POLITIK HUKUM AGRARIA
Di mana ada masyarakat, di situ ada
hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun di dunia ini selama di situ ada
masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan dengan hal itu, hukum itu
tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum itu tumbuh dan berkembang
dari refleksi kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam jalinan-jalinan hidup
masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak hukum itu dipengaruhi oleh
jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang merupakan kebudayaan dari
masyarakat bersangkutan.
Friedrich Karl von Savigny mengatakan bahwa
masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke dalam banyak masyrakat bangsa. Tiap
masyarakat bangsa itu mempunyai Volksgeist (jiwa bangsa)-nya sendiri yang
berbeda menurut tempat dan zaman. Volksgeist itu dinyatakan dalam bahasa, adat
istiadat, dan organisasi sosial rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut
tempat dan zaman pula. Yang dimaksudkan dengan Volksgeist adalah filasafat
hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat
pengalaman dan tradisi di masa lampau.
Selanjutnya Savigny melihat hukum itu
sebagai hasil perkembangan historis masyarakat tempat hukum itu berlaku. Isi
hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah;
isi hukum ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku. W. Friedman
menyimpulkan esensi dari theori Savigny sebagai berikut :
“Pada permulaan
sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas untuk rakyat seperti
bahasanya, adat istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri
sendiri, tetapi merupkan kemampuan-kemapuan dan kecenderungan-kecenderungan
dari masyarakat tertentu, disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan
menurut pandangan kita mempunyai atribut-atribut yang jelas. Yang mengikat
semua itu dalam suatu keseluruhan adalah kesamaan pendirian dari rakyat.
Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk membuang semua pikiran tentang asal
mula yang kebetulan dan tidak pasti ….hukum berkembang dengan berkembangnya
rakyat dan menjadi kuat dengan kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan
kebangsaannnya …..maka inti teori ini adalah bahwa semua hukum pada mulanya
dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa
yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu
mula-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum, kemudian
oleh yurisprudensi, jadi di mana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja
diam-diam, tidak oleh kehendak sewenang- wenang dari pembuat undang-undang”.
Dengan demikian, bahwa suatu
tatanan hukum yang hidup dan ditaati keberadaannya di masyarakat merupakan
hasil hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita, rasa, karsa masyarakat yang
dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang memiliki wibawa sehingga hal
itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup bermasyarakat yang tertib,
teratur, dan adil.
Faham tersebut di atas dikenal dalam
ranah imu pengetahuan hukum dengan faham/mazhab sejarah (historis). begitu juga
dengan hukum agraria, di mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam sistem
hukum nasional adalah merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa
Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut
berdasarkan hukum adat. Seperti yang disebutkan oleh Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
A. PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
Istilah
tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti
tanah atau sebidang tanah .agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau
tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian
selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA
mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum
agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti
luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai
permukan atau kulit bumi saja atau pertanian. Hukum agraria dalam arti luas
ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Definisi hukum agrarian menurut
hokum para ahli adalah sebagai berikut :
- Mr. Boedi Harsono
Ialah
kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai
bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya.
- Drs. E. Utrecht SH
Hukum
agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para
pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria,
melakukan tugas mereka.
- Bachsan Mustafa SH
Hukum
agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para
pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan
Daripada itu, sesuai dnegan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka
sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya
alam. Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian
hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum
yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
- Hukum
pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi;
- Hukum air,
yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
- Hukum
pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian
yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
- Hukum
perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air;
- Hukum
kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil
hutan;
- Hukum
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space
law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
B. Sumber Hukum Agraria.
1.
Sumber
Hukum Tertulis.
a.
Undang-Undang
Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3)
ditentukan :
“Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b.
Undang-undang
Pokok Agraria.
Undang-undangg
ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara nomor 2043.
c.
Peraturan
perundang-undangan di bidang agraria :
1)
Peraturan
pelaksanaan UUPA
2)
Pertauran
yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d.
