·
Konflik Indonesia-Malaysia tentang Pulau
Sipadan dan Ligitan akhirnya disepakati penyelesaiannya diserahkan kepada
Mahkamah Internasional. Dalam keputusannya tanggal 17 Desember 2002 di Den Haag dinyatakan oleh 16 Hakim
menyetujui pulau itu sebagai milik
Malaysia dan 1 hakim menyatakan sebagai milik Indonesia. Dari 17 Hakim
tersebut, 15 adalah Hakim Tetap dan 2 adalah tidak tetap yang masing-masing
dipilih oleh Indonesia dan Malaysia.
·
PERTANYAAN : Apakah dasar keputusan MI
tersebut? Dan apa implikasinya terhadap Teori Cara Memperoleh Wilayah Negara ?.
Sebut dan Jelaskan
Jawab
1. Menurut
saya dasar keputusan mahkamah internasional tersebut adalah keefektifan penjajah
Malaysia pada masa yang lalu (Inggris) dalam memanfaatkan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan. Selain itu terdapat pengelolaan yang berkesinambungan yang
dilakukan oleh pihak Malaysia. Hal ini terbukti dengan serangkaian upaya
Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan
administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan
pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak
1917.
b. Penyelesaian
sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun
1930-an;
c. Penetapan
P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan
dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963
di P. Ligitan
Sedangkan pemerintah bangsa
Indonesia yang terdahulu (Belanda) sendiri tidak memperdulikan Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan. Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, hanya
mondar-mandir dengan kapal ke seputar kawasan itu tanpa melakukan suatu
tindakan kedaulatan hukum yang berarti. Di pihak yang lain, MI juga menolak
argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya
mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat
Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai
timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada
waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
Alasan lain yang digunakan oleh
mahkamah internasional adalah Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp
1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau
Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu
perundang-undangan nasional. Terkait mengenai patroli AL Belanda, Mahkamah internasional
berpendapat bahwa hal ini hanya merupakan bagian dari latihan bersama atau
kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, Sehingga tidak bisa dijadikan
dasar pengajuan.
Mengenai kegiatan perikanan
nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons
cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of
official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan
tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau
di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini
juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya efektif occupation.
2. Apa
implikasinya terhadap Teori Cara Memperoleh Wilayah Negara ?
Menurut saya, kekalahan Indonesia
dalam kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah penerapan dari teori
Effective occupation. Elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation
adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi
terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari
occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti
pendudukan secara fisik. Karena temasuk doktrin internasional, effective
occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada
bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang
mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan
hukum.
Mahkamah berpandangan bahwa
berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda
dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris
tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of
authority over territory which is specified by name”. Esensi keputusan ini
bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus
memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan
orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi
yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum,
regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas
dari isi kegiatannya.
Keputusan ini juga tidak
memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia
setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak
didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Perlu digarisbawahi bahwa
bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti
hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia
mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas
kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh
sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September
1963.
Okupasi merupakan penegakan
kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun,
baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun yang ditinggalkan oleh negara yang
semula menguasainya. Disini jelas bahwa menurut mahkamah internasional
menyatakan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukan merupakan bagian dari bangsa
Indonesia, dimana hasil dari konvensi 1891 dinilai hanya mengatur perbatasan
kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan
hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik,
sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan
laut wilayah sejauh 3 mil. Syarat dalam Teori Cara Memperoleh Wilayah Negara
secara okupasi juga telah terpenuhi. Syarat-syaratnya
antara lain :
1)
Dilakukan
oleh Negara
Jelas
yang melakukan sengketa disini adalah Negara, yang terdiri dari Negara
Indonesia dan juga Negara Malaysia.
2)
Atas
daerah yg tdk bertuan/tdk dimiliki negara lain, biasanya dengan penemuan
Menurut
mahkamah internasional menyatakan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukan
merupakan bagian dari bangsa Indonesia, dimana hasil dari konvensi 1891 dinilai
hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat
Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai
timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada
waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
3)
Pemukiman
harus dengan jangka waktu yang wajar dan bersifat menetap
4)
Penguasaan
yg effektif
Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dimanfaatkan oleh Negara Malaysia dengan membentuk
wisata bahari dan juga pengawasan serta perawatan atas pulau-pulau tersebut.
5)
Ada
maksud untuk bertindak sebagai pemegang kedaulatan atas wilayah yg bersangkutan
Dengan adanya sengketa disini sudah tentu
kedua Negara ini memiliki maksud
untuk bertindak sebagai pemegang kedaulatan atas wilayah yg bersangkutan.
0 komentar:
Posting Komentar