SILABUS
Program Studi :PPKn
Kompetensi
Lulusan : Mahasiswa mampu
berinteraksi dengan berbagai manusia dengan berbagai macam latar belakang
sosial dan budaya dalam beragam aktivitas sosial.
Bahan
Kajian : bahan
kajian mata kuliah Pendidikan Multikultural adalah mengenai multikulturalisme, tujuan
pendidikan multikultural di Indonesia, pendidikan
multikultural di AS, Australia, Kanada, Jerman, Australia, dan Afrika Selatan
Kode Mata Kuliah :
Mata Kuliah : Pendidikan Multikultural
Bobot : 2 SKS
Semester :
II (dua)
Standart
Kompetensi : Mahasiswa
memiliki pengetahuan dan nilai positif mengenai pendidikan multikultural dan
mampu mengedepankan keragaman (plurality), kesetaraan (equality),
kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai
demokrasi (democration values).
MULTIKULTURALISME
SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Oleh:
Dra. Rusnaini, M.Si
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
MULTIKULTURALISME
SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pendahuluan:
Indonesia dikonsepsikan
dan dibangun sebagai multicultural nation-state
dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state. Cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi, yang secara
substantif dan prosedural menghargai persamaan dalam perbedaan dan persatuan
dalam keberagaman, dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara
Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sampai
saat ini mengacu pada konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945,
Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Pada tataran ideal semua konstitusi
tersebut sungguh-sungguh menganut paham demokrasi uantuk masyarakat yang
bersifat multikultural. Namun demikian, pada tataran praksis masih terjadi
pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks alam,
politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan agama serta kualitas
psikososial penyelenggara negara. Kita juga masih menyaksikan kasus
etnosentrisme, primordialisme dan separatisme, kasus perseteruan atau konflik
antar kelompok dan suku (etnis) yang mendiami bumi nusantara (Winataputra,
2008:20).
Banyak pakar berpendapat bahwa pendidikan bisa menjadi
salah satu cara atau upaya untuk mengatasi semua permasalahan
etnosentrisme, separatis, konflik sosial dan sebagainya. Namun, dari semua
wacana yang muncul, tidak banyak atau jarang sekali ada wacana menjadikan multikulturalisme sebagai sumber belajar pendidikan
kewarganegaraan (PKn) sebagai upaya untuk mengatasi masalah seperti yang dikemukakan di muka. Padahal Pkn merupakan mata pelajaran yang sangat
strategis mengingat di Indonesia PKn diajarkan mulai dari jenjang
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, didukung oleh Undang-Undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 37 bagian penjelasan
yang berbunyi: “Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran PKn
harus diartikan sebagai proses interaksi sosiokultural edukatif dalam konteks
satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran
atau mata kuliah. Dibandingkan pada era sebelumnya (Orde
Lama dan Orde Baru), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di era reformasi
(1998-sekarang) seperti dikatakan Kalijernih (2005), meletakkan pengakuan akan hak-hak warganegara
sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis dan demokratis. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan kewarganegaraan
tidak cukup bila hanya diartikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah dalam
rangka learning to know. Lebih dari
itu pendidikan kewarganegaraan merupakan proses untuk berbuat baik dalam
konteks masing-masing atau learning to do,
serta sebagai proses hidup dan berkehidupan bersama atau learning to be and learning to live together, hari ini dan hari
esok.
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan
bagaimana multikulturalisme sebagai sumber belajar PKn agar PKn
bisa menjadi ruang transformasi budaya yang dapat membaca peta persoalan
masyarakat dan menjalankan misi menumbuhkan
potensi peserta didik agar memiliki “civic
intelligence”, “civic partisipation” dan “civic responsibility”.
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan.
Perkembangan civic education di dunia Internasional
maupun di Indonesia pada masa sekarang mengalami banyak peningkatan, baik
sebagai domain kurikuler, domain sosiokultural, maupun domain kajian ilmiah. Di
Indonesia, civic education juga
mengalami perkembangan yang cukup berarti sejak akhir masa Orde Baru hingga
masa Orde Reformasi sekarang ini.
Civic
education menurut Cogan (dalam Winataputra dan
Budimansyah, 2007 :10) diartikan sebagai “...the
foundational course work in school yang dirancang khusus untuk
mempersiapkan ...young citizens for an
active role in their communities in their adult lives”. Adapun “citizenship education” atau “education
for citizenship” dipandang sebagai “... the
more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as
out-of-school or ‘non-formal/informal’ learning which takes places in the
family, the religious organization, community organizationz, the media etc,
which help to shape the totality of the citizen.” – istilah yang lebih
inklusif dan mencakup pengalaman di sekolah maupun di luar sekolah atau
pembelajaran ‘non-formal/informal yang mengambil tempat di keluarga, organisasi
sosial, media dan sebagainya, yang berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
warganegara.”
Pada akhir abad ke 20
konsep “citizenship education” or “education for citizenship” yang
diartikan sebagai “the contribution of
education to the development of those characteristics of being a citizen”-
kontribusi pendidikan untuk membangun jatidiri kewarganegaraan, telah
berkembang mendunia. Perkembangan citizenship
education dalam perspektif internasional yang disimpulkan oleh Intenational Association for the Evaluation
of Educational Achievement (IEA) dalam “The
IEA Civic Education Project: National and International Perspectives” (Hahn
dan Torney Purba dalam Udin dan Budimansyah, 2007:29) yang melibatkan 24 negara,
yakni: Australia, Belgia, Bulgaria, Canada, Chile, China Taipeh, Colombia,
Cyprus, Chech Republic, Denmark, England, Estonia, Filandia, Jerman, Yunani,
Hongkong, Hongaria, Israel, Italia, Latvia, Lithuania, Netherlands, Norwegia,
Polandia, Portugal, Rumania, Russia, Slovenia, Swedia, Swiss dan USA berbunyi
demikian: “ ... there is a common core of
content topics in civics education across countries.” Kemudian disepakati
bersama bahwa “...civic education shoul
be cross-disciplinary, participatory, interactive, related to life, conducted
in a non-authoritarian environment, cognizant of the challenges of societal
diversity, and co-constructed by schools, parents, and community.”- “...pendidikan
Kewarganegaraan seyogyanya lintas disiplin, partisipatif, interaktif, relevan
dengan kehidupan, sadar akan tantangan keberagaman, dilaksanakan dalam
lingkungan yang tidak otoriter, dan dibangun oleh pihak sekolah, orangtua dan
masyarakat.’’
Dalam konteks
perkembangan PKn seperti yang dikemukakan di atas, Budimansyah dan Suryadi
(2008:iii) mengatakan, pemahaman tentang civic
education atau pendidikan kewarganegaraan (PKn) di Indonesia dengan
multikulturalisme sebagai ‘setting’
sosial Pkn diharapkan kita berbagi ide dan pengalaman tentang konsep, strategi
pendidikan bagi warganegara agar mampu hidup rukun dan harmonis dalam
masyarakat Indonesia yang berbhinneka tunggal ika. Untuk itu perlu dikembangkan
pendidikan kewarganegaraan yang efektif atau effective civic education seperti yang ditegaskan oleh CCE (Center for Civic Education) di Amerika
Serikat (dalam Winataputra dan Dasim, 2007:34) yaitu pengembangan kepribadian
warganegara yang mampu berpartisipasi penuh (fully participating), berkemampuan (competent), dan bertanggung jawab (responsible) yakni warganegara yang memiliki komitmen yang bernalar
(reasoned commitment) terhadap nilai
dan prinsip demokrasi konstitusional negaranya dan menerapkannya sehari-hari
sebagai aktor sosial.
Untuk menerapkan PKn yang
efektif, dapat dikutip pendapat Winataputra (2008:18) yang mengemukakan
pentingnya diskursus tentang konsepsi generik pendidikan bagi warganegara agar
mampu hidup rukun dalam masyarakat yang berbhinneka tunggal ika. Secara
keilmuan pembahasan tersebut perlu diletakkan dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan secara sistemik dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 3 UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, secara imperatif digariskan bahwa
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bagsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif. Mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab”. Idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warganegara
yang demokratis dan bertanggung jawab, menurut
Winataputra “secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis merupakan misi
suci (mission sacre) dari pendidikan
kewarganegaraan.” Untuk itu perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan Indonesia
yang multikultural, yang berintikan “civic
virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan (Winataputra, 2008:26).
Yang dimaksud dengan civic virtue
adalah ...the willingness of the citizen
to set aside private interests and personal concerns for the sake of common
good – atau kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di
atas kepentingan pribadi (Quigley dalam Winataputra, 2008:27). Sehubungan kepentingan umum ini, bagi masyarakat Indonesia yang multikultural perlu
pemaparan tentang bagaimana setiap orang menerima segenap
keberbedaan budaya (cultural differences)
sebagai suatu keniscayaan dan memandang bahwa setiap kebudayaan itu sama
derajatnya (equal).
Berdasarkan
perkembangan mutakhir, dimana tujuan PKn (civic
education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan
masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam
itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi, yaitu: civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions (Budimansyah dan Suryadi, 2008:55).
1.Civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan)
Civic
knowledge berkaitan dengan kandungan atau apa
yang harus diketahui warganegara. Komponen pertama ini harus diwujudkan dalam
lima pertanyaan penting penting yang secara terus menerus harus dajukan sebagai
sumber belajar PKn. Lima pertanyaan dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan
kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik
Indonesia?; (3) Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh konstitusi
mengejawantahkan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi
Indonesia?; (4) Bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain
di dunia?; (5) Apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia? Pertanyaan
pertama, “Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan?” membantu
warganegara melakukan pertimbangan-pertimbangan yang matang mengenai hakikat
kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan serta mengapa politik dan
pemerintahan itu penting; tujuan-tujuan pemerintahan; karakter-karakter utama
pemerintahan terbatas dan tidak terbatas; hakikat dan tujuan konstitusi; dan
cara-cara alternatif mengorganisasikan pemerintahan konstitusional. Perenungan
terhadap pertanyaan ini, hendaknya mengembangkan pemahaman yang lebih besar
akan hakikat pentingnya civil society
atau jaringan kompleks dari asosiasi-asosiasi politik, sosial, dan ekonomi yang
dibentuk dengan bebas dan sukarela yang merupakan komponen esensial dari
demokrasi konstitusional.
Pertanyaan kedua “Apa
dasar-dasar sistem politik Indonesia?” mencakup pemahaman mengenai dasar
sejarah dan filsafat dari sistem politik Indonesia: karakter-karakter khas
masyarakat dan kultur Indonesia; nilai-nilai dan prinsip-prinsip mendasar dalam
demokrasi konstitusional Indonesia yang dikenal sebagai sepuluh pilar
demokrasi. Kesepuluh pilar demokrasi berdasarkan UUD 1945 itu adalah (1)
Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Demokrasi dengan Kecerdasan;
(3) Demokrasi yang Berkedaulatan rakyat, (4) demokrasi dengan Rule of Law; (5) Demokrasi dengan
Pemisahan kekuasaan dan sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and ballances); (6) Demokrasi
dengan Hak Asasi Manusia; (7) Demokrasi dengan Pengadilan yang bebas; (8)
Demokrasi dengan Otonomi Daerah; (9) Demokrasi dengan Kemakmuran; (10)
Demokrasi yang Berkeadilan Sosial. Pertanyaan kedua ini mengajukan pembahasan
mengenai nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam Pembukaan dan
pasal-pasal UUD 1945.
Pertanyaan ketiga “
Bagaimana pemerintahan yang didirikan berdasarkan konstitusi mengejawantahkan
tujuan, nilai, dan prinsip demokrasi Indonesia?” membantu warganegara memahami
dan mengevaluasi pemerintahan terbatas yang didirikan serta penyebaran dan
pembagian kekuasaan yang dilakukan. Warganegara yang memahami dasar-dasar
justifikasi sistem pembatasan, penyebaran, dan pembagian kekuasaan serta mampu
menjaga pemerintahan mereka – baik di tingkat lokal, daerah, maupun nasional –
bertanggung jawab dan memastikan hak-hak warganegara dilindungi. Mereka juga
akan mengembangkan penghargaan terhadap kedudukan hukum dalam sistem politik
Indonesia, sebagai suatu kesempatan yang tidak ada tandingannya untuk memilih
dan partisipasi warga yang dimungkinkan oleh sistem.
Pertanyaan keempat
“Bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia dan posisinya
mengenai masalah-masalah internasional?” adalah penting karena Indonesia tidak
hidup sendiri. Indonesia adalah bagian dunia yang semakin mengecil karena
perkembangan tehnologi dan komunikasi. Untuk mengukur peran Indonesia saat ini,
dan ke arah mana kebijakan politik luar negeri harus diarahkan, warganegara
perlu memahami elemen-elemen hubungan internasional dan masalah-masalah dunia
yang mempengaruhi kehidupan mereka serta keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Warganegara perlu memehami secara lebih baik mengenai peran organisasi
pemerintah maupun nonpemerintah yang penting karena semakin banyak peran
penting yang mereka mainkan di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan kelima “Apakah
peran warganegara dalam demokrasi Indonesia?” juga sangat penting.
Kewarganegaraan dalam demokrasi konstitusional berarti bahwa setiap warganegara
merupakan anggota yang setara dari suatu komunitas otonom dan memiliki hak-hak
fundamental dan tanggung jawab. Warganegara hendaknya memahami bahwa melalui
keterlibatan mereka dalam kehidupan politik dan civil society, mereka dapat membantu meningkatkan kualitas hidup di
lingkungan mereka, masyarakat banyak, dan seluruh bangsa. Jika mereka
menginginkan suara-suara mereka didengar, mereka harus menjadi warganegara yang
aktif dalam proses politik.
2. Civic skill (kecakapan
kewarganegaraan)
Agar warganegara dapat
mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota
masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu memiliki pengetahuan
kewarganegaraan seperti yang diuraikan di muka, namun merekapun perlu memiliki kecakapan-kecakapan
intelektual dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual
itu sekalipun dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Kecakapan berpikir
kritis tentang issu tertentu, misalnya seseorang harus memahami terlebih dahulu
issu itu, sejarahnya, relevansinya di masa kini, juga serangkaian alat
intelektual dan pertimbangan tertentu. Kecakapan-kecakapan ini disebut
kecakapan berpikir kritis.
Kecakapan-kecakapan lain meminjam istilah Branson dapat dikategorikan
sebagai interacting, monitoring, and
influencing. Interacting
berkaitan dengan kecakapan-kecakapan warganegara dalam berkomunikasi dan
bekerjasama dengan orang lain. Berinteraksi adalah menjadi tanggap terhadap
warganegara yang lain. Interaksi berarti bertanya, menjawab, dan berunding
dengan santun, demikian juga membangun koalisi-koalisi dan mengelola konflik
dengan cara damai dan jujur. Monitoring
sistem politik dan pemerintahan, mengisyaratkan kemampuan yang dibutuhkan
warganegara untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Monitoring juga berarti fungsi
pengawasan atau watchdog warganegara.
3.
Civic disposition (Watak
kewarganegaraan)
Watak
kewarganegaraan mengisyaratkan pada karakter publik atau privat yang penting
bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Watak
kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara
perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh
seseorang di sekolah, di rumah, komunitas, organisasi-organisasi civil society. Karakter privat seperti
tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan
martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tak
kalah penting, misalnya kepedulian sebagai warganegara, kesopanan, mengindahkan
aturan main (rule of law), berpikir
kritis, dan kemampuan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan
karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi dalam masyarakat multikultural
berjalan sukses.
Dari berbagai kajian
ilmiah tentang “citizenship education”
dan “civic education”menurut Cheng
(dalam Budimansyah dan Sam, 2006) tampak bahwa perkembangannya itu selalu
berinteraksi dengan perkembangan pemikiran tentang pendidikan demokrasi,
perkembangan masyarakat lokal, nasional, dan global. Oleh karena perkembangan
kehidupan saat ini berubah secara multidimensional, maka “citizenship education” dan “civic
education” atau pendidikan kewarganegaraan pun menjadi semakin bersifat dan
bermuatan multidimensional. Jadi kompetensi seperti yang dikemukakan di atas
hanya bisa dicapai jika kita mengembangkan kewarganegaraan multidimensi, yang
merupakan empat dimensi yang saling berhubungan: dimensi pribadi, dimensi
sosial, dimensi spasial, dan dimensi temporal.
Dimensi
Pribadi
Dimensi pribadi dari
kewarganegaraan multidimensi membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi
dan komitmen untuk etika warganegara yang dikarakteristikkan oleh kebiasaan
pikiran, perasaan dan tindakan secara individu dan sosial. Sebagai warganegara
kita harus meningkatkan (Budimansyah dan Suryadi, 2008:42):
-
Kapasitas kita untuk
berpikir secara kritis dan sistematis;
-
Pemahaman dan kepekaan
kita terhadap masalah-masalah perbedaan-perbedaan budaya;
-
Pilihan kita terhadap
pemecahan dan penyelesaian masalah yang bertanggung jawab, kooperatif dan tanpa
kekerasan dan
-
Keinginan kita untuk
melindungi lingkungan, membela hak asasi manusia, dan ikut serta dalam
kehidupan masyarakat
Dimensi
Sosial
Dimensi sosial
kewarganegaraan mengakui bahwa meskipun sifat-sifat pribadi perlu, sifat-sifat
itu sendiri tidaklah cukup untuk menghasilkan warganegara multidimensi.
Kewarganegaraan pada pokoknya merupakan aktivitas sosial. Kewarganegaraan
melibatkan orang yang hidup dan bekerja sama untuk tujuan-tujuan
kewarganegaraan. Maka, warganegara harus mampu bekerja dan berinteraksi dengan
orang lain di dalam berbagai keadaan dan konteks. Mereka harus mampu untuk ikut
terlibat dalam debat dan diskusi publik, ikut serta dalam kehidupan masyarakat,
mengatasi masalah dan persoalan yang menghadang mereka dengan cara-cara yang
benar, dan memperlakukan orang yang berbeda pendapat dan gagasan dengan penuh
hormat. Disamping itu yang paling penting dalam masyarakat multikultural
terutama adalah menghormati budaya orang lain. Hal ini sangat penting seperti
yang dikemukakan Bhikhu Parekh (dalam Rusnaini, 2007:3) bahwa: “different cultures represent different
systems of meaning and visions of the good life”- yang bermakna tidak ada
kebudayaan yang lebih unggul atau kurang unggul dari yang lainnya karena setiap
budaya itu unik (distinctively unique)
dan memiliki kearifannya sendiri (relativitas budaya). Oleh karena itu,
seseorang tidak dapat mengukur suatu kebudayaan dengan standar yang ada pada
kebudayaan lain.
