Labels

Pages

semester 5

filsafat politik


FILSAFAT POLITIK SEBAGAI DISIPLIN AKADEMIK



            Dua cara nampaknya bisa dibayangkan ketika kita harus menggambarkan ‘state of the play’ dari filsafat politik.[1] Cara pertama, filsafat politik bisa dijelaskan dengan mengatakan sesuatu tentang usaha filsafat politik itu sendiri. Dengan cara ini, kita mungkin diharapkan dapat membuat definisi tentang apa itu filsafat politik. Cara ini tidak mudah dilakukan, mengingat bukan hanya bahwa rumusan dalam bentuk kalimat pendek tidak pernah mencukupi untuk menggambarkan keseluruhan maksud filsafat politik, tetapi juga karena filsafat politik pada hakikatnya bukan sesuatu yang tidak berubah. It is not an essence with eternal nature! Filsafat politik adalah ”kegiatan yang kompleks yang hanya dapat dipahami dengan baik melalui analisis terhadap banyak sekali cara yang dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkannya” (Wolin 2004: 3).
            Cara kedua, yang akan kita coba tempuh,
adalah dengan melihatnya sebagai tradisi wacana khusus. Dengan ini kita dapat mendiskusikan ciri-ciri umum tradisi tersebut, juga berbagai minat atau keprihatinan yang telah melatarbelakangi mereka yang mengembangkannya, dan pergeseran yang menandai garis-garis penting dalam perkembangannya. Dengan kata lain, filsafat politik dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa telah ada orang-orang yang mengajarkan tema ini di berbagai universitas. Cara ini juga menyarankan kita untuk memanfaatkan pencapaian bidang ilmu lain yang relevan dalam mendeskripsikan pokok masalah dan pendekatan yang mungkin dapat dikembangkan. Apa yang mereka kerjakan dan apa yang telah mereka capai? Hal ini berhubungan dengan dua pertanyaan:
  1. Apa pokok masalah (subject-matter) filsafat politik yang semestinya menjadi pegangan kita dalam bekerja?
  2. Metode dan pendekatan apa yang mungkin membantu untuk mengembangkan pokok masalahnya, dan bagaimana mereka yang mempelajari filsafat politik memilih metode dan berbagai pendekatan itu?

Jawaban terhadap beberapa butir pertanyaan itu akan saya berikan secara ringkas, tidak dalam bentuk argumen tetapi dalam bentuk paparan, karena tujuan saya adalah sekedar memberikan deskripsi umum tentang filsafat politik sebagai disiplin akademik, yaitu mengungkapkan pandangan umum (general point of view) tentang filsafat politik, sesuatu yang diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih jauh bagi siapa saja yang berminat mengembangkannya. Saya akan menutup uraian ini dengan catatan akhir bagi mereka yang tertarik dengan bidang ilmu ini untuk membantu mengembangkan filsafat politik di Universitas dan menarik manfaatnya dalam kehidupan masyarakat.


POKOK MASALAH (SUBJECT-MATTER) FILSAFAT POLITIK

Apa pokok masalah filsafat politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita agaknya harus menelusuri sejak kapan filsafat politik muncul dan mulai berkembang. Menurut sebuah penilaian, filsafat politik ada sejak manusia menyadari dapat hidup satu sama lain dengan cara yang lebih bermanfaat.[2] Dengan ini, kerjasama di antara manusia dimungkinkan, dan usaha mengembangkan atau menata kehidupan bersama yang ideal melalui rasionalitas (dan ini berarti menggantikan naluri), mulai dikembangkan. Dengan rasionalitas manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana diantara berbagai pilihan itu yang dapat dianggap paling baik, bahkan pertimbangan yang relevan untuk menentukan berbagai pilihan itu juga sering kabur.[3]
Pada titik itulah pertanyaan filsafat politik dimulai. Dengan rasionalitasnya manusia mencoba mempertanyakan apa hakikat dari organisasi masyarakat yang baik (good) dan tepat (right)[4] atau “bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok” (Brown, 1986, p. 11; Kymlicka, 1990, p. 1). Pandangan semacam ini memang merujuk pada pengertian modern atau kontemporer tentang filsafat politik, sebuah tradisi yang berbeda dengan tradisi filsafat politik pada masa klasik dan abad pertengahan, dan mengesampingkan pengaruh filsafat bahasa dan filsafat analitik yang merupakan tradisi tersendiri.[5]
Kecenderungan filsafat politik klasik, seperti yang nampak dalam pemikiran Plato, adalah tidak membedakan filsafat politik dan filsafat pada umumnya, karena penyelidikan tentang hakikat kehidupan individu yang baik (the nature of the good life of individual) diasosiasikan dengan penyelidikan yang mempertemukan (meskipun tidak sejajar) dengan hakikat masyarakat yang baik (the nature of the good community). Banyak filsuf klasik lain yang terkenal memberikan sumbangan pada perkembangan ide-ide politik, dengan menawarkan metode analisis dan kriteria penilaian, dan karena itu secara historis perbedaan utama antara filsafat dan filsafat politik sering dianggap sebagai masalah spesialisasi, bukan sebagai masalah metode atau pembawaan (Wolin, 2004: 4). Persekutuan yang erat antara filsafat dan filsafat politik ini menjelaskan mengapa para filsuf politik menerima dorongan untuk mengejar pengetahuan yang sistematis seperti yang dilakukan para filsuf pada umumnya.
Namun, ada pengertian lain yang lebih fundamental tentang keterkaitan yang erat antara filsafat politik dengan filsafat pada umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya, meskipun kualitas esensial tentang apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di kalangan para ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter) filsafat politik mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap ”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena filsafat digambarkan sebagai usaha sistematis untuk memahami prinsip yang mendasari semua hal, penyelidikan tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap harus membentuk bagian dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1). Cicero menunjukkan pokok perhatian filsafat politik ketika menyebut Commonwealth sebagai ”res publica”, yang artinya ’benda publik’ (public thing), atau ’milik rakyat’ (property of a people). Dengan ini, tatanan politik (political arrangement) dipahami sebagai sesuatu yang unik, yang berhubungan dengan sesuatu yang umum (common) dalam masyarakat. Satu-satunya institusi yang menyaingi otoritas tatanan politik ini adalah Gereja abad pertengahan, meskipun hal ini terjadi karena Gereja, dalam mengontrol ciri-ciri regim politik, telah menjadi sesuatu yang berbeda dengan badan keagamaan.
Karena itu, filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Dalam bahasa Robert N. Beck filsafat sosial (atau politik) adalah ”kritik kefilsafatan terhadap prinsip-prinsip yang mendasari proses sosial (atau politik) dengan cara mengembangkan argumen yang dapat membenarkan institusi-institusi sosial dan politik, baik sebagaimana adanya (as they actually are), atau sebagaimana yang dibayangkan (as they imagined)” (Beck, 1967: 3). Saya berpendapat bahwa filsafat politik sebaiknya memang dikembangkan sebagai studi tentang penilaian dan kritik moral terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang diarahkan pada penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Ada dua keunggulan yang terdapat dalam rumusan demikian itu: di satu pihak, karena ia menggarisbawahi, dan menurut saya beralasan, bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat politik dengan praktek aktual, dan di pihak lain, karena ia mengakui bahwa filsafat politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau citra bayangan (mirror images) tentang masyarakat. Sebab, jauh sebelum manusia mulai berefleksi atau berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik dan struktur sosial sudah ada lebih dahulu sehingga ”batas dan substansi dari subject matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang sudah ada dalam masyarakat” (Wolin, 2004:7). Akan tetapi, sebagian besar temuan penting dalam studi filsafat politik juga terjadi dalam masa krisis, yaitu sebuah masa ketika kerusakan institusional melepaskan fenomena politik menjadi tidak lagi terintegrasi secara efektif, sehingga ”filsafat politik selalu mengandung aspek aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan keadaan yang sedang berlaku, dan secara demikian juga mengimplikasikan kritik terhadap keadaan yang ada sekarang” (McBride, 1994: 3)
Filsafat politik juga memiliki sejumlah karakteristik yang lain. Salah satu yang utama adalah studi filsafat politik pada dasarnya merupakan cabang dari filsafat praktis (practical philosophy), yaitu cabang filsafat yang, terkait erat dengan etika atau filsafat moral, menangani pertanyaan moral dari kehidupan publik. Para ahli mengakui adanya kontinuitas yang fundamental antara moralitas dan filsafat politik. Robert Nozick, misalnya, mengatakan bahwa “filsafat moral menentukan latar-belakang dan batas bagi filsafat politik“[6]. Namun, ada pandangan yang berbeda di antara para filsuf politik menyangkut pembagian bidang moralitas dan filsafat politik dan tentang kriteria untuk argumen yang dianggap paling berhasil (Kymlicka, 1990, p. 6). Filsafat politik berbeda dengan etika: etika berhubungan dengan dimensi moral pribadi, misalnya bagaimana seseorang seharusnya hidup, nilai atau gagasan ideal apa yang seharusnya dipegang dan aturan hidup macam apa yang hendaknya diperhatikan. Karena itu, sebagai cabang filsafat praktis, filsafat politik berhubungan dengan sisi atau aspek sosial dari etika atau lebih tepat berhubungan dengan pertanyaan tentang bagaimana pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat yang seharusnya (Brown, 1986, p. 11).
Namun, perbedaan antara moralitas pribadi (privat morality) dan filsafat politik yang menekankan etika bersama tidak mudah ditentukan. Aristoteles misalnya menyatakan dalam halaman pertama Politics-nya bahwa negarawan (politikos) tidak boleh dikacaukan dengan pemilik budak atau kepala rumah tangga: negawaran menyangkut sesuatu yang ’politis’, sedangkan pemilik budak atau kepala rumah tangga tidak bersangkut paut dengan yang ’politis’. Di sini, Aristoteles menyinggung kesulitan yang dialami para filsuf politik dalam memisahkan subject-matter yang dalam realitasnya tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya, tanggungjawab moral yang ada pada seseorang kepada orang lain kadang menjadi sesuatu yang pribadi, hanya melibatkan peraturan perilaku personal, namun kadang juga menjadi masalah publik yaitu harus dipaksakan melalui lembaga-lembaga politik. Misalnya, ketika seorang wanita mengatakan bahwa ”yang pribadi adalah politis” (the personal is political), ia mulai menyadari bahwa apa yang dianggap sebagai masalah privat, domestik dan individual, dalam kenyataannya adalah publik dan struktural.[7] Jadi, salah satu persoalan yang dihadapi filsafat politik dalam hubungannya dengan etika nampaknya terkait dengan pertanyaan mana yang lebih penting antara moralitas pribadi dan moralitas publik dan juga tentang konflik yang dapat ditolerir dari nilai-nilai moral politik dan personal.
Karakteristik lain filsafat politik yang tak kalah penting adalah sebagai pengetahuan normatif, yaitu bahwa filsafat politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar ideal), yang dapat dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba menguraikan bagaimana sesuatu secara apa adanya (Wolf, 2006: 2). Studi normatif mencari tahu bagaimana sesuatu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara moral tepat, sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik, sosiolog, dan ahli sejarah. Maka, meskipun filsuf politik memiliki perhatian yang sama seperti halnya ilmuwan politik yang mempertanyakan distribusi barang-barang dalam sebuah masyarakat, misalnya, seorang filsuf politik (berbeda dengan ilmuwan politik) akan memusatkan perhatiannya pada aturan atau prinsip apa yang menentukan distribusi barang-barang tersebut. Seorang filsuf politik tidak bertanya ’bagaimana properti didistribusikan’, tetapi ’distribusi properti semacam apa yang adil dan fair’, ia tidak bertanya ’hak dan kebebasan apa yang sesungguhnya dimiliki rakyat’ tetapi ’ hak dan kebebasan apa yang seharusnya dimiliki rakyat’. Tentu saja, pembagian antara studi normatif dan studi deskriptif tidak selalu sejelas seperti yang mungkin disangka karena masalah perilaku manusia seringkali berada di antara dua titik pembagian deskriptif dan normatif. 
Cara lain yang kadang dilakukan untuk lebih memahami subject matter filsafat politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan teori politik. Menurut Brown (1986, p.14), pokok perhatian ilmu politik adalah realitas atau peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu. Sebagai pengetahuan deskriptif, ilmu politik, tidak berkepentingan dengan pertanyaan tentang nilai, yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian etis, jadi nilai dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya dilihat sebagai gagasan ideal. Akan tetapi, karena pertanyaan tentang nilai harus dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan ini. Disinilah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun ada perbedaan diantara keduanya:
Teori politik, di satu pihak, merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan didalamnya juga terkandung berbagai rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai ideologi.[8] Filsafat politik, di pihak lain, juga menaruh perhatian terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan bentuk pada teori atau doktrin itu.
Pada tempatnyalah sekarang memberikan gambaran tentang sejumlah perkembangan filsafat politik. Pertama, ada perbedaan yang signifikan dalam hal perhatian filsafat politik pada masa lalu (sekitar duapuluh lima tahun yang lalu) dengan perhatian filsafat politik dewasa ini di sebagian negara Barat. Buku-buku teks filsafat politik kontemporer umumnya memusatkan perhatian pada tema yang berbeda dengan perhatian studi filsafat politik di masa lalu, dan sejumlah isu yang dulu pernah dianggap penting seperti tokoh-tokoh sejarah[9], analisis konsep kekuasaan, kedaulatan negara dan hakikat hukum tidak lagi mendapat porsi pembahasan yang ekstentif (cf. Kymlicka, 1990; Brown, 1996; Murray, 1953). Hal ini kemungkinan besar juga mencerminkan perubahan dan orientasi wawasan politik di dunia internasional dan dalam negeri di banyak negara dewasa ini. Satu implikasi yang penting adalah bahwa anggapan tentang prinsip politik yang kerap menjadi haluan politik seseorang, kelompok masyarakat atau negara dapat dibedakan dengan cara menggambarkannya seolah menyerupai garis tunggal yang membentang dari kiri ke kanan sudah mulai diabaikan (Kymlicka, 1990: 1-4). Sering digambarkan bahwa mereka yang ada di kiri dikategorikan sebagai penganut sosialisme dan karena itu mempercayai pentingnya persamaan (equality) dan yang di kanan dikategorikan sebagai penganut kapitalisme dan karena itu mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang menganut campuran antara kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara ketiga titik itu dan banyak orang menerima bagian yang berbeda dari berbagai teori yang berbeda. Jelas bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai sebuah garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai. Munculnya aliran teori seperti feminisme atau komunitarianisme, misalnya, dapat menjadi petunjuk yang menjelaskan kesalahan menyederhanakan kompleksitas kehidupan politik. Maka, mahasiswa filsafat politik memang ditantang untuk lebih kritis dalam melihat berbagai prinsip atau haluan politik yang dianut seseorang, sekelompok masyarakat atau sebuah negara.
Kedua, studi filsafat politik kontemporer juga menunjukkan implikasi lebih jauh dari penyederhanaan garis politik antara kiri dan kanan. Misalnya, jika seseorang mendukung persamaan (equality) maka orang itu pasti dianggap menganut sosialisme, atau jika seseorang mendukung kebebasan, maka orang itu pasti menganut kapitalisme. Pandangan semacam ini muncul karena anggapan bahwa tiap-tiap teori atau prinsip politik selalu memiliki landasan nilai (foundational values) yang bertentangan, saling menolak dan tidak dapat dipadukan. Jadi, pandangan ini mengatakan bahwa karena orang menganut nilai-nilai dasar (fundamental values) yang berbeda, maka perbedaan prinsip-prinsip dan haluan politik mereka tidak akan mungkin bisa diselesaikan. Hal ini berarti tidak ada jalan yang bisa dilakukan seseorang untuk mendukung persamaan diatas kebebasan atau mendukung kebebasan di atas persamaan, karena masing-masing merupakan landasan nilai, dan tidak ada nilai atau premis lain yang lebih tinggi tempat keduanya memungkinkan mencapai titik temu.
Studi filsafat politik kontemporer membuktikan bahwa landasan nilai dalam kehidupan politik justru lebih kompleks daripada apa yang semula disangka itu. Dengan kata lain, landasan nilai utama dalam kehidupan politik mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, seperti yang terlihat dalam karya filsuf-filsuf kontemporer seperti John Rawls (kesepakatan kontrak), kaum komunitarian (kebaikan bersama), kaum utilitarian (kemanfaatan), Ronarld Dworkin (hak) atau kaum Feminisme (androgini). Kenyataan ini menjelaskan bahwa mahasiswa filsafat politik harus menerima keharusan memadukan berbagai teori yang paling relevan, ketimbang mengharapkan suatu teori dapat memberikan petunjuk yang komprehensif. Mahasiswa bisa mencoba memeriksa kebenaran pandangan tentang apakah landasan nilai yang lebih dalam yang dapat menyelesaikan pertentangan di antara berbagai teori yang ada bisa ditemukan, seperti yang misalnya telah dimulai oleh Ronald Dworkin.[10]


METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI FILSAFAT POLITIK
           
Sejauh ini kita telah memahami bahwa filsafat politik bukanlah disiplin akademik yang berdiri sendiri.[11] Pertama, sebagai cabang dari filsafat praktis, filsafat politik berhubungan erat dengan etika atau filsafat moral, yaitu studi yang menangani pertanyaan tentang apa yang baik dan yang buruk dan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Tetapi, berbeda dengan studi etika pada umumnya, perhatian filsafat politik diarahkan pada sisi sosial dari pertanyaan-pertanyaan etis. Kedua, sebagai studi normatif, filsafat politik tidak bisa mengabaikan begitu saja pertanyaan faktual; pertanyaan faktual tentang perilaku manusia adalah sama relevannya dengan isu-isu normatif, karena ”studying how things are helps to explain how things can be, and studying how they can be is indispensable for assessing how they ought to be” (Wolf, 2006: 3).
Maka, dari segi metode, pertanyaannya adalah bagaimana cara menjawab pertanyaan normatif: bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan tentang sesuatu seharusnya? Berbeda dengan pertanyaan deskripsi yang mudah dibayangkan dalam menjawabnya, yaitu dengan cara mencari dan melihat fenomenanya, pertanyaan normatif hanya bisa didekati dengan cara mempelajari dan masuk secara langsung kedalam pemikiran para filsuf atau ahli filsafat politik yang telah bekerja dan memberi kontribusi pada perkembangan filsafat politik. Karena itu, memilih di antara bahan yang relevan dan pantas dipelajari dan memperhatikan bagaimana mereka yang telah mengerjakan filsafat politik bernalar tentang politik akan menentukan cara kita menguasai metode dalam studi filsafat politik: kita harus memperhatikan bagaimana para filsuf politik membedakan konsep satu dengan konsep yang lain, mengamati apakah proposisi satu bertentangan dengan proposisi yang lain, atau apakah proposisi itu konsisten secara logis dan mereka mencoba membuktikan bahwa tesis-tesis yang sangat mengejutkan dapat diajukan berdasarkan tesis yang sudah dianggap jelas.
Masih ada banyak tantangan untuk membuat metode filsafat politik menjadi lebih jelas dan sistematis dan dapat membantu mengembangkannya. Seperti halnya ilmu politik, ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, yang penemuannya harus dipertimbangkan oleh studi filsafat politik, ada berbagai pendekatan yang mungkin dapat dikembangkan dalam studi filsafat politik.

