. Akibatnya karya-karya filsafat politik hanya
menjadi alat propaganda dan polemik dan bukan sebagai sarana untuk menguji
secara kritis setiap pandangan intelektual dengan suatu kerangka moral dan
politik yang lebih luas.
CATATAN AKHIR
Peranan apa
yang dapat dimainkan oleh ilmuwan, termasuk mahasiswa, yang menekuni filsafat
politik baik dalam kehidupan akademik maupun dalam kehidupan masyarakat? Saya
telah mencoba menunjukkan bahwa pokok masalah filsafat berhubungan dengan
bidang yang sangat luas, ia berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti
etika, teori politik, ilmu politik, ilmu sosial dan ilmu ekonomi, maupun dengan
realitas faktual dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi itu. Dengan demikian,
filsafat politik mencoba menangani susunan organisasi masyarakat atau bentuk
kehidupan bersama yang baik, bebas dan adil. Pokok perhatian semacam ini
menyarankan bahwa mahasiswa harus ditantang untuk selalu berpikir alternatif
dan imaginatif tentang bentuk dan susunan organisasi kehidupan masyarakat bersama.
Disamping itu, meskipun mahasiswa filsafat politik juga harus mempertimbangkan
berbagai penemuan aktual dari disiplin ilmu yang lain, filsafat politik tidak
dapat diarahkan untuk menangani fakta atau peristiwa politik politik yang
berlangsung sehari-hari.
Dalam
menekuni filsafat politik, mahasiswa dianjurkan untuk memberikan perhatian
terhadap berbagai topik yang dimunculkan, misalnya, oleh media massa. Namun,
hal itu tidak berarti bahwa mereka harus tenggelam dalam kesibukkan memberikan
kritik terhadap berbagai peristiwa yang terjadi sehari-hari. Perhatian filsafat
politik, sebaliknya, harus diarahkan pada tema sosial, politik dan ekonomi yang
lebih mendasar dan bukan kejadian atau peristiwa sehari-hari. Sebab, jika
mahasiswa selalu memberi komentar terhadap kejadian yang muncul kapanpun dan
dimanapun, filsafat politik sebagai disiplin ilmu akan dengan sendirinya
lenyap. Sebaliknya mahasiswa harus juga mempertimbangkan berbagai temuan yang
dihasilkan oleh studi ilmu politik dan teori politik (dan sebenarnya juga oleh
ilmu ekonomi, terutama teori-teori ekonomi politik dan teori sosial pada
umumnya) dalam usaha mereka berfilsafat. Belajar filsafat politik adalah
memupuk kemampuan untuk mengembangkan argumen yang menolak atau membenarkan
institusi sosial, politik dan ekonomi, baik yang bersifat nyata (real)
maupun yang dibayangkan (imagined). Jelas bahwa studi filsafat politik
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dunia empiris dan interpretasi
kebudayaan tertentu, dan harus memanfaatkan semua perkembangan itu untuk
menatanya kembali dengan membentuk saling hubungan antar disiplin ilmu,
mempertimbangkan konteks yang lebih umum dan menyajikannya dalam bentuk yang
sistematis.
Karena itu,
peran mahasiswa yang menekuni filsafat politik adalah untuk mengembangkan
kedalaman teori dan untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang bentuk yang
lebih ideal dari organisasi masyarakat atau kehidupan bersama. Disini mahasiswa
hendaknya didorong untuk tidak hanya mengulang atau menelan begitu saja
berbagai pendirian dan teori tentang bentuk kehidupan masyarakat, nilai, arah dan
tujuannya, apalagi hanya memberikan komentar instan dan terbatas terhadap
kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Sifat studi filsafat politik adalah
kritis, dan meskipun mahasiswa dapat mendekati masalahnya baik melalui
pendekatan sebagian maupun melalui pendekatan sistematis, mahasiswa juga perlu
mengembangkan sikap yang lebih mengambil jarak, yaitu mengembangkan skeptisisme
yang keras dan tidak diskriminatif terhadap teori-teori atau pendirian politik
dalam usaha mereka menangani pokok masalah filsafat politik.
Sebagian
tambahan, keahlian dalam filsafat politik juga tidak sepantasnya hanya
diabdikan kepada pemerintah atau agen kelompok politik, atau partai politik,
apalagi dimaksudkan sebagai pelayan atau juru bicara mereka. Sebagaimana
dikemukakan Hedley Bull bahwa karena tanggungjawab kaum akademisi adalah untuk
“membicarakan kebenaran dan menguak kebohongan“ (to speak the truth and
expose lies)[21], maka
mereka perlu memahami pola hubungan yang ideal antara tugas dirinya dengan
pemerintah dan agen kelompok politik. Hubungan yang terlalu jauh akan
mengurangi peluang yang diperlukan dalam memberikan saling masukan oleh karena
bagaimanapun pertukaran gagasan antara kaum akademisi, termasuk ahli filsafat
politik, dengan pemerintah dan berbagai agen kelompok politik adalah penting.
Hubungan yang terlalu dekat, sebaliknya, juga kurang baik, karena seperti dalam
kasus perkembangan ideologi Pancasila selama masa Orde Baru di Indonesia,
ketika institusi pendidikan menjadi alat pemerintah untuk menangani program
penataran P4 seperti BP7, maka yang dihasilkan adalah lingkungan akademis yang
cenderung mengembangkan kesimbukan non akademis. Karena itu, para mahasiswa dan
ahli filsafat politik tetap dapat berhubungan dengan pemerintah atau agen
kelompok politik manapun, namun mereka harus tetap mengambil jarak dengan kekuasaan
pemerintah, sebab hanya dengan inilah dapat diharapkan munculnya sumbangan
intelektual yang lebih jelas dan hanya dengan ini pula agaknya integritas
filsafat politik sebagai sebuah cabang ilmu filsafat dapat ditegakkan. ***
References
Beck,
Robert N. ed., Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic
Sources of Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967
Bull,
Hedley, “International Relations as an Academic Pursuit”, in Australian
Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
Cahn,
Steven M. Political Philosophy, The Essential Texts, Oxford University
Press, New York, 2005
Cox,
Robert W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond
International Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York,
Columbia University Press, 1986
Brown,
Alan, Modern Political Philosophy. Penguin Books, Middlesex, 1986
Ebenstein,
William, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart &
Company, Inc. New York, 1959
Flew,
Antony, A Dictionary of Philosophy, Pan Books, London, 1981
Goodin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Blackwell, Victoria, 2004
Goddin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), Contemporary Political Philosophy: An
Anthology, Blackwell Publisher Ltd, Oxford, 1997
Held,
Virginia, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Penterjemah Drs. Y.
Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989
King,
J. Charles and James A. McGilvray, Political and Social Philosophy:
Traditional and Contemporary Readings, McGraw-Hill, New York, 1973
Kymlicka,
Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction. Oxford
University Press, Oxford, 1990
Matravers,
Derek and Jon Pike, Debates in Contemporary Political Philosophy An
Anthology, Routledge, London, 2003
McBride,
William L., Social and Political Philosophy, Paragon House, New York,
1994
Murray,
A.R.M., An Introduction to Political Philosophy, Cohen and West, London,
1953
Stewart,
Robert M., Readings in Social and Political Philosophy, Oxford
University Press, New York, 1996.
Thompson,
John B., Studies in the Theory of Ideology, University of California
Press, Berkeley, 1984
Wolf,
Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, Revised Edition,
Oxford University Press, Oxford, 2006
Wolin,
Sheldon S., Politics and Vision, Expanded Edition. New Jersey, Princeton
University Press, 2004
Nozick,
Robert, Anarchy, State and Utopia, Basic Books, New York, 1974
[1] Mahasiswa sering bertanya apakah perbedaan antara
filsafat sosial dan filsafat politik. Dalam diskusi ini istilah filsafat
politik, filsafat sosial, atau filsafat sosial politik akan dipergunakan secara
bergantian dan menunjuk arti yang sama. Buku Robert N. Beck menyinggung sedikit
masalah ini dalam catatan kaki no. 1 dalam bukunya: Lihat Robert N. Beck ed., Perspective
in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social Thought (Holt,
Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 1; William McBride juga
mengatakan bahwa membedakan filsafat politik dengan filsafat sosial sebenarnya
tidak perlu dan merupakan usaha yang terlalu di buat-buat, lihat McBride,
William L., Social and Political Philosophy (Paragon House, New York)
1994, p. 2
[2] Lihat, Alan
Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986, p.
11
[3] Dalam kata-kata
Alan Brown: “It was obvious that there
was a variety of possible ends, values or ideals which were relevant to how a
man ought to live and act and how a community ought to be organized. It was
less obvious, on reflection, which of these values, if any, was correct” (ibid.)
[4] Dua pertanyaan
ini menjadi perdebatan penting dalam studi filsafat politik, yaitu antara paham
teoleogi dan deontologi. Pertanyaannya adalah mana yang lebih utama, apakah
prinsip kebaikan harus mengalah pada prinsip ketepatan, ataukah prinsip
ketetapan harus diletakkan di bawah prinsip kebaikan. Sebuah buku yang banyak
didiskusikan yang mengembangkan filsafat politik dengan pendekatan deontologis,
jadi berbeda dengan tradisi utilitarianism, atau liberalisme yang dikembangkan
oleh Immanuel Kant, dan John Stuart Mill dapat dilihat, misalnya, John Rawls, Political
Liberalism, With A New Introduction and the Reply to Habermas (Columbia
University Press, New York) 1993. Untuk diskusi mengenai teori kebaikan dan
teori kebenaran lihat misalnya Richard B. Brand, Theory of the Good and The
Right (Oxford University Press, Oxford), 1979, lihat juga Pettit Philip,
“The Contribution of Analytical Philosophy”, in A Companion to Contemporary
Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell,
Victoria), 2004.
[5] Uraian ringkas tentang hal ini
lihat Antony Flew, “Political Philosophy, in A Dictionary of Philosophy (Pan Books, London) 1981, pp. 279-281
[6] Dikutip dari Kymlicka, 1990: Lihat
juga Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York)
1974, p. 6
[7] Lihat, Jane Masbridge dan Susan
Moller Okin, “Feminism”, dalam A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. (Blackwell, Victoria),
2004, pp. 269-290
[8] Bandingkan
dengan diskusi tentang Major Ideologies yang mencakup tema-tema khusus
seperti Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan
Socialism dalam Goodin, Robert E.
and Philip Pettit (eds.), Ibid.
[9] Contoh teks
yang memusatkan perhatian pada tokoh lihat, J. Charles King and James A.
McGilvray, Political and Social Philosophy: Traditional and Contemporary
Readings (McGraw-Hill, New York) 1973; Steven M. Cahn, Political
Philosophy, The Essential Texts
(Oxford University Press, New York) 2005
[10] Menurut Dworkin, semua teori
politik sesungguhnya memiliki landasan nilai yang sama yaitu persamaan (equality),
jadi semuanya merupakan teori egalitarian. Dengan teori egalitarian yang
dimaksudkan adalah bukan teori yang mendukung distribusi pendapat secara
merata, tetapi merupakan gagasan untuk memperlakukan orang secara sama.
Misalnya, kaum kiri mempercayai persamaan pendapatan atau kesejahteraan sebagai
prakondisi untuk memperlakukan orang secara sama, dan kaum kanan percaya pada
hak individu yang sama atas pemilikan dan pekerjaan juga merupakan prakondisi
untuk memperlakukan orang secara sama. (Untuk pembahasan tentang masalah ini
lihat Will Kymlicka, 1990, op cit, 4; lihat juga Ronald Dworkin, Taking
Rights Seriously. (Duckworth, London) 1977, p. 179-83; Ronald Dworkin,
Law’s Empire (Harvard University Press, London) 1986, pp. 296-301 ; Ronald
Dworkin, “What is Equality?; Part III: The Place of Liberty”, Iowa Law
Review, 1987, 73/1, pp. 7-8; lihat juga Nagel T., Mortal Questions
(Cambridge University Press, Cambridge), 1979, p. 111)
[11] Buku Robert E.
Goodin dan Philip Pettit antara lain juga mencantumkan diskusi yang mendalam
dari masing-masing kontribusi penulis
yang mewakili berbagai latar belakang disiplin ilmu dalam kaitannya
dengan studi filsafat politik, mencakup filsafat
analitik, filsafat kontinental, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu
politik dan studi hukum. Lihat, A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell, Victoria),
2004
[12] Bandingkan,
silabus kuliah filsafat politik Christopher Bertram, 199l (dalam internet);
lihat pula sejumlah buku filsafat sosial politik dalam bahasa Inggris seperti
Robert E Goddin and Philip Pettit, (eds) Contemporary Political Philosophy:
An Anthology (Blackwell Publisher Ltd, Oxford) 1997; Robert M. Stewart, Readings
in Social and Political Philosophy (Oxford University Press, New York)
1996; lihat juga Derek Matravers and Jon Pike, Debates in Contemporary
Political Philosophy An Anthology (Routledge, London) 2003
[13] Menurut Robert
N. Beck, aktivitas spekulatif, merupakan pengembangan visi yang
komprehensif tentang alam dengan merujuk pada penemuan ilmu pengetahuan lain
termasuk seni tetapi dengan mengatasi disiplin ilmu pengetahuan itu; aktivitas deskriptif atau
fenomenologi adalah mencoba memberikan
deskripsi yang lengkap dan tidak bias tentang pengalaman; dan aktivitas normatif
atau evaluasi adalah dengan mencoba memberikan kritik dengan ukuran-ukuran
untuk memberikan penilaian dan petunjuk terhadap perilaku sosial dan individu.
Sementara, mahasiswa dapat memperlakukan keempat pendekatan itu sebagai bagian
yang saling berhubungan dan membentuk aktivitas kefilsafatan yang inklusif,
masing-masing juga dapat dipilih sebagai aktivitas kefilsafatan yang berdiri
sendiri. Lihat dalam Robert N. Beck, ed.,
Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of
Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 2
[14] Pengertian
teori dalam filsafat politik barangkali dapat didefinisikan sebagai kumpulan
proposisi umum yang dikembangkan mengenai masyarakat politik yang baik, bebas
dan adil
[15] Virginia Held, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial,
Penterjemah Drs. Y. Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989, p. 4
[16] Cox, Robert
W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond International
Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York,
Columbia University Press, 1986
[17] Untuk uraian
mengenai hal ini lihat John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology,
University of California Press, Berkeley, 1984, p. 4
[18] Namun,
tulisan-tulisan tentang ideologi Pancasila yang menggunakan pendekatan
pemecahan masalah tidak hanya ditemui dalam masa Orde Baru, meskipun mungkin
era orde Baru Indonesia memberikan lahan yang subur untuk perkembangan tulisan
tentang ideologi Pancasila dengan pendekatan pemecahan masalah dan
kecenderungan kearah perfeksionis.
[19] Pendapat Hedley
Bull, seorang pakar studi hubungan Internasional dalam “International Relations as an Academic
Pursuit”, Australian Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
[20] Absolutisme
pada intinya adalah paham yang mempercayai ada realitas absolut yaitu realitas
yang berdiri sendiri terlepas dari pengetahuan dan pengalaman manusia. Fungsi
pengetahuan, menurut kaum absolutis adalah merefleksikan realitas objektif
secara pasif yaitu sebagai ‘’benda dalam dirinya sendiri’’ (things in
themselves). Relativisme, sebaliknya, mengatakan hanya nilai yang relatif
yang dapat dikenali oleh pengetahuan manusia, karena manusialah yang membentuk
dunianya sendiri dengan pengetahuan yang ada dalam diri manusia. (lihat dalam
William Ebenstein, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart
& Company, Inc. New York, 1959, p. 6-7)
[21] Bull, op
cit., mengutip pendapat Noam Chomsky
dalam American Power and the New Mandarin, Vintage Books, 1967, p. 325
IMAM AL-MAWARDI DALAM DUNIA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
Politik Islam sebagai
ilmu dan teori atau filsafat, akan melahirkan konsep dan tatanan aplikabel dan
menguntungkan bagi umat secara keseluruhan. Pendapat umum yang menyatakan bahwa
“ijtihad politik” tidak diperlukan lagi, karena praktiknya telah ada : bahwa
perilaku politik dan tatanegara serta pemerintahan Islam sudah pernah
dijalankan oleh generasi terdahulu, sejak masa khilafah Abbasiyah. Praktik ini
dianggap telah mapan dan sudah islami. Kalaupun didapati penyelewengan dari
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mereka jarang sekali melakukan atau redefenisi
terhadap praktik tersebut. Juga adanya dominasi dan hegemoni intelektual Barat.