Peraturan
lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan,
masih berlaku.
2.
Sumber
Hukum Tidak Tertulis.
a.
Kebiasaan
baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1)
Yurisprudensi;
2)
Praktik
agraria.
b.
Hukum
adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.
C. Sejarah Hukum Agraria
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria,
hukum agraria di Indonesia masih dualistis, yaitu bahwa disamping hukum agraria
adat berlaku hukum tanah barat.Yang dimaksud hukum adat ialah adat kebiasaan
yang mempunyai akibat hukum.Hukum adat itu terdiri dari pereturan-peraturan
yang tidak tertulis, sedangkan hukum barat itu terdiri dari pereturan-peraturan
yang tertulis. Dualisme itu merupakan peninggalan dari jaman Hindia Belanda
dahulu, dimana rakyat Indonesia dibagi menjadi golongan-golongan : Golongan
Eropa, Golongan Timur Asing Tionghoa, Golongan Timur Asing bukan Tionghoa,
Golongan Indonesia/Pribumi. Dan terhadap mereka masing-masing tidak
diperlakukan satu macam hukum.
Hukum agraria di Indonesia baru mendapat perhatian
yang sebenar-benarnya pada waktu pemerintahan Inggris menggantikan pemerintah
kerajaan Belanda pada tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi oleh pikiran
Raffles dengan teori domainnya. Namun untuk lebih lengkapnya akan diuraikan
secara rinci dibawah ini.
1.
Tonggak Pertama: 1811
Setelah
pemerintah Belanda digantikan oleh pemerintaha jajahan Inggris, administrasi
pertanahan mulai ditata. Salah seorang penggagas perbaikan administrasi
pertanahan adalah Raffles yaitu dengan sistem domein, tujuannya yaitu ingin
menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti apa yang dipergunakan Inggris di
India, yang sebenarnya merupakan warisan dari sistem pemerintahan kekaisaran Mughul atau mongol. Sehingga pada
tahun 1811 Raffles membentuk panitia penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie
dengan tugas melakukan penyelidikan ststistik mengenai keadaan agraria. Berdasarkan
hasil penyelidikan Raffles menarik kesimpulan bahwa semua tanah adalah milik
raja atau pemerintah. Dengan berpegangan ini dibuatlah sistem penarikan pajak
bumi (yang dikenal dengan istilah Belanda Lendrente).Sistem ini mewajibkan
setiap petani membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya. Teori
Raffles ini ternyata mempengeruhi polotik agraria selama sebagian besar abad
ke-19.
2.
Tonggak Kedua: 1830
Tonggak
sejarah perkembangan hukum agraria khususnya pengeturan hak atas tanah pada
zaman ini ditandai dengan kembalinya Indonesia ke tangan pemerintahan jajahan
Belanda. Pada tahun 1830 pemerintahan Belanda di Indonesia dipimpin oleh
Gubernur Jendral Van de Bosch, yang mempopulerkan konsep penguasaan tanah Cultuurstelsel atau yang lazim disebut
sistem Tanam Paksa.Hasil politik tanam paksa ini ternyata demikian melimpahnya
bagi pemerintahan Belanda sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal
swasta.
3.
Tonggak Ketiga: 1848
Pada
zaman ini kaum liberal (pemilik modal swasta) menuntut perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar Belanda yaitu dengan adanya ketentuan didalamnya yang
menyebutkan bahwa pemerintah ditanah jajahan harus diatur dengan
Undang-Undang.Perubahan UUD Belanda tersebut selesai pada tahun 1854, yaitu
dengan dikeluarkannya Regerings Reglement (RR) 1854.Tujuan utama kaum liberal
dibidang agraria ini adalah untuk mendapatkan hak erpacht dan hak milik pribumi diakui sebagai hak mutlak (eigendom).Untuk mencapai tujuan
tersebut pada tahun 1865 mentri Jajahan Frans van de Putte, seorang liberal
mengajukan RUU namun ternyata di tolak.Dengan demikian tujuan golonga swasta
Belanda untuk menanamkan modal dibidang pertanian belum tercapai.