Pendekatan Sebagian vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic Approach)
Salah satu problematik yang muncul dalam studi filsafat politik adalah apakah filsafat politik harus dikembangkan melalui pendekatan sebagian atau pendekatan sistematis. Sejumlah buku filsafat politik kontemporer telah disusun dengan orientasi pada sejumlah konsep, seperti legitimasi, otoritas, otonomi, demokrasi, pemilikan, hak-hak asasi, kebebasan dan persamaan.[12] Mengembangkan pembahasan atas konsep-konsep tersebut barangkali bermanfaat untuk membantu memahami hakikat kekuasaan negara, dan dapat memberikan inspirasi untuk membangkitkan pemikiran alternatif tentang bentuk ideal dari organisasi masyarakat manusia. Namun, benarkah analisis konseptual merupakan pendekatan yang paling sesuai dalam studi filsafat politik dan harus dikembangkan oleh para mahasiswa kita?
Berbeda dengan apa yang terjadi sekitar duapuluh lima tahun yang lalu, tekanan studi filsafat politik di negara-negara Barat telah mengalami pergeseran, yaitu dari sekadar memberikan analisis konseptual terhadap makna kekuasaan, kedaulatan negara atau hakikat hukum kepada gagasan yang lebih ideal tentang keadilan, kebebasan dan komunitas untuk memberikan evaluasi bagi kebijaksanaan dan institusi politik (Kymlicka 1990, 1). Lagipula, dalam kenyataannya, aktivitas para filsuf selama ini memang tidak hanya terbatas pada analisis konseptual, yaitu mengembangkan kejelasan makna atas berbagai konsep dasar, tetapi juga mencakup aktivitas spekulatif, aktivitas deskriptif atau fenomenologi  dan aktivitas normatif atau evaluasi.[13] Alan Brown juga mengatakan bahwa analisis konseptual tidak dapat menuntaskan filsafat politik;  analisis konseptual hanya merupakan bentuk penerapan suatu pendekatan dari sekian banyak konsep kefilsafatan, sesuatu yang tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam menyelesaikan tugas yang harus dijalankan oleh studi filsafat politik.
Karena itu, menurut Brown (1986: 15), analisis konseptual hanya merupakan salah satu bentuk pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik. Menurut Brown, disamping analisis konseptual (project of conceptual analysis), pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik juga dapat mengambil bentuk berupa pencarian konsep-konsep normatif (project of normative inquiry). Dalam pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang demokrasi, misalnya, dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat diterima sebagai sesuatu yang bernilai atau tidak bernilai.
Berbeda dengan pendekatan sebagian, pendekatan sistematis berusaha "mengembangkan proyek yang sistematis dan bersifat mencakup semua filsafat praktis tentang politik" (Brown, 1986, p. 15). Dengan ini, pertama, filsafat politik melangkah jauh dari sekadar "proyek analisis konseptual", yaitu memberikan perhatian terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan politik dengan memberikan petunjuk tentang prinsip keadilan atau bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan sistematis, filsafat politik juga dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam pencarian secara sebagian atas premis nilai yang bersifat normatif (piecemal normative inquire). Kajian tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal jika dilihat hanya sebagai nilai (untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha mengkaitkannya dengan keseluruhan nilai yang mendasari sebuah masyarakat. Begitu juga, jika seseorang berpendapat, misalnya, bahwa kebebasan (freedom) atau persamaan (equality) merupakan nilai-nilai yang penting, harus dilihat penting dalam arti apa dan dibandingkan dengan apa. Secara demikian, pendekatan sistematis menyarankan bahwa filsafat politik perlu terlibat dalam totalitas citra politik, yaitu dengan terus menerus menemukan konsistensi pandangan politik satu sama lain, dan karena itu mengharuskan bentuk kajian yang bersifat perbandingan (interdisciplinary) atau memperhatikan antar hubungan dari berbagai pandangan politik. Dengan pendekatan sistematis, filsafat politik berarti melihat “kebenaran sebagai terletak pada keseluruhan”. Asumsinya adalah politik mengatur keseluruhan bidang kehidupan dan banyak hal yang merupakan perhatian utama individu ternyata juga harus mengalah dan diatur oleh kehidupan politik. Pendekatan sistematis, pendek kata akan mendorong filsafat politik terlibat untuk menangani baik aspek teoritis[14] maupun aspek praktis dari pokok masalahnya.
Aspek teoritis dari pokok masalah filsafat politik akan mencakup pembahasan sebagai berikut (Brown 1986, p. ), 
  • logika atau analisa yang difokuskan pada makna atau fungsi konsep-konsep seperti "baik", "benar", dan "seharusnya". Jadi analisa diarahkan pada apa yang dimaksud jika suatu masyarakat dikatakan tertib dan baik, misalnya.
  • metode, yaitu bagaimana menentukan jenis-jenis pertimbangan yang dianggap relevan dan dengan cara apa dapat dilakukan evaluasi atas berbagai pilihan praktis yang saling bersaing; dengan ini kita harus dapat memberikan alasan bagi argumentasi yang kita dipergunakan dan bukti-bukti yang kita pilih.        
  • pertanyaan metafisik yaitu menyangkut pengujian terhadap pranggapan atas pemikiran-pemikiran dan diskursus praktis, dan memeriksa konsistensinya atau jika tidak dengan membandingkan atas dasar penemuan ilmu pengetahuan faktual atau agama.

Sedangkan aspek praktis dari pokok masalah filsafat politik menunjuk pada penerapan (aplikasi) yaitu pengambilan keputusan atas suatu pilihan atau kebijakan. Masalah yang diperhatikan adalah "tindakan-tindakan atau bentuk-bentuk organisasi apa yang baik dan tepat". Disini mengambil keputusan tentang bagaimana menjawab pertanyaan tidak sama dengan menjawab pertanyaan yang diajukan, karena hal ini akan menyangkut penerapan sebuah metode dan penggunaan sebuah teori dalam kehidupan praktis.
            Meskipun demikian, sejumlah pemikir lain seperti Virginia Held mengajukan gagasan yang berbeda, mengatakan bahwa “adanya beragam teori terpisah bagi beragam konteks terpisah layak kita terima“.[15] Held dalam konteks ini memang tidak secara khusus membicarakan pendekatan filsafat politik, tetapi berbicara tentang pendekatan studi etika atau filsafat moral. Namun, pandangannya menarik dipertimbangkan mengingat, seperti yang sudah diuraikan, filsafat politik berhubungan erat dengan studi tentang etika atau filsafat moral. Salah satu argumentasi Held adalah bahwa usaha mencari sebuah teori moral ilmiah tunggal yang benar untuk menjelaskan segala sesuatu yang terjadi dalam bidang apa saja, merupakan suatu langkah keliru yang sangat serius yang telah dilakukan oleh para ahli teori moral di masa lalu. Dengan ini ia mengkritik pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan antara lain oleh John Rawls (A Theory of Justice), Imannuel Kant (Imperative Catagories) dan juga penganut utilitarianisme (utility), yang dinilainya sebagai telah mengajukan teori moral yang bersifat ideal. Menurut Held, semua pandangan itu menyajikan teori tentang apa keadilan, hak moral dan kepentingan umum dalam sebuah masyarakat yang ideal, tetapi dalam kenyataannya masyarakat yang kita hadapi saat ini masih sangat tidak ideal, kita bahkan belum memiliki “komunitas manusia bebas“ seperti yang dimaksudkan oleh berbagai teori ideal. Sebaliknya, yang kita miliki hanya masyarakat aktual, yaitu masyarakat yang merupakan produk dari peperangan, imperialisme, eksploitasi, rasisme, patriarki,  dan pemaksaan kehendak oleh yang kuat kepada yang dikuasi. Maka, Held menganjurkan agar kita berpegang pada teori moral yang berhubungan dengan konteks spesifik, yaitu dengan situasi aktual kita. Berbeda dengan pendekatan sistematis, yang berusaha mengembangkan teori moralitas politik yang tunggal dan ideal, Held menyarankan dikembangkannya teori moralitas bagi beragam konteks. Pendekatan semacam ini disebut Held sebagai metode moralitas eksperimental.
Saya berpendapat, pendekatan sebagian dan pendekatan sistematis menyajikan teknik yang berbeda dan memberikan kemungkinan hasil yang berbeda dalam usaha kita mengembangkan filsafat politik, namun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan pendekatan yang satu demi pendekatan yang lain. Pendekatan sebagian dapat mendorong munculnya penemuan yang lebih mendalam dan kritis mengenai konsep atau isu penting tertentu dalam filsafat politik dan akan membantu menjelaskan relevansinya dengan situasi aktual yang kita hadapi, sementara pendekatan sistematis memungkinkan lahirnya sintesis yang kreatif dari ide-ide besar dalam teori filsafat politik. Hal yang lain adalah baik pendekatan sebagian maupun pendekatan sistematis memerlukan kemampuan berspekulasi, berimaginasi, sekaligus berdialog dengan ide-ide besar dalam sejarah pemikiran manusia dan untuk pada akhirnya menghubungkannya dengan realitas kehidupan aktual.

B. Pendekatan Pemecahan Masalah vs  Pendekatan Kritis (Problem Solving vs Critical Approach)

            Pembedaan lain yang barangkali cukup penting dan dapat membantu dalam memahami berbagai pandangan dan strategi dalam pendekatan studi filsafat politik adalah pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach) dan pendekatan kritis (critical approach) seperti yang diajukan oleh Robert Cox[16], seorang ilmuwan terkemuka dalam studi hubungan internasional. Menurut Cox, pendekatan pemecahan masalah adalah,
“menerima dunia seperti apa adanya, dengan keseluruhan institusi dan hubungan kekuasaan dan sosial yang berlaku, tempat semuanya diorganisasi, sebagai kerangka kerja pasti untuk menentukan tindakan. Tujuan umum pemecahan masalah adalah untuk menjadikan berbagai institusi dan hubungan itu bekerja secara lancar, dengan menangani secara efektif sumber masalah tertentu“

Maka, pendekatan pemecahan masalah bukan saja menerima tetapi juga membantu memperkuat paradigma pandangan politik yang dominan. Dengan pendekatan ini, sistem ekonomi yang didasarkan pada paham kapitalisme atau sosialisme, misalnya, akan diterima sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri tanpa cacat ; berbagai masalah yang timbul didalamnya hanya dilihat sebagai masalah teknis atau managerial semata sehingga memungkinkan sistem itu bekerja secara lebih efektif dan efisien. Begitu juga, sebuah sistem dari kepemerintahan internasional (international governance) yang berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai “kenyataan“ juga akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk mengharapkan apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
Dalam kajian ideologi berkembang apa yang dinamakan konsepsi netral (neutral conception) tentang ideologi, yaitu ketika ideologi dikembangkan oleh berbagai penulis dalam pengertian yang murni deskriptif ; orang berbicara tentang sistem pemikiran, tentang sistem kepercayaan atau tentang praktek simbolis untuk mempertahankan proyek politik atau tindakan sosial.[17] Di Indonesia, karya kebanyakan ahli ideologi Pancasila dalam masa Orde Baru mungkin memberikan contoh yang jelas mengenai bagaimana pendekatan semacam ini dikembangkan.[18]
            Tentu saja pendekatan semacam itu tidak sesuai dengan cita rasa filsafat politik. Sifat dasar filsafat politik adalah kritis,  dan teori kritis, sebagaimana dijelaskan Robert Cox adalah,
berdiri terpisah dari tata dunia yang berlaku…(teori kritis) tidak menerima begitu saja berbagai institusi dan hubungan sosial dan kekuasaan, tetapi mempertanyakannya dengan memusatkan perhatian pada asal-usulnya, pada bagaimana, dan apakah tata dunia itu berada pada proses perubahan. Teori kritis diarahkan untuk menilai setiap kerangka kerja bagi tindakan atau masalah yang oleh teori pemecahan masalah diambil sebagai ukurannya.

Pendekatan kritis, menurut Cox, juga ”diarahkan pada kompleksitas sosial dan politik sebagai keseluruhan daripada pada bagian yang terpisah” (1986, p. 208). Teori yang berkembang dalam filsafat politik karena itu juga mencerminkan kecenderungan untuk menyajikan formula yang dapat dipergunakan dalam menjawab kompleksitas sosial, politik dan ekonomi sebagai keseluruhan, dan bukan menangani bagian tertentu dari isu sosial, politik atau ekonomi. Teori-teori filsafat politik yang berkembang baik yang mewakili kubu utilitarianisme, persamaan liberal, libertarianisme, marxisme hingga feminisme pada awalnya merupakan teori yang radikal karena  menentang kerangka berpikir dan perilaku politik yang mapan, meskipun pada perkembangan selanjutnya teori-teori itu bisa menjadi ortodoxi dan dogma. Ketika mahasiswa menerima paradigma berpikir atau kumpulan teori tertentu dalam aliran filsafat politik dan kemudian mempertahankan aliran teori itu atau bekerja didalamnya untuk memberi pembenaran terhadap tata sosial politik tertentu, maka mahasiswa telah menjauh dari pendekatan kritis ini dan mulai memeluk pendekatan pemecahan masalah.


C. Keterikatan (Commitment) Vs Pengambilan Jarak (Detachment) dalam Filsafat Politik   
            Mahasiswa yang sedang mengerjakan filsafat politik sering terdorong untuk menunjukkan keterikatannya terhadap sebuah teori dan berusaha menerapkannya untuk menjawab atau menjelaskan berbagai masalah politik, ekonomi atau sosial yang menarik perhatiannya. Kecenderungan ini muncul karena pandangan bahwa dalam mengerjakan filsafat politik mahasiswa harus menunjukkan komitmen secara politik.  Dalam ilmu politik, termasuk filsafat politik, kecenderungan semacam ini sering dianggap negatif karena mengancam studi filsafat politik yang sungguh-sungguh (genuine), dan mahasiswa perlu disarankan untuk selalu mengambil jarak terhadap seluruh pandangan atau teori dalam filsafat politik.[19] Ini berarti, mahasiswa harus dapat melepaskan diri dari hegemoni sebuah teori, dan mencoba  mencapai objektifitas politik sebagai tujuan dalam mengembangkan filsafat politik, jika bukan sebagai sesuatu yang memang hendak dicapai.
            Memang tidak selalu mudah memisahkan preferensi pribadi terhadap sebuah pandangan atau teori politik. Apalagi, apa yang dinamakan ”bebas nilai” dalam filsafat politik dan juga dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan sering dianggap sebagai ilusi. Mengambil jarak, karena itu, bukan berarti mengesampingkan keyakinan pribadi atau nilai yang dianut, tetapi menyadari asumsi nilai sebuah teori atau aliran filsafat politik, yaitu dengan mengungkapkan secara terbuka asumsi nilai itu dalam mengembangkan argumen menurut sebuah teori atau aliran filsafat politik. Ini adalah ungkapan lain tentang perlunya bersikap kritis terhadap semua aliran teori, yaitu dengan memperlakukan nilai yang mendasari setiap teori itu sebagai sesuatu yang juga harus diteliti.
            Karena mempelajari filsafat politik berarti juga memahami dan memberikan penilaian terhadap berbagai pemikiran para filsuf politik, maka ini akan berhasil dilakukan jika orang memperhatikan konteks umum dari pemikiran filsuf politik itu dan memperhatikan masalah yang dicoba dipecahkanya. Dengan kata lain, adalah penting menghayati kondisi ketika para filsuf politik itu menuliskan karyanya dan menghayati tujuan mereka dalam menuliskan pemikirannya. Dalam situasi nyata, mahasiswa memang perlu mengungkapkan “apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh  John Stuart Mill“, misalnya, tetapi dalam melakukan hal ini, mahasiswa juga perlu mempertimbangan interpretasi yang berbeda dari sumber-sumber lain yang penting yang berhubungan dengan pandangan utama John Stuart Mill. 
            Pilihan antara keterikatan (commitment) dan pengambilan jarak (detachment) hanya menunjuk pada perilaku atau sikap ilmuwan dalam menangani pokok masalah filsafat politik dan bukan pada keyakinan filsofis yang dianut. Pendekatan dengan mengambil jarak barangkali dapat dilakukan baik oleh mereka yang menganut paham relativisme maupun paham absolutisme dalam ilmu pengetahuan.[20] Orang tetap dapat menjadi absolutis atau relativis meskipun ia menunjukkan keterikatan tertentu atau ia mengambil jarak dengan sebuah teori atau aliran dalam rangka menjelaskan dan menangani masalah filsafat politik.
            Memang tidak dapat dikatakan bahwa pendekatan keterikatan selalu buruk dan tidak sesuai dengan cita rasa studi filsafat politik, sebab kadangkala terjadi justru ketika seorang mahasiswa menunjukkan komitmennya terhadap konflik politik tertentu dalam kehidupan politik maka ia berhasil mengungkapkan kedalaman sisi lain dari karakter fenomena politik, dimana jika dilakukan dengan mengambil jarak, hal semacam itu kecil kemungkinan akan diperoleh. Akan tetapi, komitmen secara politik dapat membahayakan studi filsafat politik jika ini kemudian meniadakan dorongan untuk mempertanyakan premis-premis nilai yang dianut oleh mahasiswa sendiri. Akibatnya karya-karya filsafat politik hanya menjadi alat propaganda dan polemik dan bukan sebagai sarana untuk menguji secara kritis setiap pandangan intelektual dengan suatu kerangka moral dan politik yang lebih luas.          
             