Kepemimpinan intelektual Barat menjamah di segala bidang pemikiran ke-islaman,
dan menginterpretasikan ajaran dan dasar politik Islam, namun bersamaan dengan
itu mereka juga menutup interpretasi lain yang dilakukan oleh anak-anak Islam
sendiri.
Dengan kenyataan inilah,
dengan penuh kesadaran, kepatuhan dan ketulusan kepada Islam, harus diupayakan
Ijtihad baru dalam bidang politik dan tatanegara untuk menyelesaikan atau
setidak-tidaknya mengurangi problem-problem politik dan ketatanegaraan dalam
Islam. Salah satu caranya dengan redefenisi dan refungsionalisasi
lembaga-lembaga politik yang disarankan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi. Dan pada gilirannya melaksanakannya secara total dan konsekuen. Namun
tidak biasa dilakukan secara jumping langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah, harus
melewati dulu teori-teori politik dan praktik Islam yang pernah ada dalam
sejarah Islam. Salah satu pemikiran teori politik dan praktis yang telah ada
adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi (974-1059 M). Seorang Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan
Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
pemikiran keagamaan. Juga merupakan tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan
peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah, Tokoh yang
pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, yang menjadi
penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Ia
hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422 H) dan
Al-Qa’imu Billah (422-467 H). Untuk itu dalam kesempatan ini, kita akan mencoba
untuk menggali tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Mawardi, khususnya
sumbangannya terhadap dunia politik.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka
ada beberapa hal yang mungkin dapat dijabarkan sebagai jawaban dari informasi
yang telah diberikan di atas, adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana perjalanan hidup Imam Al-Mawardi ?
2.
Karya apa saja yang telah dihasilkan oleh Imam
Al-Mawardi?
3.
Bagaimana pandangan Imam Al-Mawardi terhadap dunia
politik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Al-Mawardi
Menurut catatan sejarah Imam Al-Mawardi dilahirkan di Bashroh tahun 364 H,
wafat di Baghdad pada tahun 450 H. Wafat pada 1058 M, dalam usia 83 tahun. Nama
lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Habib Al-Basry. Dalam
dunia pendidikan, pada awalnya Al-Mawardi menempuh pendidikan dinegeri
kelahirannya sendiri, yaitu Bashroh. Di kota tersebut Al-Mawardi sempat mempelajari
hadits dari beberapa ulama terkenal seperti :
a.
Al-Hasan Ibnu Ali
Ibnu Muhammad Ibn Al-Jabaly,
b.
Abu Khalifah
Al-Jumhy,
c.
Muhammad Ibn
‘Adiy Ibnu Zuhar Al-Marzy,
d.
Muhammad Ibnu
Al-Ma’aly Al-Azdy
e.
Ja’far bin
Muhammad Ibn Al-Fadl Al-Baghdadi.
Menurut pengakuan muridnya, Ahmad Ibn Ali Al-Khatib, bahwa dalam bidang
Al-Hadits, Al-Mawardi termasuk tsiqot. Selain mendalami bidang Al-Hadits,
Al-Mawardi juga mendalami bidang fiqh pada syekh Abu Al-Hamid Al-Isfarayani,
sehingga ia tampil salah seorang ahli fiqh terkemuka dari madzhab syafi’i.
Keahlian Al-Mawardi selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu,
filsafat dan ilmu sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia
mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam,
Al-Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim dibeberapa kota,
seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad.2 Dalam hubungan ini Al-Mawardi
pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam
madzhab syafi’I yang dinamai Al-Iqra’. Al-Mawardi mempunyai latar belakang
sosiologis yang berguna untuk menjelaskan pemikiran
siyasah/politik sebagaimana dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-Ahkam as
Sulthoniyah.
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai Qodhi,
Al-Mawardi juga sempat menggunakan sebagian waktunya untuk mengajar selama
beberapa tahun di Bashroh dan di Baghdad. Al-Mawardi juga banyak memanfaatkan
waktunya untuk banyak membuat karya tulis/ilmiah tidak kurang dari 12 judul
yang secara keseluruhan dapat dibagi tiga kelompok pengetahuan, yaitu; Kelompok
pengetahuan agama antara lain; kitab Tafsir yang berjudul An-Nukat wa al’uyun,
al hawi al-kabir, al-iqra’, adab al-qodhi, ‘alam an-nubuwah. Kelompok
pengetahuan politik tentang politik dan ketatanegaraan antara lain; Al-Ahkam as
Sulthoniyah termasuk karya baliau yang sangat populer dikalangan dunia Islam.
Selanjutnya adalah kelompok pengetahuan bidang akhlak yang termasuk kelompok
bidang ini adalah kitab an-Nahwu, al-Ausat wa’alhikam dan al-Bughyah fi adab
ad-Dunnya waddin. Buku Adab ad-Dunya wa ad-Din dinilai sebagai buku yang amat
bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Mesir
sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun.
Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa, sementara
itu ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud
Al-Zarjany pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328.
B. Karya – karya Imam Al- Mawardi
Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam
berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, tafsir, fiqh dan ketatanegeraan.
Salah satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab
al-Duniya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Duniawi dan Agamawi). Selain itu,
karya-karyanya dalam bidang politik adalah :
a.
Al-Ahkamu As-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan Kerjaan/pemerintahan),
b.
Siyasatu
Al-Wazarati wa Siyasatu Al-Maliki (Ketentuan-ketentuan Kewaziran, Politik
Raja),
c.
Tashilu
An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasati Al-Maliki,
d.
Siyasatu
Al-Maliki,
e.
Nashihatu
Al-Muluk.
f.
Karya lainnya
adalah Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum mazhab Syafi’i
oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji
buku ini. Buku ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40
halaman berjudul Al Iqra.
C. Pemikiran Al-Mawardi dalam Dunia Politik
Sebagaimana Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat
bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu
satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Menurutnya kelemahan
manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri
dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecendrungan
alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling
membantu. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara. Dengan
demikian, adanya Negara adalah melalui
kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala Negara
merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan
mengarur dunia dan mengesahkannya.
Pemikiran politik
al-Mawardi (seorang yuris Sunni) di tuangkan secara komplit dalam al-Ahkam
al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan Khlifah Abbasiyah melawan
para penguasan (amir) dinasti Buwayhiyah, yang sangat efektif pengaruhnya dan
untuk menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir. Karya
ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran yang mencerminkan jawaban terhadap
kebutuhan pada masanya atau pemaparan dan realitas politik dan pemerintahan
yang terjadi pada masanya.
Al-Mawardi hidup pada
masa terjadinya pertarungan politik dan teologis yang tajam antara Sunni dan
Syi’ah (baik Imamiyah maupun Ismailiyah). maka tidak meng-herankan apabila
perhatian utama al-Mawardi ditujukan untuk mendukung keyakinan Keagamaan Sunni
dan posisi politik kekhalifahan Abbasiyah yang dia dianggap paling sah
(legitimate) secara agama dan politik. Al-Mawardi ingin mempertahankan kesatuan
politik umat Islam di bawah kepemimpinan politik khalifah Abbasiyah di Bahdad.
Meskipun pikiran-pikirannya lebih merupakan diskursus teologis (ideologis),
Namun beberapa teoritisnya dideduksi dari praktik dan realitas kesejarahan.
Sumbangan penting pemikiran politik al-Mawardi ialah bahwa dia
memberikan gambaran yang detail mengenai lembaga politik dan administrasi
pemerintahan, yang belum diberikan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Pemikir
sebelumnya pada umumnya membahas Imamah dari sudut pandang teologi, sehingga
imamah lebih mencerminkan pembelaan teologis terhadap posisi khalifah. Misalnya
bahwa kekuasaan Khilafah atau Raja adalah mandat dari Allah swt. (Khilafah
memang berarti pengganti atau wakil Allah di muka bumi). Malah bagi al-Ghazali,
kekuasaan kepala Negara adalah suci (muqoddas) –tidak bias diganggu gugat. Namun al-Mawardi menyatakan kekuasaan kepala
Negara tidak sendirinya berasal dari Tuhan, meskipun tetap berada dalam
batasan-batasan kedaulatan legal dan politik Tuhan. Al -mawardi adalah pemikir
politik pertama yang menjelaskan mekanisme kepala Negara dan pemecatannya
dengan baik dengan sendirinya maupun oleh hal-hal eksternal (‘azl dan in’azl). Al-Mawardi
meletakkan fondasi-fondasi Negara Islam dalam arti keharusan adanya lembaga
khilafah, persyaratan-persyaratan calon khilafah, wilayah-wilayah wewenang dan
kekuasaan khilafah, aturan untuk lembaga kementrian (wizaroh), pejabat-pejabat
eksekutif (tanfidz) dan pejabat-pejabat delegatori (watanfidz), birokrasi dan
tata-usaha-administrasi,lembaga peradilan, kepala-kepala daerah/pemerintaha
daera (imaroh ‘ala al-bilad) dan panglima-panglima perang.
Imamah dan Imam (Kepala Negara)
Dalam al-Ahkam
al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun
tentang konsep ummah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan
masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di
diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga
kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan
presiden atau kepala Negara.
Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting
dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam
melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu
li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”.
Menurutnya pelembagaan
imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan
akal. Alasannya firman Tuhan :
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada
orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).
Pemilihan Imam dilakukan
dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam
di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Bagi
al-Mawardi, kekuasaan kepala Negara berasal dari :
1.
Pemilihan oleh
(para) pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl al-hall
wa-‘aqd (semacam MPR) maupun ahl al-Syura atau tim formatur kecil. Cara ini
disebut dengan sistem kontrak sosial, yang melahirkan kewajiban dan hak kepala
negara disatu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di pihak lain. Teori
al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pandangan Syi’ah yang menyatakan bahwa
jabatan imam ditetapkan atas dasar nass (penetapan oleh Tuhan dan Nabi) atau
penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari keluarga ahl al-bayt. Pemilihan
imam dipandang al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fadhu
kifayah), seperti mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim.
Konsep membentuk lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak”
yang melibatkan dua pihak yaitu imam (ahl-imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl
al-ikhtiyar), atau ahl al-hall wa’l-aqd (orang yang mengurai atau
mengikat/lembaga pemilih). Menurutnya pemilih atau lembaga pemilih haruslah
terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa (‘adalah), mempunyai pengetahuan cukup
tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk
jabatannya, serta sehat pikiran dan kebijakan (kearifan), sehingga mampu
memilih kepentingan orang banyak. Disamping itu masalah pemilihan imam, ahl
al-hall wa’l-aqd juga harus mempertimbangkan, kemungkinan calon yang mereka
pilih memperoleh persetujuan sebagian besar rakyat. Setelah ahl ikhtiyar
memperoleh keputusan mengenai calon imam dan ia wajib menerima kedudukan itu,
maka menjadi tugas dan kewajiban rakyat untuk menyampaikan bay’ah dan
mematuhinya. Singkatnya fungsi ahl-akhtiyar adalah mengidentifikasi orang yang
akan di angkat sebagai imam.
2.
Penunjukan kepala
Negara sebelumnya, yang disebut suksesi yang didasarkan pada suksesi Umar bi
al-Khattab dari Abu Bakar). Namun dalam pandangan al-Mawardi kepala Negara
tidak kebal dari pemecatan dan tidak suci. Al-Mawardi membolehkan suksesi tanpa
pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya
atau anak laki-lakinya. Dalam hal ini disebutkannya tiga pendapat, pertama
bahwa seorang imam harus berkonsultasi dengan ahl al-ikhtiyar, meskipun adalah
ayah atau anak laki-lakinya. Kedua, membatasi konsultasi pada kasus dimana sang
calon adalah putra imam. Ketiga, tidak mengharuskan imam untuk berkonsultasi
dalam kasus kedua tersbut.
Menurut
al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi/-memiliki 7 (tujuh)
persyaratan :
a.
Rasa keadilan (‘adalah);
b.
Pengetahuan (‘ilm);
c.
Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
d.
Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan
tugas;
e.
Berwawasan luas;
f.
Punya keberanian untuk melindungi wilayah (otoriti)
Islam dan melaksa-nakan jihad;
g.
Punya garis keturunan dari Quraisy
Syarat terakhir tidak
dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan
penulis-penulis modern, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang
mengutamakan persamaan hak sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau
keturunan. Bahkan nabi Muhammad sendiri oleh diakui kaum Sunni tidak pernah
menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin
umat. Sementara dua penyebab gugurnya kontrak antara imam dan rakyat meskipun
masih menjabat menurut al-Mawardi adalah jika imam berlakuk tidak adil dan jika
imam mengalami cacat fisik. Jika hal itu terjadi maka harus dilakukan pemilihan
imam baru dengan kontrak yang baru pula.
Doktrin al-Asy’ari membolehkan adanya dua imam pada waktu bersamaan
asal wilayah kekuasaanya terpisah jauh. Namun al-Mawardi dengan tegas menolak
pendapat ini, didasarkan pada argument keagamaan, sebab bay’ah hanya bisa
diberikan kepada satu orang pada waktu yang sama. Jika kemudian dilakukan
bay’ah terhadap orang lain, maka kontra yang kedua menjadi batal, sebagaimana
berlaku dalam pernikahan. Ketidaksetujuan ini didasarkan pertimbangan politik,
dimana masa itu Abbasiyah menghadapi tantangan dari dinasti Fatimiyah yang
berkuasa di yang bermadzhab Syi’ah Ismailiyah.
Tugas
dan tanggungjawab seorang imam menurut al-Mawardi
a.
Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan menjadi
konsensus generasi Islam awal;
b.
Melaksanakan hukum (peradilan) dikalangan masyarakat
dan melerai perteng-karan antara dua kelompok yang bertikai;
c.
Memelihata kehidupan perekonomian masyarakat, sehingga
rakyat memiliki rasa aman atas diri dan hartanya;
d.
Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari
penindasan dan perampasan;
e.
Membentengi perbatasan Negara untuk mencegah serbuan
(serangan) musuh;
f.
Melakukan jihad melawan musuh, melalui dakwah agar
mereka menjadi muslim atau ahl al-dhimmah (non muslim yang tinggal di bawah
kekuasaan Islam)
g.
Mengumpulkan fay’ (rampasan dari musuh bukan perang)
dan zakat baik yang wajib maupun menurut syari’ah maupun yang wajib menurut
ijtihad.
h.
Mengatur kekayaan Negara (taqdir al-ataya) yang ada di
bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi
seimbang dan proporsional)
i.
Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan
urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang bias dipercaya;
j.
Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan
pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan uma dan memelihara
agama.
Selama seorang imam mampu
melaksanakan tanggungjawab dan kewa-jibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat
yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap
kepemimpinnya. Tetapi jika tidak, maka sangat memungkin terjadinya pemberhentian
imam dari jabatannya.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa di bawah kekuasaan imam ada empat macam
(lembaga) keluasaan Negara dengan tugas masing-mamsing berbeda, yakni :
a.
Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas
umum/para menteri (wazir), tugas mereka mewakili imam dalam semua urusan tanpa
pengecualian.
b.
Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas khusus/para
pemimpin wilayah (amir).
c.
Lembaga yang kekuasaannya khusus seperti para hakim
kepala (qadi al-qudat), pemimpin tentara, penjaga keamanan wilayah perbatasan,
direktorat dan penanggungjawab pajak dan penanggung jawab zakat. Tugas mereka
masing-masing terbatas pada investigasi khusus dalam semua tugas.
d.
Lembaga yang kekuasaanya khusus dalam tugas-tugas
khusus, seperti hakim daerah, pengawas pajak daerah dan komandan militer
daerah.