Dimensi
Spasial
Warganegara harus memandang diri
mereka sebagai anggota dari masyarakat yang tumpang tindih – lokal, regional,
nasional, dan multinasional. Dunia sekarang menjadi saling ketergantungan dan tantangan-tantangan abad ke-21 melebihi
batas-batas negara dan mungkin membutuhkan cara penyelesaian lintas negara.
Kewarganegaraan multidimensi mengharuskan warganegara mampu hidup dan bekerja
pada serangkaian tingkat yang saling berhubungan, dari tingkat lokal sampai
multinasional. Warganegara, seperti ucapan Rene Dubos perlu berpikir secara
global sambil bertindak secara lokal (thinking globally acting locally). Dalam bertindak lokal warganegara harus memiliki kesadaran
bahwa bangsanya multikultural.
Dimensi Temporal
Dengan dimensi temporal kewarganegaraan, dimaksudkan
bahwa warganegara, dalam menghadapi tantangan-tantangan sekarang ini, tidaklah
harus begitu terikat dengan masa sekarang sehingga mereka lupa dengan masa lalu
dan masa depan. Kewarganegaraan mengharuskan kita memberi perhatian khusus pada
masa lalu, khususnya sejarah keberagaman bangsa Indonesia. Warganegara harus memahami
sejarahnya dan sejarah dunia untuk memberi mereka rasa saling berhubungan dan
keberakaran. Dalam pada itu, dalam menghadapi tantangan-tantangan jaman
sekarang, warganegara juga harus mengingat bahwa tindakan mereka mungkin
mempunyai dampak terhadap warganegara masa depan. Dalam hubungan dengan bangsa
Indonesia yang multikultural, warganegara harus memiliki kesadaran
multikultural terkait dengan masa lalu dan masa yang akan datang.
Model
Pembelajaran Untuk Menanamkan Kesadaran multikultural
Kondisi yang diperlukan
untuk membentuk warganegara yang memiliki budaya kewarganegaraan yang
multikultural adalah menanamkan kesadaran multikultural dengan memakai
multikulturalisme sebagai sumber belajar PKn. Multikulturalisme adalah semangat
untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful
coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun
secara kelompok dan masyarakat. Budimansyah (2008: 190) menawarkan suatu model pembelajaran yang diadaptasi dari
model Project Citizen. Belajar dengan
menggunakan model ini para siswa akan bekerjasama dengan teman sekelasnya,
dengan bantuan guru, dan sukarelawan untuk menyelesaikan tugas-tugas sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi
masalah yang akan dikaji. Para siswa akan
mengidentifikasi masalah yang dianggap penting oleh masyarakat dalam kaitannya
dengan kasus-kasus yang terjadi misalnya ketidakharmonisan hubungan sosial
karena perbedaan etnis, agama, kelas sosial, berbeda pandangan politik dan
sebagainya. Para siswa juga akan menentukan tingkat atau badan pemerintahan
manakah yang paling bertanggungjawab dalam menangani masalah tersebut.
2. Mengumpulkan informasi.
Jika para siswa sudah memutuskan pilihan masalah yang akan menjadi bahan kajian
kelas, mereka akan bertugas mengumpulkan dan mengevaluasi berbagai informasi
yang berkenaan dengan masalah itu dari berbagai sumber.
3. Mengkaji solusi.
Selanjutnya para siswa akan mengkaji kebijakan-kebijakan publik yang sekarang
sedang dijalankan pemerintah. Mereka pun akan mengkaji kebijakan-kebijakan lain
yang disarankan oleh masyarakat.
4. Menyusun kebijakan
publik kelas. Para siswa nantinya akan mengembangkan
kebijakan publik kelasnya sendiri dengan harapan kebijakan itu dapat diserap
oleh pemerintah.
5. Mengembangkan rencana
kerja. Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan
mengembangkan sebuah rencana kerja (action
plan) untuk menunjukkan bagaimana para siswa mempengaruhi pemerintah
dan/atau badan perwakilan rakyat supaya menyerap kebijakan publik kelas yang
diusulkan.
Penutup.
Salah
satu ciri warganegara yang baik adalah peka terhadap masalah-masalah yang
terjadi di lingkungannya. Menjadikan multikulturalisme sebagai sumber belajar
PKn berarti menanamkan pembelajaran kesadaran multikultural yang diawali dengan
mengidentifikasi masalah-masalah tersebut. Hal
ini perlu dilaksanakan agar dapat merefleksikan cita sipil (civic ideal) bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
1. Budimansyah,
D dan Syam, S. 2006. Pendidikan Nilai
Moral Dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium PKn
FPIPS-UPI
2. Budimansyah,
Dasim dan Karim Suryadi. 2008. PKN dan
Masyarakat Multikultural. Bnadung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah pascasarjana UPI.
3.
Rusnaini. 2007. “Multikulturalisme:
Wacana Tentang Kesetaraan Budaya dan Keadilan Pendistribusian Sumber Daya” dalam
Jurnal PKn Progressif. Surakarta:
Prodi PPKn UNS.
4.
Winataputra, U.S 2008.
“Multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia” dalam Laporan Dialog Multikultural Untuk Kerukunan
Umat Beragama. Bandung: Prodi PKN SPS UPI Bekerjasama dengan Kedeputian
Bidang pendidikan Agama dan Aparatur Negara Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat
RESUME
Dosen Pengampu : Dra. Rusnaeni, M.si
Tugas
ini disusun guna memenuhi Tugas Mata
Kuliah Pendidikan Multikultural
Disusun oleh :
Nama
:
Bagas Riyady
NIM :
K6409014
Prodi : PKN
PROGAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB 5
KEISTIMEWAAN
Riley behler diminta kepala sekolah Erin Wilkerson,
karena ia akan menerangkan bahwa pemerintah daerah setempat tengah melaksanakan
program inklusi penuh dimana anak – anak dengan disabilitas berat akan
diintegrasikan sepenuhnya ke dalam ruang kelas pendidikan umum. Oleh
karena ia telah masuk dalam nominasi penghargaan “The District Teacher of the
Year” dua tahun lalu khususnya untuk keterampilan kelasnya yang menonjol. Behler direkomendasikan menjadi bagian dari uji coba daerahnya yang pertama
dalam program inklusi penuh tersebut. Riley, ini akan melibatkan dua orang
murid disabilitas berat dan yang satunya lagi memiliki kecerdasan normal tetapi
lumpuh, dengan kemampuan bicara yang terbatas dan kelumpuhan saraf otak. Jika
ia mau ia dibantu Morgan Andersen, yang penting anda menyiapkan anak–anak murid
dan orang tua sehingga masa transisi yang bagus dapat tercipta ketika murid –
murid ini menerima pelajaran Anda di Bulan Januari, hanya selama dua setengah
bulan.
Murid - Murid
Disabilitas dan
Murid – Murid Gifted serta Talented
Sebuah
golongan penting di Amerika Serikat merupakan individu – individu yang
istimewa. Orang – orang
istimewa meliputi individu disabilitas dan individu yang berbakat. Beberapa,
khususnya para penyandang distabilitas,
tidak diterima oleh masyarakat. Oleh karena kebutuhan personal dan sosial
mereka yang unik serta perhatian yang khusus, banyak orang yang istimewa tadi
menjadi bagian dari kebudayaan mikro yang terdiri atas individu – individu
dengan keistimewaan yang serupa. Bab ini berbicara mengenai perjuangan akan
persamaan hak dan cara memperlakukan para penyandang disabilitas yang
seringkali disejajarkan dengan kaum minoritas yang tertindas. Definisi anak anak istimewa menurutHeward (2000) adalah
yang paling khas:
Istiah
anak istimewa meliputi anak – anak yang mengalami kesulitan belajar dan anak –
anak yang superior hingga perubahan kurikulum dan pengajaran diperlukan guna
menyesuaikan kemampuan mereka. Dengan demikian, anak istimewa adalah sebuah
istilah tersembunyi yang mengacu pada anak – anak yang memiliki masalah belajar
dan/atau tingkah laku, anak – anak yang memiliki kekurangan fisik atau gangguan
panca indera, dan anak – anak yang memiliki bakat intelektual ataupun yang
miliki kemampuan tertentu. (hlm. 4)
Definisi
ini dispesifikan untuk anak usia sekolah yang biasanya dicari hubungannya dan
diuji untuk menentukan syarat kelayakan, kemudian ditempatkan di program
pendidikan khusus. Yang termasuk dalam proses ini adalah pemberian label
(labeling) pada anak
LABELING
Proses pengkategorian dan pelabelan memiliki bagian
pembahasannya sendiri. Pengklasifikasian dan pelabelan yang terlalu dini
seperti pandir, imbisil, dan idiot menjadi sangat menghina padahal sebutan –
sebutan tadi tidak digunakan lagi dalam konteks profesioanl. Heward (2000)
berpendapat bahwa tuntutan – tuntutan sekolah yang nampaknya menyebabkan
keterbelakangan mental.
Sebutan
– sebutan (label) tersebut mempengaruhi konotasi dan stigma pada berbagai
tingkatan. Kelemahan visual mempengaruhi empati dan terkadang simpati
masyarakat. Sebaliknya, keterbelakangann mental dan gangguan emosional sering
dihubung – hubungkan dengan status sosial-ekonomi yang lebih rendah. Kedua
label tersebut merupakan disabilitas yang paling sulit diterima oleh masyarakat
dan barangkali yang dianggap paling rendah
Disabilitas dalam hal belajar, satu dari kategori
disabilitas yang terbaru, merupakan kondisi disabilitas yang lebih bisa
diterima oleh masyarakat. Sementara keterbelakangan mental sering
diidentifikasikan dengan kelompok sosial-ekonomi yang lebih rendah, mereka yang
memiliki disabilitas dalam belajar memiliki latar belakang kelas menengah.
Meskipun kontroversi tentang labeling terus berlangsung,
bahkan seringkali muncul beberapa kritik, dana pemerintah untuk pendidikan
khusus didasarkan pada identifikasi individu dengan keterbelakangan yang
spesifik.
HISTORICAL ANTECEDENTS
Perlakuan
dan perhatian orang – orang yang memiliki disabilitas mental dan fisik telah
menjadi fungsi kondisi sosial-ekonomi di masa tersebut. Mereka dipindahkan ke
lembaga semacam rumah sakit, panti rehabilitasi, dan koloni (perkampungan). Masyarakat
dengan mudahnya membuang mereka jauh – jauh dan melupakannya. Kebanyakan warga
Amerika tidak mengetahui perlakuan kejam dan tidak manusiawi ini yang terdapat
di banyak fasilitas, dan mereka juga tidak ingin tahu. Individu dengan
disabilitas ringan secara umum bisa membaur dengan masyarakat, terkadang
terlihat menghilang, kadang berkontribusi dengan masyarakat petani, seringkali
tidak dianggap sebagai penyandang disabilitas.
Sejak
masyarakat menjadi masyarakat industri dan terdidik yang menuntut untuk masuk
sekolah, masalah pendidikan bagi siswa penyandang disabilitas menjadi meningkat
secara nyata. Masyarakat memisahkan orang – orang tersebut atau dengan usaha
yang seolah – olah demi kepentingan mereka. Perlakuan masyarakat terhadap
beberapa penyandang disabilitas, seperti mereka yang berketerbelakangan mental,
patut dipertanyakan secara hak.
PENEMPATAN YANG TIDAK SEPADAN
DALAM PENDIDIKAN KHUSUS
Penciteraan yang berlebihan terhadap murid – murid kulit
hitam dalam kelas pendidikan khusus telah menjadi isu paling problematis yang
dihadapi para pendidik dalam beberapa tahun terakhir. Dunn (1968) melaporkan
bahwa sepertiga siswa pendidikan khusus telah ditempatkan di kelas – kelas
untuk para siswa dengan keterbelakangan mental ringan. Hasil temuan
Dunn didukung oleh Mercer (1973) yang menemukan bahwa murid - murid
Amerika-Meksiko di Riverside, California, ditempatkan di kelas – kelas murid
dengan keterbelakangan mental ringan. Murid – murid Amerika-Afrika ditempatkan
di kelas pendidikan khusus yang sama dengan angka rata – rata tiga kali lipat
dari jumlah yang diharapkan dalam populasi sekolah umum.
Pada
tahun 1968, OCR (lembaga yang mengurusi hak warga sipil) memulai survey dua
tahunan peenempatan anak – anak dalam kelas pendidikan khusus. Data tersebut
juga menyajikan latar belakang ras para murid dalam kategori putih, hitam,
Amerika-Asia/Pasifik, Indian Amerika, dan Hispanic. Murid Amerika Afrika,
khususnya perempuan, telah diciterakan secara amat berlebihan dalam kelas murid
dengan keterbelakangan mental ringan., keterbelakangan mental menengah, dan
gangguan emosional serius. Ada dua arti penting data laporan yang berhubungan
dengan penempatan murid kulit hitam di kelas pendidikan khusus.
Cara kedua untuk menyajikan data adalah menguji
prosentase kelompok di sebuah program pendidikan khusus. Kesalahan penempatan
siswa di pendidikan khusus merupakan masalah yang mana hal ini sering menimbulkan
stigma kepada individu dan mengingkari hak mereka atas pendidikan yang
meningkatkan kwalitas kehidupan mereka (Patton, 1998). Adapun faktor yang
memberikan andil terhadap permasalahan ini mempunyai banyak segi. Beberapa diantara faktor tersebut berakar dari struktur
social negara tersebut. Masalah yang lain mungkin berhubungan dengan sebab –
sebab medis dan genetis, khususnya bentuk – bentuk disabilitas menengah dan
berat, dan mungkin diluar kemampuan pendidik untuk menolong.
Dunn
1998 menemukan bahwa prosentase siswa yang banyak di kelas individu
keterbelakangan mental berasal dari latar belakang kemiskinan yang
berkepanjangan hingga saat ini. Banyak
warga miskin di negara ini tinggal di rumah tua, dan anak – anak yang tinggal
di rumah tua beresiko lebih besar mengalami keracunan timah. Keracunan timah
bisa menimbulkan masalah pada anak seperti disabilitas membaca dan belajar,
disabilitas bicara dan bahasa, IQ rendah, kelemahan saraf, masalah tingkah
laku, gangguan mental, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan
kematian (Carolina Environment,
Inc.1999).
Individu
yang ditempatkan di kelas siswa gangguan mental ringan dan gangguan emosional
berat tidak seimbang dengan kaum pria, warga Amerika Afrika, dan dari latar
belakang sosio ekonomi rendah. Langkah pertama dalam penempatan pendidikan
khusus adalah serah terima. Siapapun (orang tua, dokter, pendidik) bisa
melakukan serah terima. Ysseldyke, Thurlow,
Graden, Wesson, Al Gozzine, dan Deno (1983) mengusulkan bahwa prosentase
yang sangat besar siswa – siswa yang diserahkan ke pendidikan khusus pada
akhirnya ditempatkan dalam program pendidikan khusus. Penilaian siswa keturunan
kulit hitam juga merupakan perhatian utama sebagai variabel yang memberi
kontribusi kepada penggambaran yang berlebihan siswa di dalam kelas pendidikan
khusus.
Proses Pengadilan dan Perundangan
Hak akan pendidikan bagi individu disabilitas tidaklah
mudah diperjuangkan. Beberapa dari keputusan pengadilan yang sama dan banyaknya
pendapat yang mengedepankan hak – hak Warga Amerika Afrika dan kelompok lain
yang tertindas, digunakan oleh para pengacara anak – anak disabilitas. Akan
tetapi, pada kenyataannya perjuangan atas hak tersebut perlawanan dan hak yang
diperjuangkan oleh pengacara anak disabilitas bertahun – tahun telah diikuti
oleh usaha serupa yang dimenangkan oleh kelompok suku minoritas.
Brown v.
Board of Education of Topeka (1954) menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak atas
kesejahteraan. Meskipun tidak ada jaminan konstitusional sekolah negeri gratis.
menurut Brown Mahkamah Agung AS menemukan bahwa jika sebuah negara mengupayakan
ketentuan sekolah gratis bagi warganya, hak kesejahteraan atas pendidikan telah
tercipta. Keputusan Brown tersebut menemukan pendidikan yang “terpisah tapi
sama” tetapi tidak memadai. Pendidikan yang terpisah menolak siswa Amerika
Afrika memperoleh pendidikan sederajat. Ketua pengadilan Waren menyatakan bahwa
pemisahan “menimbulkan perasaan yang merendahkan status mereka (anak – anak)
dalam masyarakat yang bisa mempengaruhi perasaan dan pikiran yang seolah – olah
tak pernah terselesaikan.
Melalui
sejarah pendidikan khusus di AS, anak – anak disabilitas telah dihadapkan pada
perjuangan sulit yang berkelanjutan untuk memperjuangkan hak mereka masuk ke
sekolah negeri. Akhirnya, beberapa program diadakan, akan tetapi hingga
pertengahan 1970 beberapa anak khususnya mereka yang menyandang disabilitas
secara rutin dikeluarkan dari sekolah negeri.
PARC v.
Persemakmuran Pennsylvania
Pada tahun 1971, sebuah asosiasi anak cacat yakni
Pennsylvania Association for Retarded Children (PARC) membawa gugatan aksi
kelas melawan Persemakmuran Pennsylvania atas kegagalannya untuk menyediakan
sekolah bersubsidi bagi siwa cacat mental. Pengacara yang membawa
tuntutan sebagai berikut:
·
Pendidikan
tidak bisa hanya diartikan sebagai ketentuan pengalaman akademis anak.
·
Seluruh
siswa cacat mental bisa dibebaskan dalam program pendidikan dan kepelatihan.
·
Memiliki usaha pendidikan gratis untuk
anak Pennsylvania, negara tidak mengingkari kesempatan yang sama bagi anak
cacat mental.
·
Siswa cacat mental yang lebih dini
disediakan sekolah, lebih besar dari jumlah yang diperkirakan.