          
CATATAN AKHIR

Peranan apa yang dapat dimainkan oleh ilmuwan, termasuk mahasiswa, yang menekuni filsafat politik baik dalam kehidupan akademik maupun dalam kehidupan masyarakat? Saya telah mencoba menunjukkan bahwa pokok masalah filsafat berhubungan dengan bidang yang sangat luas, ia berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti etika, teori politik, ilmu politik, ilmu sosial dan ilmu ekonomi, maupun dengan realitas faktual dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi itu. Dengan demikian, filsafat politik mencoba menangani susunan organisasi masyarakat atau bentuk kehidupan bersama yang baik, bebas dan adil. Pokok perhatian semacam ini menyarankan bahwa mahasiswa harus ditantang untuk selalu berpikir alternatif dan imaginatif tentang bentuk dan susunan organisasi kehidupan masyarakat bersama. Disamping itu, meskipun mahasiswa filsafat politik juga harus mempertimbangkan berbagai penemuan aktual dari disiplin ilmu yang lain, filsafat politik tidak dapat diarahkan untuk menangani fakta atau peristiwa politik politik yang berlangsung sehari-hari.
Dalam menekuni filsafat politik, mahasiswa dianjurkan untuk memberikan perhatian terhadap berbagai topik yang dimunculkan, misalnya, oleh media massa. Namun, hal itu tidak berarti bahwa mereka harus tenggelam dalam kesibukkan memberikan kritik terhadap berbagai peristiwa yang terjadi sehari-hari. Perhatian filsafat politik, sebaliknya, harus diarahkan pada tema sosial, politik dan ekonomi yang lebih mendasar dan bukan kejadian atau peristiwa sehari-hari. Sebab, jika mahasiswa selalu memberi komentar terhadap kejadian yang muncul kapanpun dan dimanapun, filsafat politik sebagai disiplin ilmu akan dengan sendirinya lenyap. Sebaliknya mahasiswa harus juga mempertimbangkan berbagai temuan yang dihasilkan oleh studi ilmu politik dan teori politik (dan sebenarnya juga oleh ilmu ekonomi, terutama teori-teori ekonomi politik dan teori sosial pada umumnya) dalam usaha mereka berfilsafat. Belajar filsafat politik adalah memupuk kemampuan untuk mengembangkan argumen yang menolak atau membenarkan institusi sosial, politik dan ekonomi, baik yang bersifat nyata (real) maupun yang dibayangkan (imagined). Jelas bahwa studi filsafat politik tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dunia empiris dan interpretasi kebudayaan tertentu, dan harus memanfaatkan semua perkembangan itu untuk menatanya kembali dengan membentuk saling hubungan antar disiplin ilmu, mempertimbangkan konteks yang lebih umum dan menyajikannya dalam bentuk yang sistematis.
Karena itu, peran mahasiswa yang menekuni filsafat politik adalah untuk mengembangkan kedalaman teori dan untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang bentuk yang lebih ideal dari organisasi masyarakat atau kehidupan bersama. Disini mahasiswa hendaknya didorong untuk tidak hanya mengulang atau menelan begitu saja berbagai pendirian dan teori tentang bentuk kehidupan masyarakat, nilai, arah dan tujuannya, apalagi hanya memberikan komentar instan dan terbatas terhadap kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Sifat studi filsafat politik adalah kritis, dan meskipun mahasiswa dapat mendekati masalahnya baik melalui pendekatan sebagian maupun melalui pendekatan sistematis, mahasiswa juga perlu mengembangkan sikap yang lebih mengambil jarak, yaitu mengembangkan skeptisisme yang keras dan tidak diskriminatif terhadap teori-teori atau pendirian politik dalam usaha mereka menangani pokok masalah filsafat politik. 
Sebagian tambahan, keahlian dalam filsafat politik juga tidak sepantasnya hanya diabdikan kepada pemerintah atau agen kelompok politik, atau partai politik, apalagi dimaksudkan sebagai pelayan atau juru bicara mereka. Sebagaimana dikemukakan Hedley Bull bahwa karena tanggungjawab kaum akademisi adalah untuk “membicarakan kebenaran dan menguak kebohongan“ (to speak the truth and expose lies)[21], maka mereka perlu memahami pola hubungan yang ideal antara tugas dirinya dengan pemerintah dan agen kelompok politik. Hubungan yang terlalu jauh akan mengurangi peluang yang diperlukan dalam memberikan saling masukan oleh karena bagaimanapun pertukaran gagasan antara kaum akademisi, termasuk ahli filsafat politik, dengan pemerintah dan berbagai agen kelompok politik adalah penting. Hubungan yang terlalu dekat, sebaliknya, juga kurang baik, karena seperti dalam kasus perkembangan ideologi Pancasila selama masa Orde Baru di Indonesia, ketika institusi pendidikan menjadi alat pemerintah untuk menangani program penataran P4 seperti BP7, maka yang dihasilkan adalah lingkungan akademis yang cenderung mengembangkan kesimbukan non akademis. Karena itu, para mahasiswa dan ahli filsafat politik tetap dapat berhubungan dengan pemerintah atau agen kelompok politik manapun, namun mereka harus tetap mengambil jarak dengan kekuasaan pemerintah, sebab hanya dengan inilah dapat diharapkan munculnya sumbangan intelektual yang lebih jelas dan hanya dengan ini pula agaknya integritas filsafat politik sebagai sebuah cabang ilmu filsafat dapat ditegakkan. ***
  
References
  
Beck, Robert N. ed., Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967

Bull, Hedley, “International Relations as an Academic Pursuit”, in Australian Outlook, Vol. 26, 3 December 1972

Cahn, Steven M. Political Philosophy, The Essential Texts, Oxford University Press, New York, 2005

Cox, Robert W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond International Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.),  NeoRealism and its Critics, New York, Columbia University Press, 1986

Brown, Alan, Modern Political Philosophy. Penguin Books, Middlesex, 1986

Ebenstein, William, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart & Company, Inc. New York, 1959

Flew, Antony, A Dictionary of Philosophy, Pan Books, London, 1981

Goodin, Robert E. and Philip Pettit (eds.), A Companion to Contemporary Political Philosophy, Blackwell, Victoria, 2004

Goddin, Robert E. and Philip Pettit (eds.), Contemporary Political Philosophy: An Anthology, Blackwell Publisher Ltd, Oxford, 1997

Held, Virginia, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Penterjemah Drs. Y. Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989

King, J. Charles and James A. McGilvray, Political and Social Philosophy: Traditional and Contemporary Readings, McGraw-Hill, New York, 1973

Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction. Oxford University Press, Oxford, 1990

Matravers, Derek and Jon Pike, Debates in Contemporary Political Philosophy An Anthology, Routledge, London, 2003

McBride, William L., Social and Political Philosophy, Paragon House, New York, 1994

Murray, A.R.M., An Introduction to Political Philosophy, Cohen and West, London, 1953

Stewart, Robert M., Readings in Social and Political Philosophy, Oxford University Press, New York, 1996.

Thompson, John B., Studies in the Theory of Ideology, University of California Press, Berkeley, 1984

Wolf, Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, Revised Edition, Oxford University Press, Oxford, 2006

Wolin, Sheldon S., Politics and Vision, Expanded Edition. New Jersey, Princeton University Press, 2004

Nozick, Robert, Anarchy, State and Utopia, Basic Books, New York, 1974


[1] Mahasiswa sering bertanya apakah perbedaan antara filsafat sosial dan filsafat politik. Dalam diskusi ini istilah filsafat politik, filsafat sosial, atau filsafat sosial politik akan dipergunakan secara bergantian dan menunjuk arti yang sama. Buku Robert N. Beck menyinggung sedikit masalah ini dalam catatan kaki no. 1 dalam bukunya: Lihat Robert N. Beck ed., Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 1; William McBride juga mengatakan bahwa membedakan filsafat politik dengan filsafat sosial sebenarnya tidak perlu dan merupakan usaha yang terlalu di buat-buat, lihat McBride, William L., Social and Political Philosophy (Paragon House, New York) 1994, p. 2
[2] Lihat, Alan Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986, p. 11
[3] Dalam kata-kata Alan Brown:  “It was obvious that there was a variety of possible ends, values or ideals which were relevant to how a man ought to live and act and how a community ought to be organized. It was less obvious, on reflection, which of these values, if any, was correct”  (ibid.)
[4] Dua pertanyaan ini menjadi perdebatan penting dalam studi filsafat politik, yaitu antara paham teoleogi dan deontologi. Pertanyaannya adalah mana yang lebih utama, apakah prinsip kebaikan harus mengalah pada prinsip ketepatan, ataukah prinsip ketetapan harus diletakkan di bawah prinsip kebaikan. Sebuah buku yang banyak didiskusikan yang mengembangkan filsafat politik dengan pendekatan deontologis, jadi berbeda dengan tradisi utilitarianism, atau liberalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, dan John Stuart Mill dapat dilihat, misalnya, John Rawls, Political Liberalism, With A New Introduction and the Reply to Habermas (Columbia University Press, New York) 1993. Untuk diskusi mengenai teori kebaikan dan teori kebenaran lihat misalnya Richard B. Brand, Theory of the Good and The Right (Oxford University Press, Oxford), 1979, lihat juga Pettit Philip, “The Contribution of Analytical Philosophy”, in A Companion to Contemporary Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell, Victoria), 2004.
[5] Uraian ringkas tentang hal ini lihat Antony Flew, “Political Philosophy, in A Dictionary of Philosophy  (Pan Books, London) 1981, pp. 279-281

[6] Dikutip dari Kymlicka, 1990: Lihat juga Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York) 1974, p. 6

[7] Lihat, Jane Masbridge dan Susan Moller Okin, “Feminism”, dalam A Companion to Contemporary Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. (Blackwell, Victoria), 2004, pp. 269-290

[8] Bandingkan dengan diskusi tentang Major Ideologies yang mencakup tema-tema khusus seperti Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan Socialism dalam  Goodin, Robert E. and Philip Pettit (eds.), Ibid.
[9] Contoh teks yang memusatkan perhatian pada tokoh lihat, J. Charles King and James A. McGilvray, Political and Social Philosophy: Traditional and Contemporary Readings (McGraw-Hill, New York) 1973; Steven M. Cahn, Political Philosophy, The Essential Texts  (Oxford University Press, New York) 2005
[10] Menurut Dworkin, semua teori politik sesungguhnya memiliki landasan nilai yang sama yaitu persamaan (equality), jadi semuanya merupakan teori egalitarian. Dengan teori egalitarian yang dimaksudkan adalah bukan teori yang mendukung distribusi pendapat secara merata, tetapi merupakan gagasan untuk memperlakukan orang secara sama. Misalnya, kaum kiri mempercayai persamaan pendapatan atau kesejahteraan sebagai prakondisi untuk memperlakukan orang secara sama, dan kaum kanan percaya pada hak individu yang sama atas pemilikan dan pekerjaan juga merupakan prakondisi untuk memperlakukan orang secara sama. (Untuk pembahasan tentang masalah ini lihat Will Kymlicka, 1990, op cit, 4; lihat juga Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously. (Duckworth, London) 1977, p. 179-83; Ronald Dworkin, Law’s Empire (Harvard University Press, London) 1986, pp. 296-301 ; Ronald Dworkin, “What is Equality?; Part III: The Place of Liberty”, Iowa Law Review, 1987, 73/1, pp. 7-8; lihat juga Nagel T., Mortal Questions (Cambridge University Press, Cambridge), 1979, p. 111)
[11] Buku Robert E. Goodin dan Philip Pettit antara lain juga mencantumkan diskusi yang mendalam dari masing-masing kontribusi penulis  yang mewakili berbagai latar belakang disiplin ilmu dalam kaitannya dengan studi filsafat politik,  mencakup filsafat analitik, filsafat kontinental, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan studi hukum. Lihat, A Companion to Contemporary Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell, Victoria), 2004
[12] Bandingkan, silabus kuliah filsafat politik Christopher Bertram, 199l (dalam internet); lihat pula sejumlah buku filsafat sosial politik dalam bahasa Inggris seperti Robert E Goddin and Philip Pettit, (eds) Contemporary Political Philosophy: An Anthology (Blackwell Publisher Ltd, Oxford) 1997; Robert M. Stewart, Readings in Social and Political Philosophy (Oxford University Press, New York) 1996; lihat juga Derek Matravers and Jon Pike, Debates in Contemporary Political Philosophy An Anthology (Routledge, London) 2003
[13] Menurut Robert N. Beck, aktivitas spekulatif, merupakan pengembangan visi yang komprehensif tentang alam dengan merujuk pada penemuan ilmu pengetahuan lain termasuk seni tetapi dengan mengatasi disiplin ilmu pengetahuan itu;  aktivitas deskriptif atau fenomenologi  adalah mencoba memberikan deskripsi yang lengkap dan tidak bias tentang pengalaman; dan aktivitas normatif atau evaluasi adalah dengan mencoba memberikan kritik dengan ukuran-ukuran untuk memberikan penilaian dan petunjuk terhadap perilaku sosial dan individu. Sementara, mahasiswa dapat memperlakukan keempat pendekatan itu sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk aktivitas kefilsafatan yang inklusif, masing-masing juga dapat dipilih sebagai aktivitas kefilsafatan yang berdiri sendiri. Lihat dalam Robert N. Beck, ed.,  Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 2
[14] Pengertian teori dalam filsafat politik barangkali dapat didefinisikan sebagai kumpulan proposisi umum yang dikembangkan mengenai masyarakat politik yang baik, bebas dan adil
[15] Virginia Held, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Penterjemah Drs. Y. Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989, p. 4
[16] Cox, Robert W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond International Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.),  NeoRealism and its Critics, New York, Columbia University Press, 1986
[17] Untuk uraian mengenai hal ini lihat John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology, University of California Press, Berkeley, 1984, p. 4
[18] Namun, tulisan-tulisan tentang ideologi Pancasila yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah tidak hanya ditemui dalam masa Orde Baru, meskipun mungkin era orde Baru Indonesia memberikan lahan yang subur untuk perkembangan tulisan tentang ideologi Pancasila dengan pendekatan pemecahan masalah dan kecenderungan kearah perfeksionis.
[19] Pendapat Hedley Bull, seorang pakar studi hubungan Internasional  dalam “International Relations as an Academic Pursuit”, Australian Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
[20] Absolutisme pada intinya adalah paham yang mempercayai ada realitas absolut yaitu realitas yang berdiri sendiri terlepas dari pengetahuan dan pengalaman manusia. Fungsi pengetahuan, menurut kaum absolutis adalah merefleksikan realitas objektif secara pasif yaitu sebagai ‘’benda dalam dirinya sendiri’’ (things in themselves). Relativisme, sebaliknya, mengatakan hanya nilai yang relatif yang dapat dikenali oleh pengetahuan manusia, karena manusialah yang membentuk dunianya sendiri dengan pengetahuan yang ada dalam diri manusia. (lihat dalam William Ebenstein, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart & Company, Inc. New York, 1959, p. 6-7)
[21] Bull, op cit.,  mengutip pendapat Noam Chomsky dalam American Power and the New Mandarin, Vintage Books, 1967, p. 325



IMAM AL-MAWARDI DALAM DUNIA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
 A.      Latar Belakang Masalah

Politik Islam sebagai ilmu dan teori atau filsafat, akan melahirkan konsep dan tatanan aplikabel dan menguntungkan bagi umat secara keseluruhan. Pendapat umum yang menyatakan bahwa “ijtihad politik” tidak diperlukan lagi, karena praktiknya telah ada : bahwa perilaku politik dan tatanegara serta pemerintahan Islam sudah pernah dijalankan oleh generasi terdahulu, sejak masa khilafah Abbasiyah. Praktik ini dianggap telah mapan dan sudah islami. Kalaupun didapati penyelewengan dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mereka jarang sekali melakukan atau redefenisi terhadap praktik tersebut. Juga adanya dominasi dan hegemoni intelektual Barat. Kepemimpinan intelektual Barat menjamah di segala bidang pemikiran ke-islaman, dan menginterpretasikan ajaran dan dasar politik Islam, namun bersamaan dengan itu mereka juga menutup interpretasi lain yang dilakukan oleh anak-anak Islam sendiri.
Dengan kenyataan inilah, dengan penuh kesadaran, kepatuhan dan ketulusan kepada Islam, harus diupayakan Ijtihad baru dalam bidang politik dan tatanegara untuk menyelesaikan atau setidak-tidaknya mengurangi problem-problem politik dan ketatanegaraan dalam Islam. Salah satu caranya dengan redefenisi dan refungsionalisasi lembaga-lembaga politik yang disarankan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dan pada gilirannya melaksanakannya secara total dan konsekuen. Namun tidak biasa dilakukan secara jumping langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah, harus melewati dulu teori-teori politik dan praktik Islam yang pernah ada dalam sejarah Islam. Salah satu pemikiran teori politik dan praktis yang telah ada adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi (974-1059 M). Seorang Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Juga merupakan tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah, Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, yang menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Ia hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422 H) dan Al-Qa’imu Billah (422-467 H). Untuk itu dalam kesempatan ini, kita akan mencoba untuk menggali tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Mawardi, khususnya sumbangannya terhadap dunia politik.

B.       Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka ada beberapa hal yang mungkin dapat dijabarkan sebagai jawaban dari informasi yang telah diberikan di atas, adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana perjalanan hidup Imam Al-Mawardi ?
2.    Karya apa saja yang telah dihasilkan oleh Imam Al-Mawardi?
3.    Bagaimana pandangan Imam Al-Mawardi terhadap dunia politik ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Imam Al-Mawardi

Menurut catatan sejarah Imam Al-Mawardi dilahirkan di Bashroh tahun 364 H, wafat di Baghdad pada tahun 450 H. Wafat pada 1058 M, dalam usia 83 tahun. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Habib Al-Basry. Dalam dunia pendidikan, pada awalnya Al-Mawardi menempuh pendidikan dinegeri kelahirannya sendiri, yaitu Bashroh. Di kota tersebut Al-Mawardi sempat mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal seperti :
a.       Al-Hasan Ibnu Ali Ibnu Muhammad Ibn Al-Jabaly,
b.      Abu Khalifah Al-Jumhy,
c.       Muhammad Ibn ‘Adiy Ibnu Zuhar Al-Marzy,
d.      Muhammad Ibnu Al-Ma’aly Al-Azdy
e.       Ja’far bin Muhammad Ibn Al-Fadl Al-Baghdadi.
Menurut pengakuan muridnya, Ahmad Ibn Ali Al-Khatib, bahwa dalam bidang Al-Hadits, Al-Mawardi termasuk tsiqot. Selain mendalami bidang Al-Hadits, Al-Mawardi juga mendalami bidang fiqh pada syekh Abu Al-Hamid Al-Isfarayani, sehingga ia tampil salah seorang ahli fiqh terkemuka dari madzhab syafi’i. Keahlian Al-Mawardi selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, Al-Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim dibeberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad.2 Dalam hubungan ini Al-Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam madzhab syafi’I yang dinamai Al-Iqra’. Al-Mawardi mempunyai latar belakang sosiologis yang berguna untuk menjelaskan pemikiran siyasah/politik sebagaimana dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-Ahkam as Sulthoniyah.
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai Qodhi, Al-Mawardi juga sempat menggunakan sebagian waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Bashroh dan di Baghdad. Al-Mawardi juga banyak memanfaatkan waktunya untuk banyak membuat karya tulis/ilmiah tidak kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi tiga kelompok pengetahuan, yaitu; Kelompok pengetahuan agama antara lain; kitab Tafsir yang berjudul An-Nukat wa al’uyun, al hawi al-kabir, al-iqra’, adab al-qodhi, ‘alam an-nubuwah. Kelompok pengetahuan politik tentang politik dan ketatanegaraan antara lain; Al-Ahkam as Sulthoniyah termasuk karya baliau yang sangat populer dikalangan dunia Islam. Selanjutnya adalah kelompok pengetahuan bidang akhlak yang termasuk kelompok bidang ini adalah kitab an-Nahwu, al-Ausat wa’alhikam dan al-Bughyah fi adab ad-Dunnya waddin. Buku Adab ad-Dunya wa ad-Din dinilai sebagai buku yang amat bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa, sementara itu ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud Al-Zarjany pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328.

B.     Karya – karya Imam Al- Mawardi

Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, tafsir, fiqh dan ketatanegeraan. Salah satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Duniawi dan Agamawi). Selain itu, karya-karyanya dalam bidang politik adalah :
a.        Al-Ahkamu As-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan Kerjaan/pemerintahan),
b.      Siyasatu Al-Wazarati wa Siyasatu Al-Maliki (Ketentuan-ketentuan Kewaziran, Politik Raja),
c.       Tashilu An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasati Al-Maliki,
d.      Siyasatu Al-Maliki,
e.       Nashihatu Al-Muluk.
f.       Karya lainnya adalah Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji buku ini. Buku ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.