Lembaga Kementrian (Wizarat)
Menurut al-Mawardi,
sebutan wizarah bisa berasal dari kata wizr artinya beban, karena dia mengambil
alih peran beban rajanya, atau wazar berarti tempat mengadu, kembali (malja’)
karena raja minta pendapat atau bantuan dari wazir, atau azar berarti punggung,
karena raja memperkuat posisinya dengan wazir seperti badan dengan punggungnya.
Konsep Wizarah
sesungguhnya juga terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan, bahwa Nabi
Musa mempunyai wazir bernama Harun yang membantu menangani urusan-urusannya.
Jika dalam kenabian boleh, maka kaitannya dengan imamah juga boleh. Menurutnya
ada dua macam wizarah (kementrian) yakni :
a.
Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori)
Adalah wazir oleh
imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan
pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun maupun
mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan
(mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga
berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan
wazir, kecuali tiga hal ; 1) penentuan putra mahkota, 2) imam boleh
mengundurkan diri dari jabatan imamah, 3) imam berwenang mencopot orang yang
ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat
yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab
(keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus
perang dan perpajakan.
b.
Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
Adalah wazir yang
hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang
telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara.
Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk
memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak
dilibatkan ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka. Posisinya lebih lemah
dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia
harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia
harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar
ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan
kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini
hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.
Al-Mawardi menyebutkan beberapa
perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni :
1. Wazir tafwidh
bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim;.
2. Wazir tafwidh
bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah)
3. Wazir tafwidh
bisa memimpin tentara dan mengurus perang
4. Wazir tafwidh
basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.
Kempat wewenang ini
tidak dimiliki oleh wazir tanfidz. Karena perbedaan diatas, maka ada pula
perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni :
1. Wazir tafwidh
haruslah seorang yang merdeka
2. Wazir tafwidh
harus memiliki pengetahuan tentang syari’at
3. Wazir tafwidh
harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan
perpajakan.
Diluar itu baik Wazir
tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama.
Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir
tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.
Pemerintahan Daerah (‘imart’ala al-Bilad)
Pemikiran al-Mawardi
tentang pemerintahan daerah (gubernur propinsi, kepala daerah) karena suatu
negara mempunyai wilayah yang sangat luas. Sehingga penguasa daerah dapat
melaksanakana kekuasan penuh didaerahnya, dengan syarat tetap mengakui
kekuasaan tertinggi khalifah dalam hubungannya dengan hukum Islam. Kekuasaanya
dibagi dua yakni umum dan khusus.
Kekuasaan
yang bersifat umum meliputi dua macam, yakni :
1. Imarat al-istikfa’ Yaitu
kekuasaan kepala daerah atas wilayah tertentu dengan (karena) pengangkatan
khalifah yang tugas, wewenang, bertanggungjawabnya dibatasi oleh isi kontrak
dan penugasannya oleh khalifah. Ruang lingkup tugasnya meliputi :
a. Menangani
urusan militer, mengorganisasi dan menggaji militer, kecuali jika khalifah
telah menentukan
b. Menangani
urusan-urusan hukum dan memilih qadi atau hakim
c. Menarik pajak
dan menangani urusanzakat serta menunjuk pagwai-pegawai yang mengurus-urusan
tersebut
d. Melindungi
agama dan menjaga kemurnian ajarannya
e. Menegakkan hak-hak
Tuhan dan hak-hak manusia
f. Memimpin
shalat jamaah dan jum’at atau menunjuk orang untuk mewakilinya;
g. Mengorganisasi
pemberangkatan haji
h. Jika
daerahnya berbatasan dengan Negara musuh, maka amir harus memimpin jihat
melawan musuh dan jika menang membagi barang rampasannya dan mengambil
seperlima untuk mereka yang berhak.
Persyaratan menjadi amir istikfa’ sama dengan persyaratan menjadi Wazir tafwidh. Jika khalifah telah mengangkat amir, maka Wazir tafwidh memiliki hak pengawasan. Namun demikian Wazir tafwidh bias mengangkat amir, tetapi tidak bisa mencopot atau memindahkannya ke daerah lain. Amir bisa mengangkat Wazir tanfidz didaerahnya, tapi tidak boleh mengangkat Wazir tafwidh, kecuali ada perintah dari khalifah.
Persyaratan menjadi amir istikfa’ sama dengan persyaratan menjadi Wazir tafwidh. Jika khalifah telah mengangkat amir, maka Wazir tafwidh memiliki hak pengawasan. Namun demikian Wazir tafwidh bias mengangkat amir, tetapi tidak bisa mencopot atau memindahkannya ke daerah lain. Amir bisa mengangkat Wazir tanfidz didaerahnya, tapi tidak boleh mengangkat Wazir tafwidh, kecuali ada perintah dari khalifah.
2. Imarat al-Istila’ Yaitu kepala daerah memperoleh kekuasaannya
melalui kekuatan keluarga yang berpengaruh disuatu daerah (propinsi), yang ini
biasanya terjadi di daerah yang letaknya jauh. Pada masa merosotnya pengaruh
Abbasiyah akhir abad ke-9 dan 10, bermunculan kekuatan baru di beberapa daerah
yang dipimpin oleh pemimpin militer lokal, yang merebut kekuasaan dengan
kekuatan militer dan menyatakan kekuasaannya secara sepihak sebagai penguasan.
Imarat al-Istila’ juga disebut dengan al-Ghalabah.
Adapun kewajiban dan
tanggung jawab Imarat al-Istila’ yaitu :
1. Mempertahankan
posisi imamah sebagai pengatur agama sehingga syari’at Islam tetap terpelihara
2. Mempertahankan sikap taat (loyal) terhadap
agama
3. Mempertahankan
kesatuan agar umat Islam memiliki kekuatan menghadapi lawan-lawannya;
4. Menjalankan
hukum-hukum agama dan memelihara berlakunya ikatan ikatan keagamaan;
5. Menggunakan
harta (kekayaan) Negara secara benar
6. Menegakkan
peraturan-peaturan secara adil (proporsional)
7. Memelihara
agama dan mengajak rakyat untuk taat kepada Tuhan.
Imarat
al-Istila’diperbolehkan mengangkat Wazir tawfidh, tapi jika dipan-dang tidak
memenuhi persyaratan, maka khalifah sendiri yang mengangkat wazir.
Sedangkan kekuasan yang bersifat khusus, wewenang amir hanya terbatas pada penanganan urusan militer, pengaturan kehidupan rakyat, tetapi tidak berwenang memutuskan hukum dan menarik pajak.
Sedangkan kekuasan yang bersifat khusus, wewenang amir hanya terbatas pada penanganan urusan militer, pengaturan kehidupan rakyat, tetapi tidak berwenang memutuskan hukum dan menarik pajak.
Perbedaan antara Imarat Istikhfa’ dengan Imarat al-Istila’, adalah :
a.
Imarat Istikhfa’ memiliki wewenang lebih terbatas
dibanding Imarat al-Istila’
b.
Imarat Istikhfa’ hanya memiliki wilayah yang ditentukan
oleh khalifah, sedang Imarat al-Istila’ wilayahnya meliputi daerah yang berhasil
taklukan oleh amir;
c.
Imarat al-istila’’ boleh mengangkat wazir, sedang
Imarat Istikhfa’ tidak boleh.
Lembaga Peradilan
1. Peradilan Qada
Lembaga ini dibentuk
untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan berdasarkan hukum syari’at, yang
meliputi kehidupan sosial keagamaan. Untuk itu khalifah menunjuk seorang qadi
dari kalangan yuris (orang yang menguasai hukum Islam). Namun qadi memiliki
independensi untuk mengambil keputusan hukum berdasarakn syari’at, bahkan ia
tidak terpecat dengan kematian khalifah yang mengangkatnya.
Syarat yang harus
dipenuhi seorang qadi adalah; 1) Harus seorang laki-laki dewasa; 2) Berakal; 3)
memiliki kecerdasan; 4) Merdeka; 5) Muslim; 6) Adil; 7) sehat pendengaran dan
penglihatan dan 8) Memiliki pengetahuan luas tentang Syari’ah atara lain ilmu
usul dan furu (mencakup Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara kekuasaan qadi,
meliputi sepuluh aspek :
1.
Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun
secara pemaksaan hukum
2.
Membebaskan orang tidak bersalah dari sangsi dan
hukuman, dan memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan maupun
dengan dilakukan sumpah;
3.
Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang
tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot;
4.
Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya
dan mengembangkan cabang-cabangnya;
5.
Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai
dengan syari’at.
6.
Menikahkan janda dengan orang yang sederajat, jika
tidak ada wali dan menghendaki menikah;
7.
Melaksanakan hukuman bagi terhukum;
8.
Mengawasi para pegawai demi kemaslahatan mereka;
9.
Meneliti para saksi sekretarisnya, meski nampak jujur
dan kredibel, serta menentukan penggantinya.
10.
Menegakkan persamaan didepan hukum antara yang kuat dan
yang lemah, dan mengakkan keadilan dalam peradilan baik bagi bangsawan maupun
rakyat biasa.
Dalam perspektif
kontemporer, fungsi lembaga qadi mirip dengan fungsi yudikatif dan legislatif.
Pada satu sisi qadi mengurusi kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum
dan mengadili perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam, disisi lain
memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam rangka legalisasi, termasuk
mengeluarkan fatwa yang di derivasikan dari Syari’at.
Ditingkat pusat ada qadi al-qudat dan di daerah (propinsi) juga memung-kinkan di angkat seorang qadi.
Ditingkat pusat ada qadi al-qudat dan di daerah (propinsi) juga memung-kinkan di angkat seorang qadi.
2. Peradilan Tindak Ketidakadilan
(Muzalim)
Lembaga ini dibentuk
untuk mendengarkan pengaduan rakyat yang mendapat perlakuan tidak adil dari
pejabat pemerintah. Orang yang pertama kali mengadakan lembaga ini adalah Abd
al-Malik ibn Marwan, Khalifah bani Umayyah. Gagasan ini muncul setelah ia
membaca dan meneliti sebuah laporan tentang kasus sengketa, yang kemudian ia
menunjuk Abu Idris (seorang hakim) untuk menyimpulkan dan memutuskan perkara
dengan meneliti sebab-sebabnya.
Fungsi mazalim adalah menangani persoalan-persoalan dan kasus-kasu yang berkaitan dengan :
Fungsi mazalim adalah menangani persoalan-persoalan dan kasus-kasu yang berkaitan dengan :
1)
Tindak ketidakadilan dan tirani yang dilakukan oleh
gubernur atau pejabat pemerintahan lainnya terhadap rakyat;
2)
Ketidakadilan dalam penilaian atau penarikan pajak;
3)
Supervisi (pengawasan) keuangan pejabat publik di
biro-biro pemerintahan;
4)
Klaim tentara regular berkaitan dengan pengurangan gaji
mereka;
5)
Mengembalikan hak yang diambil paksa;
6)
Pengawasan atau pemeliharaan wakaf;
7)
Penegakan keputusan yang diberikan oleh qadi yang belum
dilaksanakan;
8)
Mengambil alih wewenang petugas (biro) ketertiban umum
(hisbah) yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.
9)
Pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara kolektif;
10) Pengawasan
terhadap pelaksanaan keputusan pengadilan secara umum.
Seorang yang bertugas
dalam lembaga Mazalim, harus memenuhi persyaratan antara lain :
a. Memiliki
kedudukan;
b. Mempunyai
pengaruh;
c. Berwibawa;
d. Mempunyai
harga diri;
e. Tidak rakus,
tidak mudah silau oleh dunia.
f. Menghindari
perbuatan maksiat dan menjauhi syubuhat (hal-hal yang tidak jelas
halal-haramnya).
Sementara dalam
memeriksa atau menginvestigator terhadap suatu kasus, Mazalim harus
menghadirkan lima elemen, yaitu :
a.
Petugas keamana dan pembanu (al-humat dan a’wan);
b.
Para qadi dan hakim untuk mengumumkan hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak mereka dan pengetahuan tentang apa-apa yang berjalan
dengan majelis mereka;
c.
Para ahli fiqh sebagai tempat bertanya mengenai maslaah
yang rumit;
d.
Penulis (sekretaris) yang mencatat perjalanan siding
dan hasilnya;
e.
Saksi-saksi .
Dalam pemikiran
al-Mawardi mengenai Peradilan, dia menungkapkan perbedaan menyangkut yuridiksi
antara Mazalim dan qadi, yaitu :
a.
Mazalim memiliki Kedudukan dan kekuasan lebih tinggi
dari pada qadi;
b.
Mazalim memiliki wilayah kekuasaan yuridiksi lebih luas
baik dalam lingkup tindakan maupun pemberian hukum dari pada qadi;
c.
Mazalim memiliki kekuatan intimidasi lebih besar dari
pada qadi;
d.
Mazalim memiliki kekuatan memeriksa tindak kejahatan
yang dilakukan secara terbuka dan mengoreksi serta menindak pelanggaran
terbuka, sedang qadi tidak;
e.
Mazalim memiliki kekuasaan penuh memberikan panggilan
untuk meng-hadapi sidang pengadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.
BAB III
KESIMPULAN
Pemikiran
al-Mawardi yang di tuangkan dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah memberikan
mencerminkan akomodasi terhadap realitas dan praktik politik pada masanya, yang
sering memberikan justifikasi terhadap kekuasan khalifah. Baginya kekhalifahan
adalah komitmen agama dan aktualitas politik. Dia juga menunjukkan bahwa tugas
utama khalifah ialah memelihara agama sesuai dengan preseden masa lampau,
menegakkan ketetapan/keputusan peradilan dan melindungi rakyat (Islam). Yang
lebih penting adalah pemikirannya mengandung segi-segi normatif atau idealistik
dari sebuah pemerintahan atau tatanan politik Islam. Pendapat Al mawardi
mengenai Negara adalah menganggap bahwa
proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk
regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia
pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya
saling membutuhkan.
REFERENSI
1. Azra,
Azyurmadi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan
Post Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996
2. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
3. Black,
Antony, Pemikiran Politik Islam
4. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan kedua, Jakarta, 2003
5. Rosenthal,
Erwin I.J., Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, London:
Cambridge University Press, 1962.
6. Sjadzali,
Munawir, H, M.A, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993, edisi V.
Pandangan Aristoteles Mengenai Filsafat Politik
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pilihan Aristoteles selaku tokoh kunci yang telah memberikan
kontribusi dalam pembentukan dan pergembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
(Poespowardojo, 2000) amat tepat karena ternyata para filosof yang datang
kemudian, meskipun dengan kurun waktu dan tempat yang berbeda namun juga
mendasarkan argumentasinya pada pemikiran Aristoteles. Secara lugas Bertens
(2000: 30) mengakui bahwa faktor yang terpenting dalam perkambangan intelektual
pada umumnya dan perkembangan filosofis pada khususnya merupakan penemuan
sejumlah karya filsafat Yunani, terutama karangan Aristoteles yang pada saat
itu belum dikenal di dunia Barat.
Sebenarnya hasil karya Aristoteles banyak sekali,
sehingga para “komentator” agak sulit menyusun secara runtut. Hal ini semakin
nampak dari perbedaan cara yang ditempuh komentator dalam membagi pembahasan
materinya. Menurut Hadiwidjono (2000: 45), ada komentator yang membagi hasil
karya Aristoleles menjadi delapan bagian, yakni mengenai logika, filsafat alam,
psikologi, biologi, metafisika (meta ta fusika), etika, politik dan
ekonomi, serta retorika dan poetika. Ada pula yang mengurai perkembangan
pemikiran Aristoteles ke dalam tiga tahapan, yakni:
(1) Tahap di Akademi, ketika masih setia
kepada gurunya, Plato termasuk ajaran Plato tentang idea;
(2) Tahap di Assos, ketika berbalik dan
mengeritik ajaran Plato tentang idea-idea dan menemukan ajarannya sendiri;
(3) Tahap ketika membina sekolahnya di Athena,
di mana berbalik dari berspekulasi ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang
konkrit dan yang individual.