Pengadilan memetapkan bahwa hal ini
sangat diharapkan untuk mendidik anak – anak cacat mental melalui program yang hampir sama dengan yang
disediakan bagi teman – teman mereka yang tidak disabilitas. (Yell, 1998). Mengikuti
keputusan PARC, gugatan aksi kelas lainnya, Mills v. Board of Education,
sebelum pengadilan wilayah federal di Columbia, dibawa kedalam separuh dari
18.000 siswa sekolah luar biasa yang memilki masalah tingkah laku,
hiperaktifitas, epilepsy, keterbelakangan mental, dan masalah fisik. Lebih
lanjut, pengadilan menawarkan sebagai berikut:
·
Pemerintah daerah menyediakan usaha
perlindungan untuk pelaksanaannya.
·
Menjabarkan secara jelas prosedur proses
yang seharusnya untuk labeling, penempatan, dan pemasukan.
·
Usaha perlindungan pelaksanaan untuk
memasukkan hak disamakan, hak memperoleh pekerjaan, dan menulis catatan semua
tahap dalam proses.
Sementara
dua kasus dengan riwayat tinggi tersebut sedang dijalankan di komunitas masing
– masing, negara – negara lain menemukan tantangan yang sama. PARC meerupakan
bagian negara Asosiasi Nasional Penyandang Cacat (NARC). NARC dan organisasi
nasional lain seperti Dewan Anak Istimewa, secara aktif mendukung pengacara disabilitas di seluruh
negara dalam menyiapkan laporan singkat pengadilan dan mewarkan alat dukungan
yang lain. Tahun 1973, DPR mengundangkan
Bab 504 Hukum Publik 92-112 sebagi bagian dari Undang - Undang Rehabilitasi
Kejuruan. Bab 504 merupakan bahan pertimbangan pasal 6 UU Warga Sipil 1964.
Bab
504 melarang pengeluaran dari program – program yang semata – mata didasarkan
pada disabilitas seorang individu. Tahun 1975, Hukum Publik 94-142, Pendidikan
untuk semua Undang – Undang Anak Cacaat, disahkan secara hukum. Proses
perundangan yang kmprehensif ini menyediakan orang – orang usia 3 – 21 tahun
sebagai berikut:
·
Pendidikan yang gratis dan sesuai bagi
semua anak disabilitas.
·
Perlindungan
pelaksanaan untuk melindungi hak – hak siswa dan orang tua.
·
Pendidikan di lingkungan yang paling
terbatas.
·
Program Pendidikan Individu.
·
Keterlibatan orang tua dalam kebijakan
pendidikan yang berhubungan dengan disabilitas anak – anak.
·
Evaluasi
yang adil, akurat, dan tidak berat sebelah.
Presiden Gerorge Bush mengesahkan Hukum Publik 101 –
336, warga Amerika dibawah perlindungan Undang – Undang penyandang disabilitas
(ADA) pada 26 Januari 1990. ADA merupakan perundangan warga sipil yang paling
berarti di AS sejak UU Warga Sipil tahun 1964. ADA dirancang untuk mengakhiri diskriminasi yang menimpa individu
disabilitas di ketenagakerjaan swasta, fasilitas umum, akomodasi, transportasi,
dan telekomunikasi.
Diantara banyak komponen dalam perundangan ini, di bawah ini adalah contoh – contoh dari
usaha – usaha untuk menjabarkan halangan individu disabilitas:
·
Para
majikan tidak boleh mendiskriminasikan orang – orang disabilitas dalam hal
memberi upah atau kenaikkan pangkat apabila mereka layak dengan pekerjaan itu.
·
Majikan
harus menyediakan akomodasi yang masuk akal untuk penyandang disablitias
seperti memasang pengeras suara di masing – masing pesawat telepon mereka.
·
Bus,
stasiun pemberhentian bus dan kereta api serta system tangga yang baru harus
bisa dilalui oleh penyandang disabilitas.
·
Rintangan
– rintangan fisik di restoran, hotel, tok pengecer, dan stadion harus
dibersihkan; jika belum siap diwujudkan, alat sarana pelayanan alterenatif
harus dilaksanakan.
·
Perusahaan
– perusahaan penyedia layanan telepon bagi masyarakat luas harus menyediakan layanan
telepon relay untuk mereka yang menggunakan layanan telepon tuna rungu.
Hukum Publik 101 – 476 yang disahkan oleh DPR, orang
– orang dengan UU Pendidikan Disabilitas (IDEA), pada tahun 1990 sebagai
amandemen dari Hukum Publik 94 – 142. Komponen kunci dari UU amandemen ini
menambahkan siswa – siswa autis dan luka pada otak akibat trauma sebagai kelas
terpisah yang berhak untuk dilayani.
Pada tahun 197, DPR mengeluarkan Hukum Publik 105 – 117,
amandemen IDEA. Amandemen tahun 1967 mengatur ulang dan membuat peningkatan
pada UU sebelumnya. UU ini menyatukan aturan
dari 8 menjadi 4 bagian dan membuat tambahan yang signifikan, meliputi
hal – hal sebagai berikut:
·
Memperkuat
peran serta orang tua, memastikan jalan masuk ke dalam kurikulum pendidikan
umum, menitikberatkan kemajuan siswa dengan cara mengubah IEP siswa.
·
Membesarkan
hati orang tua dan pendidik untuk memecahkan peerbedaan mereka dengan cara
kekeluargaan.
·
Memberikan
kebebasan lebih bagi karyawan sekolah dalam mendisiplinkan siswa dengan
mengubah beberapa perlindungan pelaksanaan.
·
Menetapkan rumus pendanaan.
Bahkan
dengan 25 tahun proses perundangan, amademen, dan perbaikan, ada aspek – aspek
hukum pendidikan khusus yang tidak selalu jelas bagi siswa, orang tua dan
pengacara, atau personil sekolah di daereah. Sekarang ini hal tersebut cukup
problematis. Sampai pada poin ini, pemerintah pusat belum membiayai secara
penuh program – program yang telah dititahkan. Hal ini menimbulkan isu masalah
keuangan yang serius bagi sekolah. Lebih lanjut, ada kekurangan tenaga dan
karyawan pendidikan yang berkualitas secara nasional. Bahkan apabila daerah
mencari pemenuhan hukum, keuangan, dan keterbatasan pegawai dapat menghindarkan
kemungkinan penyediaan layanan pendidikan berkualitas yang diharapkan para
orang tua dan pemerintah daerah.
Semenjak
IDEA tidak menyediakan pengertian yang sebenarnya untuk “pendidikan gratis dan
sesuai”, isu tersebut telah sering diputuskan di pengadilan (contohnya Hendrick
Hudson School District v. Rowley). Putusan pengadilan telah membuat standar
yang lebih mudah untuk masuk sekolah tetapi lebih sulit untuk pendidikan yang
memiliki kemungkinan terbaik (Yell, 1998). Akibatnya, ketika sekolah mampu
menunjukkan bahwa seorang siswa tengah membuat kemajuan yang memuaskan (hal ini
juag sering diperdebatkan), posisi pemerintah daerah cenderung kuat. Akan
tetapi, pengadilan juga telah mengatur siswa ketika orang tua telah melihat
layanan penunjang fisik diperlukan untuk menopang kemampuan siswa agar berguna
di sekolah (misalnya Irving Independent School Distric v. Tatro).
KEISTIMEWAAN
DAN MASYARAKAT
Di
zaman modern ini, perlakuan dan pemahaman terhadap berbagai macam penyimpangan
telah dibatasi. Masyarakat telah mulai menerima tanggungjawab dasarnya kepada
para penyandang disabilitas dengan menyediakan perawatan dan pendidikan, tetapi
kesamaan sosial belum terwujud.
Sudut
pandang masyarakat mengenai penyandang disabilitas barangkali bisa digambarkan
sebagaimana media menggambarkan masyarakat kita yang memiliki disabilitas. Guru
dan para pegawai profesional lainnya seringkali bisa diamati ketika berbicara
mengenai penyandang disabilitas dalam keberadaan mereka, seolah – olah orang –
orang tersebut tidak bisa merasakan malu. Keinginan mereka untuk mencintai dan
dicintai sering diabaikan dan mereka sering dipandang tidak memiliki nafsu
seksual, tanpa adanya hak atas hasrat seksual yang sama dengan orang normal.
Gliedman dan Roth (1980) membuat peryataan sebagai berikut:
Orang yang tubuhnya tidak cacat
melihat bahwa penyandang cacat jarang mendapatkan pekerjaan yang baik, menjadi
pahlawan kebudayaan, atau anggota masyarakat yang terlihat dan disimpulkan
bahwa ini meerupakan “bukti” mereka tidak bisa mempertahankan diri mereka
sendiri di dalam masyarakat.
KEBUDAYAAN MIKRO YANG ISTIMEWA
Karena ketidakpekaan, apati, atau prasangka, banyak orang
– ornag yang seharusnya bertanggung jawab melaksanakan dan menegakkan hukum
yang melindungi para penyandang disabilitas gagal melaksanakan hal tersebut. Kegagalan
dalam menyediakan kesempatan pendidikan dan kejuruan yang sesuai bagi para
penyandang disabilitas menghalangi kemungkinan persamaan sosial dan ekonomi.
Keterebatasan sosial dan ekonomi ini sering diterjemahkan dengan penolakkan oleh
teman sebaya yang tidak menyandang disabilitas dan pada akhirnya diartikan
dengan pengasingan sosial.
Tidak seperti kebanyakan kelompok suku minoritas yang
ditolak oleh masyarakat mainstream, penyandang disabilitas seringkali saling
memperoleh kenyamanan dan keamanan dan dalam beberapa hal mereka membentuk
struktur organisasi sosial dan lingkungan mereka sendiri. Melalui negara,
seseorang bisa memperoleh mikrokultural grup individu seperti mereka yang
memiliki kelemahan penglihatan dan pendengaran serta mereka yang memiliki
keterbelakangan mental. Dalam beberapa hal, mereeka berkumpul dalam pekerjaan
yang sama , tetangga yang sama, dan beragam aktifitas dan lingkungan sosial.
INDIVIDU YANG GIFTED (BERBAKAT)
Orang – orang yang gifted dan talented biasanya tidak
mengalami jenis diskriminasi dan penolakan sosial yang serupa dengan yang
dialami oleh para penyandang disabilitas. Akan tetapi seperti halnya para
penyandang disabilitas, mereka mungkin terisolasi dari masyarakat mainstream dan
mencari yang lain dengan kemampuan setara yang bisa memberikan perasaan
diterima yang sama baiknya dengan rangsangan intelektutal dan emosional.
Penolakan terhadap orang gifted dan talented berbeda dari penolakan terhadap
penyandang disabilitas karena penyebabnya berasal dari kurangnya pemahaman atau
kecemburuan, bukan dari stigma yang mungkin berhubungan dengan disabilitas.
Sayangnya, banyak siswa yang gifted dan talented tidak
diidentifikasi dengan tepat dan akibatnya tidak diberikan program pendidikan
yang sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini bisa menuju pada pengasingan
sosial dan sebaliknya bisa menyebabkan berkembangya persekutuan dengan individu
gifted dan talented lainnya yang bisa memahami dan menerima serta yang memiliki
minat yang sama. Beberapa individu yang gifted dan talented mungkin tidak
ditolak oleh yang lain tetapi bagaimanapun mereka tetap mencari orang lain yang
memiliki bakat dan minat yang sama untuk memberikan stimulus yang diperlukan
atau diinginkan. Keberadaan Mensa, sebuah organisasi yang hanya anggota yang
memiliki nilai tinggi dalam tes kecerdasan membuktikan kebutuhan yang nyata
akan beberapa individu yang gifted untuk bersama yang lain.
Individu dengan Keterbelakangan Mental
Telah diperkirakan hampir 3% populasi luas memiliki
keterbelakangan mental. Banyak orang dengan keterbelakangan mental ringan hidup
secara bebas atau dalam kelompok rumah tangga berdasarkan komunitas dan
dukungan komunitas. Banyak orang dengan keterbelakangan mental yang berat dan
parah serta beberapa yang menengah dilembagakan dan dipaksa ke dalam kelompok
budaya dan tempat asal mereka sendiri, dikucilkan dari masyarakat yang tersisa.
Oleh
karena keterbatasan intelektual meraka, kemiskinan berkepanjangan, dan status
minoritas, individu dengan keterbelakangan mental sering didiskriminasikan dan
diabaikan.
Individu dengan Gangguan Penglihatan atau Pendengaran
Komunitas tuna rungu atau tuna netra tetap eksis ketika
individu yang terganggu panca inderanya tinggal dalam lingkungan yang sama,
bekerja dan bersosialisasi bersama serta menikah satu sama lain. Dalam kasus
lain, kelompok mikro kultural orang-orang yang terganggu panca inderanya
terdiri atas orang-orang dari komunitas berbeda. Karena mereka tidak merasa
seperti bagian dari masyarakat mainstream; karena mereka berbagi banyak fasilitas
di sana seperti bentuk-bentuk komunikasi (bahasa isyarat atau Braille); dan
karena mereka memiliki minat yang sama individu-individu penyandang disabilitas
ini saling memperoleh kenyamanan, kepuasan, dan keamanan.
Pada mereka
dengan berbagai macam kondisi yang kekurangan, individu dengan gangguan
penglihatan dan gangguan pendengaran adalah
yang paling mungkin membentuk kelompok kebudayaan mereka sendiri.
Keduanya memiliki faktor –faktor yang mengesampingkan yang menyumbangkan
kebutuhan untuk individu dalam kelompok ini untuk saling mencari dan membentuk
kelompok budaya
IMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENDIDIKAN
Impikasi yang berhubungan dengan pendidikan untuk bekerja
dengan orang – orang istimewa banyak jumlahnya dan segala dalil bisa dicurahkan
untuk masing – masing keistimewaan. Teori Abraham Maslow dalam aktualisasi diri
cukup terkenal bagi banyak siswa dalam dunia pendidikan. Untuk menjadi manusia
sejati atau memenuhi potensi seseorang,
Maslow (1954) membuat teori, kebutuha dasar seseorang harus dipenuhi: hal itu
untuk mencapai aktualisasi diri, kebutuhan psikologis seseorang, kebutuhan akan
rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki atau menyayangi, dan kebutuhan untuk
dihargai harus dipeuhi terlebih dahulu. Guru harus selalu sadar akan
kebutuhan unik anak – anak mereka yang istimewa. Interaksi antara pendidik
dengan anak istimewa mungkin tidak akan mengubah apa yang akhirnya akan
terjadi. Bahkan jika orang dewasa yang istimewa menjadi bagian kelompok
mikrokultural, mereka juga akan berinteraksi dengan masyarakat mainstream pada dasar
yang tetap. Usaha sebagian pendidik untuk memenuhi kebutuhan anak akhirnya
dapat mempengaruhi hubungan orang dewasa yang istimewa dengan masyarakat.
Guru
anak – anak dengan gangguan fisik dan kesehatan lainnya mungkin menemukan
pentingnya memeriksa catatan siswa secara seksama untuk menentukan situasi
masalah potensial dengan siswa – siswa tersebut di dalam ruang kelas. Guru
tidak perlu takut dengan ketidakyakinan mereka sendiri. Mereka seharusnya
merasa bebas untuk bertanya kepada siswa ketika mereka tidak akan atau tidak
ingin menolong. Guru seharusnya memperlakukan siswanya yang memiliki
disabilitas senormal yang terlihat, tidak over protektif atau memberi maupun
melakukan lebih dari yang mereka butuhkan atau yang pantas mereka terima.
Banyak
variable yang mempengaruhi belajar, pikiran, dan penyesuaian diri terhadap
penyandang disabilitas. Ini merupakan bukti nyata secara budaya dan bahasa yang
keanekaragaman siswa yang menguasai isu bahasa, budaya dan nilai. Harry,
Kalyanpor, dan Day (1999) meminta para profesional yang bekerja dengan siswa
penyandang disabilitas untuk mengambil catatan khusus nilai – nilai budaya yang
mungkin melekat pada interpretasi mereka terhadap kesulitan siswa tertentu. Mereka
menyarankan bahwa pengembangan perasaan kesadaran pribadi berbudaya sangat
penting untuk mengefektifkan interaksi dengan siswa dan keluarga dan bahwa hal
ini akan membuat mereka mampu mengambil keputusan tepat mengenai pelayanan.
Jarak
dan variasi pengalaman yang mengganggu atau menyembunyikan
dari penyandang disabilitas mungkin menghasilkan batasan yang tidak pantas.
Terlalu sering orang tua dan guru berasumsi bahwa keterbatasan penglihatan anak
menghalangi kemampuan menghargai pengalaman anak – anak yang bisa melihat yang
khas setiap harinya. Perlu diingat
bahwa anak – anak yang istimewa, yang harus didahulukan dan diutamakan, adalah
anak – anak itu sendiri. Keistimewaan mereka, meskipun mempengaruhi kehidupan
mereka, merupakan hal yang bersifat sekunder yang mereka butuhkan sebagai anak.
Chin, Winn, & Walters (1978) mngidentifikasi tiga dari kebutuhan tersebut:
komunikasi, dukungan, dan kebebasan untuk tumbuh.
KEBUTUHAN KOMUNIKASI
Anak – anak istimewa jauh lebih cerdas dari yang disangka
oleh orang dewasa. Mereka peka terhadap komunikasi nonverbal dan maksud –
maksud tersembunyi yang samar – samar kebenarannya. Mereka perlu diakui
keistimewaannya lebih dari siapapun, baik disabilitas maupun gifted. Mereka
perlu mengetahui bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi kehidupan mereka agar
bisa menyesuaikan diri dengan benar, untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik,
dan memaksimalkan potensi mereka. Mereka memerlukan komunikasi yang jujur dan
apa adanya yang diperhalus dengan sensitivitas.
KEBUTUHAN UNTUK DITERIMA
Lingkungan masyarakat dimana kita tinggal seringkali
gagal memberikan anak – anak yang istimewa tersebut lingkungan yang positif dan
reseptif. Bahkan lingkungan sekolah bisa memusuhi dan kurang menerima. Guru
bisa memfasilitasi perasaan diterima siswa di kelas dengan memperlihatkan sikap
yang positif dan terbuka. Siwa cenderung merefleksikan sikap gurunya. Jika guru
bersikap tidak baik, siswa akan mencontohnya dengan cepat. Jika sikapnya baik,
siswa akan merespon dan memberikan lingkungan yang reseptif bagi teman – teman
mereka yang menyandang disabilitas.