C.    Pemikiran Al-Mawardi dalam Dunia Politik

Sebagaimana Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Menurutnya kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecendrungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara. Dengan demikian, adanya Negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya.
Pemikiran politik al-Mawardi (seorang yuris Sunni) di tuangkan secara komplit dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan Khlifah Abbasiyah melawan para penguasan (amir) dinasti Buwayhiyah, yang sangat efektif pengaruhnya dan untuk menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir. Karya ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran yang mencerminkan jawaban terhadap kebutuhan pada masanya atau pemaparan dan realitas politik dan pemerintahan yang terjadi pada masanya.
Al-Mawardi hidup pada masa terjadinya pertarungan politik dan teologis yang tajam antara Sunni dan Syi’ah (baik Imamiyah maupun Ismailiyah). maka tidak meng-herankan apabila perhatian utama al-Mawardi ditujukan untuk mendukung keyakinan Keagamaan Sunni dan posisi politik kekhalifahan Abbasiyah yang dia dianggap paling sah (legitimate) secara agama dan politik. Al-Mawardi ingin mempertahankan kesatuan politik umat Islam di bawah kepemimpinan politik khalifah Abbasiyah di Bahdad. Meskipun pikiran-pikirannya lebih merupakan diskursus teologis (ideologis), Namun beberapa teoritisnya dideduksi dari praktik dan realitas kesejarahan.
Sumbangan penting pemikiran politik al-Mawardi ialah bahwa dia memberikan gambaran yang detail mengenai lembaga politik dan administrasi pemerintahan, yang belum diberikan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Pemikir sebelumnya pada umumnya membahas Imamah dari sudut pandang teologi, sehingga imamah lebih mencerminkan pembelaan teologis terhadap posisi khalifah. Misalnya bahwa kekuasaan Khilafah atau Raja adalah mandat dari Allah swt. (Khilafah memang berarti pengganti atau wakil Allah di muka bumi). Malah bagi al-Ghazali, kekuasaan kepala Negara adalah suci (muqoddas) –tidak bias diganggu gugat. Namun al-Mawardi menyatakan kekuasaan kepala Negara tidak sendirinya berasal dari Tuhan, meskipun tetap berada dalam batasan-batasan kedaulatan legal dan politik Tuhan. Al -mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan mekanisme kepala Negara dan pemecatannya dengan baik dengan sendirinya maupun oleh hal-hal eksternal (‘azl dan in’azl). Al-Mawardi meletakkan fondasi-fondasi Negara Islam dalam arti keharusan adanya lembaga khilafah, persyaratan-persyaratan calon khilafah, wilayah-wilayah wewenang dan kekuasaan khilafah, aturan untuk lembaga kementrian (wizaroh), pejabat-pejabat eksekutif (tanfidz) dan pejabat-pejabat delegatori (watanfidz), birokrasi dan tata-usaha-administrasi,lembaga peradilan, kepala-kepala daerah/pemerintaha daera (imaroh ‘ala al-bilad) dan panglima-panglima perang.

Imamah dan Imam (Kepala Negara)
Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep ummah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan presiden atau kepala Negara.
Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”.
Menurutnya pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).
Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Bagi al-Mawardi, kekuasaan kepala Negara berasal dari :
1.        Pemilihan oleh (para) pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl al-hall wa-‘aqd (semacam MPR) maupun ahl al-Syura atau tim formatur kecil. Cara ini disebut dengan sistem kontrak sosial, yang melahirkan kewajiban dan hak kepala negara disatu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di pihak lain. Teori al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pandangan Syi’ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nass (penetapan oleh Tuhan dan Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari keluarga ahl al-bayt. Pemilihan imam dipandang al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fadhu kifayah), seperti mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim. Konsep membentuk lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak yaitu imam (ahl-imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl al-hall wa’l-aqd (orang yang mengurai atau mengikat/lembaga pemilih). Menurutnya pemilih atau lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa (‘adalah), mempunyai pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatannya, serta sehat pikiran dan kebijakan (kearifan), sehingga mampu memilih kepentingan orang banyak. Disamping itu masalah pemilihan imam, ahl al-hall wa’l-aqd juga harus mempertimbangkan, kemungkinan calon yang mereka pilih memperoleh persetujuan sebagian besar rakyat. Setelah ahl ikhtiyar memperoleh keputusan mengenai calon imam dan ia wajib menerima kedudukan itu, maka menjadi tugas dan kewajiban rakyat untuk menyampaikan bay’ah dan mematuhinya. Singkatnya fungsi ahl-akhtiyar adalah mengidentifikasi orang yang akan di angkat sebagai imam.
2.        Penunjukan kepala Negara sebelumnya, yang disebut suksesi yang didasarkan pada suksesi Umar bi al-Khattab dari Abu Bakar). Namun dalam pandangan al-Mawardi kepala Negara tidak kebal dari pemecatan dan tidak suci. Al-Mawardi membolehkan suksesi tanpa pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya. Dalam hal ini disebutkannya tiga pendapat, pertama bahwa seorang imam harus berkonsultasi dengan ahl al-ikhtiyar, meskipun adalah ayah atau anak laki-lakinya. Kedua, membatasi konsultasi pada kasus dimana sang calon adalah putra imam. Ketiga, tidak mengharuskan imam untuk berkonsultasi dalam kasus kedua tersbut.

Menurut al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi/-memiliki 7 (tujuh) persyaratan :
a.    Rasa keadilan (‘adalah);
b.    Pengetahuan (‘ilm);
c.    Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
d.   Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
e.    Berwawasan luas;
f.     Punya keberanian untuk melindungi wilayah (otoriti) Islam dan melaksa-nakan jihad;
g.    Punya garis keturunan dari Quraisy

Syarat terakhir tidak dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunan. Bahkan nabi Muhammad sendiri oleh diakui kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat. Sementara dua penyebab gugurnya kontrak antara imam dan rakyat meskipun masih menjabat menurut al-Mawardi adalah jika imam berlakuk tidak adil dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal itu terjadi maka harus dilakukan pemilihan imam baru dengan kontrak yang baru pula.
Doktrin al-Asy’ari membolehkan adanya dua imam pada waktu bersamaan asal wilayah kekuasaanya terpisah jauh. Namun al-Mawardi dengan tegas menolak pendapat ini, didasarkan pada argument keagamaan, sebab bay’ah hanya bisa diberikan kepada satu orang pada waktu yang sama. Jika kemudian dilakukan bay’ah terhadap orang lain, maka kontra yang kedua menjadi batal, sebagaimana berlaku dalam pernikahan. Ketidaksetujuan ini didasarkan pertimbangan politik, dimana masa itu Abbasiyah menghadapi tantangan dari dinasti Fatimiyah yang berkuasa di yang bermadzhab Syi’ah Ismailiyah.

Tugas dan tanggungjawab seorang imam menurut al-Mawardi
a.       Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan menjadi konsensus generasi Islam awal;
b.      Melaksanakan hukum (peradilan) dikalangan masyarakat dan melerai perteng-karan antara dua kelompok yang bertikai;
c.       Memelihata kehidupan perekonomian masyarakat, sehingga rakyat memiliki rasa aman atas diri dan hartanya;
d.      Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan;
e.       Membentengi perbatasan Negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh;
f.       Melakukan jihad melawan musuh, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau ahl al-dhimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam)
g.      Mengumpulkan fay’ (rampasan dari musuh bukan perang) dan zakat baik yang wajib maupun menurut syari’ah maupun yang wajib menurut ijtihad.
h.      Mengatur kekayaan Negara (taqdir al-ataya) yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional)
i.        Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang bias dipercaya;
j.        Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan uma dan memelihara agama.

Selama seorang imam mampu melaksanakan tanggungjawab dan kewa-jibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinnya. Tetapi jika tidak, maka sangat memungkin terjadinya pemberhentian imam dari jabatannya.




Selanjutnya ia menyatakan bahwa di bawah kekuasaan imam ada empat macam (lembaga) keluasaan Negara dengan tugas masing-mamsing berbeda, yakni :
a.         Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas umum/para menteri (wazir), tugas mereka mewakili imam dalam semua urusan tanpa pengecualian.
b.        Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas khusus/para pemimpin wilayah (amir).
c.         Lembaga yang kekuasaannya khusus seperti para hakim kepala (qadi al-qudat), pemimpin tentara, penjaga keamanan wilayah perbatasan, direktorat dan penanggungjawab pajak dan penanggung jawab zakat. Tugas mereka masing-masing terbatas pada investigasi khusus dalam semua tugas.
d.        Lembaga yang kekuasaanya khusus dalam tugas-tugas khusus, seperti hakim daerah, pengawas pajak daerah dan komandan militer daerah.

Lembaga Kementrian (Wizarat)
Menurut al-Mawardi, sebutan wizarah bisa berasal dari kata wizr artinya beban, karena dia mengambil alih peran beban rajanya, atau wazar berarti tempat mengadu, kembali (malja’) karena raja minta pendapat atau bantuan dari wazir, atau azar berarti punggung, karena raja memperkuat posisinya dengan wazir seperti badan dengan punggungnya.
Konsep Wizarah sesungguhnya juga terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan, bahwa Nabi Musa mempunyai wazir bernama Harun yang membantu menangani urusan-urusannya. Jika dalam kenabian boleh, maka kaitannya dengan imamah juga boleh. Menurutnya ada dua macam wizarah (kementrian) yakni :
a. Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori)
Adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun maupun mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan (mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wazir, kecuali tiga hal ; 1) penentuan putra mahkota, 2) imam boleh mengundurkan diri dari jabatan imamah, 3) imam berwenang mencopot orang yang ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab (keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus perang dan perpajakan.

b. Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
Adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara. Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak dilibatkan ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka. Posisinya lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.
Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni :
1. Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim;.
2. Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah)
3. Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang
4. Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.        
Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz. Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni :
1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka
2. Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at
3. Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
Diluar itu baik Wazir tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama. Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.

 Pemerintahan Daerah (‘imart’ala al-Bilad)
Pemikiran al-Mawardi tentang pemerintahan daerah (gubernur propinsi, kepala daerah) karena suatu negara mempunyai wilayah yang sangat luas. Sehingga penguasa daerah dapat melaksanakana kekuasan penuh didaerahnya, dengan syarat tetap mengakui kekuasaan tertinggi khalifah dalam hubungannya dengan hukum Islam. Kekuasaanya dibagi dua yakni umum dan khusus.

Kekuasaan yang bersifat umum meliputi dua macam, yakni :
1.  Imarat al-istikfa’ Yaitu kekuasaan kepala daerah atas wilayah tertentu dengan (karena) pengangkatan khalifah yang tugas, wewenang, bertanggungjawabnya dibatasi oleh isi kontrak dan penugasannya oleh khalifah. Ruang lingkup tugasnya meliputi :
a. Menangani urusan militer, mengorganisasi dan menggaji militer, kecuali jika khalifah telah menentukan
b. Menangani urusan-urusan hukum dan memilih qadi atau hakim
c. Menarik pajak dan menangani urusanzakat serta menunjuk pagwai-pegawai yang mengurus-urusan tersebut
d. Melindungi agama dan menjaga kemurnian ajarannya
e. Menegakkan hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia
f. Memimpin shalat jamaah dan jum’at atau menunjuk orang untuk mewakilinya;
g. Mengorganisasi pemberangkatan haji
h. Jika daerahnya berbatasan dengan Negara musuh, maka amir harus memimpin jihat melawan musuh dan jika menang membagi barang rampasannya dan mengambil seperlima untuk mereka yang berhak.
Persyaratan menjadi amir istikfa’ sama dengan persyaratan menjadi Wazir tafwidh. Jika khalifah telah mengangkat amir, maka Wazir tafwidh memiliki hak pengawasan. Namun demikian Wazir tafwidh bias mengangkat amir, tetapi tidak bisa mencopot atau memindahkannya ke daerah lain. Amir bisa mengangkat Wazir tanfidz didaerahnya, tapi tidak boleh mengangkat Wazir tafwidh, kecuali ada perintah dari khalifah.
2. Imarat al-Istila’ Yaitu kepala daerah memperoleh kekuasaannya melalui kekuatan keluarga yang berpengaruh disuatu daerah (propinsi), yang ini biasanya terjadi di daerah yang letaknya jauh. Pada masa merosotnya pengaruh Abbasiyah akhir abad ke-9 dan 10, bermunculan kekuatan baru di beberapa daerah yang dipimpin oleh pemimpin militer lokal, yang merebut kekuasaan dengan kekuatan militer dan menyatakan kekuasaannya secara sepihak sebagai penguasan. Imarat al-Istila’ juga disebut dengan al-Ghalabah.
Adapun kewajiban dan tanggung jawab Imarat al-Istila’ yaitu :
1. Mempertahankan posisi imamah sebagai pengatur agama sehingga syari’at Islam tetap terpelihara
2.  Mempertahankan sikap taat (loyal) terhadap agama
3. Mempertahankan kesatuan agar umat Islam memiliki kekuatan menghadapi lawan-lawannya;
4. Menjalankan hukum-hukum agama dan memelihara berlakunya ikatan ikatan keagamaan;
5. Menggunakan harta (kekayaan) Negara secara benar
6. Menegakkan peraturan-peaturan secara adil (proporsional)
7. Memelihara agama dan mengajak rakyat untuk taat kepada Tuhan.

Imarat al-Istila’diperbolehkan mengangkat Wazir tawfidh, tapi jika dipan-dang tidak memenuhi persyaratan, maka khalifah sendiri yang mengangkat wazir.
Sedangkan kekuasan yang bersifat khusus, wewenang amir hanya terbatas pada penanganan urusan militer, pengaturan kehidupan rakyat, tetapi tidak berwenang memutuskan hukum dan menarik pajak.
Perbedaan antara Imarat Istikhfa’ dengan Imarat al-Istila’, adalah :
a.       Imarat Istikhfa’ memiliki wewenang lebih terbatas dibanding Imarat al-Istila’
b.      Imarat Istikhfa’ hanya memiliki wilayah yang ditentukan oleh khalifah, sedang Imarat al-Istila’ wilayahnya meliputi daerah yang berhasil taklukan oleh amir;
c.       Imarat al-istila’’ boleh mengangkat wazir, sedang Imarat Istikhfa’ tidak boleh.

Lembaga Peradilan
1. Peradilan Qada
Lembaga ini dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan berdasarkan hukum syari’at, yang meliputi kehidupan sosial keagamaan. Untuk itu khalifah menunjuk seorang qadi dari kalangan yuris (orang yang menguasai hukum Islam). Namun qadi memiliki independensi untuk mengambil keputusan hukum berdasarakn syari’at, bahkan ia tidak terpecat dengan kematian khalifah yang mengangkatnya.
Syarat yang harus dipenuhi seorang qadi adalah; 1) Harus seorang laki-laki dewasa; 2) Berakal; 3) memiliki kecerdasan; 4) Merdeka; 5) Muslim; 6) Adil; 7) sehat pendengaran dan penglihatan dan 8) Memiliki pengetahuan luas tentang Syari’ah atara lain ilmu usul dan furu (mencakup Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara kekuasaan qadi, meliputi sepuluh aspek :
1.        Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara pemaksaan hukum
2.        Membebaskan orang tidak bersalah dari sangsi dan hukuman, dan memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan maupun dengan dilakukan sumpah;
3.        Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot;
4.        Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya;
5.        Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan syari’at.
6.        Menikahkan janda dengan orang yang sederajat, jika tidak ada wali dan menghendaki menikah;
7.        Melaksanakan hukuman bagi terhukum;
8.        Mengawasi para pegawai demi kemaslahatan mereka;
9.        Meneliti para saksi sekretarisnya, meski nampak jujur dan kredibel, serta menentukan penggantinya.
10.    Menegakkan persamaan didepan hukum antara yang kuat dan yang lemah, dan mengakkan keadilan dalam peradilan baik bagi bangsawan maupun rakyat biasa.
Dalam perspektif kontemporer, fungsi lembaga qadi mirip dengan fungsi yudikatif dan legislatif. Pada satu sisi qadi mengurusi kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum dan mengadili perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam, disisi lain memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam rangka legalisasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang di derivasikan dari Syari’at.
Ditingkat pusat ada qadi al-qudat dan di daerah (propinsi) juga memung-kinkan di angkat seorang qadi.

2. Peradilan Tindak Ketidakadilan (Muzalim)
Lembaga ini dibentuk untuk mendengarkan pengaduan rakyat yang mendapat perlakuan tidak adil dari pejabat pemerintah. Orang yang pertama kali mengadakan lembaga ini adalah Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah bani Umayyah. Gagasan ini muncul setelah ia membaca dan meneliti sebuah laporan tentang kasus sengketa, yang kemudian ia menunjuk Abu Idris (seorang hakim) untuk menyimpulkan dan memutuskan perkara dengan meneliti sebab-sebabnya.
Fungsi mazalim adalah menangani persoalan-persoalan dan kasus-kasu yang berkaitan dengan :
1)      Tindak ketidakadilan dan tirani yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat pemerintahan lainnya terhadap rakyat;
2)      Ketidakadilan dalam penilaian atau penarikan pajak;
3)      Supervisi (pengawasan) keuangan pejabat publik di biro-biro pemerintahan;
4)      Klaim tentara regular berkaitan dengan pengurangan gaji mereka;
5)      Mengembalikan hak yang diambil paksa;
6)      Pengawasan atau pemeliharaan wakaf;
7)      Penegakan keputusan yang diberikan oleh qadi yang belum dilaksanakan;
8)      Mengambil alih wewenang petugas (biro) ketertiban umum (hisbah) yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.
9)      Pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara kolektif;
10)  Pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pengadilan secara umum.

Seorang yang bertugas dalam lembaga Mazalim, harus memenuhi persyaratan antara lain :
a. Memiliki kedudukan;
b. Mempunyai pengaruh;
c. Berwibawa;
d. Mempunyai harga diri;
e. Tidak rakus, tidak mudah silau oleh dunia.
f. Menghindari perbuatan maksiat dan menjauhi syubuhat (hal-hal yang tidak jelas halal-haramnya).




Sementara dalam memeriksa atau menginvestigator terhadap suatu kasus, Mazalim harus menghadirkan lima elemen, yaitu :
a.       Petugas keamana dan pembanu (al-humat dan a’wan);
b.      Para qadi dan hakim untuk mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak mereka dan pengetahuan tentang apa-apa yang berjalan dengan majelis mereka;
c.       Para ahli fiqh sebagai tempat bertanya mengenai maslaah yang rumit;
d.      Penulis (sekretaris) yang mencatat perjalanan siding dan hasilnya;
e.       Saksi-saksi .
Dalam pemikiran al-Mawardi mengenai Peradilan, dia menungkapkan perbedaan menyangkut yuridiksi antara Mazalim dan qadi, yaitu :
a.       Mazalim memiliki Kedudukan dan kekuasan lebih tinggi dari pada qadi;
b.      Mazalim memiliki wilayah kekuasaan yuridiksi lebih luas baik dalam lingkup tindakan maupun pemberian hukum dari pada qadi;
c.       Mazalim memiliki kekuatan intimidasi lebih besar dari pada qadi;
d.      Mazalim memiliki kekuatan memeriksa tindak kejahatan yang dilakukan secara terbuka dan mengoreksi serta menindak pelanggaran terbuka, sedang qadi tidak;
e.       Mazalim memiliki kekuasaan penuh memberikan panggilan untuk meng-hadapi sidang pengadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

BAB III
KESIMPULAN
Pemikiran al-Mawardi yang di tuangkan dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah memberikan mencerminkan akomodasi terhadap realitas dan praktik politik pada masanya, yang sering memberikan justifikasi terhadap kekuasan khalifah. Baginya kekhalifahan adalah komitmen agama dan aktualitas politik. Dia juga menunjukkan bahwa tugas utama khalifah ialah memelihara agama sesuai dengan preseden masa lampau, menegakkan ketetapan/keputusan peradilan dan melindungi rakyat (Islam). Yang lebih penting adalah pemikirannya mengandung segi-segi normatif atau idealistik dari sebuah pemerintahan atau tatanan politik Islam. Pendapat Al mawardi mengenai Negara adalah menganggap bahwa proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.


REFERENSI

1.      Azra, Azyurmadi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996
2.      Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
3.      Black, Antony, Pemikiran Politik Islam
4.      Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan kedua, Jakarta, 2003
5.      Rosenthal, Erwin I.J., Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, London: Cambridge University Press, 1962.
6.      Sjadzali, Munawir, H, M.A, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993, edisi V.