Tanpa mengabaikan
cara pembagian hasil karya Aristoteles yang dilakukan oleh komentator itu,
penulis memahami bahwa pembagian itu dilakukan semata-mata untuk lebih
memudahkan pemahaman sistematika pemikiran Aristoteles yang terfokus pada pembentukan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Aristoteles ?
2.
Bagaimana pandangan Aristoteles mengenai filsafat
politik ?
C. Tujuan
Masalah
Dengan ditulisnya makalah
ini bertujuan untuk memberi pengertian kepada pembaca tentang riwayat hidup dan
pandangan aristoteles mengenai filsafat politik
Aristoteles.
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) lahir di
Stageira, daerah Thrake di Yunani Utara, anak seorang dokter pribadi raja
Makedonia yang meninggal dunia tatkala ia masih sangat muda. Aristoteles
kemudian diasuh oleh Proxenus dan diberikan pendidikan yang istimewa. Hal itu
terbukti karena pada waktu berumur kira-kira 18 tahun, Aristoteles dikirim ke
Athena untuk belajar dan menjadi murid Plato dalam Akademia selama 20 tahun.
Setelah Plato meninggal dunia pada tahun 342, Aristoteles kembali ke Makedonia
untuk diangkat menjadi pendidik Pangeran Alexander yang Agung selama dua tahun.
Setelah Alexander menjadi raja, maka Aristoteles kembali ke Athena dan
mendirikan sekolah di Assos (Asia Kecil) yang dinamakan Lykeion (dilatinkan:
Lyceum).
Tatkala Alexander berperang di Asia pada
tahun 334 SM., sekolah Aristoteles juga bersaing dengan sekolah Plato,
Akademia. Persaingan yang mendorong Aristoteles meningkatkan penelitian yang hasilnya
tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip sains, melainkan pula mengajarkan
politik, retorika dan dialektika. Dalam pergaulan tingkat atas, Aristoteles
barangkali lebih berhasil dari pada Plato, bukan saja karena dipilih menjadi
pendidik Alexander, melainkan pula karena memiliki pengaruh besar dalam sejarah
dunia. Selama kurun waktu antara tahun 340-335 SM., Aristoteles menekuni riset
di Stagira, dibantu oleh Theophratus yang juga alumnus Athena. Riset yang
intensif itu dibiayai oleh Alexander dan menghasilkan kemajuan dalam sains dan
filsafat.
Pada tahun 323 SM., ketika Alexander
wafat, timbul huru-hara di Athena menentang Makedonia, sehingga lama kelamaan
posisi Aristoteles juga menjadi tidak aman karena dianggap orang asing
sekaligus teman Alexander. Orang-orang Athena yang anti-Macedonia melihat
Aristoteles sebagai penyebar pengaruh subversif, bahkan dituduh mendurhaka
(atheis), sehingga Aristotels yang berpikir lebih arif memilih meninggalkan
Athena atau lari ke Khalkes, tempat ia meninggal dunia pada tahun berikutnya
(322 SM.). profil lengkapnya adalah sebagai berikut :
1.
Nama: Aristoteles
2.
Lahir: Stagirus, Macedonia, tahun 384 sM
3.
Meninggal:Chalcis, Yunani, pada tahun 322 sM.
4.
Ayah:Nicomachus (Dokter di istana Amyntas III, raja
Macedonia, kakek Alexander Agung)
5.
Istri:Pythias Herpyllis
6.
Anak:Nicomachus (sama dengan nama ayahnya)
7.
Julukan:
1. Ahli filsafat
terbesar di dunia sepanjang zaman.
2. Bapak
peradaban Barat
3. Bapak
ensiklopedi
4. Bapak ilmu
pengetahuan atau Guru(nya) para ilmuwan.
8.
Penemuan:
Logika (ilmu mantik: pengetahuan
tentang cara berpikir dengan baik, benar, dan sehat). - Biologi, fisika,
botani, astronomi, kimia, meteorologi, anatomi, zoologi, embriologi, dan
psikologi eksperimental.
9.
Pendiri:
1.
Akademi di Assus.
2.
Akademi di Mytilene
3.
Akademi di Lyceum, Athena, tahun 335 sM.
4.
Istilah-istilah ciptaan Aristoteles masih dipakai
sampai sekarang:
Informasi,
relasi, energi, kuantitas, kualitas, individu, substansi, materi, esensi, dan
sebagainya
B.
Pandangan Aristoteles Mengenai Filsafat
Politik
Banyak di antara filsuf yang telah kita
telaah yang banyak membicarakan filsafat politik. Buku Aristoteles, Politics,
dalam persekutuan politik kota mensyaratkan warganegara untuk bukan hanya
menjadi pengambil keputusan yang cakap, melainkan juga menjadi orang yang mau
mematuhi putusan-putusan yang dibuat oleh orang-orang lain. Arsitoteles
menekankan bahwa “warganegara yang baik harus mengetahui dan mempunyai
kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur, dan hal inilah yang merupakan
keluhuran budi warganegara—pengetahuan tentang aturan pada orang-orang merdeka
dari kedua sudut pandang.”
Salah satu segi terpenting filsafat
politik Aristoteles adalah bahwa, dalam pembahasannya, ia menyusun kerangka
yang mengandung enam tipe kemungkinan sistem politik. Tipe-tipe itu dibedakan
oleh perbedaan sumber wewenang dan kekuasaan yang memberikannya.
Sesudah menegaskan bahwa “unsur yang berwewenang” dalam sistem politik pasti
“seorang atau lebih”, ia menjelaskan perbedaan antara sistem politik yang
“benar” dan yang merupakan “penyimpangan”. “bila seorang atau beberapa atau
banyak orang mengatur dengan pandangan untuk kepentingan umum, sistem politik
ini niscaya benar, sedangkan yang dengan pandangan untuk kepentingan pribadi
seseorang atau beberapa atau banyak orang merupakan penyimpangan.”
Nama-nama yang dipakai oleh Aristoteles
untuk menandai masing-masing dari enam sistem tersebut adalah sebagai berikut.
Bentuk monarki yang benar disebut “kerajaan”. (Di Yunani kuno, monos berarti
“sendirian” atau “tunggal”; archos berarti “pengatur”. Akhiran “-krasi” berasal
dari kratos, yang bermakna “kekuasaan”.) Bentuk “pengaturan
oleh beberapa orang” yang benar adalah “aristokrasi”, yang bermakna
bahwa pemerintahan dipegang oleh orang-orang terbaik (aristos). Adapun
“politi” (polity) merupakan bentuk pengaturan
oleh mayoritas yang benar, walaupun Aristoteles juga memakai istilah
ini untuk mengacu dengan cara umum pada semua sistem politik. Karena kadang-kadang
ia membandingkan perbedaan politeiai dengan monarki, Aristoteles
dalam konteks ini mungkin memaksudkan politeiai untuk ditafsirkan dalam
pengertian sempit ini; secara demikian, klaimnya adalah bahwa semua sistem
non-monarkis (yakni semuarepublik) bisa disebut politi. Dalam Nicomachean
Ethics, ia menghindari penggunaan istilah “politi” yang samar-samar dengan
mengacu pada sistem politik ketiga yang benar ini sebagai “timokrasi”, yang
bermakna kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang yang memiliki properti
(timema) sendiri. Malahan, ia terang-terangan menyatakan bahwa istilah ini
akan lebih disukai daripada istilah “politi”, walaupun yang
terkemudian ini lebih lazim di antara keduanya. Akan tetapi, catatan singkat
tentang timokrasi ini sulit dibedakan dari oligarki (lihat bawah). Aristoteles
juga memaparkan penyimpangan dari tiga bentuk sistem politik yang pada dasarnya
positif:
Deviations from those mentioned are tyranny from kingship, oligarchy from
aristocracy, democracy from polity. Tyranny is monarchy with a view to the
advantage of the monarch, oligarchy [rule] with a view to the advantage of the
well off, democracy [rule] with a view to the advantage of those who are poor;
none of them is with a view to the common gain.
(Penyimpangan dari yang disebut tadi adalah tirani dari kerajaan, oligarki
dari aristokrasi, demokrasi dari politi. Tirani adalah monarki dengan pandangan
untuk kepentingan kepala negara, oligarki dengan pandangan untuk kepentingan
orang-orang kaya, demokrasi dengan pandangan untuk kepentingan mereka yang
miskin; tak satu pun dari ketiganya yang berpandangan untuk perolehan umum.)
Walaupun secara teknis kerajaan merupakan
sistem politik terbaik, Aristoteles lebih menyukai aristokrasi karena beberapa
alasan. Selalu ada bahaya bahwa orang yang memegang semua kekuasaan akan
berubah menjadi buruk, sehingga sistem terbaik akan turun menjadi yang terburuk
(yaitu tirani). Satu-satunya perlindungan terhadap orang semacam itu yang
dikuasai oleh hasratnya sendiri bagi dia adalah menerima aturan hukum; jadi,
“hukum—yang diberlakukan secara benar—inilah yang seharusnya berwewenang”,
bukan orangnya (AP 1282a-b(103)). Hakikat hukum adalah sedemikian sehingga
melindungi orang-orang terhadap bahaya perusakan yang bisa disebabkan oleh
nafsu mereka sendiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles
(1287a(114)): “Orang yang meminta untuk diatur oleh hukum ... bersikap meminta
diatur oleh yang baik dan [akal] intelek saja, sedangkan orang yang meminta
manusia [akan] menambah keburukan. Hasrat merupakan sesuatu yang tergolong
jenis ini; dan semangat itu menyelewengkan penguasa dan orang-orang terbaik.
Oleh sebab itu, hukum adalah [akal] intelek tanpa nafsu.”
Masalah lain mengenai kerajaan dalam benak
Aristoteles adalah bahwa bolehjadi ada lebih dari satu orang manusia yang baik
di kebanyakan kota, sehingga orang-orang baik yang tidak dibolehkan untuk
memerintah mungkin tidak puas dengan ketimpangan antara mereka sendiri dan
raja. Situasi yang tidak adil semacam ini hampir tak terpecahkan oleh
penggantian raja dengan aristokrasi, yang pemerintahnya ialah pria-pria yang
baik (AP 1286b(112)). (Mereka tak mungkin wanita-wanita yang
baik karena, menurut Aristoteles, wanita bahkan tak boleh menjadi warganegara!)
Karenanya, Aristoteles menyiratkan bahwa, ironisnya, semakin kurang berkuasa
seorang raja (yakni semakin tidak menyerupai raja sejati), semakin lama ia
mampu melanggengkan pemerintahannya (1313a(173)).
“Aristokrasi ... dalam beberapa hal
merupakan oligarki” (oligos bermakna “beberapa”), karena pada kedua tipe
sistem politik itu “pengaturnya beberapa orang” (AP 1306b(159)). Perbedaannya
adalah bahwa, tidak seperti oligarki tipikal (yakni menyimpang) yang
pemerintahnya dipilih dengan hanya “atas dasar kekayaan”, pemerintah
aristokrasi dipilih “sesuai dengan keluhuran budi” (1273a(82)).
(Bila kepemilikan properti adalah tipe kekayaan yang dipakai sebagai
salah satu kualifikasi utama untuk memilih orang yang diberi kekuasaan dan
wewenang untuk memerintah dalam suatu oligarki (lihat umpamanya 1279b(96)),
sistem itu bisa juga disebut timokrasi. Salah satu cara melaporkan potensi
ambiguitas antara istilah “oligarki” dan “timokrasi” adalah mencatat bahwa
timokrasi akan menjadipoliti jika nilai properti yang diperlukan untuk
menjadi warganegara sangat rendah, dan akan menjadi oligarki jika
nilainya tinggi, karena hanya akan ada segelintir orang yang cukup
kaya untuk menjadi warganegara.) Oligarki biasanya buruk bagi suatu kota,
karena tidak ada jaminan bahwa pengatur-pengatur itu berbudi luhur (umpamanya
dengan menjaga kesejahteraan orang-orang miskin) hanya lantaran mereka kaya.
Sebaliknya, aristokrasi, menurut definisi Aristolteles, merupakan sistem
politik yang memberi kekuasaan dan wewenang pemerintahan kepada beberapa orang
yang akan, dengan berbudi luhur, menjaga kepentingan orang-orang yang
bukan anggota kelompok yang memerintah.
Pembedaan yang paling diperhatikan oleh
Aristoteles dalam Politics adalah antara dua bentuk ekstrim
pemerintahan non-monarkis, yaitu oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena
dua sistem itu yang paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik
di Yunani kuno maupun di zaman modern. Contohnya, ia berkata, “hukum bisa
oligarkik atau demokratik” (AP 1281a(100)), dalam ertian bahwa “dalam
sistem politik demokratik, rakyat memiliki wewenang, sedangkan sebaliknya dalam
oligarki, [wewenang] itu milik segelintir orang” (1278b(94)).
Dalam AP 1279b-1280a(96-97), ia menjelaskan:
oligarchy is when those with property have authority in the political
system; and democracy is the opposite, when those have authority who do not
possess a [significant] amount of property but are poor ... What makes
democracy and oligarchy differ is poverty and wealth: wherever some rule on
account of wealth, whether a minority or a majority, this is necessarily an
oligarchy, and wherever those who are poor, a democracy. But it turns out ...
that the former are few and the latter many ...
(oligarki adalah bila yang dengan properti memiliki wewenang dalam sistem
politik; dan demokrasi adalah lawannya, bila yang mempunyai wewenang ialah yang
tidak memiliki sejumlah properti [yang signifikan], kecuali sedikit sekali ...
yang membuat demokrasi dan oligarki berbeda adalah kemiskinan dan kekayaan:
bilamana suatu pemerintah berdasarkan kekayaan, entah minoritas entah mayoritas,
ini niscaya oligarki, dan bilamana itu yang miskin, [maka ini] demokrasi. Namun
terbukti ... bahwa yang kaya itu sedikit dan yang miskin itu banyak ...)
“Prinsip penentu aristokrasi adalah
keluhuran budi” dan “yang oligarki adalah kekayaan”, sedangkan prinsip penentu
demokrasi adalah “mayoritas [orang miskin] yang memiliki wewenang”
(1310a(167)).
Demokrasi adalah sistem politik yang di
dalamnya persekutuan antara “rakyat awam” (démos) menetapkan
bagaimana kekuasaan dan wewenang didistribusikan di kotanya. Oleh sebab itu,
ini dicirikan oleh tipe “kemerdekaan” yang melibatkan [orang-orang] “yang
diatur dan yang mengatur menurut gilirannya” (AP 1317a-b(183)). Penataan
pengaturan timbal-balik di antara yang setara semacam itu “merupakan hukum”
(1287a(113)). Sebagaimana dengan kebanyakan sistem politik lain, Aristoteles
membahas beberapa variasi demokrasi, yang meliputi tipe yang di dalamnya
“rakyat menjadi penguasa monarki”, dalam pengertian bahwa “yang banyak itu
mempunyai wewenang [hukum] bukan selaku individu, melainkan selaku semuanya
bersama-sama” (1292a(125-126)). Dalam arti sempit sistem politik (yaitu yang
tidak memasukkan monarki), “jenis demokrasi ini bukan sistem politik. Ini
karena bilamana hukum tidak mengatur maka tidak ada sistem politik.”
Aristoteles mengingatkan bahwa sistem
politik terbaik bagi kota-kota tidak bisa ditetapkan lebih dahulu:
salah satu dari sistem-sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya adalah yang
paling tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan. Jadi, umpamanya,
ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan merupakan sistem terbaik bagi suatu
kota, walaupun pada umumnya “memiliki aturan hukum yang dipilih menurut
kesukaan oleh salah seorang warganegara” (AP 1288a(115-116)). Politi,
sistem politik yang sering lebih disukai oleh Aristoteles, merupakan jalan
tengah antara aristokrasi dan demokrasi. Namun dalam kasus politi pun, ia
mengakui bahwa “tidak ada yang bisa mencegah sistem politik lain untuk lebih
menguntungkan bagi [kota-kota] tertentu” (1296b(136)).