4.
Tonggak Keempat: 1870
Jatuhnya
mentri jajahan Frans Van de Putte, karena dinggap terlalu tergesa-gesa
memberikan hak eigendom kepada pribumi. Adapun seluk-beluk agraria di Indonesia
belum diketahui benar-benar.Karena itu pada tahun 1866/1867 pemerintah lalu
mengadakan suatu penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang
dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga
jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1896.Namun pemerintah belanda tidak sabar
menunggu hasil penelitian tersebut. Pada tahun 1870, enam tahun sebelum jilid
pertama dari laporan itu terbit, mentri jajahan de Waal mengajukan RUU yang
akhirnya diterima oleh parlemen. Isinya terdiri dari lima ayat. Kelima ayat itu
kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut, sehingga menjadi
8 ayat yang astu diantaranya menyebutkan bahwa, Gubernur jendral akan
memberikan hak erpacht selama 75 tahun. Pasal 62 RR dengan delapan ayat ini
kemudian menjadi atau dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsregeling. Inilah yang disebut Agrarische Wet 1870
yang diundangkan dalam Lembaran Negara (staatblaad) No. 55, 1870.
Ketentuan-ketentuan didalamnya, pelaksanaanya diatur dalam berbagai peraturan
dan keputusan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang dikenal dengan Agrarische Besluit yang diundangkan
dalam staatblaad No. 118, 1870. Pasal 1 Agrarische
Besluit inilahyang memuat suatu pernyataan penting tentang “Domain verklaring”.
5.
Tonggak Kelima: 1960
Perhatian
pemerintah terhadap pengaturan mengenai agraria dimulai sejak tahun 1948 dengan
dibentuknya “panitia agraria”. Setelah 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir
UU No, 5 Tahun 1960 melalui suatu proses yang panjang, yaitu dimulai panitia
Yogya pada tahun 1948, panitia jakarta 1951, panitia Soewahjo 1956, rancangan
Soenario 1958, dan akhirnya rancangan Soedjarwo 1960. Pada tanggal 24 September
1960 resmi diundangkan UU No.5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok
agraria (yang lazim disingkat UUPA).
Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada
akhirnya tepat pada tanggal 24 September 1960 diundangkanlah Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No.5 Tahun 1960. Pertimbangan mengapa UUPA
diundangkan ialah, karena susunan kehidupan rakyat indonesia masih bercorak
agraris, hukum agraria yang masih berlaku bertentangan dengan kepentingan
rakyatdan negara, hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualistis dan tidak
menjamin kepastian hukum.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka UUPA mencabut : Agrarische Wet (S 1870
NO.55), Domein Verklaring untuk sementara (S 1874 NO.94f), Domein Verklaring
untuk karesidenan Menado (S 1877 No.55) , Domeinverklaring untuk residensi
bagian selatan dan timur Borneo (S 1888 No.58, S 1872 No.177), dan buku II
KUHPerdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya kecuali ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku
pada mulainya UUPA. Jadi buku II KUHPerdata masih tetap berlaku kecuali yang
mengatur tentang bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya. Dalam hal
ini hipotik meskipun berhubungan dengan tanah dan terdapat dalam buku II
KUHPerdata masih tetap berlaku.
UUPA terdiri dari lima bagian yaitu, pertama
mengenai Undang-Undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Kedua
tentang ketentuan konversi, ketiga tentang perubahan sususnan pemerintahan desa
untuk menyelanggarakan perombakan hukum agraria menurut UUPA akan diatur
tersendiri, keempat tentang hak-hak
dan wewenang Swapraja hapus dan beralih kepada negara, dan kelima tentang sebutan Undang-Undang Pokok Agraria.
D. Politik Hukum Agraria di Indonesia
Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) Pasal 33 ayat (3) sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA) Pasal 2 ayat (1), yaitu menyatakan “ Atas dasar ketentuanPasal 33 ayat
(2) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”.