Pandangan Aristoteles Mengenai Filsafat Politik

BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pilihan Aristoteles selaku tokoh kunci yang telah memberikan kontribusi dalam pembentukan dan pergembangan ilmu pengetahuan dan filsafat (Poespowardojo, 2000) amat tepat karena ternyata para filosof yang datang kemudian, meskipun dengan kurun waktu dan tempat yang berbeda namun juga mendasarkan argumentasinya pada pemikiran Aristoteles. Secara lugas Bertens (2000: 30) mengakui bahwa faktor yang terpenting dalam perkambangan intelektual pada umumnya dan perkembangan filosofis pada khususnya merupakan penemuan sejumlah karya filsafat Yunani, terutama karangan Aristoteles yang pada saat itu belum dikenal di dunia Barat.
Sebenarnya hasil karya Aristoteles banyak sekali, sehingga para “komentator” agak sulit menyusun secara runtut. Hal ini semakin nampak dari perbedaan cara yang ditempuh komentator dalam membagi pembahasan materinya. Menurut Hadiwidjono (2000: 45), ada komentator yang membagi hasil karya Aristoleles menjadi delapan bagian, yakni mengenai logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika (meta ta fusika), etika, politik dan ekonomi, serta retorika dan poetika. Ada pula yang mengurai perkembangan pemikiran Aristoteles ke dalam tiga tahapan, yakni:
(1)     Tahap di Akademi, ketika masih setia kepada gurunya, Plato termasuk ajaran Plato tentang idea;
(2)     Tahap di Assos, ketika berbalik dan mengeritik ajaran Plato tentang idea-idea dan menemukan ajarannya sendiri;
(3)     Tahap ketika membina sekolahnya di Athena, di mana berbalik dari berspekulasi ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang konkrit dan yang individual.
Tanpa mengabaikan cara pembagian hasil karya Aristoteles yang dilakukan oleh komentator itu, penulis memahami bahwa pembagian itu dilakukan semata-mata untuk lebih memudahkan pemahaman sistematika pemikiran Aristoteles yang terfokus pada pembentukan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Aristoteles ?
2.      Bagaimana pandangan Aristoteles mengenai filsafat politik ?
C.    Tujuan Masalah
Dengan ditulisnya makalah ini bertujuan untuk memberi pengertian kepada pembaca tentang riwayat hidup dan pandangan aristoteles mengenai filsafat politik  Aristoteles.



BAB II. PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stageira, daerah Thrake di Yunani Utara, anak seorang dokter pribadi raja Makedonia yang meninggal dunia tatkala ia masih sangat muda. Aristoteles kemudian diasuh oleh Proxenus dan diberikan pendidikan yang istimewa. Hal itu terbukti karena pada waktu berumur kira-kira 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk belajar dan menjadi murid Plato dalam Akademia selama 20 tahun. Setelah Plato meninggal dunia pada tahun 342, Aristoteles kembali ke Makedonia untuk diangkat menjadi pendidik Pangeran Alexander yang Agung selama dua tahun. Setelah Alexander menjadi raja, maka Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolah di Assos (Asia Kecil) yang dinamakan Lykeion (dilatinkan: Lyceum).
Tatkala Alexander berperang di Asia pada tahun 334 SM., sekolah Aristoteles juga bersaing dengan sekolah Plato, Akademia. Persaingan yang mendorong Aristoteles meningkatkan penelitian yang hasilnya tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip sains, melainkan pula mengajarkan politik, retorika dan dialektika. Dalam pergaulan tingkat atas, Aristoteles barangkali lebih berhasil dari pada Plato, bukan saja karena dipilih menjadi pendidik Alexander, melainkan pula karena memiliki pengaruh besar dalam sejarah dunia. Selama kurun waktu antara tahun 340-335 SM., Aristoteles menekuni riset di Stagira, dibantu oleh Theophratus yang juga alumnus Athena. Riset yang intensif itu dibiayai oleh Alexander dan menghasilkan kemajuan dalam sains dan filsafat.
Pada tahun 323 SM., ketika Alexander wafat, timbul huru-hara di Athena menentang Makedonia, sehingga lama kelamaan posisi Aristoteles juga menjadi tidak aman karena dianggap orang asing sekaligus teman Alexander. Orang-orang Athena yang anti-Macedonia melihat Aristoteles sebagai penyebar pengaruh subversif, bahkan dituduh mendurhaka (atheis), sehingga Aristotels yang berpikir lebih arif memilih meninggalkan Athena atau lari ke Khalkes, tempat ia meninggal dunia pada tahun berikutnya (322 SM.). profil lengkapnya adalah sebagai berikut :
1.                  Nama: Aristoteles
2.                  Lahir: Stagirus, Macedonia, tahun 384 sM
3.                  Meninggal:Chalcis, Yunani, pada tahun 322 sM.
4.                  Ayah:Nicomachus (Dokter di istana Amyntas III, raja Macedonia, kakek Alexander Agung)
5.                  Istri:Pythias Herpyllis
6.                  Anak:Nicomachus (sama dengan nama ayahnya)
7.                  Julukan: 
1.      Ahli filsafat terbesar di dunia sepanjang zaman.
2.      Bapak peradaban Barat
3.      Bapak ensiklopedi
4.      Bapak ilmu pengetahuan atau Guru(nya) para ilmuwan.
8.                  Penemuan: 
Logika (ilmu mantik: pengetahuan tentang cara berpikir dengan baik, benar, dan sehat). - Biologi, fisika, botani, astronomi, kimia, meteorologi, anatomi, zoologi, embriologi, dan psikologi eksperimental.
9.                  Pendiri:
1.         Akademi di Assus.
2.         Akademi di Mytilene
3.         Akademi di Lyceum, Athena, tahun 335 sM.



4.                  Istilah-istilah ciptaan Aristoteles masih dipakai sampai sekarang:
Informasi, relasi, energi, kuantitas, kualitas, individu, substansi, materi, esensi, dan sebagainya
B.     Pandangan Aristoteles Mengenai Filsafat Politik
Banyak di antara filsuf yang telah kita telaah yang banyak membicarakan filsafat politik. Buku Aristoteles, Politics, dalam persekutuan politik kota mensyaratkan warganegara untuk bukan hanya menjadi pengambil keputusan yang cakap, melainkan juga menjadi orang yang mau mematuhi putusan-putusan yang dibuat oleh orang-orang lain. Arsitoteles menekankan bahwa “warganegara yang baik harus mengetahui dan mempunyai kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur, dan hal inilah yang merupakan keluhuran budi warganegara—pengetahuan tentang aturan pada orang-orang merdeka dari kedua sudut pandang.”
Salah satu segi terpenting filsafat politik Aristoteles adalah bahwa, dalam pembahasannya, ia menyusun kerangka yang mengandung enam tipe kemungkinan sistem politik. Tipe-tipe itu dibedakan oleh perbedaan sumber wewenang  dan kekuasaan yang memberikannya. Sesudah menegaskan bahwa “unsur yang berwewenang” dalam sistem politik pasti “seorang atau lebih”, ia menjelaskan perbedaan antara sistem politik yang “benar” dan yang merupakan “penyimpangan”. “bila seorang atau beberapa atau banyak orang mengatur dengan pandangan untuk kepentingan umum, sistem politik ini niscaya benar, sedangkan yang dengan pandangan untuk kepentingan pribadi seseorang atau beberapa atau banyak orang merupakan penyimpangan.”
Nama-nama yang dipakai oleh Aristoteles untuk menandai masing-masing dari enam sistem tersebut adalah sebagai berikut. Bentuk monarki yang benar disebut “kerajaan”. (Di Yunani kuno, monos  berarti “sendirian” atau “tunggal”; archos  berarti  “pengatur”. Akhiran “-krasi” berasal dari kratos, yang bermakna “kekuasaan”.) Bentuk “pengaturan oleh beberapa orang” yang benar adalah “aristokrasi”, yang bermakna bahwa pemerintahan dipegang oleh orang-orang terbaik (aristos). Adapun “politi” (polity) merupakan bentuk pengaturan oleh mayoritas yang benar, walaupun Aristoteles juga memakai istilah ini untuk mengacu dengan cara umum pada semua sistem politik. Karena kadang-kadang ia membandingkan perbedaan politeiai dengan monarki, Aristoteles dalam konteks ini mungkin memaksudkan politeiai untuk ditafsirkan dalam pengertian sempit ini; secara demikian, klaimnya adalah bahwa semua sistem non-monarkis (yakni semuarepublik) bisa disebut politi. Dalam Nicomachean Ethics, ia menghindari penggunaan istilah “politi” yang samar-samar dengan mengacu pada sistem politik ketiga yang benar ini sebagai “timokrasi”, yang bermakna kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang yang memiliki properti (timema) sendiri. Malahan, ia terang-terangan menyatakan bahwa istilah ini akan lebih disukai daripada istilah “politi”, walaupun yang terkemudian ini lebih lazim di antara keduanya. Akan tetapi, catatan singkat tentang timokrasi ini sulit dibedakan dari oligarki (lihat bawah). Aristoteles juga memaparkan penyimpangan dari tiga bentuk sistem politik yang pada dasarnya positif:
Deviations from those mentioned are tyranny from kingship, oligarchy from aristocracy, democracy from polity. Tyranny is monarchy with a view to the advantage of the monarch, oligarchy [rule] with a view to the advantage of the well off, democracy [rule] with a view to the advantage of those who are poor; none of them is with a view to the common gain.
(Penyimpangan dari yang disebut tadi adalah tirani dari kerajaan, oligarki dari aristokrasi, demokrasi dari politi. Tirani adalah monarki dengan pandangan untuk kepentingan kepala negara, oligarki dengan pandangan untuk kepentingan orang-orang kaya, demokrasi dengan pandangan untuk kepentingan mereka yang miskin; tak satu pun dari ketiganya yang berpandangan untuk perolehan umum.)
Walaupun secara teknis kerajaan merupakan sistem politik terbaik, Aristoteles lebih menyukai aristokrasi karena beberapa alasan. Selalu ada bahaya bahwa orang yang memegang semua kekuasaan akan berubah menjadi buruk, sehingga sistem terbaik akan turun menjadi yang terburuk (yaitu tirani). Satu-satunya perlindungan terhadap orang semacam itu yang dikuasai oleh hasratnya sendiri bagi dia adalah menerima aturan hukum; jadi, “hukum—yang diberlakukan secara benar—inilah yang seharusnya berwewenang”, bukan orangnya (AP 1282a-b(103)). Hakikat hukum adalah sedemikian sehingga melindungi orang-orang terhadap bahaya perusakan yang bisa disebabkan oleh nafsu mereka sendiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles (1287a(114)): “Orang yang meminta untuk diatur oleh hukum ... bersikap meminta diatur oleh yang baik dan [akal] intelek saja, sedangkan orang yang meminta manusia [akan] menambah keburukan. Hasrat merupakan sesuatu yang tergolong jenis ini; dan semangat itu menyelewengkan penguasa dan orang-orang terbaik. Oleh sebab itu, hukum adalah [akal] intelek tanpa nafsu.”
Masalah lain mengenai kerajaan dalam benak Aristoteles adalah bahwa bolehjadi ada lebih dari satu orang manusia yang baik di kebanyakan kota, sehingga orang-orang baik yang tidak dibolehkan untuk memerintah mungkin tidak puas dengan ketimpangan antara mereka sendiri dan raja. Situasi yang tidak adil semacam ini hampir tak terpecahkan oleh penggantian raja dengan aristokrasi, yang pemerintahnya ialah pria-pria yang baik (AP 1286b(112)). (Mereka tak mungkin wanita-wanita yang baik karena, menurut Aristoteles, wanita bahkan tak boleh menjadi warganegara!) Karenanya, Aristoteles menyiratkan bahwa, ironisnya, semakin kurang berkuasa seorang raja (yakni semakin tidak menyerupai raja sejati), semakin lama ia mampu melanggengkan pemerintahannya (1313a(173)).
“Aristokrasi ... dalam beberapa hal merupakan oligarki” (oligos bermakna “beberapa”), karena pada kedua tipe sistem politik itu “pengaturnya beberapa orang” (AP 1306b(159)). Perbedaannya adalah bahwa, tidak seperti oligarki tipikal (yakni menyimpang) yang pemerintahnya dipilih dengan hanya “atas dasar kekayaan”, pemerintah aristokrasi dipilih “sesuai dengan keluhuran budi” (1273a(82)). (Bila kepemilikan properti adalah tipe kekayaan yang dipakai sebagai salah satu kualifikasi utama untuk memilih orang yang diberi kekuasaan dan wewenang untuk memerintah dalam suatu oligarki (lihat umpamanya 1279b(96)), sistem itu bisa juga disebut timokrasi. Salah satu cara melaporkan potensi ambiguitas antara istilah “oligarki” dan “timokrasi” adalah mencatat bahwa timokrasi akan menjadipoliti jika nilai properti yang diperlukan untuk menjadi warganegara sangat rendah, dan akan menjadi oligarki jika nilainya tinggi, karena hanya akan ada segelintir orang yang cukup kaya untuk menjadi warganegara.) Oligarki biasanya buruk bagi suatu kota, karena tidak ada jaminan bahwa pengatur-pengatur itu berbudi luhur (umpamanya dengan menjaga kesejahteraan orang-orang miskin) hanya lantaran mereka kaya. Sebaliknya, aristokrasi, menurut definisi Aristolteles, merupakan sistem politik yang memberi kekuasaan dan wewenang pemerintahan kepada beberapa orang yang akan, dengan berbudi luhur, menjaga kepentingan orang-orang yang bukan anggota kelompok yang memerintah.
Pembedaan yang paling diperhatikan oleh Aristoteles dalam Politics adalah antara dua bentuk ekstrim pemerintahan non-monarkis, yaitu oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena dua sistem itu yang paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik di Yunani kuno maupun di zaman modern. Contohnya, ia berkata, “hukum bisa oligarkik atau demokratik” (AP 1281a(100)), dalam ertian bahwa “dalam sistem politik demokratik, rakyat memiliki wewenang, sedangkan sebaliknya dalam oligarki, [wewenang] itu milik segelintir orang” (1278b(94)). Dalam AP 1279b-1280a(96-97), ia menjelaskan:
oligarchy is when those with property have authority in the political system; and democracy is the opposite, when those have authority who do not possess a [significant] amount of property but are poor ... What makes democracy and oligarchy differ is poverty and wealth: wherever some rule on account of wealth, whether a minority or a majority, this is necessarily an oligarchy, and wherever those who are poor, a democracy. But it turns out ... that the former are few and the latter many ...
(oligarki adalah bila yang dengan properti memiliki wewenang dalam sistem politik; dan demokrasi adalah lawannya, bila yang mempunyai wewenang ialah yang tidak memiliki sejumlah properti [yang signifikan], kecuali sedikit sekali ... yang membuat demokrasi dan oligarki berbeda adalah kemiskinan dan kekayaan: bilamana suatu pemerintah berdasarkan kekayaan, entah minoritas entah mayoritas, ini niscaya oligarki, dan bilamana itu yang miskin, [maka ini] demokrasi. Namun terbukti ... bahwa yang kaya itu sedikit dan yang miskin itu banyak ...)
“Prinsip penentu aristokrasi adalah keluhuran budi” dan “yang oligarki adalah kekayaan”, sedangkan prinsip penentu demokrasi adalah “mayoritas [orang miskin] yang memiliki wewenang” (1310a(167)).
Demokrasi adalah sistem politik yang di dalamnya persekutuan antara “rakyat awam” (démos) menetapkan bagaimana kekuasaan dan wewenang didistribusikan di kotanya. Oleh sebab itu, ini dicirikan oleh tipe “kemerdekaan” yang melibatkan [orang-orang] “yang diatur dan yang mengatur menurut gilirannya” (AP 1317a-b(183)). Penataan pengaturan timbal-balik di antara yang setara semacam itu “merupakan hukum” (1287a(113)). Sebagaimana dengan kebanyakan sistem politik lain, Aristoteles membahas beberapa variasi demokrasi, yang meliputi tipe yang di dalamnya “rakyat menjadi penguasa monarki”, dalam pengertian bahwa “yang banyak itu mempunyai wewenang [hukum] bukan selaku individu, melainkan selaku semuanya bersama-sama” (1292a(125-126)). Dalam arti sempit sistem politik (yaitu yang tidak memasukkan monarki), “jenis demokrasi ini bukan sistem politik. Ini karena bilamana hukum tidak mengatur maka tidak ada sistem politik.”
Aristoteles mengingatkan bahwa sistem politik terbaik bagi kota-kota tidak bisa ditetapkan lebih dahulu: salah satu dari sistem-sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya adalah yang paling tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan. Jadi, umpamanya, ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan merupakan sistem terbaik bagi suatu kota, walaupun pada umumnya “memiliki aturan hukum yang dipilih menurut kesukaan oleh salah seorang warganegara” (AP 1288a(115-116)). Politi, sistem politik yang sering lebih disukai oleh Aristoteles, merupakan jalan tengah antara aristokrasi dan demokrasi. Namun dalam kasus politi pun, ia mengakui bahwa “tidak ada yang bisa mencegah sistem politik lain untuk lebih menguntungkan bagi [kota-kota] tertentu” (1296b(136)).
Politi adalah sistem politik yang didasarkan pada “jalan tengah” (lihat umpamanya NE 1106a-1109b(65-75)), prinsip terkenal dari Aristoteles mengajarkan agar kita selalu menghindari keekstriman; dalam hal ini kita diberitahu bahwa “jenis kehidupan pertengahan adalah yang terbaik” bagi kota dan sekaligus bagi individu (AP 1295a(133)). Dengan kata lain, politi adalah sistem politik yang “kelas menengah”-nya, sebagaimana yang kini kita sebut, merupakan mayoritas rakyat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk memerintah dengan cara yang mencampur unsur-unsur tiga sistem republikan lainnya. Campuran yang dipikirkan oleh Aristoteles ini mencakup kombinasi antara demokrasi dan oligarki (dua keekstriman) sedemikian rupa sehingga unsur-unsur ekstrimnya akan saling membatalkan: suatu politi mensyaratkan “percampuran antara ... yang kaya dan yang miskin” (1293b-1294b(129-132)). Namun ini mungkin juga mencampur unsur-unsur aristokrasi dan oligarki, sebagaimana politi mensyaratkan “hukum yang mendistribusikan pejabat atas dasar keunggulan [seperti dalam aristokrasi] sampai yang kaya [sebagaimana dalam oligarki]” (1288a(116)). Bila kita baca perkataan Aristoteles bahwa jenis oligarki terbaik “sangat dekat dengan yang disebut politi” (1320b(190)), kita harus mengasumsikan bahwa oligarki yang baik ini pada aktualnya merupakan aristokrasi. Ini karena aristokrasi dan politi adalah “pertengahan” yang baik antara dua hal “ekstrim” yang buruk, yaitu oligarki dan demokrasi.
Sistem politik lainnya dalam kerangka Aristoteles adalah “tirani”. Secara teknis, ini merupakan lawan (yaitu penyimpangan dari) kerajaan. Namun Aristoteles juga menyebutnya “bentuk ekstrim demokrasi”, dan menambahkan bahwa sebagian dari bentuk-bentuk oligarki dan demokrasi adalah “tirani”, yang terbagi di kalangan orang banyak (AP 1312b(172)). Ia menjelaskan hubungan antara tirani dan dua sistem politik lain yang menyimpang sebagai berikut:
Kingship accords with aristocracy, while tyranny is composed of the ultimate sort of oligarchy and of democracy--hence it is composed of the two bad political systems and involves the deviations and errors of both of them....
....  Having wealth as its end comes from oligarchy ..., as does its distrust of the multitude.... From democracy comes their war on the notables .. (1310b-1311a(168-169))
(Kerajaan sesuai dengan aristokrasi, sedangkan tirani tersusun dari jenis terdalam oligarki dan demokrasi—karenanya ini tersusun dari dua sistem politik yang buruk dan mencakup penyimpangan dan kekeliruan keduanya ...
   ... Kekayaan sebagai tujuan berasal dari oligarki ..., sebagaimana kecurigaan khalayak umum ... Dari demokrasi berasal perang besar ...) (1310b-1311a(168-169))
Ia lalu menjelaskan mengapa kerajaan mengandung risiko tirani yang tidak berharga:
Kingships no longer arise today; if monarchies do arise, they tend to be tyrannies. This is because kingship is a voluntary sort of rule ..., but [nowadays] there are many persons who are similar, with none of them so outstanding as to match the extent and the claim to merit of the office. (1313a(173))
(Kerajaan tidak muncul lagi saat ini; jika monarki benar-benar muncul, monarki ini cenderung menjadi tirani. Ini karena kerajaan adalah jenis aturan sukarela ..., tetapi [dewasa ini] ada banyak orang yang serupa, tanpa ada yang sedemikian menonjol untuk sesuai dengan tingkat itu dan klaim untuk kebaikan jabatan itu.) (1313a(173))
Jika sekarang kita tambahkan dua bentuk monarki pada empat bentuk sistem politik republikan, kita dapat meletakkan keenam sistem itu bersamaan dalam bentuk bagan alur melingkar, yang memungkinkan kita untuk melihat keseluruhan kerangka pada satu kesempatan saja.
Dalam bahasannya tentang revolusi politik, Aristoteles mengemukakan bahwa, walau praktis setiap sistem dapat berubah menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung “lebih sering mengalami revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem politik terdekatnya” (AP 1316a-b(179-180)). Dengan kata lain, revolusi lebih mungkin dipengaruhi oleh logika internal pada hubungan antara sistem-sistem politik yang berlainan daripada oleh faktor empiris pada tipe sistem yang berlaku di kota tetangga.
Dalam AP 1286b(112)), Aristoteles memerikan dengan lebih lengkap bagaimana gerak maju sistem politik, sebagaimana yang dilambangkan oleh tanda panah di Gambar IX.2, berjalan sendiri secara khas dalam situasi-situasi historis nyata: sistem politik biasanya berawal dengan kerajaan, berlalu menjadi aristokrasi atau politi, turun menjadi oligarki, jatuh menjadi genggaman tirani, dan dibebaskan dari penindasan oleh demokrasi. Walaupun gerak dari aristokrasi ke demokrasi “membahayakan sistem politik” (1270b(76)), ia mengakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang hampir tak terelakkan, lantaran berfungsi sebagai perlindungan terbaik melawan tirani.
Ikhtisar kerangka kerja Aristoteles yang berharga untuk sistem politik dalam Buku VIII, Bab 10 dari Nicomachean Ethicsmenambahkan beberapa hal tambahan yang perlu disebut dalam simpulan. Di sini kerajaan diperlakukan sebagai opsi terbaik, karena siapa saja raja yang benar-benar baik akan selalu mempunyai minat masalah terbaik dalam benaknya. Karena ia memiliki kekuasaan dan wewenang mutlak atas semua rakyatnya, tak seorang pun yang mampu mencegah raja dari pengejawantahan kehendak baiknya. Kendati aristokrasi terdiri dari orang-orang “terbaik”, ini tidak sebaik kerajaan, karena beberapa orang yang buruk lebih berkemungkinan untuk menyusupi aristokrasi dan merusak pengatur lainnya yang baik. Adapun bila semua pemilik properti dibiarkan untuk mempengaruhi cara pembentukan hukum dan penyebaran hak di kalangan warganegara, kerusakan semacam itu bahkan lebih mungkin terjadi.
Aristoteles membandingkan pertalian antara warganegara dan kota dalam tiga sistem politik yang baik ini dengan tiga tipe pertalian keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan warganegara bagaikan putra. Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami dan warganegara lainnya laksana istri. Adapun dalam timokrasi (atau politi), pertalian antarpemilik properti itu seperti pertalian antarsaudara kandung. Namun sebagaimana pertalian keluarga tidak selalu serasi, masing-masing sistem politik ini bisa diselewengkan, sehingga kerajaan memunculkan tirani, aristokrasi memunculkan oligarki, dan politi memunculkan demokrasi.
Sebagaimana yang telah kita saksikan, kerajaan adalah pilihan yang risikonya terbesar, karena “yang terburuk adalah kebalikan dari yang terbaik.” Oleh sebab itu, ketika memilih suatu sistem politik, kita harus senantiasa memperhatikan bahwa bila tujuan kita suatu sistem tertentu, kita mungkin justru berujung pada kebalikannya. Karenanya, sebagaimana yang telah kita lihat, Aristoteles di tempat lainnya membela politi (yakni timokrasi) sebagai pilihan teraman: walaupun tergelincir menjadi demokrasi, efek negatifnya pada warganegara umum hanya minimal, karena demokrasi adalah “yang paling sedikit keburukannya” dari tiga sistem politik yang buruk. Dalam sistem “pemerintahan mayoritas”, kehendak mayoritas berkemungkinan untuk dipengaruhi secara merugikan oleh motif mementingkan diri sendiri dari rakyat yang buruk yang tinggal di masyarakat mana pun, kendati dalam beberapa hal, ini akan diseimbangkan oleh motif-motif yang baik dari rakyat yang bijak. Pada kuliah mendatang saya akan menyarankan cara yang agak mengejutkan tentang penerobosan tapal batas politik sebagaimana yang ditentukan oleh sistem Aristoteles. Kemudian kita akan menyimpulkan Bagian Tiga dengan mempertimbangkan sitem politik apa yang paling alim bagi masyarakat modern ketika kita memasuki milenium ketiga.
Tipe logis sistem politik
Sumber wewenang “kekuasaan” [kratos] dan “aturan” [arche]
Tingkat risiko dankebebasan
Tingkat hak asasi
Analogi keluarga (warga/negara)
Teokrasi (+++)
Pengalaman ketuhanan [theos] setiap orang
mutlak
tiada
Orang/diri (sehat)
Kerajaan (+-+)
Satu orang yang baik
tinggi
rendah
Putra/ayah yang baik
Aristokrasi (-++)
Kelas elit orang “terbaik” [aristos]
sedang
sedang
Istri/suami yang baik
Timokrasi atau Politi (--+)
Semua pemilik “properti” [timemaatau kelas menengah
rendah
tinggi
Adik/kakak
Demokrasi (---)
Semua warganegara “umum” [demos]
rendah
tinggi
Saudara kembar
Oligarki (-+-)
Beberapa “gelintir” [oligos] orang kaya
lebih rendah
sedang
Istri/suami yang buruk
Tirani (+--)
Satu orang yang buruk
sangat rendah
rendah
Putra/ayah yang buruk
Eklesiokrasi (++-)
“majelis” [ekklesia] orang-orang religius
terendah
amat rendah (tiada)
Orang/diri (tak sehat)

 BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Arsitoteles menekankan bahwa “warganegara yang baik harus mengetahui dan mempunyai kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur, dan hal inilah yang merupakan keluhuran budi warganegara—pengetahuan tentang aturan pada orang-orang merdeka dari kedua sudut pandang.” Salah satu segi terpenting filsafat politik Aristoteles adalah bahwa, dalam pembahasannya, ia menyusun kerangka yang mengandung enam tipe kemungkinan sistem politik. Tipe-tipe itu dibedakan oleh perbedaan sumber  wewenang  dan kekuasaan yang memberikannya.
Enam sistem politik menurut Aristoteles adalah kerajaan, politik, demokrasi, tirani, oligarki, aristokrasi. Pembedaan yang paling diperhatikan oleh Aristoteles dalam Politics adalah antara dua bentuk ekstrim pemerintahan non-monarkis, yaitu oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena dua sistem itu yang paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik di Yunani kuno maupun di zaman modern. Aristoteles mengingatkan bahwa sistem politik terbaik bagi kota-kota tidak bisa ditetapkan lebih dahulu: salah satu dari sistem-sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya adalah yang paling tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan. Jadi, umpamanya, ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan
Dalam bahasannya tentang revolusi politik, Aristoteles mengemukakan bahwa, walau praktis setiap sistem dapat berubah menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung “lebih sering mengalami revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem politik terdekatnya” (AP 1316a-b(179-180)). Dengan kata lain, Aristoteles membandingkan pertalian antara warganegara dan kota dalam tiga sistem politik yang baik ini dengan tiga tipe pertalian keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan warganegara bagaikan putra. Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami dan warganegara lainnya laksana istri. Adapun dalam timokrasi (atau politi), pertalian antarpemilik properti itu seperti pertalian antarsaudara kandung. 



17 07 2009
Oleh: Dr Imran Waheed (Hizbut Tahrir Inggris)
Itu adalah sebahagian dan berita-berita negeri yang Kami ceritakan kepadamu. Beberapa di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada yang telah musnah. Dan Kami tidaklah menganiaya mereka; tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (TQS. Hud: 100-101)
Adapun kaum ‘Aad mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” dan Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Tapi mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) kami. (TQS. Fussilat: 15)
Sejak kehancuran Khilafah Islam pada abad yang lalu, peradaban Barat mulai mendominasi dunia secara politis, militer dan ekonomi. Peradaban Barat menjadi amat bangga akan kemajuan yang dicapainya dan saat ini menyebarkan ideologinya dengan gigih di dunia Islam. Kepada kita dikatakan bahwa Peradaban Barat adalah universal dan merupakan jalan satu-satunya bagi kemajuan dan pencerahan.
Bush berkata, “Peradaban Barat bukanlan nilai-nilai Amerika atau –seperti anda tahu– bukan pula nilai-nilai Eropa. Peradaban Barat merupakan nilai-nilai universal. Karena universal, nilai-nilai itu, seharusnya diterapkan di setiap tempat.” Blair berkata, ”Peradaban kita bukanlah nilai-nilai Barat, ia adalah nilai-nilai universal dari semangat kemanusiaan. Dan di manapun…di manapun, kapan saja, rakyat biasa diberikan kesempatan untuk memilih. Pilihanya adalah sama: kebebasan, bukan tirani; demokrasi, bukan diktator; tertib hukum, bukan hukum dari polisi rahasia.”
Sering kali dikatakan pada kita bahwa peradaban Islam adalah hanya ada dalam lembaran sejarah dan mereka yang menginginkan Islam, syariah, dan Khilafah adalah orang yang berbicara mengenai keterbelakangan dan kegelapan. Namun, apa yang tidak ditunjukkan oleh Barat adalah jurang eksploitasi yang dalam, kekacauan, dan keputusasaan yang telah diciptakan kapitalisme di seluruh dunia.
Propaganda Barat tidak mampu menyembunyikan kemunduran dan kerusakan peradaban ini – suatu masalah yang memang telah jelas bagi kita semua. Ketika mereka menyebarkan nilai-nilai dan ideologi mereka kepada dunia dengan cara yang sangat arogan dan memfitnah peradaban Islam, maka mereka telah mencoba untuk menyembunyikan keputusasaan yang mereka ciptakan pada masyarakat mereka sendiri dan di seluruh dunia.
Percampuran antara materialisme dan kebebasan individu tanpa batas, telah menyebabkan kekerasan yang mewabah, pengunaan obat bius, dan alkohol; mengabaikan orang lanjut usia, kemiskinan, kerusakan pada keluarga, kekosongan spiritual, rasisme, dll, dll.
Penyalahgunaan obat meningkat dengan pesat; juga makin tingginya depresi dan mewabahnya pesta minuman keras. Di Inggris, angka resmi menunjukkan bahwa peminum minuman keras yang “berbahaya dan membahayakan” mencapai angka 7,1 juta orang. Pada dekade lalu, orang yang masuk rumah sakit karena sebab yang berkaitan dengan alkohol telah berjumlah dua kali lipat.
Lebih dari seperlima wanita di Inggris menjadi korban kekerasan seksual ketika meraka anak-anak. Di Negara itu , tiap menit polisi menerima telepon dari masyarakat yang meminta bantuan akibat kekerasan rumah tangga. Satu dari empat wanita di Inggris telah mengalami pemerkosaan atau dicoba untuk diperkosa. Tiap minggu di Inggris, satu hingga dua anak mati karena kekejaman. Satu dari tiga anak-anak hidup dalam kemiskinan. Lebih dari 25 persen dari seluruh pemerkosaan yang dicatat polisi dilakukan terhadap anak-anak di bawah usia 16 tahun. Setengah juta orang usia lanjut diperlakukan dengan kasar, terutama karena tidak mempedulikan mereka. Lingkaran hutang menjerat keseharian masyarakat Inggris .Hutang konsumen di Inggris berada pada angka £ 1.3 triliun, suatu angka yang mengejutkan.
Jurang antara orang kaya dan orang miskin terus melebar. 13,000 keluarga terkaya di Amerika saat ini memiliki pendapatan yang sama dengan 20 juta orang penduduk paling miskin. 13,000 keluarga itu memiliki pendapatan 300 kali lipat dari pendapatan keluarga rata-rata.
Situasi Global
Secara global, peradaban Barat telah menciptkan tata dunia yang tidak adil yang dicirikan oleh imperialisme lewat mekanisme hutang, perdagangan yang tidak adil, dukungan bagi para diktator dan tiran, dan pendudukan yang illegal. Sementara pada saat yang sama mengurangi kebebasan sipil di negara mereka sendiri dengan cara menteror rakyatnya sendiri.
Mereka berbicara soal penentuan nasib sendiri dan demokrasi, tapi mendukung diktator di seluruh dunia Islam seperti Mubarak dan Karimov dan mencegah keinginan masyarakat kepada Islam, syariah dan Khilafah.
Mereka berbicara soal supremasi hukum dan perdamaian di Timur Tengah, namun kenyataanya mereka menjajah dan menjarah; menduduki negeri orang lain. Seperti yang terjadi di Irak di mana mereka membunuh lebih dari 650,000 ribu jiwa.
Mereka berbicara soal keringanan hutang, tapi telah memperbudak seluruh negera di bawah belenggu IMF dan Bank Dunia. Mereka berbicara soal pemberantasan korupsi tapi menyogok ratusan juta dollar kepada para penguasa di negeri-negeri muslim untuk mendapatkan kontrak dagang.
Mereka berbicara soal HAM, tapi Guantanamo Bay, Abu Ghraib, Patriot Act, Undang-undang anti-terroris yang tersamar, menghentikan dan menggeledah, penahanan, penyiksaan, penawanan tanpa peradilan, penculikan dan pengiriman tersangka untuk ditahan dinegara-negara yang merupakan rezim brutal , interogasi yang brutal dan perang-perang yang illegal dan imperialistik adalah bukti-bukti atas sebuah peradaban yang telah memasuki kemunduran yang permanen.
Nilai-nilai, prinsip, dan tradisi dari peradaban Barat telah dijual murah senilai 30 keping perak – Negara-negara Barat saat ini telah kehilangan otoritas moralnya.
Propaganda Yang Gagal
Peradaban Islam (saat ini) tidak memiliki negara yang mengembannya. Ia juga tidak memiliki tentara dan senjata untuk mempertahankannya. Sementara, peradaban Barat dilengkapi dengan senjata, tentara, teknologi, dan dominasi politik, militer dan ekonomi. Namun, walaupun semua itu dilakukan, propaganda pemerintahan Barat mulai memudar.
Kaum Muslim yang tinggal di Barat, yang tiap hari dicekoki kapitalisme, saat ini semakin bersatu dengan kaum Muslim di Dunia Islam untuk menentang kebijakan (kapitalistik), melawan pendudukan, melawan upaya memecahbelah negeri-negeri kita, melawan campur tangan asing, demi tegaknya syariah, demi tegaknya Khilafah, dan seterusnya.
Bahkan propaganda Barat yang anti Islam tidak mampu membendung -bahkan kaum non-Muslim- yang mulai menghargai Islam sebagai sebuah agama dan sebuah sistem. Beberapa di antaranya masuk Islam dan berjuang untuk Islam, sementara yang lainnya tidak lagi mempercayai propaganda pemerintah mereka. Seorang wanita yang masuk Islam setelah Peristiwa 11 September, dia mengatakan bahwa sebelum ‘perang melawan teror’ dia tidak mengetahui siapakah Muhammad SAW, tapi saat ini dia ridho mempertaruhkan nyawanya untuk Rosulullah saw.
Dan ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu (dari rumahmu). Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (TQS. Al-Anfal: 30)
Wahai Muslimin dan Muslimat!
Walaupun negara kita tidak ada pada saat ini, akhir segalanya akan berpihak pada peradaban Islam, karena peradaban Barat didasarkan pada kebatilan dan peradaban Islam didasarkan pada kebenaran. Allah SWT berfirman:
Sebenarya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
(TQS. Al-Anbiya:18)
Wahai Muslimin dan Muslimat!
Kekalahan Peradaban Barat terbukti dari tindakan-tindakannya yang menunjukkan keputusasaan. Pendudukan, penyiksaan, penahanan, propaganda, bukanlah tindakan-tindakan dari peradaban yang kuat, melainkan tindakan dari peradaban yang sakit.
Propaganda melawan Islam, pengemban syariah, Khilafah, dan dakwah adalah karena pemerintah-pemerintah Barat mengetahui bahwa mereka sedang menghadapi kebangkitan kembali Islam di seluruh dunia. Tindakan mereka seperti usaha membuat parit yang terakhir dari peradaban kapitalis yang sedang tenggelam.
Maka, kokohkanlah keyakinan anda, berikan loyalitas anda kepada Dien (Al-Islam) dan Umat. Jangan biarkan penyesatan yang membuatmu lemah, karena tingkatan ini hampir usai. Tidak lama lagi, situasi akan berubah cepat. Tanda keberhasilan perjuangan menuju Khilafah semakin nampak jelas. Tahapan menuju kemenangan sudah semakin mendekat dari hari ke hari.
Keimanan kita pada Allah SWT adalah sangat besar dan harapan kita akan kemenangan yang dekat ini tidak tersentuh bahkan dengan sebuah ucapan. Dan Allah SWT maha berkuasa atas segala urusan-Nya, tapi kebanyakan manusia tidak tahu, dan Dia, segala puji bagiNya, berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.”. (TQS. An-Nur [4]: 55)


 Thomas Aquinas
Biografi Singkat Thomas Aquinas
Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat Napels, Italia. Lahir dari suatu keluarga bangsawan. Semula ia belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia. Aquinas seorang ahli teologi Katolik dan filosof. Ia menerima gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259. Kemudian selama 10 tahun ia mengajar di biara-biara Dominican di sekitar Roma kemudian kembali ke Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari karya-karya besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam pelbagai perdebatan. Thomas meninggal dunia pada usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274)
Karya Thomas Aquinas
Dalam masa hidupnya meninggalkan banyak karya tulisan. Suatu edisi modern yang  mengumpulkan semua karyanya terdiri dari 34 jilid. Sebagaimana kebanyakan profesor muda pada waktu itu, Thomas memulai karier teologisnya dengan suatu komentar atas buku “Sententiae”, karangan Petrus Lombardus. Suatu karya lainnya ialah Summa contra Gentiles (Ikhtiar melawan orang-orang kafir); suatu uraian sistematis tentang teologi. Karyanya yang utama adalah  Summa Thelogiae (Ikhtisar Teologi), yang terdiri dari tiga bagian. Para ahli sejarah filsafat sepakat mengatakan bahwa filsafat Abad Pertengahan memuncak pada Thomas. Thomas mendasarkan filsafatnya pada prinsip-prinsip Aristotelisme. Untuk memahami tulisan Aristoteles dalam bahasa Yunani, Thomas merasa sangat terbantu dengan tulisan-tulisan dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Sehingga dia mampu menerjemahkan kedalam Bahasa Latin. Tulisan-tulisan Aquinas semuanya dalam bahasa Latin, mencakup beberapa karangan besar tentang teologi, perdebatan teologi dan problemaproblema filsafat, komentar tentang beberapa bagian dari Bibel dan tentang dua belas karangan Aristoteles. Karyanya yang terbesar adalah  Summa Contra Gentiles, dan  Summa Theologica. Aquinas dianggap sebagai orang  suci Italia Dominican, seorang guru gereja yang merintis masuknya filsafat Yunani ke dalam pemikiran Barat dan menghubungkan dogma dan filsafat.