Politi adalah sistem politik yang
didasarkan pada “jalan tengah” (lihat
umpamanya NE 1106a-1109b(65-75)), prinsip terkenal dari Aristoteles
mengajarkan agar kita selalu menghindari keekstriman; dalam hal ini kita
diberitahu bahwa “jenis kehidupan pertengahan adalah yang terbaik” bagi kota
dan sekaligus bagi individu (AP 1295a(133)). Dengan kata lain, politi
adalah sistem politik yang “kelas menengah”-nya, sebagaimana yang kini kita
sebut, merupakan mayoritas rakyat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk
memerintah dengan cara yang mencampur unsur-unsur tiga sistem
republikan lainnya. Campuran yang dipikirkan oleh Aristoteles ini mencakup
kombinasi antara demokrasi dan oligarki (dua keekstriman) sedemikian rupa
sehingga unsur-unsur ekstrimnya akan saling membatalkan: suatu politi
mensyaratkan “percampuran antara ... yang kaya dan yang miskin”
(1293b-1294b(129-132)). Namun ini mungkin juga mencampur unsur-unsur
aristokrasi dan oligarki, sebagaimana politi mensyaratkan “hukum yang
mendistribusikan pejabat atas dasar keunggulan [seperti dalam aristokrasi]
sampai yang kaya [sebagaimana dalam oligarki]” (1288a(116)). Bila kita baca
perkataan Aristoteles bahwa jenis oligarki terbaik “sangat dekat dengan yang
disebut politi” (1320b(190)), kita harus mengasumsikan bahwa oligarki yang baik
ini pada aktualnya merupakan aristokrasi. Ini karena aristokrasi dan politi
adalah “pertengahan” yang baik antara dua hal “ekstrim” yang buruk, yaitu
oligarki dan demokrasi.
Sistem politik lainnya dalam kerangka
Aristoteles adalah “tirani”. Secara teknis, ini merupakan lawan (yaitu
penyimpangan dari) kerajaan. Namun Aristoteles juga menyebutnya “bentuk ekstrim
demokrasi”, dan menambahkan bahwa sebagian dari bentuk-bentuk oligarki dan
demokrasi adalah “tirani”, yang terbagi di kalangan orang banyak (AP 1312b(172)).
Ia menjelaskan hubungan antara tirani dan dua sistem politik lain yang
menyimpang sebagai berikut:
Kingship accords with aristocracy, while tyranny is composed of the
ultimate sort of oligarchy and of democracy--hence it is composed of the two
bad political systems and involves the deviations and errors of both of
them....
.... Having wealth as its end
comes from oligarchy ..., as does its distrust of the multitude.... From
democracy comes their war on the notables .. (1310b-1311a(168-169))
(Kerajaan sesuai dengan aristokrasi, sedangkan tirani tersusun dari jenis
terdalam oligarki dan demokrasi—karenanya ini tersusun dari dua sistem politik
yang buruk dan mencakup penyimpangan dan kekeliruan keduanya ...
... Kekayaan sebagai tujuan berasal dari oligarki ...,
sebagaimana kecurigaan khalayak umum ... Dari demokrasi berasal perang besar
...) (1310b-1311a(168-169))
Ia lalu menjelaskan mengapa kerajaan mengandung risiko tirani yang tidak
berharga:
Kingships no longer arise today; if monarchies do arise, they tend to be
tyrannies. This is because kingship is a voluntary sort of rule ..., but
[nowadays] there are many persons who are similar, with none of them so
outstanding as to match the extent and the claim to merit of the office.
(1313a(173))
(Kerajaan tidak muncul lagi saat ini; jika monarki benar-benar muncul,
monarki ini cenderung menjadi tirani. Ini karena kerajaan adalah jenis aturan
sukarela ..., tetapi [dewasa ini] ada banyak orang yang serupa, tanpa ada yang
sedemikian menonjol untuk sesuai dengan tingkat itu dan klaim untuk kebaikan
jabatan itu.) (1313a(173))
Jika sekarang kita tambahkan dua bentuk
monarki pada empat bentuk sistem politik republikan, kita dapat meletakkan
keenam sistem itu bersamaan dalam bentuk bagan alur melingkar, yang
memungkinkan kita untuk melihat keseluruhan kerangka pada satu kesempatan saja.
Dalam bahasannya tentang revolusi politik,
Aristoteles mengemukakan bahwa, walau praktis setiap sistem dapat berubah
menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung “lebih sering mengalami
revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem politik terdekatnya” (AP 1316a-b(179-180)).
Dengan kata lain, revolusi lebih mungkin dipengaruhi oleh logika internal pada
hubungan antara sistem-sistem politik yang berlainan daripada oleh faktor
empiris pada tipe sistem yang berlaku di kota tetangga.
Dalam AP 1286b(112)),
Aristoteles memerikan dengan lebih lengkap bagaimana gerak maju sistem politik,
sebagaimana yang dilambangkan oleh tanda panah di Gambar IX.2, berjalan sendiri
secara khas dalam situasi-situasi historis nyata: sistem politik biasanya
berawal dengan kerajaan, berlalu menjadi aristokrasi atau politi, turun menjadi
oligarki, jatuh menjadi genggaman tirani, dan dibebaskan dari penindasan oleh
demokrasi. Walaupun gerak dari aristokrasi ke demokrasi “membahayakan sistem
politik” (1270b(76)), ia mengakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang
hampir tak terelakkan, lantaran berfungsi sebagai perlindungan terbaik melawan
tirani.
Ikhtisar kerangka kerja Aristoteles yang
berharga untuk sistem politik dalam Buku VIII, Bab 10 dari Nicomachean
Ethicsmenambahkan beberapa hal tambahan yang perlu disebut dalam simpulan. Di
sini kerajaan diperlakukan sebagai opsi terbaik, karena siapa saja raja yang
benar-benar baik akan selalu mempunyai minat masalah terbaik dalam benaknya.
Karena ia memiliki kekuasaan dan wewenang mutlak atas semua rakyatnya, tak
seorang pun yang mampu mencegah raja dari pengejawantahan kehendak baiknya.
Kendati aristokrasi terdiri dari orang-orang “terbaik”, ini tidak sebaik
kerajaan, karena beberapa orang yang buruk lebih berkemungkinan untuk menyusupi
aristokrasi dan merusak pengatur lainnya yang baik. Adapun bila semua pemilik
properti dibiarkan untuk mempengaruhi cara pembentukan hukum dan penyebaran hak
di kalangan warganegara, kerusakan semacam itu bahkan lebih mungkin terjadi.
Aristoteles membandingkan pertalian antara
warganegara dan kota dalam tiga sistem politik yang baik ini dengan tiga tipe
pertalian keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan warganegara bagaikan
putra. Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami dan warganegara
lainnya laksana istri. Adapun dalam timokrasi (atau politi), pertalian
antarpemilik properti itu seperti pertalian antarsaudara kandung. Namun sebagaimana
pertalian keluarga tidak selalu serasi, masing-masing sistem politik ini bisa
diselewengkan, sehingga kerajaan memunculkan tirani, aristokrasi memunculkan
oligarki, dan politi memunculkan demokrasi.
Sebagaimana yang telah kita saksikan,
kerajaan adalah pilihan yang risikonya terbesar, karena “yang terburuk adalah
kebalikan dari yang terbaik.” Oleh sebab itu, ketika memilih suatu sistem
politik, kita harus senantiasa memperhatikan bahwa bila tujuan kita suatu
sistem tertentu, kita mungkin justru berujung pada kebalikannya. Karenanya,
sebagaimana yang telah kita lihat, Aristoteles di tempat lainnya membela politi
(yakni timokrasi) sebagai pilihan teraman: walaupun tergelincir menjadi
demokrasi, efek negatifnya pada warganegara umum hanya minimal, karena
demokrasi adalah “yang paling sedikit keburukannya” dari tiga sistem politik
yang buruk. Dalam sistem “pemerintahan mayoritas”, kehendak mayoritas
berkemungkinan untuk dipengaruhi secara merugikan oleh motif mementingkan diri
sendiri dari rakyat yang buruk yang tinggal di masyarakat mana pun, kendati
dalam beberapa hal, ini akan diseimbangkan oleh motif-motif yang baik dari
rakyat yang bijak. Pada kuliah mendatang saya akan menyarankan cara yang agak
mengejutkan tentang penerobosan tapal batas politik sebagaimana yang ditentukan
oleh sistem Aristoteles. Kemudian kita akan menyimpulkan Bagian Tiga dengan
mempertimbangkan sitem politik apa yang paling alim bagi masyarakat modern
ketika kita memasuki milenium ketiga.
Tipe logis
sistem politik
|
Sumber
wewenang “kekuasaan” [kratos] dan “aturan” [arche]
|
Tingkat
risiko dankebebasan
|
Tingkat hak
asasi
|
Analogi
keluarga (warga/negara)
|
Teokrasi (+++)
|
Pengalaman ketuhanan [theos] setiap orang
|
mutlak
|
tiada
|
Orang/diri (sehat)
|
Kerajaan (+-+)
|
Satu orang yang baik
|
tinggi
|
rendah
|
Putra/ayah yang baik
|
Aristokrasi (-++)
|
Kelas elit orang “terbaik” [aristos]
|
sedang
|
sedang
|
Istri/suami yang baik
|
Timokrasi atau Politi (--+)
|
Semua pemilik “properti” [timema] atau kelas
menengah
|
rendah
|
tinggi
|
Adik/kakak
|
Demokrasi (---)
|
Semua warganegara “umum” [demos]
|
rendah
|
tinggi
|
Saudara kembar
|
Oligarki (-+-)
|
Beberapa “gelintir” [oligos] orang kaya
|
lebih rendah
|
sedang
|
Istri/suami yang buruk
|
Tirani (+--)
|
Satu orang yang buruk
|
sangat rendah
|
rendah
|
Putra/ayah yang buruk
|
Eklesiokrasi (++-)
|
“majelis” [ekklesia] orang-orang religius
|
terendah
|
amat rendah (tiada)
|
Orang/diri (tak sehat)
|
A.
Kesimpulan
Arsitoteles menekankan bahwa “warganegara
yang baik harus mengetahui dan mempunyai kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur,
dan hal inilah yang merupakan keluhuran budi warganegara—pengetahuan tentang
aturan pada orang-orang merdeka dari kedua sudut pandang.” Salah satu segi
terpenting filsafat politik Aristoteles adalah bahwa, dalam pembahasannya, ia
menyusun kerangka yang mengandung enam tipe kemungkinan sistem politik.
Tipe-tipe itu dibedakan oleh perbedaan sumber wewenang dan kekuasaan yang
memberikannya.
Enam sistem
politik menurut Aristoteles adalah kerajaan, politik, demokrasi, tirani,
oligarki, aristokrasi. Pembedaan yang paling diperhatikan oleh Aristoteles
dalam Politics adalah antara dua bentuk ekstrim pemerintahan
non-monarkis, yaitu oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena dua sistem
itu yang paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik di Yunani
kuno maupun di zaman modern. Aristoteles mengingatkan bahwa sistem
politik terbaik bagi kota-kota tidak bisa ditetapkan lebih dahulu:
salah satu dari sistem-sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya adalah yang
paling tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan. Jadi, umpamanya,
ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan
Dalam bahasannya tentang revolusi politik,
Aristoteles mengemukakan bahwa, walau praktis setiap sistem dapat berubah
menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung “lebih sering mengalami
revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem politik terdekatnya” (AP 1316a-b(179-180)).
Dengan kata lain, Aristoteles membandingkan pertalian antara warganegara dan
kota dalam tiga sistem politik yang baik ini dengan tiga tipe pertalian
keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan warganegara bagaikan putra.
Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami dan warganegara lainnya
laksana istri. Adapun dalam timokrasi (atau politi), pertalian antarpemilik
properti itu seperti pertalian antarsaudara kandung.
17 07 2009
Oleh: Dr Imran Waheed (Hizbut Tahrir
Inggris)
“Itu adalah sebahagian dan berita-berita negeri yang Kami ceritakan
kepadamu. Beberapa di antara negeri-negeri itu ada yang
masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada yang telah musnah. Dan Kami tidaklah
menganiaya mereka; tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. karena
itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka
seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Sembahan-sembahan itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (TQS.
Hud: 100-101)
“Adapun kaum ‘Aad mereka menyombongkan diri
di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar
kekuatannya dari kami?” dan Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah
yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Tapi
mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) kami. (TQS. Fussilat: 15)
Sejak kehancuran Khilafah Islam pada abad yang
lalu, peradaban Barat mulai mendominasi dunia secara politis, militer dan
ekonomi. Peradaban Barat menjadi amat bangga akan kemajuan yang dicapainya dan
saat ini menyebarkan ideologinya dengan gigih di dunia Islam. Kepada kita
dikatakan bahwa Peradaban Barat adalah universal dan merupakan jalan
satu-satunya bagi kemajuan dan pencerahan.
Bush berkata, “Peradaban
Barat bukanlan nilai-nilai Amerika atau –seperti anda tahu– bukan pula
nilai-nilai Eropa. Peradaban
Barat merupakan nilai-nilai universal. Karena universal, nilai-nilai itu,
seharusnya diterapkan di setiap tempat.” Blair
berkata, ”Peradaban kita bukanlah nilai-nilai Barat, ia adalah nilai-nilai
universal dari semangat kemanusiaan. Dan di manapun…di manapun, kapan saja,
rakyat biasa diberikan kesempatan untuk memilih. Pilihanya adalah sama:
kebebasan, bukan tirani; demokrasi, bukan diktator; tertib hukum, bukan hukum
dari polisi rahasia.”
Sering kali dikatakan pada kita bahwa
peradaban Islam adalah hanya ada dalam lembaran sejarah dan mereka yang
menginginkan Islam, syariah, dan Khilafah adalah orang yang berbicara mengenai
keterbelakangan dan kegelapan. Namun, apa yang tidak ditunjukkan oleh Barat
adalah jurang eksploitasi yang dalam, kekacauan, dan keputusasaan yang telah
diciptakan kapitalisme di seluruh dunia.
Propaganda Barat tidak mampu menyembunyikan
kemunduran dan kerusakan peradaban ini – suatu masalah yang memang telah jelas
bagi kita semua. Ketika mereka menyebarkan nilai-nilai dan ideologi mereka
kepada dunia dengan cara yang sangat arogan dan memfitnah peradaban Islam, maka
mereka telah mencoba untuk menyembunyikan keputusasaan yang mereka ciptakan
pada masyarakat mereka sendiri dan di seluruh dunia.
Percampuran antara materialisme dan kebebasan
individu tanpa batas, telah menyebabkan kekerasan yang mewabah, pengunaan obat
bius, dan alkohol; mengabaikan orang lanjut usia, kemiskinan, kerusakan pada
keluarga, kekosongan spiritual, rasisme, dll, dll.
Penyalahgunaan obat meningkat dengan pesat;
juga makin tingginya depresi dan mewabahnya pesta minuman keras. Di Inggris,
angka resmi menunjukkan bahwa peminum minuman keras yang “berbahaya dan
membahayakan” mencapai angka 7,1 juta orang. Pada dekade lalu, orang yang masuk
rumah sakit karena sebab yang berkaitan dengan alkohol telah berjumlah dua kali
lipat.
Lebih dari seperlima wanita di Inggris menjadi
korban kekerasan seksual ketika meraka anak-anak. Di Negara itu , tiap menit
polisi menerima telepon dari masyarakat yang meminta bantuan akibat kekerasan
rumah tangga. Satu dari empat wanita di Inggris telah mengalami pemerkosaan
atau dicoba untuk diperkosa. Tiap minggu di Inggris, satu hingga dua anak mati
karena kekejaman. Satu dari tiga anak-anak hidup dalam kemiskinan. Lebih dari
25 persen dari seluruh pemerkosaan yang dicatat polisi dilakukan terhadap
anak-anak di bawah usia 16 tahun. Setengah juta orang usia lanjut diperlakukan
dengan kasar, terutama karena tidak mempedulikan mereka. Lingkaran hutang
menjerat keseharian masyarakat Inggris .Hutang konsumen di Inggris berada pada
angka £ 1.3 triliun, suatu angka yang mengejutkan.
Jurang antara orang kaya dan orang miskin
terus melebar. 13,000 keluarga terkaya di Amerika saat ini memiliki pendapatan
yang sama dengan 20 juta orang penduduk paling miskin. 13,000 keluarga itu
memiliki pendapatan 300 kali lipat dari pendapatan keluarga rata-rata.