KEBEBASAN UNTUK TUMBUH
Siswa penyandang disabilitas membutuhkan dukungan dan
pengertian. Dukungan menunjukkan sebuah kebebasan bagi anak – anak istimewa
untuk tumbuh. Di waktu itu, nampak lebih mudah melakukan sesuatu untuk anak
daripada memanfaatkan waktu tersebut untuk mengajarinya. Di lain kesempatan, hali
ini menarik bagi guru dan orang tua untuk membuat kebebasan lebih bagi anak
yang istimewa. Keistimewaan ini sering menghalangi pertumbuhan emosional anak
dan di kemudian hari mungkin menyebabkan masalah interpersonal yang serius.
Meskipun disabilitas anaknya menimbulkan masalah
penyusaian diri bagi siapapun, orang tua Jimmy memperlakukannya sama dengan
keluarga lain. Seperti halnya ia membeerikan hak kepada seluruh anggota
keluarga. Dia juga mengalami konsekuensi yang sama atas tingkah laku yang tidak
sesuai tersebut. Sikap yang ditunjukkan oleh orang tuanya ini barangkali yang
menjadi faktor utama yang membuat Jimmy memiliki kemampuan luar biasa dalam
meenyesuaikan diri dengan kekurangannya itu.
NORMALISASI DAN MAINSTREAMING
Saat ini banyak usaha yang ditujukan pada konsep
normalisasi. Normalisasi berarti “menghargai semua orang penyandang disabilitas
atau cacat yang lain, peraturan hidup dan kondisi kehidupan sehari – hari yang
sedekat mungkin atau benar – benar sama
dengan keadaan biasa dan cara hidup masyarakat” (Nirje, 1985, hlm.67).
Normalisasi dikembangkan dan dianjurkan di Amerika Serikat oleh Wolfensberger
(1972). Dia mengusulkan bahwa “tujuan paling eksplisif dan tertinggi
normalisasi ialah kreasi, dukungan dan mempertahankan aturan sosial yang
dihargai bagi orang – orang yang
beresiko devaluasi sosial” (Wolfensberger, 1983, hlm.234).
Drew dan Hardman (2000) mengusulkan bahwa normalisasi dan
valorisasi sosial telah membawa titik berat terhadap deinstitusionalisasi, dimana
individu yang berasal dari tempat tinggal yang luas yang diperuntukkan bagi
penyandang cacat dan dikembalikan ke komunitas dan lingkungan tempat tinggal. Prinsip
– prinsip normalisasi seperti yang mereka perkenalkan sebelumnya dikembangkan
dengan individu berketerbelakangan mental sebagai kelompok yang dituju. Dalam
beberapa tahun terakhir, konsep tersebut telah meluas sehingga semua kategori individu
disabilitas menjadi sasaran. Persetujuan tampaknya mengalami proses evolusi
alami dari konsep normalisasi. Meskipun IDEA memerintahkan mendidik anak
disabilitas di “lingkungan yang tidak begitu membatasi”, disini dalam undang –
undang kata mainstream digunakan. Akan tetapi “LRE” berarti bahwa anak – anak
disabilitas untuk dididik bersama dengan anak – anak nondisabilitas sepanjang
memungkinkan, dalam lingkungan yang senormal mungkin. Meskipun konsep LRE tidak
perlu mengartikan pemggabungan ke dalam kelas pendidikan umum, istilah mainstreaming,
melalui penggunaan yang biasa, mengacu pada tindakan penggabungan anak – anak
disabilitas ke dalam kelas pendidikan khusus selama seluruh atau sebagian hari.
Oleh sebab itu tujuan pendidikan khusus adalah untuk me-mainstream sebanyak
mungkin anak – anak disabilitas seperti yang terlihat.
Pada awalnya mainstreaming dimaksudkan untuk siswa dengan
disabilitas ringan. Kenyataannya, beberapa daerah penampungan lebih
merefleksikan para pendidik sendiri yang tidak bisa atau tidak ingin mengakui
harkat dan martabat individu penyandang disabilitas berat.
Pihak yang tidak setuju dengan integrasi menggunakan
argumen yang sama yang dipakai secara berlebihan lebih dari 40 tahun yang lalu.
Beberapa dari argumen mereka mungkin saja valid, mugkin
saja tidak. Sebagai pendidik kita harus sadar akan kenyataan bahwa ketakutan
kita terhadap perubahan dan ketidak tahuan telah sering menghalangi kita dalam
membuat perubahan yang lebih baik.
Penerimaan, implomentasi dan otoritas IDEA memberikan
dorongan yang besar terhadap konsep inklusi. Meskipun sering disalah gunakan
dengan mainstreaming, inklusi menyatakan pentingnya individualisasi system
pendidikan bagi semua siswa, dan mencoba mengembangkan pendekatan yang jauh
lebih holistic kepada pendidikan secara umum (Salend, 2001). Meskipun hanya
berpusat pada penyandang disabilitas, inklusi dirancang untuk kepentingan semua
siswa, guru, keluarga dan pihak yang mendukung. Inklusi berusaha meyakinkan
bahwa siswa – siswa yang memiliki kebutuhan belajar yang khusus memiliki
kesempatan menerima semua atau sebagian pelajaran di kelas pendidikan umum.
Ysseldyke, Algozzine, dan Thurlow (2000) mengusulkan bahwa inklusi mencerminkan
sudut pandang bahwa pengalaman pendidkan siswa disabilitas seharusnya
mencerminkan sebanyak mungkin teman kelas mereka yang non-disabilitas.
Tiegerman-farber dan Radziewicz mendefinisikan inklusi
sebagai “penggabungan anak – anak dengan dan tanpa disabilitas” (1998, hlm.13)
dan lebih lanjut menegaskan bahwa inti dari pengertian inklusi ini siswa –
siswa disabilitas memiliki hak untuk disatukan ke dalam kelas pendidikan umum
tanpa memperhatikan kemampuan mereka untuk memenuhi standar pendidikan
tradisional. Salend (2001) mengusulkan bahwa inklusi merupakan filosofi prinsip
dan bahwa empat dasar utamanya adalah keanekaragaman, kebutuhan individu,
tindakan reflektif, dan kolaborasi. Para pendidik khusus sendiri jarang setuju
dengan penempatan kelas yang sesuai untuk siswa disabilitas. Sebagian besar pendidik
khusus mendukung beberapa tingkatan inklusi untuk siswa yang mereka yakini akan
memberikan manfaat bagi lingkungan kelas umum. Sebagian lagi mendukung kelanjutan penuh layanan dari sekolah
residensial dan ruang kelas tetap bagi guru yang berkeliling, ruang referensi,
dan kelas pendidikan umum. Sudut pandang yang lain mendukung inklusi penuh
semua anak disabilitas tanpa melihat jenis atau tingkatan disabilitas. Inklusi
penuh untuk orang – orang ini merupakan sebuah isu moral dan etis, bukan isu
kemanjuran. Isu – isu tersebut rumit dan sulit dipecahkan tanpa menguji situasi
individu.
Karena inklusi melibatkan siswa, guru, keluarga, dukungan
atministratif, sumber dan masyarakat, inklusi tak dapat dipungkiri merupakan
sebuah usaha yang sangat kompleks dan penelitian mengenai pengaruh yang kuat
ada hasil pendidikan untuk siswa disabilitas masih meragukan (Salend, 2001).
Ketidak setujuan sangat memperhatikan kapan dan bilamana inklusi seharusnya
disediakan dalam kelas regular dan apakah inklusi sesuai untuk semua siswa
disabilitas (Tiegerman-farber dan Radziewicz , 1998). Turnbull & Trunbull
(2001) mengakui bahwa perhatian serius berlanjut dikemukakan oleh banyak
pendidik khusus. Sementara inklusi sering menghasilkan hasil sosial yang
positif, beberapa penelitian mengusulkan bahwa anak – anak disabilitas tidak
selalu menerima perubahan instruksional yang sesuai untuk diakui dalm inklusi
(Salend, 2001). Beberapa penganut paham tradisional berpendapat bahwa banyak
siswa menuntut pendidikan khusus dan bahwa guru mereka harus mempunyai keahlian
pendidkan khusus. Mereka menyatakan perhatian bahwa usaha inklusi penuh mungkin
menghabiskan sumber daya yang kurang tersedia untuk siswa disabilitas menengah
dan berat (Ysseldyke, Algozzine, dan Thurlow, 2000). Kajian laim
mengindikasikan bahwa siswa tanpa disabilitas juga menguntungkan dari segi
sosial dan tidak merugikan dari segi akademis oleh sebuah pedidikan yang
inklusif (Salend, 2000).
Penting bagi kita
sebagai pendidik untuk melihat kesamaan dan perbedaan yang ada di antara debat
yang memperhatikan kelompok siswa ini dan isu yang dikemukakan oleh Brown lebih
dari 40 tahun yang lalu. Kedua situasi tersebut memiliki kesamaan tetapi
kelompoknya berbeda. Hal ini penting bahwa sebagai pedidik kita harus
memelihara piriran yang terbuka sehingga mungkin kita sendiri bisa dididik.
Mandat yang resmi tidak menghapus kelas atau sekolah
khusus, tetapi mereka menawarkan sudut pandang filosofis yang baru. Dari pada pengasingan fisik individu
disabilitas, lebih baik mengusahakan siswa disabilitas agar bisa menerima
tempat yang lebih sesuai dalam lingkungan pedidikan. Masih banyak siswa
disabilias yang mungkin tidak diuntungkan oleh lingkungan inklusif dan dididik
lebih baik di lingkungan khusus. Semenjak sikap menjadi lebih kongruen dengan
hukum, para penyandang diabilitas memiliki opsi lebih dalam keputusan untuk
menjadi bagian dari mainstream atau memisahkan diri ke dalam kelompok budaya
mereka sendiri.
TRANSLATE
Dosen Pengampu : Dra. Rusnaeni, M.si
Tugas
ini disusun guna memenuhi Tugas Mata
Kuliah Pendidikan Multikultural
Disusun oleh :
Asep
wibowo K6409010
Asif
Ahmad U. K6409011
Bagas
Riyady K6409014
Bayu
Pratama K6409015
Dandia
W. K6409017
Dewi
Mariana K6409021
Dwi
Rustanti K6409026
Feri
Kurniawan K6409028
Okto
Kurniawan K6409044
Wahyu
Setyorini K6409066
PROGAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB 5
BAB 5
KEISTIMEWAAN
“Para
penyandang cacat yang berijazah di Amerika Serikat …, hanya karena
kekuranganya semata, tidak akan dilarang
berpartisipasi, dipandang sebelah mata, atau dijadikan sasaran diskriminasi
terkait program atau kegiatan apapun yang mendapat bantuan dana dari pemerintah
pusat.”
Section
504, PL 93 – 112 (Vocational Rehabilitation Act, 1993)
Riley
Behler, seorang guru kelas tiga di Sekolah Dasar Martin Luther King, diminta
untuk menemui Kepala Sekolah, Erin Wilkerson, setelah murid – murid
meninggalkan ruang kelas. Dr. Wilkerson
menerangkan bahwa pemerintah daerah setempat tengah melaksanakan program
inklusi penuh dimana anak – anak dengan disabilitas berat akan diintegrasikan
sepenuhnya ke dalam ruang kelas pendidikan umum. Oleh karena ia telah masuk
dalam nominasi penghargaan “The District Teacher of the Year” dua tahun lalu
khususnya untuk keterampilan kelasnya yang menonjol. Behler direkomendasikan
menjadi bagian dari uji coba daerahnya
yang pertama dalam program inklusi penuh tersebut. “Riley, ini akan melibatkan
dua orang murid disabilitas berat. Yang satu adalah seorang anak down syndrome
yang memiliki cacat perkembangan. Anak ini memiiiki beberapa masalah dalam
belajar. Anak yang satunya lagi memiliki kecerdasan normal tetapi lumpuh,
dengan kemampuan bicara yang terbatas dan kelumpuhan saraf otak. Jika Anda
bersedia menjadi bagian dari program ini, Anda akan memiliki ajudan yang
bekerja penuh dengan latar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Morgan
Andersen, spesialis inklusi, akan membantu Anda dengan berbagai strategi dan
rencana pembelajaran. Yang penting adalah, Anda mempersiapkan murid – murid di
kelas Anda dan para orang tua sehingga masa transisi yang bagus dapat tercipta
ketika murid – murid ini menerima pelajaran Anda di Bulan Januari, hanya selama
dua setengah bulan.
Skenario ini telah dijalankan di
sekolah – sekolah di seluruh negara dalam beberapa tahun terakhir. Apa sajakah
yang termasuk dalam rencana tindakan Behler dan Andersen? Apa sajakah yang
dialihkan ke dalam inklusi penuh melalui beberapa unsur kritis yang terdapat
dalam sebuah rencana yang sukses? Bilamana murid – murid disabilitas
digabungkan ke dalam ruang kelas pendidikan umum dan bilamana mereka
mengalihkan perhatian penyusunan program bagi murid – murid yang tidak
disabilitas? Apakah murid – murid disabilitas kemungkinan besar menjadikan
pengaruh yang mengganggu di dalam kelas? Apakah guru – guru pendididkan umum
seperti Riley Behler memiliki latar belakang dan pendidikan yang cukup untuk
menampung murid – murid disabilitas di dalam kelas mereka? Haruskah semua anak
disabilitas digabungkan ke dalam kelas – kelas pendidikan umum? Bagaimanapun
jenis kekurangannya? Bagaimanapun tingkat kekurangannya?
Murid - Murid Disabilitas dan
Murid – Murid Gifted serta Talented
Sebuah
golongan penting di Amerika Serikat merupakan individu – individu yang
istimewa. Dua puluh juta orang lebih dari masing – masing suku dan kelompok sosial-ekonomi
masuk ke dalam satu atau lebih kategori istimewea. Hampir setiap hari, para
pendidik berhubungan dengan anak – anak dan orang dewasa yang istimewa. Mungkin
saja mereka adalah murid – murid di kelas kita, rekan sejawat kita, teman dan
teteangga kita, atau orang – orang yang kita jumpai dalam pengalaman kita
sehari – hari.
Orang – orang istimewa meliputi
individu disabilitas dan individu yang berbakat. Beberapa, khususnya para
penyandang disabilitas, tidak diterima oleh masyarakat. Oleh karena kebutuhan
personal dan sosial mereka yang unik serta perhatian yang khusus, banyak orang
yang istimewa tadi menjadi bagian dari kebudayaan mikro yang terdiri atas
individu – individu dengan keistimewaan yang serupa. Bagi sebagian, identitas
kebudayaan ini menurut askripsi; mereka diberi label dan ditempatkan khusus
oleh lembaga setempat dimana mereka tinggal. Sementara yang lain tinggal dalam
komunitas yang sama atas pillihan mereka sendiri. Bab ini akan menguji hubungan
orang – orang istimewa dengan masyarakatnya. Bab ini berbicara mengenai
perjuangan akan persamaan hak dan cara memperlakukan para penyandang
disabilitas yang seringkali disejajarkan dengan kaum minoritas yang tertindas.
Berbagai definisi mengenai anak –
anak istimewa memiliki sedikit sekali perbedaan antara penulis yang satu dengan
yang lain, tetapi definisi menurut Heward (2000) adalah yang paling khas:
Anak – anak istimewa berbeda
secara normal (baik yang lebih maupun yang kekurangan) untuk tingkatan semacam
ini yang mana diperlukan program pendidikan khusus tersendiri yang disesuaikan
demi memenuhi kebutuhan mereka.
Istiah anak istimewameliputi anak
– anak yang mengalami kesulitan belajar dan anak – anak yang superior hingga
perubahan kurikulum dan pengajaran diperlukan guna menyesuaikan kemampuan
mereka. Dengan demikian, anak istimewa adalah sebuah istilah tersembunyi yang
mengacu pada anak – anak yang memiliki masalah belajar dan/atau tingkah laku,
anak – anak yang memiliki kekurangan fisik atau gangguan panca indera, dan anak
– anak yang memiliki bakat intelektual ataupun yang miliki kemampuan tertentu.
(hlm. 4)
Definisi ini dispesifikan untuk anak
usia sekolah yang biasanya dicari hubungannya dan diuji untuk menentukan syarat
kelayakan, kemudian ditempatkan di program pendidikan khusus. Yang termasuk
dalam proses ini adalah pemberian label (labeling) pada anak. Di satu akhir
rangkaian ialah anak – anak yang berbakat dan memiliki keahlian istimewa. Di
akhir rangkaian yang lain ialah anak – anak disabiitas (beberapa diantaranya
mungkin juga berbakat). Murid disabilitas dikategorikan dengan sebutan tertentu
seperti memiliki keterbelakangan mental,
ketidakmampuan belajar, kelemahan bicara, kelemahan penglihatan, kelemahan
pendengaran, gangguan emosional (atau tingkah laku yang buruk), atau kelemahan
fisik dan kesehatan.
|
LABELING
Proses
pengkategorian dan pelabelan memiliki bagian pembahasannya sendiri. Pihak yang
tidak setuju, menilai hal ini sebagai tindakan yang merendahkan dan melecehkan kehormatan
para penyandang disabilitas dimana dampaknya akan terbawa terus hingga masa
dewasa. Pengklasifikasian dan pelabelan yang terlalu dini seperti pandir,
imbisil, dan idiot menjadi sangat menghina padahal sebutan – sebutan tadi tidak
digunakan lagi dalam konteks profesioanl. Beberapa individu, termasuk
kebanyakan yang mempunyai ketidakmampuan belajar dan gangguan mental ringan,
tidak pernah dianggap memiliki ketidakmampuan sebelum masuk sekolah. Akan
tetapi, keeadaan sekolah justru membuat kekurangan akademik dan kognitif mereka
meningkat. Ketika kembali ke kampung halaman dan masyarakat, banyak diantara
mereka yang tidak terlihat seperti orang disabilitas. Mereka malah ikut
kegiatan – kegiatan bersama tetangga mereka yang sebaya sampai mereka kembali
ke sekolah di keesokan harinya, dimana mereka mengikuti kelas khusus (kadang
dipisahkan) dan melanjutkan perananya dalam struktur akademik dan sosial
tersebut sebagai anak disabilitas. Masalah ini dapat meresap sehingga menimbulkan
tanda – tanda “anak terbelakang selama 6 jam”. Mereka ini adalah anak – anak
yang menghabiskan waktu 6 jam sehari sebagai anak – anak keterbelakangan mental
di sekolah – sekolah negeri kita. Selama 18 jam yang tersisa dalam sehari jauh
dari lingkungan sekolah, mereka tidak dianggap terbelakang oleh masyarakat yang
mereka pergauli (Komite Keterbelakangan Mental milik Presiden, 1969). Heward
(2000) berpendapat bahwa tuntutan – tuntutan sekolah tersebut nampaknya yang
menyebabkan keterbelakangan mental.