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan
konstitusional bagi pembentukan politik dan Hukum Agraria nasional, yang berisi
perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.Tanah merupakan
sarana vital bagi hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, tanah telah
diatur di dalam UUPA Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga
negara baik pria maupun wanitamempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi diri
sendiri maupun keluarganya. Politik hukum berhubungan dengan kebijaksanaan
untuk menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan ideology penguasa.
Oleh karena itu banyak istilah yang digunakan untuk
politik hukum seperti: pembangunan hukum, pembaharuan hukum, pembentukan hukum
dan perubahan hukum. Sedangkan masalah yang dikaji dalam politik hukum menurut
Rahardjo : a) tujuan yang hendak dicapai; b) cara apa yang dipakai untuk
mencapai tujuan tersebut dancara mana yang paling baik untuk mencapai tujuan
tersebut; c) mengapa hukum itu perlu diubah dan apa dampaknya; d) cara
bagaimanakah perubahan itu sebaiknya dilakukan. Politik hukum pertanahan
merupakan kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yang ditujukan untuk
mengatur penguasaan/pemilik tanah,peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih
menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong
kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang pertanahan dan peraturan pelaksanaannya.
Jadi politik hukum pertanahan harus dilandasi dengan itikad baik pemerintah dan
pejabat/aparatnya untuk mencapai tujuan yang baik pula, baik pada saat ini
maupun pada saat mendatang.
Dengan diundangkannya UUPA, terjadi perombakan Hukum
Agraria di Indonesia, yaitu penjebolan Hukum Agraria kolonial dan pembangunan Hukum
Agraria nasional. Dengan diundangkannya UUPA, Bangsa Indonesia telah mempunyai
Hukum Agraria yang sifatnya nasional, baik ditinjau dari segi formal maupun
dari segi materilnya. Sifat nasional UUPA dari segi formalnya dapat dilihat dalam
Konsiderannya di bawah perkataan “menimbang” yang menyebutkan tentang keburukan
dan kekurangan dalam Hukum Agraria yang berlakusebelum UUPA. Segi materiilnya,
Hukum Agraria yang baru harus bersifat nasional pula, artinya berkenan dengan
tujuan, asas-asas dan isinya harus sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam
hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam Konsiderannya di bawah perkataan
“berpendapat” salah satunya yakni bahwa Hukum Agraria yang baru harus
didasarkan atas hukum adat tentang tanah.
Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria
kolonial, maka tercapailah unifikasi (kesatuan) Hukum Agraria yang berlaku di
Indonesia, yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan Bangsa Indonesia.
Dalamrangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, Hukum Adat tentang tanah dijadikan
dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum Adatdijadikan dasar dikarenakan
hukum tersebut dianut oleh sebagian besarrakyat Indonesia sehingga Hukum Adat
tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Agraria
nasional.
Melihat pergolakan-pergolakan yang ada, dan guna
mempertegas makna dari menguasai Negara atas Sumber Daya Agraria, pada tanggal
24 September 1960 oleh DPR telah ditetapkan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Agraria sebagai landasan hukum untuk melaksanakan Land
Reform di Indonesia. Dalam penjelasan umum II/2 UUPA antara lain dikemukakan
bahwa Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk
mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak
perlu dan tidak pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara
bertindak sebagai pemilik tanah, adalah lebih tepat jika negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa.
Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan
bahwa, “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terjkandung
didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”.
Sesuai pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai”
dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah penertian,
memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat
dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengneai bumi, air dan ruang
angkasa.
Dengan berlakunya UUPA tidak secara otomatis
berjalan sebagaimana di harapkan.Dalam prakteknya muncul resistensi golongan
pemilik tanah luas yang melibatkan berbagai kekuatan politik yang saling
berseberangan menentang pelaksanaan land reform.Konflik agraria kemudian
berkembang menjadi konflik politik dan ideologi yang puncaknya terjadi pada
tahun 1965 dengan menimbulkan korban yang tidak sedikit dipihak petani.