Situasi Global
Secara global, peradaban Barat telah
menciptkan tata dunia yang tidak adil yang dicirikan oleh imperialisme lewat
mekanisme hutang, perdagangan yang tidak adil, dukungan bagi para diktator dan
tiran, dan pendudukan yang illegal. Sementara pada saat yang sama
mengurangi kebebasan sipil di negara mereka sendiri dengan cara menteror
rakyatnya sendiri.
Mereka berbicara soal penentuan nasib sendiri
dan demokrasi, tapi mendukung diktator di seluruh dunia Islam seperti Mubarak
dan Karimov dan mencegah keinginan masyarakat kepada Islam, syariah dan
Khilafah.
Mereka berbicara soal supremasi hukum dan
perdamaian di Timur Tengah, namun kenyataanya mereka menjajah dan menjarah;
menduduki negeri orang lain. Seperti yang terjadi di Irak di mana mereka
membunuh lebih dari 650,000 ribu jiwa.
Mereka berbicara soal keringanan hutang, tapi
telah memperbudak seluruh negera di bawah belenggu IMF dan Bank Dunia. Mereka
berbicara soal pemberantasan korupsi tapi menyogok ratusan juta dollar kepada
para penguasa di negeri-negeri muslim untuk mendapatkan kontrak dagang.
Mereka berbicara soal HAM, tapi Guantanamo
Bay, Abu Ghraib, Patriot Act, Undang-undang anti-terroris yang tersamar,
menghentikan dan menggeledah, penahanan, penyiksaan, penawanan tanpa peradilan,
penculikan dan pengiriman tersangka untuk ditahan dinegara-negara yang
merupakan rezim brutal , interogasi yang brutal dan perang-perang yang illegal
dan imperialistik adalah bukti-bukti atas sebuah peradaban yang telah memasuki
kemunduran yang permanen.
Nilai-nilai,
prinsip, dan tradisi dari peradaban Barat telah dijual murah senilai 30 keping
perak – Negara-negara Barat saat ini telah kehilangan otoritas moralnya.
Propaganda Yang Gagal
Peradaban Islam (saat ini) tidak memiliki
negara yang mengembannya. Ia juga tidak memiliki tentara dan senjata untuk
mempertahankannya. Sementara,
peradaban Barat dilengkapi dengan senjata, tentara, teknologi, dan dominasi
politik, militer dan ekonomi. Namun, walaupun semua itu dilakukan, propaganda
pemerintahan Barat mulai memudar.
Kaum Muslim yang
tinggal di Barat, yang tiap hari dicekoki kapitalisme, saat ini semakin bersatu
dengan kaum Muslim di Dunia Islam untuk menentang kebijakan (kapitalistik),
melawan pendudukan, melawan upaya memecahbelah negeri-negeri kita, melawan
campur tangan asing, demi tegaknya syariah, demi tegaknya Khilafah, dan
seterusnya.
Bahkan propaganda
Barat yang anti Islam tidak mampu membendung -bahkan kaum non-Muslim- yang
mulai menghargai Islam sebagai sebuah agama dan sebuah sistem. Beberapa di
antaranya masuk Islam dan berjuang untuk Islam, sementara yang lainnya tidak
lagi mempercayai propaganda pemerintah mereka. Seorang wanita yang masuk Islam
setelah Peristiwa 11 September, dia mengatakan bahwa sebelum ‘perang melawan
teror’ dia tidak mengetahui siapakah Muhammad SAW, tapi saat ini dia ridho
mempertaruhkan nyawanya untuk Rosulullah saw.
“Dan ketika orang-orang kafir memikirkan
daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu (dari rumahmu). Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan
tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (TQS.
Al-Anfal: 30)
Wahai Muslimin dan Muslimat!
Walaupun negara kita tidak ada pada saat ini,
akhir segalanya akan berpihak pada peradaban Islam, karena peradaban Barat
didasarkan pada kebatilan dan peradaban Islam didasarkan pada kebenaran. Allah
SWT berfirman:
”Sebenarya Kami melontarkan yang hak kepada
yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, Maka dengan serta merta yang
batil itu lenyap.”
(TQS. Al-Anbiya:18)
Wahai Muslimin dan Muslimat!
Kekalahan Peradaban Barat terbukti dari tindakan-tindakannya
yang menunjukkan keputusasaan. Pendudukan, penyiksaan, penahanan, propaganda,
bukanlah tindakan-tindakan dari peradaban yang kuat, melainkan tindakan dari
peradaban yang sakit.
Propaganda melawan Islam, pengemban syariah,
Khilafah, dan dakwah adalah karena pemerintah-pemerintah Barat mengetahui bahwa
mereka sedang menghadapi kebangkitan kembali Islam di seluruh dunia. Tindakan
mereka seperti usaha membuat parit yang terakhir dari peradaban kapitalis yang
sedang tenggelam.
Maka, kokohkanlah keyakinan anda, berikan
loyalitas anda kepada Dien (Al-Islam) dan Umat. Jangan biarkan penyesatan yang
membuatmu lemah, karena tingkatan ini hampir usai. Tidak lama lagi, situasi
akan berubah cepat. Tanda keberhasilan perjuangan menuju Khilafah semakin
nampak jelas. Tahapan menuju kemenangan sudah semakin mendekat dari hari ke
hari.
Keimanan kita
pada Allah SWT adalah sangat besar dan harapan kita akan kemenangan yang dekat
ini tidak tersentuh bahkan dengan sebuah ucapan. Dan Allah SWT maha berkuasa atas
segala urusan-Nya, tapi kebanyakan manusia tidak tahu, dan Dia, segala puji
bagiNya, berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa.”. (TQS. An-Nur [4]: 55)
Thomas Aquinas
Biografi
Singkat Thomas Aquinas
Thomas
Aquinas atau Thomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat
Napels, Italia. Lahir dari suatu keluarga bangsawan. Semula ia belajar di
Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian
di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia. Aquinas seorang
ahli teologi Katolik dan filosof. Ia menerima gelar Doktor dalam teologi dari
Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259. Kemudian selama 10
tahun ia mengajar di biara-biara Dominican di sekitar Roma kemudian kembali ke
Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari karya-karya besar Aristoteles secara
mendalam dan ikut serta dalam pelbagai perdebatan. Thomas meninggal dunia pada
usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274)
Karya
Thomas Aquinas
Dalam
masa hidupnya meninggalkan banyak karya tulisan. Suatu edisi modern yang mengumpulkan semua karyanya terdiri dari 34
jilid. Sebagaimana kebanyakan profesor muda pada waktu itu, Thomas memulai
karier teologisnya dengan suatu komentar atas buku “Sententiae”, karangan
Petrus Lombardus. Suatu karya lainnya ialah Summa contra Gentiles (Ikhtiar
melawan orang-orang kafir); suatu uraian sistematis tentang teologi. Karyanya
yang utama adalah Summa Thelogiae
(Ikhtisar Teologi), yang terdiri dari tiga bagian. Para ahli sejarah filsafat
sepakat mengatakan bahwa filsafat Abad Pertengahan memuncak pada Thomas. Thomas
mendasarkan filsafatnya pada prinsip-prinsip Aristotelisme. Untuk memahami
tulisan Aristoteles dalam bahasa Yunani, Thomas merasa sangat terbantu dengan
tulisan-tulisan dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Sehingga dia mampu menerjemahkan
kedalam Bahasa Latin. Tulisan-tulisan Aquinas semuanya dalam bahasa Latin, mencakup
beberapa karangan besar tentang teologi, perdebatan teologi dan
problemaproblema filsafat, komentar tentang beberapa bagian dari Bibel dan
tentang dua belas karangan Aristoteles. Karyanya yang terbesar adalah Summa Contra Gentiles, dan Summa Theologica. Aquinas dianggap sebagai
orang suci Italia Dominican, seorang
guru gereja yang merintis masuknya filsafat Yunani ke dalam pemikiran Barat dan
menghubungkan dogma dan filsafat.
Beberapa
Pemikiran Filsafat Thomas Aquinas
1. Thomisme
Thomisme
adalah pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Aquinas. Sebagaimana umumnya
ajaran Skolastik, Thomas Aquinas berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mendamaikan pemikiran filsafat yang sekuler dari Yunani dengan agama Nasrani
yang dianutnya. Oleh Thomas dibedakan dua tingkat pengetahuan manusia.
Pengetahuan tentang alam yang dikenal melalui akal dan pengetahuan tentang
rahasia Tuhan yang diterima oleh manusia lewat wahyu atau kitab suci.
Pengertian-pengertian metafisis sebagian besar dipinjam dari Aristoteles. Misalnya
pengertian materi dan bentuk, potensi dan aktus, bakat dan perealisasian.
Pengertian-pengertian metafisis sebagian besar dipinjamnya dari
Aristoteles, seperti: pengertian materi
dan bentuk, potensi dan aktus, bakat dan perealisasian. Materi adalah asal muasal
munculnya sesuatu. Atau dapat juga disebut subyek pertama sebagai asal munculnya sesuatu. Bentuk
terkandung dalam materi, umpamanya asal
muasal buah mangga: Buah Mangga berasal dari biji mangga, lalu menjadi pohon
mangga. Biji mangga adalah materinya atau potensinya, sedang pohon mangga yang
telah tumbuh itu adalah bentuknya, atau aktusnya. Pada pohon mangga itu kita
mengamati bahwa yang telah terkandung di dalam biji sebagai materi telah
direalisasikan sepenuhnya.
Pembedaan
antara materi dan bentuk ini hanya terjadi pada benda-benda dalam kenyataan,
tidak pada pengertian tentang Allah. Thomas memakai pengertian essentia
(hakekat) dan existentia (eksistensi) bagi Allah.
2. Essentia dan Existentia
Ajaran
Thomas Aquinas yang terkenal diantaranya
tentang essentia dan existentia,
yang dikaitkannya dengan Tuhan. Tuhan
adalah aktus yang paling umum, actus purus (aktus murni), artinya Tuhan
sempurna keberadaannya, tidak berkembang, karena pada Tuhan tiada potensi. Di
dalam Tuhan segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya yang sempurna.
Tuhan adalah aktualitas semata-mata, oleh karena itu pada Tuhan hakikat
(essentia) dan keberadaan (existentia) ada sama dan satu (identik). Hal ini
tidak berlaku bagi makhluk. Keberadaan makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan
pada hakikatnya.
Filsafat
Thomas erat kaitannya dengan teologia. Sekalipun demikian pada dasarnya
filsafatnya dapat dipandang sebagai suatu filsafat kodrati yang murni., sebab
ia tahu benar akan tuntuan penelitian kebenaran, dan secara jujur mengakui
bahwa pengetahuan insani dapat diandalkan juga. Dia membela hak-hak akal dan mempertahankan
kebebasan akal dalam bidangnya sendiri. Wahyu
menurutnya berwibawa juga dalam bidangnya sendiri. Disamping memberi
kebenaran alamiah, wahyu juga memberi kebenaran yang adikodrati, memberi
misteri atau hal-hal yang bersifat rahasia, seperti: kebenaran tentang
trinitas, inkarnasi, sakramen dll. Untuk ini diperlukan iman. Iman adalah suatu
cara tertentu guna mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan yang mengatasi akal,
pengetahuan yang tidak dapat ditembus akal. Iman adalah suatu penerimaan atas
dasar wibawa Allah. Sekalipun misteri mengatasi akal, namun tidak bertentangan
dengan akal, tidak anti akal. Sekalipun akal tidak dapat menemukan misteri,
akan tetapi akal dapat meratakan jalan menuju kepada misteri (prae ambula
fidei).
Dengan
demikian, Thomas Aquinas menyimpulkan bahwa ada dua macam pengetahuan yang tidak saling
bertentangan, tetapi berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu:
pengetahuan alamiah, yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki
hal-hal yang bersifat insani umum sebagai sasarannya, dan pengetahuan iman,
yang berpangkal dari wahyu dan memiliki kebenaran ilahi, yang ada di dalam
Kitab Suci, sebagai sasarannya. Perbedaan antara pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan pengetahuan
iman itu menentukan hubungan antara filsafat dan teologia. Filsafat bekerja
atas dasar terang yang bersifat alamiah semata-mata, yang datang dari akal
manusia. Oleh karena itu filsafat adalah ilmu pengetahuan insani yang bersifat
umum, yang hasil pemikirannya diterima oleh tiap orang yang berakal. Akal
membimbing manusia untuk mengenal kebenaran di kawasan alamiah, sehingga
manusia dapat naik dari hal-hal yang bersifat inderawi ke hal-hal yang bersifat non-inderawi, naik dari hal-hal yang bersifat
rohani, dari hal-hal yang serba terbatas ke hal-hal yang tidak terbatas.
Teologia sebaliknya memerlukan wahyu, yang memberikan kebenaran-kebenaran yang
mengatasi segala yang bersifat alamiah
karena teologia memiliki kebenaran-kebenaran ilahi sebagai sasarannya.
Kebenaran-kebenaran ilahi hanya bisa diperoleh melalui wahyu, yang ditulis di
dalam Kitab suci.
Sekalipun
demikian, ada bidang-bidang yang dimiliki bersama, baik oleh filsafat maupun oleh teologia. Umpamanya pengetahuan
tentang Allah dan Jiwa. Baik filsafat maupun teologia keduanya dapat mengadakan
penelitian sesuai dengan kecakapan masing-masing. Sebaliknya, ada bidang-bidang
yang samasekali berada di luar jangkauan masing-masing, umpamanya: filsafat
hanya dapat menjangkau hal-hal di kawasan alam, sedangkan misteri berada di
luar jangkauannya, karena misteri hanya dapat di dekati dengan iman. Dengan demikian, hubungan antara filsafat dan teologia menurut
Thomas, filsafat dan teologia adalah laksana dua lingkaran, meskipun yang satu
berada di luar yang lain, namun bagian tepinya ada yang bersentuhan. Disini
terlihat bahwa Thomas Aquinas mempersatukan unsur-unsur pemikiran
Augustinus-Neoplatonisme dengan unsur-unsur pemikiran Aristoteles, sedemikian
rupa sehingga menjadi suatu sintesa yang belum pernah ada.
Menurut
Thomas, Allah adalah aktus yang paling umum,
aktus purus (aktus murni), artinya keberadaan Allah sempurna, tidak ada
perkembangan padaNya, karena pada-Nya tidak ada potensi. Di dalam Allah segala
sesuatu telah sampai kepada perealisasiannya yang sempurna. Allah itu mutlak, bukan yang “mungkin”. Allah
adalah aktualitas semata-mata. Oleh karena itu, pada Allah terdapat hakekat
(essentia) dan eksistensi (existentia), eksistensi Allah tidak ditambahka pada
hakekat, karena pada Allah hakikat dan eksistensi itu identik, tidak terpisah.
Hal ini tidak terjadi pada makhluk.
Eksistensi atau keberadaan makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan kepada
hakekatnya (essentia). Pada makhluk hubungan antara hakekat dan eksistensi
seperti materi dan bentuk, atau seperti potensi dan aktus, atau seperti bakat
dan perealisasiannya. Pada Allah tiada sesuatu pun yang berada sebagai potensi
yang belum menjadi aktus.
3. Argumen kosmologi
Thomas
juga mengajarkan apa yang disebut
theologia naturalis, yang mengajarkan bahwa manusia dengan pertolongan
akalnya dapat mengenal Allah, meskipun pengetahuan tentang Allah yang diperolehnya
dengan akal itu tidak jelas dan tidak menyelamatkan. Melalui akalnya manusia
dapat mengetahui bahwa Allah ada, dan
juga tahu beberapa sifat Allah. Dengan
akalnya manusiadapat mengenal Allah, setelah ia mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia, alam semesta dan makhluk-Nya. Thomas berpendapat, bahwa pembuktian tentang
adanya Allah hanya dapat dilakukan secara
a posteriori.