Sebutan – sebutan (label) tersebut
mempengaruhi konotasi dan stigma pd berbagai tingkatan. Beberapa disabilitas
dari segi sosial bisa diterima dibandingkan yang lain. Kelemahan visual
mempengaruhi empati dan terkadang simpati masyarakat. Buktinya selama beberapa
tahun masyarakat telah menyediakan “Seeing Eye Institute” terbuka yang
menghasilkan anjing – anjing pemandu yang terkenal. Para tuna netra tersebut
merupakan satu – satunya kelompok disabilitas yang diberi izin untuk menuntut
potongan pajak penghasilan pribadi tambahan karena disabilitasnya itu. Namun
demikian, masyarakat umum menganggap kebutaan sebagai penderitaan terberat bagi
manusia.
Sebaliknya, keterbelakangann mental
dan gangguan emosional sering dihubung – hubungkan dengan status sosial-ekonomi
yang lebih rendah. Kedua label tersebut merupakan disabilitas yang paling sulit
diterima oleh masyarakat dan barangkali yang dianggap paling rendah.sebagian
hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kedua jenis
disabilitas tersebut dan pengaruh kuat yang terkadang melemahkan yang mereka
bawa ke dalam susunan keluarga.
Disabilitas
dalam hal belajar, satu dari kategori disabilitas yang terbaru, merupakan
kondisi disabilitas yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Sementara
keterbelakangan mental sering diidentifikasikan dengan kelompok sosial-ekonomi
yang lebih rendah, mereka yang memiliki disabilitas dalam belajar memiliki
latar belakang kelas menengah. Apakah persepsi semacam ini akurat atau tidak,
para orang tua lebih siap menerima disabilitas belajar daripada keterbelakangan
mental sebagai akibat dari lemahnya kemampuan belajar mereka. Apa yang telah
diamati merupakan pengklasifikasian ulang anak – anak yang semula memiliki
keterbelakangan mental menjadi mampu untuk belajar. Kadang dikatakan bahwa
keterbelakangan mental seseorang juga merupakan disabilitas belajar dan
gangguan emosional yang lainnya. Sangat sulit saat ini untuk mengidentifikasi
siswa mana yang menderita gangguan emosional ringan dan siswa dengan
disabilitas belajar.
Meskipun
kontroversi tentang labeling terus berlangsung, bahkan seringkali muncul
beberapa kritik, dana pemerintah untuk pendidikan khusus didasarkan pada
identifikasi individu dengan keterbelakangan yang spesifik. Dana yang jumlahnya
lebih dari satu juta dolar per tahun ini sangat berarti hingga banyak program
pendidikan khusus yang nyaris akan tutup tanpa dana tersebut, meninggalkan
sekolah dalam kondisi keuangan yang sangat susah. Akibatnya, proses labeling
berlanjut, bahkan terkadang menimpa orang dewasa dimana para mahasiswa mungkin
diidentifikasikan sebagai penyandang disabiilitas agar menerima akomodasi yang
diperlukan untuk kebutuhan belajar mereka. Yang lain dipekerjakan oleh
pembimbing rehabilitasi kejuruan dengan label yang lebih dikenal sebagai
masalah belajar daripada keterampilan kerja mereka. Sebaliknya, hal ini
cenderung menimbulkan stigma dan meningkatnya pengasingan sosial.
HISTORICAL ANTECEDENTS
Dalam
banyak hal, keadaan buruk para penyandang disabilitas sangat erat hubungannya
dengan masalah kelompok suku yang terimpit. Sejarah perlakuan terhadap orang –
orang disabilitas tidak menunjukkan keinginan masyarakat untuk memenuhi
kewajiban – kewajibannya. Sebelum tahun 1800, dengan sedikit pengecualian, mereka
yang memiliki keterbelakangan mental misalnya, tidak memikirkan masalah sosial
utama di masyarakat manapun. Orarng – orang yang memiliki keterbelakangan lebih
berat mudah sekali meninggal lebih awal karena penyebab yang alami.
Perlakuan dan perhatian orang –
orang yang memiliki disabilitas mental dan fisik telah menjadi fungsi kondisi sosial-ekonomi
di masa tersebut. Selanjutnya untuk bersikap takut dan malu terhadap takhayul,
suku bangsa nomadic yang masih primitif memandang orang disabilitas sebagai
orang yang tidak produktif dan menjadi beban, hanya menghabiskan sumber daya
yang ada. Semenjak peradaban mengalami kemajuan dari kehidupan nomadic, para
penyandang disabilitas masih sering dipandang sebagai orang yang tidak
produktif dan tidak dapat berkembang (Drew & Hardman, 2000).
Mereka dipindahkan ke lembaga
semacam rumah sakit, panti rehabilitasi, dan koloni (perkampungan). Banyak
lembaga yang dibangun jauh dari pusat masyarakat, dimana wilayahnya terasing.
Selama beberapa dekade, masyarakat Amerika tidak menyadari perebuatan yang
tidak menghargai penyandang cacat. Masyarakat dengan mudahnya membuang mereka
jauh – jauh dan melupakannya. Kebanyakan warga Amerika tidak mengetahui
perlakuan kejam dan tidak manusiawi ini yang terdapat di banyak fasilitas, dan
mereka juga tidak ingin tahu. Individu dengan disabilitas ringan secara umum
bisa membaur dengan masyarakat, terkadang terlihat menghilang, kadang berkontribusi
dengan masyarakat petani, seringkali tidak dianggap sebagai penyandang
disabilitas.
Sejak masyarakat menjadi masyarakat
industri dan terdidik yang menuntut untuk masuk sekolah, masalah pendidikan
bagi siswa penyandang disabilitas menjadi meningkat secara nyata. Sekolah
khusus dan kelas khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak – anak
tersebut. Dengan demikian, masyarakat memisahkan orang – orang tersebut atau
dengan usaha yang seolah – olah demi kepentingan mereka.
Perlakuan masyarakat terhadap
beberapa penyandang disabilitas, seperti mereka yang berketerbelakangan mental,
patut dipertanyakan secara hak. Meskipun banyak warga Amerika menemukan banyak
hukum yang sudah lama yang menyangkut masalah perkawinan antar suku, sedikit
dari isinya sejak 25 tahun lalu lebih dari 20 negara melarang pernikahan antar
individu penyandang cacat mental.
PENEMPATAN
YANG TIDAK SEPADAN
DALAM
PENDIDIKAN KHUSUS
Penciteraan
yang berlebihan terhadap murid – murid kulit hitam dalam kelas pendidikan khusus
telah menjadi isu paling problematis yang dihadapi para pendidik dalam beberapa
tahun terakhir. Dunn (1968) melaporkan bahwa sepertiga siswa pendidikan khusus
telah ditempatkan di kelas – kelas untuk para siswa dengan keterbelakangan
mental ringan. Dunn menyatakan, “menurut pendapat saya, sekitar 60 – 80 persen
murid yang diajar oleh guru – guru tersebut adalah anak – anak dengan latar
belakang status rendah – meliputi Afro-American, American-Indians, Mexicans,
dan Puorto Ricans Americans; mereka berasal dari rumah tangga dengan Bahasa
Inggris non-standard, yang bercerai, berantakan, dan tidak berkecukupan; serta
orang – orang dari lingkungan kelas menengah.” Pendidikan khusus telah menjadi
tempat pembuangan akhir bagi anak – anak miskin kulit hitam.
Hasil temuan Dunn didukung oleh
Mercer (1973) yang menemukan bahwa murid - murid Amerika-Meksiko di Riverside,
California, ditempatkan di kelas – kelas murid dengan keterbelakangan mental
ringan. Murid – murid Amerika-Afrika ditempatkan di kelas pendidikan khusus
yang sama dengan angka rata – rata tiga kali lipat dari jumlah yang diharapkan
dalam populasi sekolah umum.
Pada tahun 1968, OCR (lembaga yang
mengurusi hak warga sipil) memulai survey dua tahunan peenempatan anak – anak
dalam kelas pendidika khusus.data tersebut juga menyajikan latar belakang ras
para murid dalam kategori putih, hitam, Amerika-Asia/Pasifik, Indian Amerika,
dan Hispanic. Sementara persentase terkini bervariasi dari survey ke survey,
sebuah fakta tetap konsisten. Murid Amerika Afrika, khususnya perempuan, telah
diciterakan secara amat berlebihan dalam kelas murid dengan keterbelakangan
mental ringan., keterbelakangan mental menengah, dan gangguan emosional serius.
Di beberapa negara bagian, murid – murid Hispanic diciterakan secara amat
berlebihan dalam kelas murid dengan keterbelakangan mental ringan. Hasil temuan
lain yang konsisten adalah bahwa murid Amerika-Afrika, Indian-Amerika, dan
Hispanic dimasukkan dalam kelas gifted dan talented.
Ada dua arti penting data laporan
yang berhubungan dengan penempatan murid kulit hitam di kelas pendidikan
khusus. OCR melaporkan bahwa pendaftaran pendidikan khusus berdasarkan
kelompok. Misalnya pada tahun 1967, murid Amerika Afrika terdiri dari 16,95%
dari total sample OCR. Mereka terdiri dari 27,51% di kelas siswa dengan
gangguan emosional serius, 33,18% di kelas siswa keterbelakangan mental, dan
hanya 7,29% individu yang ditempatkan di kelas gifted dan talented (OCR, 1999).
Cara kedua untuk menyajikan data
adalah menguji prosentase kelompok di sebuah program pendidikan khusus. Di
tahun 1997, prosentase siswa Amerika Afrika yang ditempatkan di kelas siswa
keterbelakangan mental adalah 2,54%. Prosentase siswa Amerika Afrika yang
ditempatkan di kelas siswa gangguan emosional serius 1,29% (OCR, 1999).
Proentase ini mungkin muncul sedikit, akan tetapi bias menimbulkan masalah
ketika kita menyadari bahwa persen angka Amerika Afrika yang berada di kelas
siswa keterbelakangan mental lima kali lebih besar daripada persen angka siswa
Amerika Asia/Pasifik dan dua kali dari siswa kulit putih. Yang tak kalah
penting adalah fakta bahwa sepertiga siswa Amerika Afrika tidak cacat secara
mental seperti halnya orang salah mengartikan data OCR. Lebih lanjut, kurang
dari sepertiga dari mereka yang berada di kelas siswa keterbelakangan mental
adalah Amerika Afrika. Ini merupakan konsep penting untuk dipahami oleh para
pembaca.
Ketika sebagian besar siswa di
pendidikan khusus seolah – olah telah diperiksa dan ditempatkan dengan baik,
para pendidik dan pengacara anak juga telah menunjukkan perhatian bahwa
sepertinya juga banyak anak yang salah ditempatkan di pendidikan khusus.
Kesalahan penempatan siswa di pendidikan khusus ini merupakan masalah yang mana
hal ini sering menimbulkan stigma kepada individu dan mengingkari hak mereka
atas pendidikan yang meningkatkan kwalitas kehidupan mereka (Patton, 1998).
Adapun faktor yang memberikan andil
terhadap permasalahan ini mempunyai banyak segi. Beberapa diantara faktor
tersebut berakar dari struktur social negara tersebut. Masalah yang lain
mungkin berhubungan dengan sebab – sebab medis dan genetis, khususnya bentuk –
bentuk disabilitas menengah dan berat, dan mungkin diluar kemampuan pendidik
untuk menolong.
Dunn 1998 menemukan bahwa prosentase
siswa yang banyak di kelas individu keterbelakangan mental berasal dari latar
belakang kemiskinan yang berkepanjangan hingga saat ini. Kemiskinan menyumbang
jumlah yang signifikan terhadap permasalahan ini. Wanita hamil yang hidup dalam
kemiskinan diberikan perawatan yang kurang optimal selama masa sebelum
kehamilan, sama halnya ketika masa sebelum dan sesudah melahirkan. Para bidan
yang menyediakan perawatan medis melalui klinik pemerintah sering dibebani
dengan kasus yang berlebihan dan membuat mereka tidak bisa menyediakan kwalitas
perawatan yang diperbolehkan bagi wanita dengan bidan pribadi dan fasilitas
medis dengan perawatan yang dikelola. Nutrisi tepat dan suplemen makanan
munglin kurang tersedia baik yang
dibutuhkan oleh ibu maupun anaknya. Kemiskinan mengharuskan kerja late into
term, bahkan if it is advisable to stop working and rest.
Anak – anak yang lahir sebelum
waktunya (yakni mereka yang dibawah kehamilan normal dan kurang dari 5 lbs dan 8 oz [2.500 gram]) kemungkinan beresiko
untuk mengembangkan kemempuan kognitif dan panca indera (Widerstrom, Mowder,
& Sandall, 1991; Drew & Hardman, 2000). Meskipun lebih dekat
hubungannya dengan faktor sosial-ekonomi, kelahiran sebelum waktunya telah
diasosiasikan dengan faktor suku. Para wanita muda yang memiliki anak lebih
dimungkinkan memiliki bayi prematur, bayi cacat, dan anak yang lahir dengan
alcohol syndrome (Drew & Hardman, 2000), dan kelahiran usia belasan tahun
meningkat secara tidak proposional diantara kemiskinan. Gelfand, Jenson, dan
Drew (1998) melaporkan bahwa 51 % kelahiran orang non-kulit putih memiliki
komplikasi sebagaimana yang dialami oleh 5% kelahiran orang kulit putih dari
kelas atas.
Banyak warga miskin di negara ini
tinggal di rumah tua, dan anak – anak yang tinggal di rumah tua beresiko lebih
besar mengalami keracunan timah. Anak – anak yang menderita keracunan timah
telah terkontaminasi oleh bahan cat dari rumah yang lebih lama. Faktor lain
yang menyebabkan keracunan timah adalah polusi kendaraan dan pabrik. Kantor
layanan kesehatan masyarakat AS memperkirakan 1 dari 6 anak kemungkinan
menderita keracunan timah (Carolina Environment, Inc.1999). Keracunan timah
bisa menimbulkan masalah pada anak seperti disabilitas membaca dan belajar,
disabilitas bicara dan bahasa, IQ rendah, kelemahan saraf, masalah tingkah laku,
gangguan mental, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan kematian (Carolina Environment, Inc.1999).
Individu yang ditempatkan di kelas
siswa gangguan mental ringan dan gangguan emosional berat tidak seimbang dengan
kaum pria, warga Amerika Afrika, dan dari latar belakang sosio ekonomi rendah.
Langkah pertama dalam penempatan pendidikan khusus adalah serah terima.
Siapapun (orang tua, dokter, pendidik) bisa melakukan serah terima. Sebagian
besar dilakukan oleh guru sekolah dasar. Guru – guru ini kebanyakan wanita,
keturunan kulit putih dan kelas menengah. Sering kali ada pemahaman yang kurang
antara dua kelompok yang menghargai nilai – nilai budaya, tingkah laku yang
bisa diterima di sekolah dan cita – cita pendidikan. Hal ini bisa menyebabkan
serah terima yang berlebihan terhadap kelas siswa penyandang disabilitas dan
serah terima yang kurang untuk kelas siswa gifted dan talented. Ysseldyke,
Thurlow, Graden, Wesson, Al Gozzine, dan
Deno (1983) mengusulkan bahwa prosentase yang sangat besar siswa – siswa yang
diserahkan ke pendidikan khusus pada akhirnya ditempatkan dalam program
pendidikan khusus.
Penilaian siswa keturunan kulit
hitam juga merupakan perhatian utama sebagai variabel yang memberi kontribusi
kepada penggambaran yang berlebihan siswa di dalam kelas pendidikan khusus.
Proses pengadilan seperti Diana v.State Board of Education (1970), melibatkan
siswa yang berbahasa latin, dan Larry P. v.Riles (1979), melibatkan siswa
Amerika Afrika yang berbeda kebudayaan, mendemonstrasikan bahaya dari alat dan
prosedur penilaian yang berat sebelah. Jelas bahwa beberapa siswa di pendidikan
khusus mempunyai kerusakan system
kegelisahan sentral dan yang lain memiliki disabilitas penglihatan,
pendengaran, ortopedi dan bicara tidak ada perselisihan mengenai kesesuaian
penempatan pendidikan khusus bagi individu – individu tersebut. Akan tetapi,
penempatan yang terkadang tidak sesuai terhadap siswa kulit hitam dalam
kategori keterbelakangan mental ringan dan gangguan emosional berat harus
ditujukan jika kita harus memiliki keadilan yang benar dalam sistem pendidikan
kita. Masalah ini telah berlangsung selama beberapa dekade dan tidak akan mudah
diperbaiki. Akan ada usaha untuk menghapus semua prasangka dari proses
penilaian, restrukturisasi kurikulum pendidikan keguruan, dan komitmen negara
paling kaya untuk menghapus efek tersembunyi kemiskinan anak – anak kita.
Proses Pengadilan dan Perundangan
Hak
akn pendidikan bagi individu disabilitas tidaklah mudah diperjuangkan. Dalam
banyak hal, perjuangan atas hak tersebut serupa dengan perjuangan suku
minoritas akan hak pemdidikan. Beberapa dari keputusan pengadilan yang sama dan
banyaknya pendapat yang mengedepankan hak – hak Warga Amerika Afrika dan
kelompok lain yang tertindas, digunakan oleh para pengacara anak – anak
disabilitas. Akan tetapi, pada kenyataannya perjuangan atas hak tersebut
perlawanan dan hak yang diperjuangkan oleh pengacara anak disabilitas bertahun
– tahun telah diikuti oleh usaha serupa yang dimenangkan oleh kelompok suku
minoritas.