Beberapa Pemikiran Filsafat Thomas Aquinas
1.  Thomisme
Thomisme adalah pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Aquinas. Sebagaimana umumnya ajaran Skolastik, Thomas Aquinas berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendamaikan pemikiran filsafat yang sekuler dari Yunani dengan agama Nasrani yang dianutnya. Oleh Thomas dibedakan dua tingkat pengetahuan manusia. Pengetahuan tentang alam yang dikenal melalui akal dan pengetahuan tentang rahasia Tuhan yang diterima oleh manusia lewat wahyu atau kitab suci. Pengertian-pengertian metafisis sebagian besar dipinjam dari Aristoteles. Misalnya pengertian materi dan bentuk, potensi dan aktus, bakat dan perealisasian. Pengertian-pengertian metafisis sebagian besar dipinjamnya dari Aristoteles,  seperti: pengertian materi dan bentuk, potensi dan aktus, bakat dan perealisasian. Materi adalah  asal muasal  munculnya sesuatu. Atau dapat juga disebut subyek pertama  sebagai asal munculnya sesuatu. Bentuk terkandung  dalam materi, umpamanya asal muasal buah mangga: Buah Mangga berasal dari biji mangga, lalu menjadi pohon mangga. Biji mangga adalah materinya atau potensinya, sedang pohon mangga yang telah tumbuh itu adalah bentuknya, atau aktusnya. Pada pohon mangga itu kita mengamati bahwa yang telah terkandung di dalam biji sebagai materi telah direalisasikan sepenuhnya.
Pembedaan antara materi dan bentuk ini hanya terjadi pada benda-benda dalam kenyataan, tidak pada pengertian tentang Allah. Thomas memakai pengertian essentia (hakekat) dan existentia (eksistensi) bagi Allah.
2.  Essentia dan Existentia
Ajaran Thomas Aquinas yang terkenal  diantaranya tentang  essentia dan existentia, yang  dikaitkannya dengan Tuhan. Tuhan adalah aktus yang paling umum, actus purus (aktus murni), artinya Tuhan sempurna keberadaannya, tidak berkembang, karena pada Tuhan tiada potensi. Di dalam Tuhan segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya yang sempurna. Tuhan adalah aktualitas semata-mata, oleh karena itu pada Tuhan hakikat (essentia) dan keberadaan (existentia) ada sama dan satu (identik). Hal ini tidak berlaku bagi makhluk. Keberadaan makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya.
Filsafat Thomas erat kaitannya dengan teologia. Sekalipun demikian pada dasarnya filsafatnya dapat dipandang sebagai suatu filsafat kodrati yang murni., sebab ia tahu benar akan tuntuan penelitian kebenaran, dan secara jujur mengakui bahwa pengetahuan insani dapat diandalkan juga. Dia membela hak-hak akal dan mempertahankan kebebasan akal dalam bidangnya sendiri. Wahyu  menurutnya berwibawa juga dalam bidangnya sendiri. Disamping memberi kebenaran alamiah, wahyu juga memberi kebenaran yang adikodrati, memberi misteri atau hal-hal yang bersifat rahasia, seperti: kebenaran tentang trinitas, inkarnasi, sakramen dll. Untuk ini diperlukan iman. Iman adalah suatu cara tertentu guna mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus akal. Iman adalah suatu penerimaan atas dasar wibawa Allah. Sekalipun misteri mengatasi akal, namun tidak bertentangan dengan akal, tidak anti akal. Sekalipun akal tidak dapat menemukan misteri, akan tetapi akal dapat meratakan jalan menuju kepada misteri (prae ambula fidei).
Dengan demikian, Thomas Aquinas menyimpulkan  bahwa  ada dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan, tetapi berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu: pengetahuan alamiah, yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal yang bersifat insani umum sebagai sasarannya, dan pengetahuan iman, yang berpangkal dari wahyu dan memiliki kebenaran ilahi, yang ada di dalam Kitab Suci, sebagai sasarannya. Perbedaan antara pengetahuan  yang diperoleh melalui akal dan pengetahuan iman itu menentukan hubungan antara filsafat dan teologia. Filsafat bekerja atas dasar terang yang bersifat alamiah semata-mata, yang datang dari akal manusia. Oleh karena itu filsafat adalah ilmu pengetahuan insani yang bersifat umum, yang hasil pemikirannya diterima oleh tiap orang yang berakal. Akal membimbing manusia untuk mengenal kebenaran di kawasan alamiah, sehingga manusia dapat naik dari hal-hal yang bersifat inderawi ke hal-hal yang bersifat  non-inderawi, naik dari hal-hal yang bersifat rohani, dari hal-hal yang serba terbatas ke hal-hal yang tidak terbatas. Teologia sebaliknya memerlukan wahyu, yang memberikan kebenaran-kebenaran yang mengatasi  segala yang bersifat alamiah karena teologia memiliki kebenaran-kebenaran ilahi sebagai sasarannya. Kebenaran-kebenaran ilahi hanya bisa diperoleh melalui wahyu, yang ditulis di dalam Kitab suci.
Sekalipun demikian, ada bidang-bidang yang dimiliki bersama, baik oleh filsafat  maupun oleh teologia. Umpamanya pengetahuan tentang Allah dan Jiwa. Baik filsafat maupun teologia keduanya dapat mengadakan penelitian sesuai dengan kecakapan masing-masing. Sebaliknya, ada bidang-bidang yang samasekali berada di luar jangkauan masing-masing, umpamanya: filsafat hanya dapat menjangkau hal-hal di kawasan alam, sedangkan misteri berada di luar jangkauannya, karena misteri hanya dapat di dekati dengan iman. Dengan demikian,  hubungan antara filsafat dan teologia menurut Thomas, filsafat dan teologia adalah laksana dua lingkaran, meskipun yang satu berada di luar yang lain, namun bagian tepinya ada yang bersentuhan. Disini terlihat bahwa Thomas  Aquinas  mempersatukan unsur-unsur pemikiran Augustinus-Neoplatonisme dengan unsur-unsur pemikiran Aristoteles, sedemikian rupa sehingga menjadi suatu sintesa yang belum pernah ada.
Menurut Thomas, Allah adalah aktus yang paling umum,  aktus purus (aktus murni), artinya keberadaan Allah sempurna, tidak ada perkembangan padaNya, karena pada-Nya tidak ada potensi. Di dalam Allah segala sesuatu telah sampai kepada perealisasiannya yang sempurna.  Allah itu mutlak, bukan yang “mungkin”. Allah adalah aktualitas semata-mata. Oleh karena itu, pada Allah terdapat hakekat (essentia) dan eksistensi (existentia), eksistensi Allah tidak ditambahka pada hakekat, karena pada Allah hakikat dan eksistensi itu identik, tidak terpisah. Hal ini tidak  terjadi pada makhluk. Eksistensi atau keberadaan makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan kepada hakekatnya (essentia). Pada makhluk hubungan antara hakekat dan eksistensi seperti materi dan bentuk, atau seperti potensi dan aktus, atau seperti bakat dan perealisasiannya. Pada Allah tiada sesuatu pun yang berada sebagai potensi yang belum menjadi aktus.
3.  Argumen kosmologi
Thomas juga mengajarkan apa yang disebut  theologia naturalis, yang mengajarkan bahwa manusia dengan pertolongan akalnya dapat mengenal Allah, meskipun pengetahuan tentang Allah yang diperolehnya dengan akal itu tidak jelas dan tidak menyelamatkan. Melalui akalnya manusia dapat  mengetahui bahwa Allah ada, dan juga tahu beberapa  sifat Allah. Dengan akalnya manusiadapat mengenal Allah, setelah ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia, alam semesta dan makhluk-Nya.  Thomas berpendapat, bahwa pembuktian tentang adanya Allah hanya dapat dilakukan secara  a posteriori.
Dalam hal ini Thomas memberikan 5 bukti, yaitu: 
a)      Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada Penggerak Pertama, yaitu Allah. Menurut Thomas, apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan dirinya sendiri, maka yang menggerakkan diri sendiri itu harus juga digerakkan oleh sesuatu yang lain, sedang yang menggerakkan ini juga harus digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak Pertama ini adalah Allah. 
b)      Di dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu  tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena sekiranya ada, hal yang menghasilkan dirinya itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin, sebab yang berdaya guna, yang menghasilkan sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu,  harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Inilah Allah.
c)      Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh karena  itu  semuanya itu tidak berada sendiri, tetapi diadakan, dan oleh karena itu semuanya itu juga dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tentu tidak mungkin semuanya itu senantiasa “ada”. Sebab apa yang mungkin “tidak ada” pada suatu waktu memang tidak ada. Karena segala sesuatu memang mungkin “tidak ada”, maka pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Jikalau pengandaian ini benar, maka sekarang juga mungkin tidak ada sesuatu. Padahal apa yang tidak ada hanya dapat dimulai berada jikalau diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jikalau segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang “adanya” mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, “adanya” itu dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau berada sendiri. Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mungkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah.
d)     Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau lebih baik, itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi, jikalau ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Demikian juga halnya dengan yang kurang benar, yang benar dan yang lebih benar dan lain sebagainya. Dari  ini semua dapat disimpulkan, bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia, dan sebagainya. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
e)      Segala sesuatu yang tidak berakal, misalnya: tubuh alamiah, berbuat menuju kepada tujuannya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik. Dari situ  terlihat bahwa  perbuatan tubuh bukanlah perbuatan kebetulan, semuanya diatur oleh suatu  kekuatan,  semuanya itu menuju pada “akhir”. Jika tidak diarahkan oleh suatu “tokoh yang berakal”, maka semua perbuatan tubuh tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan. Kekuatan yang mengarahkan itu adalah Allah.
Bukti-bukti di atas memang dapat menunjukkan bahwa ada pencipta yang menyebabkan adanya segala sesuatu.  Pencipta yang berada karena diri-Nya sendiri. Akan tetapi semuanya itu tidak dapat  secara riil dapat  membuktikan kepada kita  mengenai hakekat Allah. Melalui bukti-bukti  penciptaan-Nya kita mengetahui, bahwa Allah itu ada.
Bukti-bukti yang dikemukakan Thomas didasarkan atas premis yang sama. Argumen kosmologi sering juga dinamakan argumen sebab pertama. Ia adalah suatu argumen deduktif yang mengatakan bahwa apa saja yang terjadi mesti mempunyai  sebab, dan sebab itu juga mempunyai sebab dan seterusnya. Rangkaian sebab-sebab mungkin tanpa  ujung atau mempunyai titik permulaan dalam sebabnya yang pertama. Aquinas mengeluarkan kemungkinan adanya rangkaian sebab pertama yang kita namakan Tuhan.
Bagi Thomas, argumen kosmologi tentang eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang penting. Menurutnya, sebagai makhluk yang berakal, kita harus membedakan antara ciri-ciri yang aksidental dan ciri-ciri yang esensial tentang realitas, atau antara objek-objek yang bersifat sementara dan objek-objek yang bersifat permanen. Tiap-tiap kejadian antara perubahan memerlukan suatu sebab, dan menurut logika, kita harus kembali ke belakang, kepada sebab yang berada sendiri, tanpa sebab atau kepada Tuhan yang berdiri sendiri. Oleh  sebab itu, Tuhan bersifat imanen dalam alam, ia prinsip pembentuk alam. Tuhan adalah syarat bagi perkembangan alam yang teratur serta sumber dan dasarnya yang permanen.
Sekalipun demikian dapat juga dikatakan bahwa orang memang dapat memiliki beberapa pengetahuan filsafati tentang Allah. Di sini Thomas mengikuti ajaran Dionisios dari Areopagos, akan tetapi ajaran Neoplatonisme itu dirobah, disesuaikan denga teori pengenalannya yang berdasarkan ajaran Aristoteles.

Melalui akal, ada 3 (tiga) cara manusia dapat mengenal Allah, yaitu: 
a)      Segala makhluk sekedar mendapat bagian dari keadaan Allah. Hal ini mengakibatkan bahwa segala yang secara positif baik pada para makhluk dapat dikenakan juga kepada Allah (via positiva).
b)      Sebaliknya juga dapat dikatakan, karena  adanya analogi keadaan, bahwa segala yang ada pada makhluk tentu tidak ada pada Allah dengan cara yang sama (via negativa).
c)      Jadi, apa yang baik pada makhluk tentu berada pada Allah dengan cara yang jauh melebihi keadaan pada para makhluk itu (via iminentiae).
4. Penciptaan
Pemikiran filsafat Thomas tentang penciptaan juga suatu pemikiran yang  penting. Pemikirannya tersebut pada dasarnya adalah ajaran Augustinus Neoplatonisme, yaitu ajaran tentang  partisipasi. Segala makhluk berpartisipasi dalam keadaan Allah, atau mendapat bagian dari “ada” Allah. Hal ini disebabkan bukan karena emanasi seperti yang diajarkan Neoplatonisme, melainkan karena karya penciptaan Allah.  Allah menciptakan dari “yang tidak ada” (ex nihilo). Sebelum dunia diciptakan tidak ada apa-apa, sehingga juga tidak ada dualisme yang asasi antara Allah dan benda, antara yang baik dan yang jahat. Segala sesuatu dihasilkan Allah dengan penciptaan. Oleh karena itu, segala sesuatu berpartisipasi atau mendapat bagian dari kebaikan Allah, sekalipun cara makhluk memiliki kebaikan itu berbeda dengan cara Allah.
Selanjutnya harus diperhatikan bahwa menurut Thomas penciptaan bukanlah suatu perbuatan pada suatu saat tertentu, dan setelah itu dunia dibiarkan pada nasibnya sendiri. Penciptaan adalah suatu perbuatan Allah yang terus menerus, melalui penciptaan itu Allah terus menerus menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara. Dengan demikian, dari kekekalan Allah menciptakan jagat raya dan waktu. Segala sesuatu diciptakan sesuai dengan bentuknya atau ideanya yang berada di dalam roh Allah. Idea-idea itu bukan berada di luar Allah, akan tetapi identik dengan Dia, satu dengan hakekat-Nya. Ini berarti bahwa dunia ada awalnya.  Pemikirannya ini jelas sekali pengaruh pemikiran Neo-Platonisme dan Al-Farabi dengan filsafat emanasinya. Dikarenakan jagad raya diciptakan Allah, maka jagad raya bukan Allah, meskipun memang mendapat bagian dari “ada” Allah. Partisipasi ini bukan secara kuantitatif, artinya: bukan seolah-olah tiap makhluk mewakili sebagian kecil tabiat ilahi. Bahwa makhluk berpartisipasi dengan Allah berarti ada sekedar analogia, sekedar kesamaan atau kiasan antara  Allah dan makhluk-Nya. Allah memberikan kebaikan-Nya juga kepada makhluk-Nya. Analogi atau kesamaan ini bukan hanya menunjuk kepada kesamaannya, tetapi juga kepada perbedaannya, artinya: sekalipun ada kesamaan, tetapi ada juga perbedaanya dalam cara beradanya. Analogia ini bukan mengenai perkara-perkara yang sampingan, akan tetapi mengenai perkara yang paling hakiki, yaitu mengenai “ada”nya Allah dan “ada”nya makhluk (analogia entis). Analogia ini di satu pihak menunjuk kepada adanya jarak yang tak terhingga antara Allah dan makhluk, tetapi di lain pihak para makhluk itu sekedar menampakkan kesamaannya juga dengan Allah.
5.  Makhluk Murni
Menurut Thomas Aquinas, makhluk-makhluk rohani dalam arti yang murni (yaitu para malaikat) juga tersusun  dari hakekat dan eksistensi, sekalipun mengenai malaikat dapat juga dibicarakan hal “bentuk”. Para malaikat memiliki hakekat (essentia) roh dan mereka bereksistensi. Pada malaikat tidak terdapat susunan materi dan bentuk, potensi dan aktus. Hal ini dikarenakan potensi para malaikat tiada potensi yang harus berkembang. Oleh karena itu, diantara para malaikat tiada individuasi dalam satu jenis. Tiap malaikat adalah jenisnya sendiri. Baru pada makhluk-makhluk yang berjasad (benda-benda mati, tumbuhtumbuhan, binatang dan manusia) ada 2 macam susunan, yaitu hakikat dan eksistensi (essentia dan  existentia), sebagai tanda pengenal makhluk, materi dan bentuk, atau potensi dan aktus. Dan sebagai tanda pengenal segala yang berjasad, yang bendani.