Dalam
hal ini Thomas memberikan 5 bukti, yaitu:
a) Adanya
gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada Penggerak Pertama, yaitu
Allah. Menurut Thomas, apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang
lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan dirinya sendiri, maka
yang menggerakkan diri sendiri itu harus juga digerakkan oleh sesuatu yang
lain, sedang yang menggerakkan ini juga harus digerakkan oleh sesuatu yang lain
lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak
pertama. Penggerak Pertama ini adalah Allah.
b) Di
dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu
tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna. Tidak
pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya
sendiri. Karena sekiranya ada, hal yang menghasilkan dirinya itu tentu harus
mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin, sebab yang berdaya guna,
yang menghasilkan sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya.
Oleh karena itu, harus ada sebab
berdayaguna yang pertama. Inilah Allah.
c) Di
dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh
karena itu semuanya itu tidak berada sendiri, tetapi
diadakan, dan oleh karena itu semuanya itu juga dapat rusak, maka ada
kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tentu tidak
mungkin semuanya itu senantiasa “ada”. Sebab apa yang mungkin “tidak ada” pada suatu
waktu memang tidak ada. Karena segala sesuatu memang mungkin “tidak ada”, maka
pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Jikalau pengandaian ini benar,
maka sekarang juga mungkin tidak ada sesuatu. Padahal apa yang tidak ada hanya
dapat dimulai berada jikalau diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jikalau
segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang
“adanya” mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan,
“adanya” itu dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau berada sendiri.
Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu
yang lain, sebab-sebab itu tak mungkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh
karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh
sesuatu yang lain. Inilah Allah.
d) Diantara
segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang
benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau lebih baik, itu
tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran.
Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi,
jikalau ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya
mengharuskan adanya yang terbaik. Demikian juga halnya dengan yang kurang
benar, yang benar dan yang lebih benar dan lain sebagainya. Dari ini semua dapat disimpulkan, bahwa harus ada
sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang
mulia, dan sebagainya. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
e) Segala
sesuatu yang tidak berakal, misalnya: tubuh alamiah, berbuat menuju kepada
tujuannya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi
berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang
terbaik. Dari situ terlihat bahwa perbuatan tubuh bukanlah perbuatan kebetulan,
semuanya diatur oleh suatu
kekuatan, semuanya itu menuju
pada “akhir”. Jika tidak diarahkan oleh suatu “tokoh yang berakal”, maka semua
perbuatan tubuh tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan. Kekuatan yang
mengarahkan itu adalah Allah.
Bukti-bukti
di atas memang dapat menunjukkan bahwa ada pencipta yang menyebabkan adanya
segala sesuatu. Pencipta yang berada
karena diri-Nya sendiri. Akan tetapi semuanya itu tidak dapat secara riil dapat membuktikan kepada kita mengenai hakekat Allah. Melalui bukti-bukti penciptaan-Nya kita mengetahui, bahwa Allah
itu ada.
Bukti-bukti
yang dikemukakan Thomas didasarkan atas premis yang sama. Argumen kosmologi
sering juga dinamakan argumen sebab pertama. Ia adalah suatu argumen deduktif
yang mengatakan bahwa apa saja yang terjadi mesti mempunyai sebab, dan sebab itu juga mempunyai sebab dan
seterusnya. Rangkaian sebab-sebab mungkin tanpa
ujung atau mempunyai titik permulaan dalam sebabnya yang pertama.
Aquinas mengeluarkan kemungkinan adanya rangkaian sebab pertama yang kita
namakan Tuhan.
Bagi
Thomas, argumen kosmologi tentang eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang penting.
Menurutnya, sebagai makhluk yang berakal, kita harus membedakan antara
ciri-ciri yang aksidental dan ciri-ciri yang esensial tentang realitas, atau
antara objek-objek yang bersifat sementara dan objek-objek yang bersifat
permanen. Tiap-tiap kejadian antara perubahan memerlukan suatu sebab, dan
menurut logika, kita harus kembali ke belakang, kepada sebab yang berada sendiri,
tanpa sebab atau kepada Tuhan yang berdiri sendiri. Oleh sebab itu, Tuhan bersifat imanen dalam alam,
ia prinsip pembentuk alam. Tuhan adalah syarat bagi perkembangan alam yang
teratur serta sumber dan dasarnya yang permanen.
Sekalipun
demikian dapat juga dikatakan bahwa orang memang dapat memiliki beberapa
pengetahuan filsafati tentang Allah. Di sini Thomas mengikuti ajaran Dionisios
dari Areopagos, akan tetapi ajaran Neoplatonisme itu dirobah, disesuaikan denga
teori pengenalannya yang berdasarkan ajaran Aristoteles.
Melalui
akal, ada 3 (tiga) cara manusia dapat mengenal Allah, yaitu:
a) Segala
makhluk sekedar mendapat bagian dari keadaan Allah. Hal ini mengakibatkan bahwa
segala yang secara positif baik pada para makhluk dapat dikenakan juga kepada
Allah (via positiva).
b) Sebaliknya
juga dapat dikatakan, karena adanya
analogi keadaan, bahwa segala yang ada pada makhluk tentu tidak ada pada Allah dengan
cara yang sama (via negativa).
c) Jadi,
apa yang baik pada makhluk tentu berada pada Allah dengan cara yang jauh
melebihi keadaan pada para makhluk itu (via iminentiae).
4.
Penciptaan
Pemikiran
filsafat Thomas tentang penciptaan juga suatu pemikiran yang penting. Pemikirannya tersebut pada dasarnya
adalah ajaran Augustinus Neoplatonisme, yaitu ajaran tentang partisipasi. Segala makhluk berpartisipasi dalam
keadaan Allah, atau mendapat bagian dari “ada” Allah. Hal ini disebabkan bukan
karena emanasi seperti yang diajarkan Neoplatonisme, melainkan karena karya
penciptaan Allah. Allah menciptakan dari
“yang tidak ada” (ex nihilo). Sebelum dunia diciptakan tidak ada apa-apa, sehingga
juga tidak ada dualisme yang asasi antara Allah dan benda, antara yang baik dan
yang jahat. Segala sesuatu dihasilkan Allah dengan penciptaan. Oleh karena itu,
segala sesuatu berpartisipasi atau mendapat bagian dari kebaikan Allah,
sekalipun cara makhluk memiliki kebaikan itu berbeda dengan cara Allah.
Selanjutnya
harus diperhatikan bahwa menurut Thomas penciptaan bukanlah suatu perbuatan
pada suatu saat tertentu, dan setelah itu dunia dibiarkan pada nasibnya
sendiri. Penciptaan adalah suatu perbuatan Allah yang terus menerus, melalui
penciptaan itu Allah terus menerus menghasilkan dan memelihara segala yang
bersifat sementara. Dengan demikian, dari kekekalan Allah menciptakan jagat
raya dan waktu. Segala sesuatu diciptakan sesuai dengan bentuknya atau ideanya
yang berada di dalam roh Allah. Idea-idea itu bukan berada di luar Allah, akan
tetapi identik dengan Dia, satu dengan hakekat-Nya. Ini berarti bahwa dunia ada
awalnya. Pemikirannya ini jelas sekali
pengaruh pemikiran Neo-Platonisme dan Al-Farabi dengan filsafat emanasinya. Dikarenakan
jagad raya diciptakan Allah, maka jagad raya bukan Allah, meskipun memang
mendapat bagian dari “ada” Allah. Partisipasi ini bukan secara kuantitatif,
artinya: bukan seolah-olah tiap makhluk mewakili sebagian kecil tabiat ilahi.
Bahwa makhluk berpartisipasi dengan Allah berarti ada sekedar analogia, sekedar
kesamaan atau kiasan antara Allah dan
makhluk-Nya. Allah memberikan kebaikan-Nya juga kepada makhluk-Nya. Analogi
atau kesamaan ini bukan hanya menunjuk kepada kesamaannya, tetapi juga kepada
perbedaannya, artinya: sekalipun ada kesamaan, tetapi ada juga perbedaanya
dalam cara beradanya. Analogia ini bukan mengenai perkara-perkara yang
sampingan, akan tetapi mengenai perkara yang paling hakiki, yaitu mengenai
“ada”nya Allah dan “ada”nya makhluk (analogia entis). Analogia ini di satu
pihak menunjuk kepada adanya jarak yang tak terhingga antara Allah dan makhluk,
tetapi di lain pihak para makhluk itu sekedar menampakkan kesamaannya juga
dengan Allah.
5. Makhluk Murni
Menurut
Thomas Aquinas, makhluk-makhluk rohani dalam arti yang murni (yaitu para
malaikat) juga tersusun dari hakekat dan
eksistensi, sekalipun mengenai malaikat dapat juga dibicarakan hal “bentuk”.
Para malaikat memiliki hakekat (essentia) roh dan mereka bereksistensi. Pada
malaikat tidak terdapat susunan materi dan bentuk, potensi dan aktus. Hal ini
dikarenakan potensi para malaikat tiada potensi yang harus berkembang. Oleh
karena itu, diantara para malaikat tiada individuasi dalam satu jenis. Tiap malaikat
adalah jenisnya sendiri. Baru pada makhluk-makhluk yang berjasad (benda-benda
mati, tumbuhtumbuhan, binatang dan manusia) ada 2 macam susunan, yaitu hakikat dan
eksistensi (essentia dan existentia),
sebagai tanda pengenal makhluk, materi dan bentuk, atau potensi dan aktus. Dan
sebagai tanda pengenal segala yang berjasad, yang bendani.
6. Jiwa
Manusia
adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri dari bentuk (jiwanya)
dan materi (tubuhnya). Dikarenakan hubungan antara jiwa dan tubuh sebagai
bentuk dan materi atau sebagai aktus dan potensi atau bisa juga dikatakan sebagai perealisasian
dari bakat. Jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri seperti yang diajarkan
oleh Plato. Terhadap tubuh, jiwa
merupakan bentuk atau aktus atau perealisasiannya, karena jiwa adalah daya
gerak yang menjadikan tubuh sebagai materi, atau sebagai potensi, menjadi
realitas. Jiwalah yang memberikan perwujudan kepada tubuh sebagai materi.
Dengan demikian, praeksistensi ditolak oleh Thomas. Akan tetapi jiwa dianggap
tidak dapat binasa bersamaan dengan tubuh, jiwa tidak dapat mati. Bagi Thomas,
tiap perbuatan (juga berpikir dan berkehendak) adalah suatu perbuatan segenap
pribadi manusia, perbuatan “aku”, yaitu jiwa dan tubuh sebagai kesatuan. Jadi
bukan akalku berpikir, atau mataku melihat dsb, akan tetapi aku berpikir, aku
melihat, dsb. Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya
dijiwai oleh satu bentuk saja, bentuk rohani, yang sekaligus juga membentuk
hidup lahiriah dan batiniah. Jadi, jiwa
adalah bersatu dengan tubuh dan menjiwai tubuh.
Jiwa
memiliki 5 daya, yaitu:
a) Daya
jiwa vegetatif, yaitu yang bersangkutan
dengan pergantian zat dan dengan pembiakan.
b) Daya
jiwa yang sensitif, daya jiwani yang berkaitan dengan keinginan
c) Daya
jiwa yang menggerakkan
d) Daya
jiwa untuk memikir
e) Daya
jiwa untuk mengenal
Daya
untuk memikir dan mengenal terdiri dari akal dan kehendak. Akal adalah daya
yang tertinggi dan termulia, yang lebih penting daripada kehendak, karena yang benar adalah lebih
tinggi daripada yang baik. Mengenal adalah suatu perbuatan yang lebih sempurna
daripada menghendaki.
Pandangan
Thomas tentang pengenalan berkaitan erat
dengan pandangannya tentang hubungan antara jiwa dan tubuh. Pada dirinya jiwa
bersifat pasif, baik dalam pengenalan inderawi maupun dalam pengenalan akali.
Dayadaya penginderaan (tenaga untuk melihat, mendengar, dll) ditentukan oleh
bendabenda yang ada di luar. Yang menjadi pelaku atau subyek dalam pengenalan adalah
kesatuan jiwa dan tubuh yang berdiri sendiri. Akal pada dirinya hanyalah seperti
sehelai kertas yang belum ditulis, yang tidak memiliki idea-idea sebagai bawaannya
dan tidak menghasilkan sasaran pengenalannya. Akal hanya menerima sasaran
pengenalannyan dari luar. Oleh karena itu, pengenalan akali atau pengenalan
yang diperoleh dengan akal, menurut isinya, seluruhnya tergantung kepada
indera. Pengenalan berpangkal dari pengalaman. Adapun yang menjadi sasaran akal
adalah hakekat benda-benda berjasad. Indera memberikan gambarangambaran dari
sasaran yang diamati. Gambaran-gambaran itu secara potensial memiliki hakekat
benda yang diamati. Dengan abstraksi jiwa menarik hakikat benda-benda yang
diamati tadi dari gambaran-gambaran yang
diberikan oleh pengamatan inderawi. Hakekat itu dirobah menjadi suatu bentuk
yang dapat dikenal. Pengetahuan terjadi kalau akal telah mengambil bentuk itu
dan mengungkapkannya. Jadi, di dalam pengenalan akal tergantung kepada
bendabenda yang diamati indera.
Dalam
pengenalan akali ini tidak diperlukan penerangan khusus dari Allah, karena yang
dimiliki akal sudah cukup untuk dijadikan alat guna mendapatkan pengetahuan dan
memberi jaminan subjektif bagi kepastian pengetahuan itu. Mengenai jaminan kepastian
yang bersifat objektif dikatakan, bahwa hal itu tergantung dari hakikat obyek
yang dikenal itu sendiri, artinya: tergantung dari idea ilahi sendiri.
7. Etika Teologis
Etika
Aquinas disesuaikan dengan ajarannya tentang manusia. Moral, baik yang berlaku
bagi perorangan, maupun yang berlaku bagi masyarakat, diturunkan dari cahaya
manusia diciptakan oleh Allah, atau diturunkan dari tabiat manusia. Hal ini
dikarenakan manusia menurut tabiatnya, adalah makhluk sosial. Dalam menguraikan
etika, Thomas tidak memakai metode deduksi sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang sezamannya. Dia menggunakan metode induktif, yaitu dengan
menyesuaikan etikanya dengan kenyataan hidup.
Etika
Thomas aquinas berkaitan dengan iman kepercayaan kepada Allah pencipta. Dalam
arti ini, etika Aquinas memiliki unsur teologis. Namun, unsur itu tidak
menghilangkan cirinya yang khas filosofis bahwa etika itu memungkinkan orang menemukan
garis hidup yang masuk akal. Tujuan terakhir hidup perorangan adalah memandang
Allah. Berdasarkan tujuan terakhir hidup manusia ini, hidup perorangan diarahkan
ke situ, dan seluruh masyarakat harus diatur sesuai dengan tuntutan tabiat
manusia. Dengan demikian seluruh masyarakat akan membantu orang menaklukkan
nafsu-nafsunya kepada akal dan kehendak. Menurut Aquinas, sebenarnya segala
nafsu baik. Akan tetapi, nafsu-nafsu itu dapat menjadi jahat ketika nafsu-nafsu
itu melanggar kawasan masing-masing dan tidak mendukung akal dan kehendak. Jika
demikian, nafsu-nafsu itu lalu menyimpang dari arahnya yang asasi. Jadi, sebenarnya
arah perbuatan kesusilaan bukanlah untuk mematikan nafsu, tetapi untuk mengaturnya,
sehingga nafsu-nafsu itu turut membantu manusia dalam upaya merealisasikan
tugas terakhir hidupnya. Tentu saja tetap masih ada kemungkinan terjadinya
hal-hal yang jahat. Bagaimanapun kejahatan tidak berada sebagai kekuatan yang
berdiri sendiri, tidak diciptakan Allah. Kejahatan berada dimana tiada
kebaikan. Akal merupakan norma perbuatan manusia. Oleh sebab itu, kebaikan merupakan
perbuatan yang telah dipertimbangkan melalui akal. Akal adalah pencerminan Akal
Ilahi. Dari akal itu diturunkan kebajikan akali. Didalam etika sosial diajarkan
bahwa negara adalah bentuk hidup yang tertinggi di kawasan segala sesuatu yang
bersifat kodrati. Menurut tabiatnya manusia dikaitkan dengan hidup bersama di
dalam masyarakat dan negara. Bentuk yang paling sederhana dari hidup bersama yang
kodrati itu terdapat pada keluarga. Oleh karena itu, keluarga menjadi sel
organisme masyarakat.