Semenjak adanya kasus yang dialami
oleh para siswa Amerika Afrika, perjuangan awal untuk anak – anak disabilitas
menyangkut masalah hak atau jalan menuju pendidikan negeri. Konstitusi AS
mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan
kesejahteraan. Hak – hak tersebut tidak bisa dilanggar tanpa adanya proses
hukum. Brown v. Board of Education of Topeka ((1954) menetapkan bahwa
pendidikan merupakan ha katas kesejahteraan. Meskipun tidak ada jaminan
konstitusional sekolah negeri gratis, menurut Brown Mahkamah Agung AS menemukan
bahwa jika sebuah negara mengupayakan ketentuan sekolah gratis bagi warganya,
hak kesejahteraan atas pendidikan telah tercipta. Brown tidak memasukkan anak
disabilitas tetapi ketika contoh ditetapkan untuk menjamin kesempatan
memperoleh pendidikan yang sama bagi anak – anak suku minoritas, berarti contoh
jaminan atas hak kesejahteraan bagi anak disabilitas juga telah diteapkan. Tak
hanya dituntut untuk mendukung hak bagi anak – anak disabilitas memperoleh
pendidikan gratis secara hukum, tetapi undang – undang juga ditinjau untuk
membawa hak atas pendidikan yang layak.
Keputusan Brown tersebut menemukan
pendidikan yang “terpisah tapi sama”tetapi tidak memadai. Pendidikan yang
terpisah menolak siswa Amerika Afrika memperoleh pendidikan sederajat.
Pendidikan yang terpisah tersebut mengamanatkan pendidikan teerpadu secara
penuh, bebas dari stigma pengucilan. Ketua pengadila Waren menyatakan bahwa
pemisahan “menimbulkan perasaan yang merendahkan status mereka (anak – anak)
dalam masyarakat yang bisa mempengaruhi perasaan dan pikiran yang seolah – olah
tak pernah terselesaikan.
Melalui sejarah pendidikan khusus di
AS, anak – anak disabilitas telah dihadapkan pada perjuangan sulit yang
berkelanjutan untuk memperjuangkan hak mereka masuk ke sekolah negeri.
Akhirnya, bebrapa program diadakan, akan tetapi hingga pertengahan 1970
beberapa anak khususnya mereka yang menyandang disabilitas secara rutin
dikeluarkan dari sekolah negeri. Salah satu argumen untuk menolak izin masuk
bagi anak – anak keterbelakangan mental
sedang dan berat adalah bahwa mereka tidak bisa belajar membaca, menulis dan
berhitung. Pendapat bahwa mempelajari kemampuan akademis seperti ini merupakan
pendidikan, ditentang. Semenjak mereka
tidak bisa dididik, mereka tidak masuk sekolah.
Para orang tua dan pendukung anak –
anak tersebut membalas bahwa keeahlian untuk mandiri dan keahlian hidup yang
penting lainnya lah yang sesunggunya perlu diajarkan, dan inilah pendidikan.
Anak – anak ini, beserta anak – anak dengan disabilitas fisik berat bisa
belajar, khususnya jika layanan yang mendukung tersedia.
PARC
v. Persemakmuran Pennsylvania
Pada
tahun 1971, sebuah asosiasi anak cacat yakni Pennsylvania Association for
Retarded Children (PARC) membawa gugatan aksi kelas melawan Persemakmuran
Pennsylvania atas kegagalannya untuk menyediakan sekolah bersubsidi bagi siwa
cacat mental. Pengacara yang membawa tuntutan sebagai berikut:
·
Pendidikan tidak bisa hanya diartikan
sebagai ketentuan pengalaman akademis anak.
·
Seluruh siswa cacat mental bisa
dibebaskan dalam program pendidikan dan kepelatihan.
·
Memiliki usaha pendidikan gratis untuk
anak Pennsylvania, negara tidak mengingkari kesempatan yang sama bagi anak
cacat mental.
·
Siswa cacat mental yang lebih dini
disediakan sekolah, lebih besar dari jumlah yang diperkirakan.
Pengadilan wilayah federal mengatur
secara tertulis perihal tuntutan dan seluruh siswa berusia 6 sampai 12 tahun
untuk disediakan pendidikan gratis. Pengadilan memetapkan bahwa hal ini sangat
diharapkan untuk mendidik anak – anak cacat mental melalui program yang hampir sama dengan yang
disediakan bagi teman – teman mereka yang tidak disabilitas. (Yell, 1998).
Mengikuti keputusan PARC, gugatan aksi
kelas lainnya, Mills v. Board of Education, sebelum pengadilan wilayah federal
di Columbia, dibawa ked lam separuh dari 18.000 siswa sekolah luar biasa yang
memilki masalah tingkah laku, hiperaktifitas, epilepsy, keterbelakangan mental,
dan masalah fisik. Pengadilan lagi – lagi mengatur secara tertulis perihal tuntutan
dan memerintahkan sekolah – sekolah di Columbia untuk menyediakan pendidikan
bersubsidi bagi seluruh siswa disabilitas. Lebih lanjut, pengadilan menawarkan
sebagai berikut:
·
Pemerintah daerah menyediakan usaha
perlindungan untuk pelaksanaannya.
·
Menjabarkan secara jelas prosedur proses
yang seharusnya untuk labeling, penempatan, dan pemasukan.
·
Usaha perlindungan pelaksanaan untuk
memasukkan hak disamakan, hak memperoleh pekerjaan, dan menulis catatan semua
tahap dalam proses.
Sementara
dua kasus dengan riwayat tinggi tersebut sedang dijalankan di komunitas masing
– masing, negara – negara lain menemukan tantangan yang sama. PARC meerupakan
bagian negara Asosiasi Nasional Penyandang Cacat (NARC). NARC dan organisasi
nasional lain seperti Dewan Anak Istimewa, secara aktif mendukung pengacara disabilitas di seluruh
negara dalam menyiapkan laporan singkat pengadilan dan mewarkan alat dukungan
yang lain. Baru dengan banyaknya kemenangan pengadilan, pengacara disabilitas
di awal tahun 1970 sibuk mempersiapkan lahan peerjuangan mereka yang baru,
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat.
Tahun
1973, DPR mengundangkan Bab 504 Hukum Publik 92-112 sebagi bagian dari Undang -
Undang Rehabilitasi Kejuruan. Bab 504 merupakan bahan pertimbangan pasal 6 UU
Warga Sipil 1964. Mudah sekali dikatakan, tetapi implikasinya sangat sulit
diraih :
“Para
penyandang cacat yang berijazah di Amerika Serikat …, hanya karena
kekuranganya semata, tidak akan dilarang
berpartisipasi, dipandang sebelah mata, atau dijadikan sasaran diskriminasi
terkait program atau kegiatan apapun yang mendapat bantuan dana dari pemerintah
pusat”.
Bab
504 melarang pengeluaran dari program – program yang semata – mata didasarkan
pada disabilitas seorang individu. Seorang pelatih sepak bola, director marching
band, atau petugas penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi tidak boleh menolak
partisipasi berdasarkan disabilitas. Akan tetapi, apabila ketidakmampuan
belajar menghalangi siswa dari formasi marching band bahkan dengan pertolongan,
apabila nilai tes jelas – jelas dibawah standar penerimaan universitasdan
indikasi ketidaklulusan, serta apabila keterbelakangan menghalangi kemampuan
siswa permainan dan peraturan sepak bola, kemudian pengeluaran bisa dibenarkan.
Jika penolakan partisipasi dibenarkan, sekolah atau perwakilannya beresiko
kehilangan dana pemerintah bahkan program – program lain di institusi yang
tidak terlibat praktek diskriminasi.
Tahun
1975, Hukum Publik 94-142, Pendidikan untuk semua Undang – Undang Anak Cacaat,
disahkan secara hukum. Proses perundangan yang kmprehensif ini menyediakan
orang – orang usia 3 – 21 tahun sebagai berikut:
·
Pendidikan yang gratis dan sesuai bagi
semua anak disabilitas.
·
Perlindungan pelaksanaan untuk
melindungi hak – hak siswa dan orang tua.
·
Pendidikan di lingkungan yang paling
terbatas.
·
Program Pendidikan Individu.
·
Keterlibatan orang tua dalam kebijakan
pendidikan yang berhubungan dengan disabilitas anak – anak.
·
Evaluasi yang adil, akurat, dan tidak
berat sebelah.
Presiden
Gerorge Bush mengesahkan Hukum Publik 101 – 336, warga Amerika dibawah
perlindungan Undang – Undang penyandang disabilitas (ADA) pada 26 Januari 1990.
ADA merupakan perundangan warga sipil yang paling berarti di AS sejak UU Warga
Sipil tahun 1964. ADA dirancang untuk
mengakhiri diskriminasi yang menimpa individu disabilitas di
ketenagakerjaan swasta, fasilitas umum, akomodasi, transportasi, dan
telekomunikasi.
Diantara
banyak komponen dalam perundangan ini,
di bawah ini adalah contoh – contoh dari usaha – usaha untuk menjabarkan
halangan individu disabilitas:
·
Para majikan tidak boleh
mendiskriminasikan orang – orang disabilitas dalam hal memberi upah atau
kenaikkan pangkat apabila mereka layak dengan pekerjaan itu.
·
Majikan harus menyediakan akomodasi yang
masuk akal untuk penyandang disablitias seperti memasang pengeras suara di
masing – masing pesawat telepon mereka.
·
Bus, stasiun pemberhentian bus dan
kereta api serta system tangga yang baru harus bisa dilalui oleh penyandang
disabilitas.
·
Rintangan – rintangan fisik di restoran,
hotel, tok pengecer, dan stadion harus dibersihkan; jika belum siap diwujudkan,
alat sarana pelayanan alterenatif harus dilaksanakan.
·
Perusahaan – perusahaan penyedia layanan
telepon bagi masyarakat luas harus menyediakan layanan telepon relay untuk
mereka yang menggunakan layanan telepon tuna rungu.
Hukum
Publik 101 – 476 yang disahkan oleh DPR, orang – orang dengan UU Pendidikan
Disabilitas (IDEA), pada tahun 1990 sebagai amandemen dari Hukum Publik 94 –
142. Komponen kunci dari UU amandemen ini menambahkan siswa – siswa autis dan
luka pada otak akibat trauma sebagai kelas terpisah yang berhak untuk dilayani.
Sebuah rencana peralihan merupakan syarat tambahan untuk dimasukkan ke dalam
setiap IEP siswa usia 16 tahun. Perubahan yang cukup jauh untuk diraih dalam UU
yang baru dididipkan perubahan bahasa untuk mementingkan orangnya terlebih
dahulu, baru kekurangannya. Dalam judul dari UU tersebut disisipkan “individu
dengan ketidakmampuan”, bukan “individu yang tidak mampu”. Berdasarkan
kepustakaan yang lebih baru, Anda akan melihat “anak – anak keterbelakangan
mental, siswa dengan ketidakmampuan belajar, individu dengan kelumpuhan syaraf
otak, dan orang – orang dengan gangguan pendengaran.” Individu penyandang
disabilitas adalah orangnya atau individunya dulu. Ketidakmampuan mereka nomer
dua dan dalam waktu yang tidak beraturan dalam kemapuan merekauntuk menunjukkan
tugas yang mereka kerjakan. Mengacu pada seseorang sebagai spina bifida, siwa
segera memperhatikan ketidakmampuannya daripada modal dan kemampuannya.
Pada
tahun 197, DPR mengeluarkan Hukum Publik 105 – 117, amandemen IDEA. Amandemen
tahun 1967 mengatur ulang dan membuat peningkatan pada UU sebelumnya. UU ini
menyatukan aturan dari 8 menjadi 4
bagian dan membuat tambahan yang signifikan, meliputi hal – hal sebagai berikut:
·
Memperkuat peran serta orang tua,
memastikan jalan masuk ke dalam kurikulum pendidikan umum, menitikberatkan
kemajuan siswa dengan cara mengubah IEP siswa.
·
Membesarkan hati orang tua dan pendidik
untuk memecahkan peerbedaan mereka dengan cara kekeluargaan.
·
Memberikan kebebasan lebih bagi karyawan
sekolah dalam mendisiplinkan siswa dengan mengubah beberapa perlindungan
pelaksanaan.
·
Menetapkan rumus pendanaan.
Bahkan
dengan 25 tahun proses perundangan, amademen, dan perbaikan, ada aspek – aspek
hukum pendidikan khusus yang tidak selalu jelas bagi siswa, orang tua dan
pengacara, atau personil sekolah di daereah. Sekarang ini hal tersebut cukup
problematis. Sampai pada poin ini, pemerintah pusat belum membiayai secara
penuh program – program yang telah dititahkan. Hal ini menimbulkan isu masalah
keuangan yang serius bagi sekolah. Lebih lanjut, ada kekurangan tenaga dan
karyawan pendidikan yang berkualitas secara nasional. Bahkan apabila daerah
mencari pemenuhan hukum, keuangan, dan keterbatasan pegawai dapat menghindarkan
kemungkinan penyediaan layanan pendidikan berkualitas yang diharapkan para
orang tua dan pemerintah daerah.
Semenjak
IDEA tidak menyediakan pengertian yang sebenarnya untuk “pendidikan gratis dan
sesuai”, isu tersebut telah sering diputuskan di pengadilan (contohnya Hendrick
Hudson School District v. Rowley). Orang tua, seperti yang diharapkan, sering
melihat pendidikan yang sesuai pendidikan yang terbaik bagi anak mereka.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, perhatian keuangan wilayah sekolah mungkin
menghindarkan memberi kepada orang tua apa yang mereka butuhkan. Putusan
pengadilan telah membuat standar yang lebih mudah untuk masuk sekolah tetapi
lebih sulit untuk pendidikan yang memiliki kemungkinan terbaik (Yell, 1998).
Akibatnya, ketika sekolah mampu menunjukkan bahwa seorang siswa tengah membuat
kemajuan yang memuaskan (hal ini juag sering diperdebatkan), posisi pemerintah
daerah cenderung kuat. Akan tetapi, pengadilan juga telah mengatur siswa ketika
orang tua telah melihat layanan penunjang fisik diperlukan untuk menopang
kemampuan siswa agar berguna di sekolah (misalnya Irving Independent School
Distric v. Tatro).
Bertanyalah
pada Diri Anda Sendiri
Selama
satu minggu ke depan, amatilah bangunan yang Anda masuki, jalan yang Anda
lalui, dan aktifitas yang Anda ikuti. Seberapa sanggupkah dicapai oleh orang –
orang dengan kursi roda, tuna netra, dan tuna rungu? Daerah mana yang tidak
bisa diakses oleh mereka? Bilamanakah kemampuan untuk mencapainya menghalangi
partisipasi mereka dalam kegiatan – kegiatan dimana Anda mengikutinya secara
teratur? Bilamanakah area tersebut dibuat agar dapat lebih mudah diakses oleh
individu penyandang disabilitas?
Lebih
dari biasanya, anak – anak dan orang dewasa penyandang disabilitas menjadi
bagian utuh dari system pendidikan national dan memperoleh tempat yang layak di
masyarakat. Meskipun peningkatan yang telah dibuat beberapa tahun terakhir
benar – benar membesarkan hati dan tingkah laku masyarakat terhadap penyandang
disabilitas tidak selalu menyetarafkan diri dengan hak mereka atas perlakuan
hukum yang sama. Selama orang lebih termotifasi oleh ketakutan akan proses
pengadilan daripada oleh respon secara etika dan moral, kia tidak bisa
menganggap usaha kita dalam masalah ini sebagai suatu keberhasilan.
KEISTIMEWAAN
DAN MASYARAKAT
Di
zaman modern ini, perlakuan dan pemahaman terhadap berbagai macam penyimpangan
telah dibatasi. Masyarakat telah mulai menerima tanggungjawab dasarnya kepada
para penyandang disabilitas dengan menyediakan perawatan dan pendidikan, tetapi
kesamaan sosial belum terwujud.
Sudut
pandang masyarakat mengenai penyandang disabilitas barangkali bisa digambarkan
sebagaimana media menggambarkan masyarakat kita yang memiliki disabilitas.
Secara umu, ketika media ingin menitikberatkan para penyandang disabilitas,
mereka ini digambarkan sebagai (a) anak – anak, biasanya dengan keterbelakangan
mental berat dengan cacat fisik yang nampak jelas, atau (b) orang dengan
kondisi lumpuh baik yang memakai kursi roda maupun yang memakai tongkat. Oleh
sebab itu, masyarakat memiliki pola pikir mengenai siapakah para penyandang
disabilitas tersebut. Mereka adalah anak – anak atau yang kekanak – kanakan,
dan mereka memiliki keterbelakangan mental, fisik, atau keduanya.
Karena
masyarakat sering memandang mereka yang menyandang disabilitas sebagai anak –
anak, mereka tidak diakui haknya untuk merasakan dan berkeinginan layaknya
individu yang tidak menyandang disabilitas. Guru dan para pegawai profesional
lainnya seringkali bisa diamati ketika berbicara mengenai penyandang
disabilitas dalam keberadaan mereka, seolah – olah orang – orang tersebut tidak
bisa merasakan malu. Keinginan mereka untuk mencintai dan dicintai sering
diabaikan dan mereka sering dipandang tidak memiliki nafsu seksual, tanpa
adanya hak atas hasrat seksual yang sama dengan orang normal. Gliedman dan Roth
(1980) membuat peryataan sebagai berikut:
Orang yang tubuhnya tidak cacat
melihat bahwa penyandang cacat jarang mendapatkan pekerjaan yang baik, menjadi
pahlawan kebudayaan, atau anggota masyarakat yang terlihat dan disimpulkan
bahwa ini meerupakan “bukti” merekea tidak bisa mempertahankan diri mereka
sendiri di dalam masyarakat. Kenyataanya, masyarakat secara sistematis
mendeskriminasikan laki – laki dan perempuan buta, lumpuh, orang dewasa yang
tidak bisa membaca, penderita epilepsy, dan sebagainya. Dalam hal lainnya …..
dan pasti lagi – lagi yang berhubungan
dengan ras kulit putih …. Kepercayaan terhadap ketidaksesuaian suatu kecacatan
dengan aturan orang dewasa mugkin tidak lebih dari sekedar dugaan semata bahwa
“siapapun yang tidak mampu” pasti tidak bisa memimpin kehidupan orang dewasa
dan tidak lebih dihormati daripada pandangan bahwa seorang penyandang cacat
kurang cerdas secara mental dan spiritual karena dia secara fisik berbeda atau
bahwa “orang seperti itu” tidak punya kepentingan untuk berjalan berdampingan
dengan kita (pp. 22-23).