Nasib petani saat ini nampaknya tidak beda jauh
dengan nasib petani jaman kolonial Belanda. Dulu, tanah-tanah petani dikuasai
orang-orang Belanda, sekarang tanah-tanah mereka juga masih tidak dikuasai
sendiri. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tanah
hampir semuanya mempunyai tujuan mulia, memperhatikan kesejahteraan rakyat
kecil. Namun dalam praktik, kepentingan yang berkuasa selalu yang menang, dan
wong cilik terpinggirkan.
Semangat UUPA adalah pertimbangan corak kehidupan
mayoritas rakyat yang ekonominya bersifat agraris. Hal ini bisa dipahami bahwa hampir 70%
penduduk Indonesia hidup dan menghidupi sebagai petani. Disisi lain nilai-nilai
religius yang terkandung dalam UUPA memandang bahwa bumi, air, dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi yang amat
penting dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. UUPA
bukan semata-mata hukum agraria, melainkan adalah politik agraria yang mengatur
hubungan petani dengan tanah dan air.
Hubungan UUPA dengan petani tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya,
dan oleh karena itu komitmen UUPA sangat jelas berorientasi kepada kehidupan
petani.
Namum demikian, dalam perjalannya UUPA tidak
dijalankan, persoalan agraria atau dengan kata lain konflik agraria terus
terjadi diberbagai wilayah di Indonesia.
Peralihan rezim politik orde lama ke orde baru, kemudian sampai orde
reformasi, bahkan sampai sekarang, yang menerapkan sistem pembangunan ekonomi
yang berorientasi pertumbuhan dan ditopang sistem politik yang otoriter justru
melanggengkan praktek-praktek ekonomi kapitalistik dan mengaburkan pemaknaan
dan pelaksanaan pembaruan agraria sejati.
Konflik agraria terus terjadi dimana-mana dan posisi
petani terus dalam posisi yang kalah dan tertindas, potret kasus anggota SPI di
Tanak Awu, Bandar Pasir Mandoge-Sumatera Utara, Konflik perkebunan di Kampar
Riau, dan sengketa agraria antara PTPN VII dengan petani SPI di Rengas Sumatera Selatan. Ini menggambarkan bahwa UUPA tidak dijalankan
oleh pemerintahan Indonesia dari zaman ke zaman.
Meskipun telah ada UUPA yang merupakan induk dari
segala peraturan perundang-undangan agraria/pertanahan, akan tetapi dalam
kenyataannya UUPA tidak muncul menjadi rujukan dan faktor penentu dalam
mengatasi berbagai problem yang timbul di sekitar permasalahan
agraria/pertanahan. Hal ini terutama sekali disebabkan oleh pelaksanaan politik
agraria yang sering kali bertentangan dengan makna dan isi yang terkandung
dalam UUPA, dan menyimpang dari amanat-amanat luhur UUPA.
Pada dasarnya, UUPA merupakan suatu hukum
perundang-undangan yang monumental dan revolusioner karena telah mampu
menghapus sistem penguasaan tanah dan menerjemahkan dengan tepat politik hukum
tentang penguasaan sumber daya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Konsep hukum UUPA yang menolak liberalisme dan tidak memperbolehkan adanya
kepemilikan tanah berlebihan oleh perseorangan juga dinilai sangat baik, namun,
pada prakteknya justru terjadi banyak penyimpangan terhadap konsep awal UUPA
tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada
pelaksanaan UUPA juga dipicu oleh adanya ketidaksinkronan antara pemerintahan
pusat dengan daerah. Hal itu dapat dilihat dengan adanya banyak undang-undang
mengenai agraria yang tidak didasarkan pada UUPA. Adanya ketidaksinkronan UU
secara horizontal tersebut menjadi pemicu dalam sengketa masalah agraria yang
terjadi akhir-akhir ini. Selain itu, banyaknya masalah agraria yang terjadi
secara vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah terkait wewenang dan
kekuasaan mengenai masalah agraria justru tidak banyak dibahas atau bahkan
sengaja ditutup-tutupi. Hal ini juga membuktikan bahwa masih lemahnya hukum
mengenai masalah agraria di Indonesia.