Keunggulan
Etika Thomas dibandingkan dengan etika teolog lainnya terlihat pada
pandangannya etika peraturan. Kebanyakan etika yang mendasarkan kewajiban moral
manusia kepada kehendak Tuhan bersifat etika peraturan yang diberikan Tuhan dan
karena itu harus ditaati oleh manusia. Meskipun tidak salah, pola etika
peraturan itu tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa peraturan itu diterapkan?
Jadi, ada defisit dalam rasionalitas. Orang dewasa mau saja taat pada peraturan,
tetapi ia ingin tahu mengapa peraturan itu dibuat. Peraturan itu dibuat oleh yang
berwenang, tidaklah membuatnya rasional.
Selain itu, etika peraturan mereduksi sikap moral manusia pada pertanyaan ”boleh atau tidak boleh?” pertanyaan
itu tidak memberi ruang kepada salah satu faham moral yang paling penting dan
paling dibutuhkan pada zaman pasca tradisional, yaitu tanggungjawab. Thomas
mengatasi kelemahan itu, karena hukum abadi yang diperintahkan oleh Tuhan
adalah pengembangan dan penyempurnaan manusia sendiri. Jadi, ada rasionalitas
internal hidup menurut hukum kodrat, hanya memenuhi perintah Tuhan yang memang
sesuai dengan dinamika intenal manusia sendiri. Dengan demikian, manusia
menemukan diri menjadi nyata. Ketakwaan dan kebijaksanaan menyatu takwa karena
taat kepada Tuhan, bijaksana karena memang demi keutuhan manusia sendiri. Taat kepada Allah secara intrinsik menjadikan
manusia bahagia karena dengan demikian ia menemukan kesempurnaan. Berbeda
dengan etika Kant yang mereduksi
moralitas pada kewajiban. Etika Thomas berkaitan dengan desakan dasar
hati manusia ke arah kebahagiaan. Setiap orang ingin bahagia. Keinginan itu
yang terlaksana melalui etika hukum kodrat. Dengan demikian, Thomas mempertahankan
faham Yunani yang mengatakan bahwa etika mengajarkan seni hidup. Seni hidup
dalam arti bahwa orang yang mengikuti tuntutan etika menjadi semakin pandai atau bijaksana dalam cara
mengurus gaya hidupnya dengan sedemikian rupa. Sehingga terasa lebih
berkualitas, bermakna dan lebih maju. Aspek inilah yang tidak ada pada pola etika
kewajiban sebagaimana dicanangkan oleh Kant. Thomas Aquinas tidak memisahkan
antara ketakwaan dan kebijaksanaan, begitu pula antara keutamaan moral dan
kebijaksanaan. Dalam kerangka teori hukum kodrat, orang bijaksana akan hidup
lebih baik, karena itulah yang paling membahagiakan dan memang itulah yang dikehendaki
Tuhan pencipta.
Filsafat
Etika Thomas aquinas memiliki rasionalitas tinggi. Disamping itu pula hukum kodrat mempunyai sifat yang universal karena
meskipun acuan kepada Allah pencipta bersifat teologis, dalam strukturnya
sendiri etika ini tidak berdasarkan iman kepercayaan atau agama tertentu. Etika
hukum kodrat terbuka bagi siapa saja mengembangkan potensi-potensinya,
menyempurnakan diri secara utuh, mengusahakan identitasnya, semua itu merupakan
tujuan yang masuk akal.
Dalam
hal ini Aristoteles menegaskan bahwa
manusia bebas dalam berbuat. Stoa mendahului Kant, menyatakan bahwa kualitas
manusia akan moral ditentukan oleh kehendaknya, bukan tindakan lahiriah yang
menentukan orang baik atau buruk dalam arti moral, melainkan sebagai ungkapan
kehendak. Manusia itu baik apabila ia berkehendak baik, dan jahat bila
berkehendak jahat. Augustinus juga memiliki pandangan yang sama, demikian pula
halnya dengan Thomas Aquinas. Menurut
Thomas, manusia memilih antara baik dan buruk. Perbuatan baik mengarahkan
kepada tujuan akhir. Perbuatan buruk
akan menjauhkan daripada-Nya. Kebebasan itu padanan dari akal budi.
Sebagaimana akal budi merupakan kemampuan kognitif manusia yang terbuka kepada
yang tak terhingga, begitu pula kehendak adalah dorongan manusia yang mengarah
kepada yang baik, yaitu nilai yang tak terhingga.
Thomas
aquinas membedakan antara dua macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan
manusiawi dan kegiatan manusia. Kegiatan manusia adalah segala macam gerak,
perkembangan dan perubahan pada manusia yang tidak disengaja, yang murni
vegetatif atau sensitif dan instingtif. Kegiatan ini di luar kuasa manusia,
tidak perlu dipertanggungjawabkan, itu berarti kegiatan pada manusia itu tidak
mempunyai kualitas moral mereka bukan baik atau buruk. Kegiatan manusia justru
tidak khas manusia, melainkan juga ada pada binatang dan sebagian juga pada
tumbuhan. Kegiatan yang khas bagi manusia disebut kegiatan manusiawi, yaitu
kegiatan sebagai manusia yang tidak ada organisme lain. Itulah kegiatan yang
disengaja, tindakan dalam arti yang sebenarnya. Tindakan itu dikuasai. Berarti
berlaku dengan bebas karena kita menentukan diri sendiri. Atas tindakan
tersebut, maka kita bertanggungjawab. Karena itu, tindakan menentukan kualitas
moral manusia. Tindakan baik, berarti manusia baik, tindakan buruk berarti
manusia jahat. Apakah manusia mendekati tujuan akhir atau tidak adalah tanggungjawab
manusia itu sendiri. Ia wajib bertindak ke arah yang baik dan tidak bertindak
ke arah yang jahat. Perintah moral
paling dasar menurut Thomas Aquinas adalah: “lakukanlah yang baik,
jangan melakukan yang salah. Yang baik adalah tujuan terakhir manusia, yang
buruk adalah apa yang tidak sesuai. Tindakan ini didahului oleh pengertian
bahwa sesudah mengetahui yang baik, kita wajib menghendaki melakukan. Begitu
pula, kita wajib menghindari apa yang kita ketahui sebagai yang jahat. Kemantapan
dalam berbuat baik dan menolak yang
jahat disebut keutamaan. Aquinas mengambil faham keutamaan dari Aristoteles.
Keutamaan merupakan sikap hati yang sudah mantap, seakan-akan diandalkan. Sikap
pada kebiasaan hati itu terbentuk karena tindakan. Manusia diharapkan
mengusahakan keutamaan agar ia dengan mudah dapat bertindak sesuai dengan apa
yang disadarinya dengan baik, agar kehendak, bagian dari jiwa yang menuju baik semakin
terarah kepada apa yang diketahui dengan baik, yang sesuai dengan akal budi.
Sebagaimana bagi Aristoteles begitu juga bagi Thomas, keutamaan pada umumnya
merupakan sikap yang ditengah. Artinya keutamaan berada diantara dua sikap yang
ekstrim yang kedua-duanya buruk (kebijaksanaan, misalnya, terletak diantara
kebodohan dan sikap berhati-hati yang berlebihan).
Lex
Aterna, Lex Naturalis dan Lex Humana: Filsafat Politik Thomas Aquinas
Pemikiran
Thomas Aquinas tentang etika
politik bisa dilihat pada pendapatnya
mengenai hukum. Menurutnya, hukum pada kodratnya sangat memperhatikan keadilan
pada masyarakatnya. Dalam negara hukum konstitusional, keberadaannya diukur
pada bagaimana Negara tersebut memberi perlindungan kepada rakyat dan memperhatikan hak-hak asasi
manusia. Dalam kesepakatan etika politik modern
dinyatakan bahwa kekuasaan politik memerlukan legitimasi demokrasi dan
dalam tuntutan bahwa negara dibebani tanggungjawab
untuk mewujudkan keadilan sosial.
Sumbangsih
pemikirannya pada filsafat politik walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari
seluruh tulisannya, tenyata sangat
esensial pada etika kekuasaan. Thomas membicarakan masalah etika politik
dalam dua tulisan, yaitu Summa Theologiae I dan dalam tulisan mungilnya De
Regimine Principum (tentang pemerintahan raja).
Pada
uraian pertama, Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat
diantara hukum-hukum ini, yang pertama adalah
Lex Aterna (Hukum Abadi) atau kebijakan Ilahi sendiri sejauh merupakan
dasar kodratnya, karena kodrat makhluk-makhluk mencerminkan kebijaksanaan yang menciptakannya.
Bahwa makhluk itu ada dan bahwa makhluk berbentuk atau berkodrat sebagaimana
adanya adalah karena itulah yang
dikehendaki Sang Pencipta. Kenyataan ini mempunyai akibat, bahwa kodratnya
adalah normatif bagi ciptaannya. Makhluk itu dengan sendirinya tumbuh, bergerak
dan berkembang menurut hukum alam.
Tetapi lain halnya dengan manusia. Manusia memiliki pengertian dan kemauan
bebas dan oleh karena itu dapat menentukan sendiri bagaimana ia mau bertindak.
Dalam hal ini, baginya kodrat merupakan hukum
dalam arti yang sungguh-sungguh
manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Hukum kodrat itulah dasar semua tuntutan moral. Dengan menghubungkan
hukum moral dengan hukum kodrat, Thomas mencapai dua hal sekaligus, ia
mendasarkan norma-norma moral pada wewenang mutlak Sang Pencipta. Dan ia
sekaligus menunjukkan rasionalitasnya. Rasionalitasnya merupakan
tuntutan-tuntutan moral yang terletak dalam kenyataan. Tuntutantuntutan itu
sesuai dan berdasarkan pada keperluan
kodrat manusia. Thomas dalam mengatasi irasionalisme sedemikian banyak etika
religius yang mempertanyakan norma-norma moral pada kehendak Tuhan, tanpa
menjelaskan mengapa Tuhan berkehendak demikian. Menurut kodratnya Tuhan
menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya, dan itu berarti, hidup
sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang. Dapat membangun dan menemukan identitasnya,
dapat menjadi bahagia. Dalam bahasa moral hukum kodrat menuntut manusia agar hidup
sesuai dengan martabatnya.
Dengan
demikian, Thomas Aquinas pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban
yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional, dari kebutuhan manusia
sendiri yang sebenarnya. Prinsip itu diterapkan dengan tegas pada hukum buatan
manusia, Lex Humana. Menurut Thomas, suatu hukum buatan manusia berlaku apabila
menurut dimensinya berdasarkan hukum kodrat isinya harus sesuai dengan hukum
kodrat dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan hukum
kodrat. Thomas Aquinas terlihat secara radikal menolak kekuasaan sebagai dasar
hukum. Suatu peraturan hanya bersifat hukum, artinya hanya mengikat, apabila
isinya dapat dilegitimasi secara rasional dari hukum kodrat. Suatu “hukum” yang
bertentangan dengan hukum kodrat, menurut Thomas tidak memiliki status hukum,
melainkan merupakan “Corruptio Legis” atau penghancuran hukum. Jadi, Thomas
secara radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak
dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fiksi dan
sosial, tetapi tidak mencakup suatu wewenang. Bagi Thomas tak ada satu orang
pun yang secara asasi mempunyai wewenang atas manusia lainnya, yang berwenang
hanyalah satu yaitu Sang pencipta dan segenap wewenang atas manusia haruslah
mendapat hak dan wewenang yang pertama itu. Hukum kodrat adalah tolok ukur
legitimasi segala tindakan kekuasaan. Suatu ketentuan penguasa yang tidak
sesuai dengan hukum kodrat, tidak mengikat.
Filsafat
politik Thomas Aquinas membuka fakta kekuasaan terhadap kritik dan tuntutan
pertanggungjawaban. Sekalipun dipastikan bahwa segenap kekuasaan manusia
terbatas sifatnya dan tidak pernah mutlak. Kekuasaan itu perlu sejauh manusia
sebagai makhluk berkodrat sosial, membutuhkan
kesatuan pimpinan agat ia dapat menjalankan kemanusiaanya secara utuh.
Kekuasaan adalah fungsional demi kesejahteraan masing-masing orang.
Mengenai
pemerintahan kerajaan yang dia tujukan
kepada Raja Hugo di Cyprus, Thomas menjelaskan perbedaan antara pemerintahan
yang sah dan pemerintahan yang disebut despotik. Pemerintahan despotik adalah
pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, sedangkan pemerintahan
politik yang sah harus sesuai dengan kodrat manusia sebagai orang yang bebas.
Apabila kumpulan orang-orang bebas dibimbing kearah kesejahteraan umum
masyarakat, maka pemerintahan seperti ini bisa dikatakan pemerintahan yang
benar dan adil. Tetapi, apabila pimpinan tidak mengusahakan kesejahteraan umum
masyarakat, lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, maka ini pemerintahan
yang tidak adil dan bertentangan dengan kodrat. “Kekuasaan pada dasarnya
hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas yang sesuai dengan
kodrat. Sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara, yaitu
mengusahakan kemakmuran bersama, bukan kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu. Yang boleh disebut raja bukanlah orang yang kebetulan duduk di atas
tahta istana kerajaan, melainkan seorang penguasa yang memerintah demi kesejahteraan
umum masyarakat, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Menurut
Aquinas, tidak pernah seorang dengan sendirinya berhak memerintah orang lain.
Sebagai sesama ciptaan Tuhan tidak ada
manusia yang mengungguli manusia yang lain. Jika ada yang memerintah dan
diperintah, maka harus berdasarkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Fungsi suatu pemerintahan memang diperlukan
dalam rangka upaya mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Kepada siapa
pemerintahan itu dipercayakan, masyarakatlah yang berhak menentukan (rakyat,
populus dalam bahasa Thomas Aquinas). Setiap raja atau penguasa yang sah
menduduki jabatannya berdasarkan pada suatu perjanjian dengan rakyatnya. Dalam
perjanjian itu rakyat disatu pihak, berjanji akan taat kepada raja. Dan dipihak
lain, raja berjanji akan mempergunakan kekuasaannya demi tujuan yang sebenarnya,
yaitu untuk mengusahakan kepentingan rakyat atau kesejahteraan umum. Apabila
raja menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan sendiri, berarti dia
melanggar perjanjian. Dengan demikian, perjanjian ini tidak berlaku lagi.
Untuk
mencegah timbulnya Tirani dalam kekuasaan, maka hendaknya diatur sedemikian
rupa sehingga raja tidak memiliki kesempatan untuk mendirikan pemerintahan yang
despotik. Sebagai seorang yang sangat religius Thomas berpesan, manusia tidak berhak menyombongkan
diri dihadapan Tuhan dan manusia. Meskipun mereka sedang menduduki jabatan
sebagai penguasa. Kekuasaan merupakan titipan masyarakat agar tercipta
keharmonisan dalam hidup bernegara.
Kesimpulan
Abad
Pertengahan bagi Barat merupakan abad gelap bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Namun, dalam suasana “gelap” tersebut Thomas Aquinas mampu menyumbangkan
pemikiran ilmiah yang dikemas dengan pemikiran teologi. Sebagian besar karyanya
bersifat teologis dengan sintesa
filosofis. Thomas mendasarkan filsafatnya atas prinsip-prinsip Aristotelisme.
Dia selalu berusaha untuk mengetahui pendapat Aristoteles secara teliti.
Disamping itu, dia juga menggunakan sumber lain, yaitu karangan-karangan
neo-platonistis (PseudeDionysios), Augustinus, Boetius, karangan-karangan Arab
(terutama Ibn Sina dan Ibn Rushd) dan karya-karya Yahudi (Maimonides). Dia
menggunakan seluruh tradisi filosofis dan teologis. Thomas menggarap semua
inspirasi itu menjadi suatu sintesa yang betul-betul patut dikagumi.
0 komentar:
Posting Komentar