Gliedman
dan Roth menyarankan bahwa dengan penghormatan terhadap diskriminasi, para
penyadang disabilitas dalam bebarapa hal lebih baik daripada warga Amerika
Afrika dimana tidak ada diskriminasi secarra terang – terangan, kekerasan yang
terencana, tindakan main hakim sendiri, dan pemukulan oleh kelompok tertinggi.
Akan tetapi dalam beberapa hal, para penyandang disabilitas lebih buruk. Warga
Amerika Afrika dan kelompok lainnya telah meyombongkan diri. Tidak dapat
dipercaya seseorang pernah mendengar seorang penderita kelumpuhan syaraf itu
sebuah teriakan yang bagus. Masyarakat menentang rasisme dengan pandangan bahwa
orang kulit hitam tidak terbukti kurang cerdas sendiri, tetapi secara bersamaan
dianggap pasti status tersebut terhadap mereka yang menyandang disabilitas.
Stereotip para
penyandang disabilitas tidak memberi mereka tempat di masyarakat.
Disabilitas mendominasi persepsi kita terhadap nilai sosial seseorang.
Disabilitas menciptakan mindset, dan semua persepsi memperkeruh pandangan kita terhadap suatu penyimpangan.
Para penyandang disabilitas dipandang tidak mampu dari segi kejuruan dan tidak
layak dari segi sosial.
Para penyandang disabilitas dimaklumi bahkan
diterima sepanjang mereka mengindahkan peraturan. Mereka sering direndahkan
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Mereka diawasi terus – menerus oleh
orang – orang yang lebih tahu dan mampu dibandingkan mereka. Mereka diminta
menempatkan minat dan keinginan mereka dibawah ke dalam tujuan program yang
diamanatkan kepada mereka oleh para profesional yang menyediakan pelayanan
untuk mereka.
Masyarakat luas sepertinya diminta secara hukum
untuk menyediakan layanan pendidikan dan yang lainnya untuk para penyandang
disabilitas. Masyarakat dilarang oleh hukum melakukan Sesutu yang mengandung
unsur diskriminasi yang mengarah pada penyandang disabilitas. Akan tetapi tak
seorang pun bisa menyuruh orang tersebut di jalan untuk menyukai penyandang
disabilitas dan menerima mereka sebagai masyarakat yang sederajat. Banyak yang
tidak menerima penyandang disabilitas. Hanya karena rasisme mengarah pada
diskriminasi atau prasangka buruk kepada yanf lainnya karena kepercayaan pada
superioritas rasial seseorang, ketunaan menuju stereotip, dan perlawanan
terhadap diskriminasi, individu penyandang disabilitas karena tingkah laku superioritas yang dilakukan oleh orang –
orang non-disabilitas.
|
KEBUDAYAAN
MIKRO YANG ISTIMEWA
Karena
ketidakpekaan, apati, atau prasangka, banyak orang – ornag yang seharusnya
bertanggung jawab melaksanakan dan menegakkan hukum yang melindungi para
penyandang disabilitas gagal melaksanakan hal tersebut. Kegagalan dalam
menyediakan kesempatan pendidikan dan kejuruan yang sesuai bagi para penyandang
disabilitas menghalangi kemungkinan persamaan sosial dan ekonomi. Keterebatasan
sosial dan ekonomi ini sering diterjemahkan dengan penolakkan oleh teman sebaya
yang tidak menyandang disabilitas dan pada akhirnya diartikan dengan
pengasingan sosial.
Tidak
seperti kebanyakan kelompok suku minoritas yang ditolak oleh masyarakat
mainstream, penyandang disabilitas seringkali saling memperoleh kenyamanan dan
keamanan dan dalam beberapa hal mereka membentuk struktur organisasi sosial dan
lingkungan mereka sendiri. Melalui negara, seseorang bisa memperoleh
mikrokultural grup individu seperti mereka yang memiliki kelemahan penglihatan
dan pendengaran serta mereka yang memiliki keterbelakangan mental. Dalam
beberapa hal, mereeka berkumpul dalam pekerjaan yang sama , tetangga yang sama,
dan beragam aktifitas dan lingkungan sosial. Contohnya, di dekat jalan raya
Frankfort di Pennsylvania, Kentucky, tiga lembaga besar menyediakan layanan
bagi orang – orang yang memiliki kelemahan penglihatan. The American Printing
House for the Blind, the Kentucky School for the Blind, dan the Kentucky
Industries for the Blind semuanya memiliki hubungan yang erat. The American
Printing House for the Blind,penerbit materi bagi penyandang tuna netra
terdepan, mempekerjakan sejumlah orang tuna netra. The Kentucky School for the
Blind adalah subuah sekolah residensial bagi siswa tuna netra dan sekolah ini
juga mempekerjakan sejumlah orang tuna netra, termasuk guru. Terakhir, the
Kentucky Industries for the Blind beroperasi sebagai rumah produksi bagi orang
tuna netra. Dengan jumlah orang tuna netra yang relative banyak yang
dipekerjakan oleh tiga lembaga tersebut, dapat dimengerti bahwa banyak kaum
tuna netra tinggal di sekitar daerah tersebut. Tinggal di area ini membuat
mereka cukup dekat dengan pekerjaan mereka untuk meminimalisir masalah
transportasi sehubungan dengan masalah penglihatan mereka. Hal ini juga
memberikan kedekatan emosional bagi mereka yang beberapa tahun terakhir ini
datang ke the Kentucky School for the Blind dan tinggal di dalam kampus
kemudian menjadi bagian dari rukun tetangga. Komunitas rukun tetangga tersebut
juga memberikan kedekatan sosial dan emosional serta perasaan diterima.
Beberapa tahun lalu, sebuah surat dikirim dari the Kentucky School for the
Blind kepada para alumni; 90% surat – surat tersebut memiliki kode pos yang
sama dengan sekolah tersebut.
Individu
yang Gifted (Berbakat)
Orang
– orang yang gifted dan talented biasanya tidak mengalami jenis diskriminasi
dan penolakan sosial yang serupa dengan yang dialami oleh para penyandang
disabilitas. Akan tetapi seperti halnya para penyandang disabilitas, mereka
mungkin terisolasi dari masyarakat mainstream dan mencari yang lain dengan
kemampuan setara yang bisa memberikan perasaan diterima yang sama baiknya
dengan rangsangan intelektutal dan emosional. Penolakan terhadap orang gifted
dan talented berbeda dari penolakan terhadap penyandang disabilitas karena
penyebabnya berasal dari kurangnya pemahaman atau kecemburuan, bukan dari
stigma yang mungkin berhubungan dengan disabilitas.
Sayangnya,
banyak siswa yang gifted dan talented tidak diidentifikasi dengan tepat dan
akibatnya tidak diberikan program pendidikan yang sesuai dengan kemampuan
mereka. Merasas tidak tertantang dan bosan dengan rutinitas sekolah, beberapa
siswa yang gifted membentuk tingkah laku negative yang membahayakan penerimaan
oleh teman sekelas dan guru. Penolakan ini bisa menuju pada pengasingan sosial
dan sebaliknya bisa menyebabkan berkembangya persekutuan dengan individu gifted
dan talented lainnya yang bisa memahami dan menerima serta yang memiliki minat
yang sama. Beberapa individu yang gifted dan talented mungkin tidak ditolak
oleh yang lain tetapi bagaimanapun mereka tetap mencari orang lain yang memiliki
bakat dan minat yang sama untuk memberikan stimulus yang diperlukan atau
diinginkan. Keberadaan Mensa, sebua organisasi yang hanya anggota yang memiliki
nilai tinggi dalam tes kecerdasan membuktikan kebutuhan yang nyata akan
beberapa individu yang gifted untuk bersama yang lain.
Individu
dengan Keterbelakangan Mental
Telah
diperkirakan hampir 3% populasi luas memiliki keterbelakangan mental.
Terjemahan prosentase ini ke dalam angka riil memberi kesan bahwa 6,5 juta
lebih individu berketerbelakangan mental tinggal di Amerika Serikat (Drew &
Hardman, 2000).
Banyak orang dengan keterbelakangan
mental ringan hidup secara bebas atau dalam kelompok rumah tangga berdasarkan
komunitas dan dukungan komunitas. Kelompok rumah tangga memberikan atmosfer
kekeluargaan dan orang tua mengawasi rumah tersebut. Sebagian besar orang
dengan keterbelakangan menengah yang tidak tinggal di institusi cenderung
tinggal di rumah. Banyak orang dengan keterbelakangan mental yang berat dan
parah serta beberapa yang menengah dilembagakan dan dipaksa ke dalam kelompok
budaya dan tempat asal mereka sendiri, dikucilkan dari masyarakat yang tersisa.
Oleh karena keterbatasan intelektual
meraka, kemiskinan berkepanjangan, dan status minoritas, individu dengan
keterbelakangan mental sering didiskriminasikan dan diabaikan. Karena
keterasingan mereka dan masyarakat, orang-orang tersebut mengembangkan
identitas kebudayaan yang berpusat pada ketidakmampuan mereka.
Individu
dengan Gangguan Penglihatan atau Pendengaran
Komunitas
tuna rungu atau tuna netra tetap eksis ketika individu yang terganggu panca
inderanya tinggal dalam lingkungan yang sama, bekerja dan bersosialisasi
bersama serta menikah satu sama lain. Dalam kasus lain, kelompok mikro kultural
orang-orang yang terganggu panca inderanya terdiri atas orang-orang dari
komunitas berbeda. Karena mereka tidak merasa seperti bagian dari masyarakat
mainstream; karena mereka berbagi banyak fasilitas di sana seperti
bentuk-bentuk komunikasi (bahasa isyarat atau Braille); dan karena mereka
memiliki minat yang sama individu-individu penyandang disabilitas ini saling
memperoleh kenyamanan, kepuasan, dan keamanan.
Pada mereka dengan berbagai macam
kondisi yang kekurangan, individu dengan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran adalah yang paling mungkin
membentuk kelompok kebudayaan mereka sendiri. Keduanya memiliki faktor –faktor
yang mengesampingkan yang menyumbangkan kebutuhan untuk individu dalam kelompok
ini untuk saling mencari dan membentuk kelompok budaya. Orang tuna netra
memiliki mobilitas yang terbatas. Tinggal di dalam tempat asal kebudayaan
membuat mereka lebih mudah bertemu satu sama lain. Mereka berbagi bentuk –
bentuk komunikasi: bahasa lisan, huruf
braille dan buku yang bisa berbicara. Minat sosial dan kebudayaan yang sebagian
tercipta dari keterbatasan fisik mereka sering kali bisa dibagikan. Orang tuna
rungu memiliki keterbatasan komunikasi dalam hal pendengaran. Keunikan alat
komunikasi mereka memberikan ikatan emosional dan fungsional. Program - program religius dan gereja –
geraja untuk orang – orang dengan gangguan pendengaran telah dibangun guna
menyedaikan layanan dalam semua kegiatan komunikasi dan sosial.
IMPLIKASI
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENDIDIKAN
Impikasi
yang berhubungan dengan pendidikan untuk bekerja dengan orang – orang istimewa
banyak jumlahnya dan segala dalil bisa dicurahkan untuk masing – masing
keistimewaan. Para penduduk seharusnya ingat bahwa anak – anak istimewa yakni
mereka yang menyandang disabilitas dan mereka yang gifted terlihat lebih dari
anak – anak yang tidak terlihat normal.
Kebutuhan dasar mereka sama dengan kebutuhan semua anak. Teori Abraham Maslow
dalam aktualisasi diri cukup terkenal bagi banyak siswa dalam dunia pendidikan.
Untuk menjadi manusia sejati atau memenuhi
potensi seseorang, Maslow (1954) membuat teori, kebutuha dasar seseorang
harus dipenuhi: hal itu untuk mencapai aktualisasi diri, kebutuhan psikologis
seseorang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki atau
menyayangi, dan kebutuhan untuk dihargai harus dipeuhi terlebih dahulu. Meskipun banyak penyandang disabilitas tidak
pernah menandingi prestasi teman mereka yang nondisabilitas mereka bisa menjadi
mampu dalam hal apapun yang mereka bisa lakukan. Para pendidik dapat mendampingi
mereka dengan cara membantu meyakinkan bahwa kebutuhan dasar mereka
terpenuhi, membiarkan mereka berusaha
keras untuk aktualisasi diri.
Guru harus selalu sadar akan
kebutuhan unik anak – anak mereka yang istimewa. Orang dewasa yang istimewa
bisa memilih atau dipaksa oleh masyarakat untuk menjadi bagian kelompok
mikrokultural. Interaksi antara pendidik dengan anak istimewa mungkin tidak
akan mengubah apa yang akhirnya akan terjadi. Bahkan jika orang dewasa yang
istimewa menjadi bagian kelompok mikrokultural, mereka juga akan berinteraksi dengan
masyarakat mainstream pada dasar yang tetap. Usaha sebagian pendidik untuk
memenuhi kebutuhan anak akhirnya dapat mempengaruhi hubungan orang dewasa yang
istimewa dengan masyarakat.
Guru anak – anak dengan gangguan
fisik dan kesehatan lainnya mungkin menemukan pentingnya memeriksa catatan
siswa secara seksama untuk menentukan situasi masalah potensial dengan siswa –
siswa tersebut di dalam ruang kelas. Apabila seorang anak memiliki masalah
kesehatan tertentu yang mungkin muncul di dalam kelas, guru anak tersebut perlu
dipersiapkan sehingga mereka akan tahu dengan pasti apa yang seharusnya
dimiliki siswa, contohnya serangan epilepsi. Orang tua akan bisa memberikan
perintah secara tepat dan suster sekolah juga dapat memberikan rekomendasi
tambahan. Apabila anak – anak cukup dewasa untuk mengerti, mereka juga bisa
menjadi sumber informasi yang berharga. Tanyakan pada mereka jenis penyesuaian,
peralatan khusus, atau cara mengajar seperti apa yang terbaik bagi mereka. Guru
tidak perlu takut dengan ketidakyakinan mereka sendiri. Mereka seharusnya
merasa bebas untuk bertanya kepada siswa ketika mereka tidak akan atau tidak
ingin menolong. Guru seharusnya memperlakukan siswanya yang memiliki
disabilitas senormal yang terlihat, tidak over protektif atau memberi maupun
melakukan lebih dari yang mereka butuhkan atau yang pantas mereka terima.
Membiarkan mereka untuk memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri akan sangat membantu pertumbuhan diri mereka.
Banyak variable yang mempengaruhi
belajar, pikiran, dan penyesuaian diri terhadap penyandang disabilitas. Ini
merupakan bukti nyata secara budaya dan bahasa yang keanekaragaman siswa yang
menguasai isu bahasa, budaya dan nilai. Harry, Kalyanpor, dan Day (1999)
meminta para profesional yang bekerja dengan siswa penyandang disabilitas untuk
mengambil catatan khusus nilai – nilai budaya yang mungkin melekat pada
interpretasi mereka terhadap kesulitan siswa tertentu. Mereka menyarankan bahwa
pengembangan perasaan kesadaran pribadi berbudaya sangat penting untuk mengefektifkan
interaksi dengan siswa dan keluarga dan bahwa hal ini akan membuat mereka mampu
mengambil keputusan tepat mengenai pelayanan.
Jarak dan fariasi pengalaman yang
mengganggu atau menyembunyikan dari penyandang disabilitas mungkin menghasilkan
batasan yang tidak pantas. Terlalu sering orang tua dan guru berasumsi bahwa
keterbatasan penglihatan anak menghalangi kemampuan menghargai pengalaman anak
– anak yang bisa melihat yang khas setiap harinya. Anak – anak yang tuna netra
mungkin tidak bisa melihat binatang di kebun binatang, tetapi mereka bisa
mencium dan mendengarkan. Mereka bisa jadi tidak bisa menikmati pemandangan
sepanjang jalur bus, tetapi mereka bisa merasakan gerakan maju dan mundurnya,
mendengarkan keramaian lalu lintas dan orang – orang, dan mencium keberadaan
sesama penumpang. Anak tuna rungu mungkin tidak bisa mendengarkan suara simponi
atau sorakan penonton pada pertandingan sepak bola. Akan tetapi, kedua
peristiwa tersebut menawarkan kemungkinan pengalaman panca indera yang luar biasa
yang mana perlu dikenalkan pada anak. Anak yang menderita kelumpuhan syaraf
memerlukan pengalaman – pengalaman seperti pergi ke restoran, bahkan apabila
ada kesulitan dalam menggunakan peralatan makanmenurut tata cara yang bisa
diterima oleh masyarakat.
Para penderita gangguan panca indera
yang telah dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungannya biasanya
mempunyai keseimbanagan dalam hal penguasaan lingkungagn. Individu yang sangat
menggantungkan diri kepada anggota keluarga dan teman yang lain dapat
mengembangkan sikap yang berdaya dan kehilanggan rasa percaya diri. Penyandang
disabilitas yang sangat mendominasi dan menguasai lingkungan mereka dengan
permintaan yang tidak masuk akal terkadang mengalami kegagalan dalam penyesuaian diridan bisa menjadi egois dan
hanya memikirkan diri sendiri.
Peelu diingat bahwa anak – anak yang
istimewa, yang harus didahulukan dan diutamakan, adalah anak – anak itu
sendiri. Keistimewaan mereka, meskipun mempengaruhi kehidupan mereka, merupakan
hal yang bersifat sekunder yang mereka butuhkan sebagai anak. Mereka lebih
seperti anak – anak yang tidak terlihat nondisabilitas. Akan tetapi mereka
memiliki kebutuhan dasar yang sama seperti
anak – anak yang disabilitas. Chin, Winn, & Walters (1978)
mngidentifikasi tiga dari kebutuhan tersebut: komunikasi, dukungan, dan
kebebasan untuk tumbuh.
KEBUTUHAN
KOMUNIKASI
Anak
– anak istimewa jauh lebih cerdas dari yang disangka oleh orang dewasa. Mereka
peka terhadap komunikasi nonverbal dan maksud – maksud tersembunyi yang samar –
samar kebenarannya. Mereka perlu diakui keistimewaannya lebih dari siapapun,
baik disabilitas maupun gifted. Mereka perlu mengetahui bagaimana hal tersebut
akan mempengaruhi kehidupan mereka agar bisa menyesuaikan diri dengan benar,
untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik, dan memaksimalkan potensi mereka.