6.  Jiwa
Manusia adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri dari bentuk (jiwanya) dan materi (tubuhnya). Dikarenakan hubungan antara jiwa dan tubuh sebagai bentuk dan materi atau sebagai aktus dan potensi atau  bisa juga dikatakan sebagai perealisasian dari bakat. Jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri seperti yang diajarkan oleh Plato. Terhadap tubuh,  jiwa merupakan bentuk atau aktus atau perealisasiannya, karena jiwa adalah daya gerak yang menjadikan tubuh sebagai materi, atau sebagai potensi, menjadi realitas. Jiwalah yang memberikan perwujudan kepada tubuh sebagai materi. Dengan demikian, praeksistensi ditolak oleh Thomas. Akan tetapi jiwa dianggap tidak dapat binasa bersamaan dengan tubuh, jiwa tidak dapat mati. Bagi Thomas, tiap perbuatan (juga berpikir dan berkehendak) adalah suatu perbuatan segenap pribadi manusia, perbuatan “aku”, yaitu jiwa dan tubuh sebagai kesatuan. Jadi bukan akalku berpikir, atau mataku melihat dsb, akan tetapi aku berpikir, aku melihat, dsb. Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, bentuk rohani, yang sekaligus juga membentuk hidup lahiriah dan batiniah. Jadi, jiwa   adalah bersatu dengan tubuh dan menjiwai tubuh.
Jiwa memiliki 5 daya, yaitu:
a)      Daya jiwa  vegetatif, yaitu yang bersangkutan dengan pergantian zat dan dengan pembiakan.
b)      Daya jiwa yang sensitif, daya jiwani yang berkaitan dengan keinginan 
c)      Daya jiwa yang menggerakkan
d)     Daya jiwa untuk memikir
e)      Daya jiwa untuk mengenal
Daya untuk memikir dan mengenal terdiri dari akal dan kehendak. Akal adalah daya yang tertinggi dan termulia, yang lebih penting daripada  kehendak, karena yang benar adalah lebih tinggi daripada yang baik. Mengenal adalah suatu perbuatan yang lebih sempurna daripada menghendaki.
Pandangan Thomas tentang  pengenalan berkaitan erat dengan pandangannya tentang hubungan antara jiwa dan tubuh. Pada dirinya jiwa bersifat pasif, baik dalam pengenalan inderawi maupun dalam pengenalan akali. Dayadaya penginderaan (tenaga untuk melihat, mendengar, dll) ditentukan oleh bendabenda yang ada di luar. Yang menjadi pelaku atau subyek dalam pengenalan adalah kesatuan jiwa dan tubuh yang berdiri sendiri. Akal pada dirinya hanyalah seperti sehelai kertas yang belum ditulis, yang tidak memiliki idea-idea sebagai bawaannya dan tidak menghasilkan sasaran pengenalannya. Akal hanya menerima sasaran pengenalannyan dari luar. Oleh karena itu, pengenalan akali atau pengenalan yang diperoleh dengan akal, menurut isinya, seluruhnya tergantung kepada indera. Pengenalan berpangkal dari pengalaman. Adapun yang menjadi sasaran akal adalah hakekat benda-benda berjasad. Indera memberikan gambarangambaran dari sasaran yang diamati. Gambaran-gambaran itu secara potensial memiliki hakekat benda yang diamati. Dengan abstraksi jiwa menarik hakikat benda-benda yang diamati tadi dari gambaran-gambaran  yang diberikan oleh pengamatan inderawi. Hakekat itu dirobah menjadi suatu bentuk yang dapat dikenal. Pengetahuan terjadi kalau akal telah mengambil bentuk itu dan mengungkapkannya. Jadi, di dalam pengenalan akal tergantung kepada bendabenda yang diamati indera.
Dalam pengenalan akali ini tidak diperlukan penerangan khusus dari Allah, karena yang dimiliki akal sudah cukup untuk dijadikan alat guna mendapatkan pengetahuan dan memberi jaminan subjektif bagi kepastian pengetahuan itu. Mengenai jaminan kepastian yang bersifat objektif dikatakan, bahwa hal itu tergantung dari hakikat obyek yang dikenal itu sendiri, artinya: tergantung dari idea ilahi sendiri.
7.  Etika Teologis 
Etika Aquinas disesuaikan dengan ajarannya tentang manusia. Moral, baik yang berlaku bagi perorangan, maupun yang berlaku bagi masyarakat, diturunkan dari cahaya manusia diciptakan oleh Allah, atau diturunkan dari tabiat manusia. Hal ini dikarenakan manusia menurut tabiatnya, adalah makhluk sosial. Dalam menguraikan etika, Thomas tidak memakai metode deduksi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sezamannya. Dia menggunakan metode induktif, yaitu dengan menyesuaikan etikanya dengan kenyataan hidup.
Etika Thomas aquinas berkaitan dengan iman kepercayaan kepada Allah pencipta. Dalam arti ini, etika Aquinas memiliki unsur teologis. Namun, unsur itu tidak menghilangkan cirinya yang khas filosofis bahwa etika itu memungkinkan orang menemukan garis hidup yang masuk akal. Tujuan terakhir hidup perorangan adalah memandang Allah. Berdasarkan tujuan terakhir hidup manusia ini, hidup perorangan diarahkan ke situ, dan seluruh masyarakat harus diatur sesuai dengan tuntutan tabiat manusia. Dengan demikian seluruh masyarakat akan membantu orang menaklukkan nafsu-nafsunya kepada akal dan kehendak. Menurut Aquinas, sebenarnya segala nafsu baik. Akan tetapi, nafsu-nafsu itu dapat menjadi jahat ketika nafsu-nafsu itu melanggar kawasan masing-masing dan tidak mendukung akal dan kehendak. Jika demikian, nafsu-nafsu itu lalu menyimpang dari arahnya yang asasi. Jadi, sebenarnya arah perbuatan kesusilaan bukanlah untuk mematikan nafsu, tetapi untuk mengaturnya, sehingga nafsu-nafsu itu turut membantu manusia dalam upaya merealisasikan tugas terakhir hidupnya. Tentu saja tetap masih ada kemungkinan terjadinya hal-hal yang jahat. Bagaimanapun kejahatan tidak berada sebagai kekuatan yang berdiri sendiri, tidak diciptakan Allah. Kejahatan berada dimana tiada kebaikan. Akal merupakan norma perbuatan manusia. Oleh sebab itu, kebaikan merupakan perbuatan yang telah dipertimbangkan melalui akal. Akal adalah pencerminan Akal Ilahi. Dari akal itu diturunkan kebajikan akali. Didalam etika sosial diajarkan bahwa negara adalah bentuk hidup yang tertinggi di kawasan segala sesuatu yang bersifat kodrati. Menurut tabiatnya manusia dikaitkan dengan hidup bersama di dalam masyarakat dan negara. Bentuk yang paling sederhana dari hidup bersama yang kodrati itu terdapat pada keluarga. Oleh karena itu, keluarga menjadi sel organisme masyarakat.
Keunggulan Etika Thomas dibandingkan dengan etika teolog lainnya terlihat pada pandangannya etika peraturan. Kebanyakan etika yang mendasarkan kewajiban moral manusia kepada kehendak Tuhan bersifat etika peraturan yang diberikan Tuhan dan karena itu harus ditaati oleh manusia. Meskipun tidak salah, pola etika peraturan itu tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa peraturan itu diterapkan? Jadi, ada defisit dalam rasionalitas. Orang dewasa mau saja taat pada peraturan, tetapi ia ingin tahu mengapa peraturan itu dibuat. Peraturan itu dibuat oleh yang berwenang, tidaklah membuatnya rasional.  Selain itu, etika peraturan mereduksi sikap moral manusia  pada pertanyaan ”boleh atau tidak boleh?” pertanyaan itu tidak memberi ruang kepada salah satu faham moral yang paling penting dan paling dibutuhkan pada zaman pasca tradisional, yaitu tanggungjawab. Thomas mengatasi kelemahan itu, karena hukum abadi yang diperintahkan oleh Tuhan adalah pengembangan dan penyempurnaan manusia sendiri. Jadi, ada rasionalitas internal hidup menurut hukum kodrat, hanya memenuhi perintah Tuhan yang memang sesuai dengan dinamika intenal manusia sendiri. Dengan demikian, manusia menemukan diri menjadi nyata. Ketakwaan dan kebijaksanaan menyatu takwa karena taat kepada Tuhan, bijaksana karena memang demi keutuhan manusia sendiri.  Taat kepada Allah secara intrinsik menjadikan manusia bahagia karena dengan demikian ia menemukan kesempurnaan. Berbeda dengan etika Kant yang mereduksi  moralitas pada kewajiban. Etika Thomas berkaitan dengan desakan dasar hati manusia ke arah kebahagiaan. Setiap orang ingin bahagia. Keinginan itu yang terlaksana melalui etika hukum kodrat. Dengan demikian, Thomas mempertahankan faham Yunani yang mengatakan bahwa etika mengajarkan seni hidup. Seni hidup dalam arti bahwa orang yang mengikuti tuntutan etika menjadi  semakin pandai atau bijaksana dalam cara mengurus gaya hidupnya dengan sedemikian rupa. Sehingga terasa lebih berkualitas, bermakna dan lebih maju. Aspek inilah yang tidak ada pada pola etika kewajiban sebagaimana dicanangkan oleh Kant. Thomas Aquinas tidak memisahkan antara ketakwaan dan kebijaksanaan, begitu pula antara keutamaan moral dan kebijaksanaan. Dalam kerangka teori hukum kodrat, orang bijaksana akan hidup lebih baik, karena itulah yang paling membahagiakan dan memang itulah yang dikehendaki Tuhan pencipta.
Filsafat Etika Thomas aquinas memiliki rasionalitas tinggi. Disamping itu pula  hukum kodrat mempunyai sifat yang universal karena meskipun acuan kepada Allah pencipta bersifat teologis, dalam strukturnya sendiri etika ini tidak berdasarkan iman kepercayaan atau agama tertentu. Etika hukum kodrat terbuka bagi siapa saja mengembangkan potensi-potensinya, menyempurnakan diri secara utuh, mengusahakan identitasnya, semua itu merupakan tujuan yang masuk akal. 
Dalam hal ini  Aristoteles menegaskan bahwa manusia bebas dalam berbuat. Stoa mendahului Kant, menyatakan bahwa kualitas manusia akan moral ditentukan oleh kehendaknya, bukan tindakan lahiriah yang menentukan orang baik atau buruk dalam arti moral, melainkan sebagai ungkapan kehendak. Manusia itu baik apabila ia berkehendak baik, dan jahat bila berkehendak jahat. Augustinus juga memiliki pandangan yang sama, demikian pula halnya dengan Thomas Aquinas.  Menurut Thomas, manusia memilih antara baik dan buruk. Perbuatan baik mengarahkan kepada tujuan akhir. Perbuatan buruk  akan menjauhkan daripada-Nya. Kebebasan itu padanan dari akal budi. Sebagaimana akal budi merupakan kemampuan kognitif manusia yang terbuka kepada yang tak terhingga, begitu pula kehendak adalah dorongan manusia yang mengarah kepada yang baik, yaitu nilai yang tak terhingga.
Thomas aquinas membedakan antara dua macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan manusiawi  dan  kegiatan manusia.  Kegiatan manusia adalah segala macam gerak, perkembangan dan perubahan pada manusia yang tidak disengaja, yang murni vegetatif atau sensitif dan instingtif. Kegiatan ini di luar kuasa manusia, tidak perlu dipertanggungjawabkan, itu berarti kegiatan pada manusia itu tidak mempunyai kualitas moral mereka bukan baik atau buruk. Kegiatan manusia justru tidak khas manusia, melainkan juga ada pada binatang dan sebagian juga pada tumbuhan. Kegiatan yang khas bagi manusia disebut kegiatan manusiawi, yaitu kegiatan sebagai manusia yang tidak ada organisme lain. Itulah kegiatan yang disengaja, tindakan dalam arti yang sebenarnya. Tindakan itu dikuasai. Berarti berlaku dengan bebas karena kita menentukan diri sendiri. Atas tindakan tersebut, maka kita bertanggungjawab. Karena itu, tindakan menentukan kualitas moral manusia. Tindakan baik, berarti manusia baik, tindakan buruk berarti manusia jahat. Apakah manusia mendekati tujuan akhir atau tidak adalah tanggungjawab manusia itu sendiri. Ia wajib bertindak ke arah yang baik dan tidak bertindak ke arah yang jahat. Perintah moral  paling dasar menurut Thomas Aquinas adalah: “lakukanlah yang baik, jangan melakukan yang salah. Yang baik adalah tujuan terakhir manusia, yang buruk adalah apa yang tidak sesuai. Tindakan ini didahului oleh pengertian bahwa sesudah mengetahui yang baik, kita wajib menghendaki melakukan. Begitu pula, kita wajib menghindari apa yang kita ketahui sebagai yang jahat. Kemantapan dalam berbuat  baik dan menolak yang jahat disebut keutamaan. Aquinas mengambil faham keutamaan dari Aristoteles. Keutamaan merupakan sikap hati yang sudah mantap, seakan-akan diandalkan. Sikap pada kebiasaan hati itu terbentuk karena tindakan. Manusia diharapkan mengusahakan keutamaan agar ia dengan mudah dapat bertindak sesuai dengan apa yang disadarinya dengan baik, agar kehendak, bagian dari jiwa yang menuju baik semakin terarah kepada apa yang diketahui dengan baik, yang sesuai dengan akal budi. Sebagaimana bagi Aristoteles begitu juga bagi Thomas, keutamaan pada umumnya merupakan sikap yang ditengah. Artinya keutamaan berada diantara dua sikap yang ekstrim yang kedua-duanya buruk (kebijaksanaan, misalnya, terletak diantara kebodohan dan sikap berhati-hati yang berlebihan).
Lex Aterna, Lex Naturalis dan Lex Humana: Filsafat Politik Thomas Aquinas 
Pemikiran Thomas Aquinas  tentang etika politik  bisa dilihat pada pendapatnya mengenai hukum. Menurutnya, hukum pada kodratnya sangat memperhatikan keadilan pada masyarakatnya. Dalam negara hukum konstitusional, keberadaannya diukur pada  bagaimana Negara tersebut memberi perlindungan  kepada rakyat dan memperhatikan hak-hak asasi manusia. Dalam kesepakatan etika politik modern  dinyatakan bahwa kekuasaan politik memerlukan legitimasi demokrasi dan dalam  tuntutan bahwa negara dibebani tanggungjawab untuk mewujudkan keadilan sosial. 
Sumbangsih pemikirannya pada filsafat politik walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh tulisannya, tenyata sangat  esensial pada etika kekuasaan. Thomas membicarakan masalah etika politik dalam dua tulisan, yaitu Summa Theologiae I dan dalam tulisan mungilnya De Regimine Principum (tentang pemerintahan raja).
Pada uraian pertama, Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat diantara hukum-hukum ini, yang pertama adalah  Lex Aterna (Hukum Abadi) atau kebijakan Ilahi sendiri sejauh merupakan dasar kodratnya, karena kodrat makhluk-makhluk mencerminkan kebijaksanaan yang menciptakannya. Bahwa makhluk itu ada dan bahwa makhluk berbentuk atau berkodrat sebagaimana adanya adalah karena itulah yang  dikehendaki Sang Pencipta. Kenyataan ini mempunyai akibat, bahwa kodratnya adalah normatif bagi ciptaannya. Makhluk itu dengan sendirinya tumbuh, bergerak dan berkembang menurut hukum  alam. Tetapi lain halnya dengan manusia. Manusia memiliki pengertian dan kemauan bebas dan oleh karena itu dapat menentukan sendiri bagaimana ia mau bertindak. Dalam hal ini, baginya kodrat merupakan hukum  dalam arti yang sungguh-sungguh  manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Hukum kodrat itulah dasar  semua tuntutan moral. Dengan menghubungkan hukum moral dengan hukum kodrat, Thomas mencapai dua hal sekaligus, ia mendasarkan norma-norma moral pada wewenang mutlak Sang Pencipta. Dan ia sekaligus menunjukkan rasionalitasnya. Rasionalitasnya merupakan tuntutan-tuntutan moral yang terletak dalam kenyataan. Tuntutantuntutan itu sesuai  dan berdasarkan pada keperluan kodrat manusia. Thomas dalam mengatasi irasionalisme sedemikian banyak etika religius yang mempertanyakan norma-norma moral pada kehendak Tuhan, tanpa menjelaskan mengapa Tuhan berkehendak demikian. Menurut kodratnya Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya, dan itu berarti, hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang. Dapat membangun dan menemukan identitasnya, dapat menjadi bahagia. Dalam bahasa moral hukum kodrat menuntut manusia agar hidup sesuai dengan martabatnya.
Dengan demikian, Thomas Aquinas pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional, dari kebutuhan manusia sendiri yang sebenarnya. Prinsip itu diterapkan dengan tegas pada hukum buatan manusia, Lex Humana. Menurut Thomas, suatu hukum buatan manusia berlaku apabila menurut dimensinya berdasarkan hukum kodrat isinya harus sesuai dengan hukum kodrat dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan hukum kodrat. Thomas Aquinas terlihat secara radikal menolak kekuasaan sebagai dasar hukum. Suatu peraturan hanya bersifat hukum, artinya hanya mengikat, apabila isinya dapat dilegitimasi secara rasional dari hukum kodrat. Suatu “hukum” yang bertentangan dengan hukum kodrat, menurut Thomas tidak memiliki status hukum, melainkan merupakan “Corruptio Legis” atau penghancuran hukum. Jadi, Thomas secara radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fiksi dan sosial, tetapi tidak mencakup suatu wewenang. Bagi Thomas tak ada satu orang pun yang secara asasi mempunyai wewenang atas manusia lainnya, yang berwenang hanyalah satu yaitu Sang pencipta dan segenap wewenang atas manusia haruslah mendapat hak dan wewenang yang pertama itu. Hukum kodrat adalah tolok ukur legitimasi segala tindakan kekuasaan. Suatu ketentuan penguasa yang tidak sesuai dengan hukum kodrat, tidak mengikat. 
Filsafat politik Thomas Aquinas membuka fakta kekuasaan terhadap kritik dan tuntutan pertanggungjawaban. Sekalipun dipastikan bahwa segenap kekuasaan manusia terbatas sifatnya dan tidak pernah mutlak. Kekuasaan itu perlu sejauh manusia sebagai makhluk  berkodrat sosial, membutuhkan kesatuan pimpinan agat ia dapat menjalankan kemanusiaanya secara utuh. Kekuasaan adalah fungsional demi kesejahteraan masing-masing orang. 
Mengenai pemerintahan kerajaan yang dia  tujukan kepada Raja Hugo di Cyprus, Thomas menjelaskan perbedaan antara pemerintahan yang sah dan pemerintahan yang disebut despotik. Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, sedangkan pemerintahan politik yang sah harus sesuai dengan kodrat manusia sebagai orang yang bebas. Apabila kumpulan orang-orang bebas dibimbing kearah kesejahteraan umum masyarakat, maka pemerintahan seperti ini bisa dikatakan pemerintahan yang benar dan adil. Tetapi, apabila pimpinan tidak mengusahakan kesejahteraan umum masyarakat, lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, maka ini  pemerintahan  yang tidak adil dan bertentangan dengan kodrat. “Kekuasaan pada dasarnya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas yang sesuai dengan kodrat. Sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara, yaitu mengusahakan kemakmuran bersama, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut raja bukanlah orang yang kebetulan duduk di atas tahta istana kerajaan, melainkan seorang penguasa yang memerintah demi kesejahteraan umum masyarakat, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Menurut Aquinas, tidak pernah seorang dengan sendirinya berhak memerintah orang lain. Sebagai sesama ciptaan Tuhan tidak  ada manusia yang mengungguli manusia yang lain. Jika ada yang memerintah dan diperintah, maka harus berdasarkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial.  Fungsi suatu pemerintahan memang diperlukan dalam rangka upaya mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Kepada siapa pemerintahan itu dipercayakan, masyarakatlah yang berhak menentukan (rakyat, populus dalam bahasa Thomas Aquinas). Setiap raja atau penguasa yang sah menduduki jabatannya berdasarkan pada suatu perjanjian dengan rakyatnya. Dalam perjanjian itu rakyat disatu pihak, berjanji akan taat kepada raja. Dan dipihak lain, raja berjanji akan mempergunakan kekuasaannya demi tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mengusahakan kepentingan rakyat atau kesejahteraan umum. Apabila raja menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan sendiri, berarti dia melanggar perjanjian. Dengan demikian, perjanjian ini tidak berlaku lagi. 
Untuk mencegah timbulnya Tirani dalam kekuasaan, maka hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga raja tidak memiliki kesempatan untuk mendirikan pemerintahan yang despotik. Sebagai seorang yang sangat religius Thomas  berpesan, manusia tidak berhak menyombongkan diri dihadapan Tuhan dan manusia. Meskipun mereka sedang menduduki jabatan sebagai penguasa. Kekuasaan merupakan titipan masyarakat agar tercipta keharmonisan dalam hidup bernegara.  
Kesimpulan
Abad Pertengahan bagi Barat merupakan abad gelap bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, dalam suasana “gelap” tersebut Thomas Aquinas mampu menyumbangkan pemikiran ilmiah yang dikemas dengan pemikiran teologi.  Sebagian besar  karyanya  bersifat teologis dengan  sintesa filosofis. Thomas mendasarkan filsafatnya atas prinsip-prinsip Aristotelisme. Dia selalu berusaha untuk mengetahui pendapat Aristoteles secara teliti. Disamping itu, dia juga menggunakan sumber lain, yaitu karangan-karangan neo-platonistis (PseudeDionysios), Augustinus, Boetius, karangan-karangan Arab (terutama Ibn Sina dan Ibn Rushd) dan karya-karya Yahudi (Maimonides). Dia menggunakan seluruh tradisi filosofis dan teologis. Thomas menggarap semua inspirasi itu menjadi suatu sintesa yang betul-betul patut dikagumi.








0 komentar:

Posting Komentar