Berbagai penyimpangan dan konflik agraria yang
terjadi akhir-akhir ini memunculkan sebuah pertanyaan besar terkait dengan
fungsi dan tujuan awal penyusunan UUPA yang pada hakikatnya ditujukan untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru hanya
dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan
pertanyaan untuk apa dan siapa UUPA yang monumental dan revolusioner tersebut
disusun.
Melihat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan dan
tujuan UUPA tersebut, maka mulailah muncul isu-isu mengenai reformasi agraria.
Reformasi agraria itu sendiri muncul karena beberapa sebab, mulai dari faktor
kemiskinan yang semakin tinggi dan munculnya banyak konflik agraria yang
terus-menerus dan memuncak, seperti kasus Mesuji dan Bima. Pelaksanaan
reformasi agraria juga harus memperhatikan beberapa hal pokok yang dapat
dijadikan prinsip dari reformasi agraria itu sendiri. Pengelolaan reformasi
agraria harus terpadu dan tidak boleh ada tumpang tindih aturan dan ketimpangan
kekuasaan serta wewenang agar tidak menimbulkan konflik yang berkaitan dengan
masalah agraria. Dalam pelaksanaannya, juga harus diperhatikan aspek ekologi
agar tidak merusak lingkungan.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam reformasi
agraria ini antara lain dengan mengkaji kembali UU yang berkaitan dengan
masalah agraria, memperkuat kelembagaan baik di pusat maupun daerah, dan juga
adanya kejelasan wewenang sehingga tidak ada lagi tumpang tindih kekuasaan.
Penyelesaian konflik yang cepat dan dukungan dana yang cukup juga akan mampu
mempermudah pelaksanaan dari reformasi agraria itu sendiri. Dengan adanya
reformasi agraria ini diharapkan mampu meluruskan kembali tujuan pokok dan
utama yang tercantum pada Undang Undang Pokok Agraria sehingga berbagai konflik
mengenai masalah agraria dapat segera terselesaikan dengan baik. Reformasi
agraria juga menjadi prasyarat kedaulatan pangan nasional sehingga dalam pelaksanaannya
harus pula didukung oleh semua elemen masyarakat, mulai dari pemerintahan pusat
sampai daerah. Masing-masing individu juga harus mempunyai rasa tanggung jawab
terhadap keberhasilan pelaksanaan reformasi agraria ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Harsono, Boedi.
2005. Hukum Agraria Indonesia .
Penerbit Djambatan.Jakarta
Syahroni (2007). Petani dan UUPA 1960 (UUPA No. 5 Tahun 1960
Harus Diperjuangkan). Diakses dari http://www.spi.or.id/?p=2692 pada
tanggal 21 Mei 2012
Atmosudirjo,
Prajudi. 1994, Hukum Administrasi Negara,
cet ke 10, Ghalia Indonesia, Jakarta
Alkostar,
Artidjo dan M. Soleh Amin. 1986. Pembangunan
Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta: CV.Rajawali
Mahfud,
Muhammad. 1999. Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia. Jakarta: Gama Media
sangat bagus, menarik dan bermanfaat, kunjungi juga Jadilah seperti air yang mengalir
BalasHapusmemperbaiki kesalahan pengajaran Hukum Agraria oleh Gouw Giok Siong dan Boedi Harsono, dalam menegakkan UUPAgraria 1960 serta UUPKehutanan 1967 jo UU No. 40/1999 agar menjadi sesuai dengan HPNI-NKRI, sebagai Konstitusi Indonesia-NKRI ketiga.
BalasHapusref:
http://soesangobeng.com/product/%C2%AChpni-nkri-adalah-konstitusi-dasar-negara-indonesia-ke-iii/