Mereka memerlukan komunikasi yang jujur dan apa adanya yang diperhalus dengan
sensitivitas.
KEBUTUHAN
UNTUK DITERIMA
Lingkkungan
masyarakat dimana kita tinggal seringkali gagal memberikan anak – anak yang
istimewa tersebut lingkungan yang positif dan reseptif. Bahkan lingkungan
sekolah bisa memusuhi dan kurang menerima. Guru bisa memfasilitasi perasaan
diterima siswa di kelas dengan memperlihatkan sikap yang positif dan terbuka.
Siwa cenderung merefleksikan sikap gurunya. Jika guru bersikap tidak baik,
siswa akan mencontohnya dengan cepat. Jika sikapnya baik, siswa akan merespon
dan memberikan lingkungan yang reseptif bagi teman – teman meeka yang
menyandang disabilitas.
Jeff, seorang murid kelas satu yang
menderita gangguan pendengaran, dibantu dengan alat bantu pendengaran. Ketika
ia datang ke sekolah dengan alat bantu pendengarannya ini, para siswa di kelas
tersebut mulai bisik – bisik mengenai benda yang dipakai Jeff di telinganya.
Setelah mengamati tingkah laku di dalam kelas, guru membantu Jeff dalam sebuah
“show and tell” di keesokan harinya. Dengan bantuan dan jaminan dari gurunya,
jeffdengan bangga mendemonstrasikan alat bantu pendengarannya di depan kelas.
Di akhir peragaan, Jeff menjadi perbincangan di kelas dan diskusi lebih lanjut
mengenai alat bantu pendengaran menjadi sesuatu yang positif.
Kebebasan
untuk Tumbuh
Siswa
penyandang disabilitas membutuhkan dukungan dan pengertian. Dukungan
menunjukkan sebuah kebebasan bagi anak – anak istimewa untuk tumbuh. Di waktu
itu, nampak lebih mudah melakukan sesuatu untuk anak daripada memanfaatkan
waktu tersebut untuk mengajarinya.
Sarah
adalah seorang dadis berusia 9 tahun yang tuna netra dan memiliki disablitas
ortopedi. Dia masuk di sekolah khusus untuk tuna netra. Dia memakai alat
penyangga kaki tetapi cukup leluasa bergerak dengan tongkatnya itu. Untuk
menghemat waktu dan tenaga, teman dekat di kelasnya atau karyawan mengantarnya
dari tempat tinggalnya dan gedung sekolah ke gerbong kereta api. Suatu hari
gurunya berpikir bahwa Sarah perlu dibebaskan untuk pergi dan pulang ke rumah.
Sebagai kejutan untuk Sarah, gurunya
memberitahu dia setelah pulang sekolah bahwa dia tidak akan diboncengkan
ke gerbong melainkan jalan kaki. Marah, dia mencela gurunya kejam dan penuh
kebencian di depan kelas. Dia memprotes keras waktu 30 menit yang ia gunakan
untuk berjalan kembali ke rumah. Setelah beberapa hari complain tersebut mereda
dan ewaktu perjalanan dikurangi. Dalam waktu 2 minggu Sarah melakukan perjalananya
sendiri dalam waktu 10 menit atau kurang dengan kepercayaan diri yang baru
(Chinn dkk, 1978, hlm.36).
Di
lain kesempatan, hali ini menarik bagi guru dan orang tua untuk membuat
kebebasan lebih bagi anak yang istimewa. Keistimewaan ini seering menghalangi
pertumbuhan emosional anak dan di kemudian hari mungkin menyebabkan masalah
interpersonal yang serius.
Jimmy
adalah seorang anak laki – laki berusia 7 tahun yang tuna netra di sekolah yang
sama dengan Sarah. Dia disukai oleh para karyawan karena kepribadiannya yang
menyenangkan dan semua penyesuaian dirinya. Pada suatu siang di hari Minggu di
musim gugur, dia membantu salah seorang karyawan membuat kartu ucapan natal,
perecakapan beralih ke natal dan Jimmy mengharapkan sebuah radio transistor.
Peristiwa ini terjadi tahun 1960 ketika radio transistor masih merupakan
sesuatu yang baru di pasar dan harganya pun sangat mahal. Sejak Jimmy
memintanya dari orang tuanya, karyawan tersebut yakin bahwa orang tua tersebut
tidak akan menolak keinginan anaknya. Yang mengejutkan karyawan ini adalah
Jimmy kembali setelah liburan tanpa radio transistor. Jimmy menerangkan secara
filosofis kepada karyawan ini bahwa radiio tersebut terelalu mahal hingga orang
tuanya menjamin keinginannya itu akan menjadi biaya untuk anak yang lain di
keluarganya. Beberapa minggu kemudian, ketika Jimmy pulang dari acara akhir
pekan di hari ulang tahunnya, dia masuk rumah dengan radio transistor di
tangannya tetapi dengan air mata. Dia memberitahu karyawan itu bahwa dia dan
adiknya Ralph berkelahi di dalam mobil dalam perjalanan ke sekolah dan keduanya
mendapat tamparan. Ketika karyawan tersebut keluar untuk memberi salam kepada
orang tua Jimmy, adiknya Ralph jugas menangis karena ejekan bagian belakangnya
(Chinn dkk, 1978, hlm.36).
Ayah
Jimmy adalah seorang buruh dengan penghasilan sedang. Meskipun disabilitas
anaknya menimbulkan masalah penyusaian diri bagi siapapun, orang tua Jimmy
memperlakukannya sama dengan keluarga lain. Seperti halnya ia membeerikan hak
kepada seluruh anggota keluarga. Dia juga mengalami konsekuensi yang sama atas
tingkah laku yang tidak sesuai tersebut. Sikap yang ditunjukkan oleh orang
tuanya ini barangkali yang menjadi faktor utama yang membuat Jimmy memiliki
kemampuan luar biasa dalam meenyesuaikan diri dengan kekurangannya itu.
NORMALISASI
DAN MAINSTREAMING
Saat
ini banyak usaha yang ditujukan pada konsep normalisasi. Normalisasi berarti
“menghargai semua orang penyandang disabilitas atau cacat yang lain, peraturan
hidup dan kondisi kehidupan sehari – hari yang sedekat mungkin atau benar –
benar sama dengan keadaan biasa dan cara
hidup masyarakat” (Nirje, 1985, hlm.67). Normalisasi dikembangkan dan
dianjurkan di Amerika Serikat oleh Wolfensberger (1972). Dia kemudian mengusulkan
sebuah pemikiran ulang istilah normalisasi dan memperkenalkan konsep
“valorisasi aturan sosial” – menghargai
para penyandang keterbelakangan mental. Dia mengusulkan bahwa “tujuan paling
eksplisif dan tertinggi normalisasi ialah kreasi, dukungan dan mempertahankan
aturan sosial yang dihargai bagi orang – orang yang beresiko devaluasi sosial” (Wolfensberger,
1983, hlm.234).
Drew
dan Hardman (2000) mengusulkan bahwa normalisasi dan valorisasi sosial telah
membawa titik berat terhadap deinstitusionalisasi, dimana individu yang berasal
dari tempat tinggal yang luas yang diperuntukkan bagi penyandang cacat dan
dikembalikan ke komunitas dan lingkungan tempat tinggal. Mereka menambahkan
konsep tersebut tidak dibatasi bagi perpindahan dari institusi ke lingkungan
yang kurang dibatasi; konsep ini juga menyinggung orang – orang yang tinggal
dalam komunitas dengan gaya hidup lebih normal menjadi tujuan yang sesuai.
Prinsip
– prinsip normalisasi seperti yang mereka perkenalkan sebelumnya dikembangkan
dengan individu berketerbelakangan mental sebagai kelompok yang dituju. Dalam
beberapa tahun terakhir, konsep tersebut telah meluas sehingga semua
kategori individu disabilitas
menjadi sasaran. Persetujuan tampaknya mengalami proses evolusi alami dari
konsep normalisasi. Meskipun IDEA memerintahkan mendidik anak disabilitas di
“lingkungan yang tidak begitu membatasi”, disini dalam undang – undang kata
mainstream digunakan. Akan tetapi “LRE” berarti bahwa anak – anak disabilitas
untuk dididik bersama dengan anak – anak nondisabilitas sepanjang memungkinkan,
dalam lingkungan yang senormal mungkin. Meskipun konsep LRE tidak perlu
mengartikan pemggabungan ke dalam kelas pendidikan umum, istilah mainstreaming,
melalui penggunaan yang biasa, mengacu pada tindakan penggabungan anak – anak
disabilitas ke dalam kelas pendidikan khusus selama seluruh atau sebagian hari.
Oleh sebab itu tujuan pendidikan khusus adalah untuk me-mainstream sebanyak
mungkin anak – anak disabilitas seperti yang terlihat.
Pada
awalnya mainstreaming dimaksudkan untuk siswa dengan disabilitas ringan.
Perubahan di zaman sekarang memberikan siswa menyediakan kesempatan yang sama
bagi anak – anak disabilitas menengah dan berat meskipun perlawanan terhadap
mainstreaming siswa keterbelakangan ringan jauh kurang kuat dibandingkan
perlawanan dari beberapa pendidik terhadap mereka dengan disabilitas berat.
Argumen tersebut menolak penggabungan anak – anak disabilitas berat sering
dipusatkan pada ketidakmampuan mengira – ngira anak nondisabilitas untuk
menerima teman mereka yang disabilitas. Kenyataannya, beberapa daerah
penampungan lebih merefleksikan para pendidik sendiri yang tidak bisa atau
tidak ingin mengakui harkat dan martabat individu penyandang disabilitas berat.
Pihak
yang tidak setuju dengan integrasi menggunakan argumen yang sama yang dipakai
secara berlebihan lebih dari 40 tahun yang lalu. Beberapa dari argumen mereka
mungkin saja valid, mugkin saja tidak. Sebagai pendidik kita harus sadar akan
kenyataan bahwa ketakutan kita terhadap perubahan dan ketidak tahuan telah
sering menghalangi kita dalam membuat perubahan yang lebih baik.
Penerimaan,
implomentasi dan otoritas IDEA memberikan dorongan yang besar terhadap konsep
inklusi. Meskipun sering disalah gunakan dengan mainstreaming, inklusi
menyatakan pentingnya individualisasi system pendidikan bagi semua siswa, dan
mencoba mengembangkan pendekatan yang jauh lebih holistic kepada pendidikan
secara umum (Salend, 2001). Meskipun hanya berpusat pada penyandang
disabilitas, inklusi dirancang untuk kepentingan semua siswa, guru, keluarga
dan pihak yang mendukung. Inklusi berusaha meyakinkan bahwa siswa – siswa yang
memiliki kebutuhan belajar yang khusus memiliki kesempatan menerima semua atau
sebagian pelajaran di kelas pendidikan umum. Ysseldyke, Algozzine, dan Thurlow
(2000) mengusulkan bahwa inklusi mencerminkan sudut pandang bahwa pengalaman
pendidkan siswa disabilitas seharusnya mencerminkan sebanyak mungkin teman
kelas mereka yang non-disabilitas.
Tiegerman-farber
dan Radziewicz mendefinisikan inklusi sebagai “penggabungan anak – anak dengan
dan tanpa disabilitas” (1998, hlm.13) dan lebih lanjut menegaskan bahwa inti
dari pengertian inklusi ini siswa – siswa disabilitas memiliki hak untuk
disatukan ke dalam kelas pendidikan umum tanpa memperhatikan kemampuan mereka
untuk memenuhi standar pendidikan tradisional. Salend (2001) mengusulkan bahwa
inklusi merupakan filosofi prinsip dan bahwa empat dasar utamanya adalah
keanekaragaman, kebutuhan individu, tindakan reflektif, dan kolaborasi. Banyak
pendukung teori ini percaya bahwa penggabungan pendidikan khusus dan umum serta
penghapusan pemisahan mereka penting demi keberhasilan inklusi. Titik berat
inklusi saat ini telah dikendalikan terutama oleh orang tua dan pendidik yang
tidak sabar dengan implementasi lambat IDEA (Turnbull & Trunbull, 2001).
Para pendidik khusus sendiri jarang setuju dengan penempatan kelas yang sesuai
untuk siswa disabilitas. Sebagian besar pendidik khusus mendukung beberapa
tingkatan inklusi untuk siswa yang mereka yakini akan memberikan manfaat bagi
lingkungan kelas umum. Sebagian lagi mendukung
kelanjutan penuh layanan dari sekolah residensial dan ruang kelas tetap
bagi guru yang berkeliling, ruang referensi, dan kelas pendidikan umum. Sudut
pandang yang lain mendukung inklusi penuh semua anak disabilitas tanpa melihat
jenis atau tingkatan disabilitas. Inklusi penuh untuk orang – orang ini
merupakan sebuah isu moral dan etis, bukan isu kemanjuran. Isu – isu tersebut
rumit dan sulit dipecahkan tanpa menguji situasi individu.
Karena
inklusi melibatkan siswa, guru, keluarga, dukungan atministratif, sumber dan
masyarakat, inklusi tak dapat dipungkiri merupakan sebuah usaha yang sangat
kompleks dan penelitian mengenai pengaruh yang kuat ada hasil pendidikan untuk
siswa disabilitas masih meragukan (Salend, 2001). Ketidak setujuan sangat
memperhatikan kapan dan bilamana inklusi seharusnya disediakan dalam kelas
regular dan apakah inklusi sesuai untuk semua siswa disabilitas (Tiegerman-farber
dan Radziewicz , 1998). Turnbull & Trunbull (2001) mengakui bahwa perhatian
serius berlanjut dikemukakan oleh banyak pendidik khusus. Sementara inklusi
sering menghasilkan hasil sosial yang positif, beberapa penelitian mengusulkan
bahwa anak – anak disabilitas tidak selalu menerima perubahan instruksional
yang sesuai untuk diakui dalm inklusi (Salend, 2001). Beberapa penganut paham
tradisional berpendapat bahwa banyak siswa menuntut pendidikan khusus dan bahwa
guru mereka harus mempunyai keahlian pendidkan khusus. Mereka menyatakan
perhatian bahwa usaha inklusi penuh mungkin menghabiskan sumber daya yang
kurang tersedia untuk siswa disabilitas menengah dan berat (Ysseldyke,
Algozzine, dan Thurlow, 2000). Kajian laim mengindikasikan bahwa siswa tanpa
disabilitas juga menguntungkan dari segi sosial dan tidak merugikan dari segi
akademis oleh sebuah pedidikan yang inklusif (Salend, 2000).
Penting
bagi kita sebagai pendidik untuk melihat
kesamaan dan perbedaan yang ada di antara debat yang memperhatikan kelompok
siswa ini dan isu yang dikemukakan oleh Brown lebih dari 40 tahun yang lalu.
Kedua situasi tersebut memiliki kesamaan tetapi kelompoknya berbeda. Hal ini
penting bahwa sebagai pedidik kita harus memelihara piriran yang terbuka
sehingga mungkin kita sendiri bisa dididik.
Mandat
yang resmi tidak menghapus kelas atau sekolah khusus, tetapi mereka menawarkan
sudut pandang filosofis yang baru. Dari
pada pengasingan fisik individu disabilitas, lebih baik mengusahakan siswa
disabilitas agar bisa menerima tempat yang lebih sesuai dalam lingkungan
pedidikan. Masih banyak siswa disabilias yang mungkin tidak diuntungkan oleh
lingkungan inklusif dan dididik lebih baik di lingkungan khusus. Semenjak sikap
menjadi lebih kongruen dengan hukum, para penyandang diabilitas memiliki opsi
lebih dalam keputusan untuk menjadi bagian dari mainstream atau memisahkan diri
ke dalam kelompok budaya mereka sendiri.
Ringkasan
Keprihatinan
yang berhubungan dengan penempatan yang tidak proporsional terhadap suku
minoritas, kaum perempuan, dan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah dalam
program pendidikan khusus dipusatkan pada masalah pendidikan yang sudah lama
berlangsung. Isu – isu yang dikemukakan ini tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan kenyataan bahwa ada siswa dengan
berketerbelakangan, gangguan emosional yang serius, dan disabilitas lain
di dalam kelompok mayoritas dan minoritas. Isu – isu tersebut diangkat untuk
mengundang perhatian terhadap masalah dalam hal penyerahan dan penilaian, sama
baiknya terhadap masalah yang diasosiasikan dengan kemiskinan. Orang dewasa yang menyandang disabilitas
sering menjadi bagian dari kebudayaan mikro penyandang disabilitas dengan
askripsi atau dengan pilihan sendiri. Mereka tidak memilih memiliki
disabilitas, dan situasi mereka sering menghalangi penerimaan penuh atau
integrasi ke dalam dunia mereka yang diterima dengan normal secara fisik,
sosial atau mental. Penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan bisa menjadi
kegunaan terhadap cara mereka dianggap, diperlakukan dan diterima oleh para
pendidik. Akibatnya, guru dan para pendidik yang lain bisa berpengaruh besar
kepada anak – anak disabilitas lebih dari yang mereka lakukan.
The Education for All Handicapped
Children Act (EHA; PL 94-142), the Individualswith Disabilities Education Act
(IDA; PL 101-476), Section 504 of the Vocational Rehabilitation Act Amendments
of 1973 (PL 93-112), and the Americans with Disabilities Act (ADA; PL 101-336)
menjamin semua anak istimewa hak untuk pendidikan gratis dan sesuai serta
kebebasan dari diskriminasi yang berasal dari disabilitas mereka. Meskipun
undang – undang tersebut menitahkan, persamaan masih mengabaikan jutaan
penyandang disabilitas di negara ini. Ketidak pekaan, apati, dan prasangka
buruk memberi andil dalam masalah penyandang disabilitas. Karena prasangka
buruk, institusionalisasi atau hasrat untuk memenuhi kebutuhan mereka, beberapa
individu istimewa dari budaya mikro mereka sendiri dan dari tempat tinggal
mereka sendiri, dimana mereka tinggal dan saling bersosialisasi. Undang –
undang tersebut bisa mengusahakan layanan bagi penyandang disabilitas, tetapi
hanya waktu dan usaha yang bisa merubah perilaku masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar