A.
Pengertian Polisi
Polisi adalah suatu pranata umum
sipil yang mengatur tata tertib (orde) dan hukum. Namun kadangkala pranata ini
bersifat militaristis, seperti di Indonesia sebelum Polri dilepas dari ABRI. Polisi dalam lingkungan
pengadilan bertugas sebagai penyidik. Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Kansil, 1986: 351). Menurut ketentuan dalam UUD 1945 yang berkenaan dengan kepolisian negara adalah pasal 30 ayat (4) yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Kansil, 1986: 351). Menurut ketentuan dalam UUD 1945 yang berkenaan dengan kepolisian negara adalah pasal 30 ayat (4) yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Istilah
polisi berasal dari bahasa Belanda politie yang mengambil dari bahasa Latin politia berasal dari kata Yunani politeia yang berarti warga kota
atau pemerintahan kota. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut
“orang yang menjadi warga Negara dari kota Athena“, kemudian pengertian itu
berkembang menjadi “kota“ dan dipakai untuk menyebut “semua usaha kota“. Oleh
karena pada jaman itu kota merupakan Negara yang berdiri sendiri. Yang disebut
juga Polis, maka Politea atau Polis diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan
Negara, juga termasuk kegiatan keagamaan (http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi).
Fungsi polisi antara lain adalah :
a. Membuat rasa aman
masyarakat
b. Melindungi dan mengayomi
masyarakat
c. Mempertahankan keutuhan
Negara dan bangsa Indonesia
d. Melayani kebutuhan
masyarakat. ( Rachmat Dkk., 2002 : 20 )
Esensi pekerjaan polisi adalah menjalankan kontrok sosial. Dalam
struktur negara dan hukum modern sekarang ini, kontrol tersebut menjadi bagian
dari kontrok sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Sifatnya menjadi
birokratis, formal, dan prosedural (Satjipto, 2007: 90).
Hukum
memberi kekuasaan yang luas kepada polisi untuk bertindak sehingga polisi
memiliki wewenang untuk mengekang masyarakat apabila ada dugaan kuat telah
terjadi tindak pidana. Menurut UU kepolisian no2 tahun 2002 dalam pasal 18
dijelaskan bahwa polisi diberi wewenang dalam keadaan tertentu untuk melakukan
menurut penilaiannya sendiri atau bisa dikenal sebagai kekuasaan diskresi
fungsional yang menemparkan pribadi-pribadi polisi sebagai factor sentral dalam
penegakan hukum. Secara lebih rinci pasal 18 UU no 2 tahun 2002 adalah :
1) Untuk kepentingan umum
pejabat kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2) Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang
sangat perlu dengan memperhatikan perundang-ungangan dan kode etik Polri (Syamsul, 2007 : 12).
B.
Lembaga Pendidikan Polri
Lembaga
Pendidikan Polri (Lemdikpol), bertugas merencanakan, mengembangkan, dan
menyelenggarakan fungsi pendidikan pembentukan dan pengembangan berdasarkan
jenis pendidikan Polri meliputi pendidikan profesi, manajerial, akademis, dan
vokasi. Kalemdikpol saat ini adalah Komjen Pol Oegroseno. Lemdikpol membawahi:
- Sekolah Staf dan Pimpinan
Kepolisian (Sespimpol),
adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan
pengembangan manajemen Polri. Terdiri dari Sespinma (dahulu Selapa),
Sespimmen (dahulu Sespim) dan Sespimti (dahulu Sespati).
- Akademi
Kepolisian (Akpol),
adalah unsur pelaksana pendidikan pembentukan Perwira Polri. Gubernur
Akpol dipegang oleh Irjen Pol Muhammad Amin Saleh.
- Sekolah
Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK),
adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan
pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian
- Sekolah
Pembentukan Perwira (SETUKPA)
- Pendidikan
dan Pelatihan Khusus Kejahatan Transnasional (Diklatsusjatrans)
- Pusat
Pendidikan (Pusdik)/Sekolah terdiri dari:
- Pusdik Intelijen (Pusdikintel)
- Pusdik Reserse Kriminal (Pusdikreskrim)
- Pusdik Lalulintas (Pusdiklantas)
- Pusdik Tugas Umum (Pusdikgasum)
- Pusdik Brigade Mobil (Pusdikbrimob)
- Pusdik Kepolisian Perairan (Pusdikpolair)
- Pusdik Administrasi (Pusdikmin)
- Sekolah Bahasa (Sebasa)
- Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan)
C.
Kinerja Polisi
Pada
era revormasi, polri sangat diharapkan bisa memperbaiki kinerja dan citranya.
Karena sampai saat ini kinerja polri masih dinilai kurang memuaskan, apalagi
dengan citra polri dimata masyarakat yang masih kurang baik dan belum sesuai
dengan harapan. Hal ini terlihat dari berbagai persoalan yang dihadapi polri
itu sendiri. Untuk menyebut diantaranya adalah masalah Hak Asasi Manusia,
penggunaan kekerasan dalam penyidikan, persengkongkolan polisi dengan penjahat
dalam kasusu criminal, sikap militerisme polisi, bidaya korupsi. Selain itu
terdapat penyimpanga-penyimpangan didalam tubuh polri. Bentuk penyimpangan yang
dilakukan oleh anggota polri ada dua macam. Pertama, penyimpangan perilaku pada
saat melakukan tugas.
Penyimpangan
ini dilakukan secara individu dan kelompok, misalnya penyimpangan pekerjaan
maupun menyalahgunakan wewenang. Bentuk penyimpangannya contohnya tindakan
indisipliner, tidur sewaktu jaga, saling memeras sesame polisi, anggaran tidak
sampai ke sasaran. Bentuk pelanggaran yang lebih besar berdasarkan penulisan
dan teori yang dilakukan adalah berupa tindakan pidana korupsi, manupulasi,
melakukan penggelapan, pemakaian obat-obat terlarang, dan masih banyak yang
lainnya. Sedang yang kedua, penyimpangan terjadi diluar kedinasan. Seperti
mabuk ditempat umum, berhubungan seks dan hidup bersama tanpa ikatan
pernikahan, jadi debt collector, backing perjudian, pelacuran, dll (Suwarni,
2009:4).
Komitmen Polri untuk
meningkatkan kinerja agar dapat dirasakan masyarakat berupa penguatan institusi, terobosan kreatif (crative breakthrough) dan peningkatan integritas patut diapresiasi. Namun institusi Polri
harus memastikan pelaksanaan yang konkret dan terintegrasi dalam komitmen
tersebut kepada seluruh 400.000 lebih personelnya. Salah satu indikator yang
dapat menjadi acuan dari komitmen Polri tersebut adalah pelaksanaan Perkap
No.16/2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Polri
beserta SOP pendukungnya. Polri adalah institusi negara pertama yang
menyediakan aturan internal merespon UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP). Kebijakan ini memunculkan harapan besar agar dapat
mendorong Polri untuk bekerja secara transparan dan akuntabel dalam memberikan
akses publik. Akan tetapi hal ini belum bisa berjalan secara maksimal karena
kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari UU KIP dari setiap
anggota Polri, problem birokrasi kultural; kurang terintegrasinya relasi antar
satuan kerja di kepolisian; serta minimnya perangkat sistem informasi dan
dokumentasi yang terpadu. Berikut ini adalah catatan kerja polri pada tahun
2011 :
1. Jumlah
Tindak Pidana Untuk tahun 2010 sebanyak 333.161 Kasus dan Tahun 2011 sebanyak 296.146 kasus sehingga
terjadi penurunan sebesar 37.015 kasus (11,11% ). Penyelesaian Tindak Pidana Untuk tahun 2010 sebanyak 165.598 kasus dan
tahun 2011 sebanyak 156.018 kasus sehingga terjadi penurunan sebesar 9580
kasus (5,78 %);
2.
Hasil pemantauan selama tahun 2011, Polri telah
menangani kasus pidana konvensional seperti curat, curas, curanmor, pengaiayaan,
perkosaan dan lain-lain sebagai berikut :
Untuk tahun 2010 tindak pidana yang
terjadi sebanyak 315.087 dan tahun 2011 sebanyak 274.180 kasus, terjadi
penurunan sebesar 40.907 kasus (12,98 %). Untuk Penyelesaian Tindak Pidana
tahun 2010 sebanyak 151.056 kasus dan tahun 2011 sebanyak 139 177 kasus,
terjadi penurunan sebesar 11.879 kasus (7,86 %). Untuk proses Tindak Pidana
tahun 2010 sebanyak 164.031 kasus dan tahun 2011 sebanyak 135.003 kasus,
terjadi penurunan sebesar 29.028 kasus (17,70 %)
3.
Selama tahun 2011, Polri telah menangani kasus
kejahatan bersifat trans nasional seperti money laundering, cyber crime,
perdagangan manusia dan lain-lain sebagai berikut :
Untuk tahun 2010 tindak pidana yang
terjadi sebanyak 10.444 dan tahun 2011 sebanyak 16.138 kasus, terjadi
kenaikan sebesar 5.694 kasus (35,28 %). Untuk
Penyelesaian Tindak Pidana tahun 2010 sebanyak 9.479 kasus dan tahun 2011
sebanyak 14.369 kasus, terjadi kenaikan sebesar 4.890 kasus (34,03 %)
4.
Untuk Kejahatan Trans nasional Terdapat 3 (tiga) jenis
kejahatan yang menonjol, antara lain :
a.
Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime).
Terjadi 51
kasus tindak pidana Cyber Crime dan sebanyak 11 kasus sudah dalam proses
pengadilan.
b.
Kejahatan Narkoba.
Kasus
narkoba yang ditangani Polri selama tahun 2010 sebanyak 23.531 perkara dan
untuk tahun 2011 jumlah perkara yang ditangani sebanyak 26.498 perkara atau
naik sebanyak 2.967 perkara (12,61 %). Tersangka yang terlibat dalam kejahatan
narkoba yang berhasil ditangkap
sebanyak 32.760 orang. Dari barang bukti
yang berhasil disita , jika diuangkan maka uang yang dapat diselamatkan sebesar
Rp.920.710.292.657, dan Pemakai pemula (generasi penerus) yang dapat diselamatkan
mencapai 93.730.960 orang (http://www.polri.go.id/banner/berita/57)
D.
Masalah-masalah yang menyangkut
aparat kepolisian
Salah satu bentuk penyimpangan perilaku polri yang sudah terlanjur
menjadi citra negatifnya adalah penggunaan kekerasan sebagai perwujudan power.
Kepolisian memang harus punya power untuk dapat menegakkan hukum dan
mempertahankan konfornitas, akan tetapi power bisa berbentuk manipulatif
(digunakan untuk menguasai orang lain), kompetitif (melawan orang lain), integratif
(digunakan bersama orang lain) (Sarlito, 2001:45). Berdasarkan kasus-kasus yang
diterima KontraS serta pemantauan yang dilakukan, sepanjang 2010-Juni 2011, telah
terjadi terjadi 85 kali peristiwa kekerasan dengan jumlah korban sebanyak 373
orang.
Dua
contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri adalah tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh Densus anti terror 88 dalam upaya perang melawan
terorisme; serta minimnya tindakan penegakan hukum atau pembiaran terhadap
tindakan kekerasan oleh kelompok kekerasan (vigilante) dalam merespon kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Dalam catatan KontraS, pendekatan senjata api banyak
digunakan aparat Densus 88 sepanjang 2010-Juni 2011. Setidaknya dari 13 operasi
anti-terorisme Densus 88, 30 orang tewas tertembak oleh Densus 88, sebanyak 9
orang luka tembak, 30 orang merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan
akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam aksi teror yang
disangkakan.
Pada kasus-kasus pidana,
pengakuan tersangka adalah sesuatu yang harus dikejar penyidik polri. Pengakuan
tersangka seakan-akan menjadi satu-satunya alat bukti untuk dijadikan bisa
dibawa kepengadilan atau tidak. Akibat dari cara pandang yang mengejar
pengakuan tersebut, penyidik kemudian melakukan berbagai cara, termasuk dengan
kekerasan. Keinginan untuk menuntaskan sebuah perkara juga dilakukan dengan
cara-cara yang tidak benar secara hukum (Budiman, 2010:2).
Sementara
itu, pembiaran polisi terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan
kelompok-kelompok agama juga marak terjadi. Berdasarkan pemantauan KontraS,
sebanyak 36 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok kekerasan
(vigilante) di wilayah Indonesia. Dari keseluruhan peristiwa tersebut, aparat
Polri berada di lokasi namun tidak melakukan tindakan hukum yang tegas. Polri
bahkan justru “mengamankan” kelompok agama/keyakinan minoritas dengan melarikan
mereka dari tempat perisitiwa. Pembiaran juga terjadi pada beberapa indikasi
kejahatan yang sebenarnya sudah muncul di kalangan masyarakat dalam konteks
penyebaran kebencian hate speech di mesjid-mesjid atau wilayah publik lainnya.
Namun, aparat kepolisian tampak gamang dan bahkan memilih untuk membiarkan
penyebaran tersebut terjadi di masyarakat. Jika hal ini dibiarkan,
dikhawatirkan bibit-bibit radikalisme akan semakin menguat. (http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351:catatan-evaluasi-kinerja-polri-2010-2011&catid=41:release&Itemid=64)
E.
Tantangan Polisi
Kompleksnya
tantangan yang dihadapi oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
akhir-akhir ini semakin terasa menuju pada titik kulminasinya. Sebagai
institusi penegak hukum, berbagai tantangan tersebut seakan terus datang silih
berganti yang bertujuan untuk mengganggu stabilitas dan ketertiban umum. Penyebabnya, selain faktor lingkungan dan status sosial,
hebatnya arus Informasi dan Teknologi (IT) dalam berbagai bidang dan lingkup
kehidupan belakangan ini ternyata turut menjadi salah satu faktor eksternal
yang memotivasi berbagai tingkah laku sosial dalam kehidupan masyarakat.
Sehingga hal tersebut harus mampu turut diimbangi dan dikuasai Polri untuk
setidaknya menjawab dan mengapresiasikan segala tuntutan publik serta
masyarakat umum tersebut, yaitu menjaga ketentraman dan stabilitas umum. Fakta
yang cukup nyata bahwa segala aktifitas publik, baik positif maupun dalam
konteks pelanggaran hukum/peraturan (negatif) ternyata terus selalu berkembang
mengikuti arus globalisasi zaman.
Apabila kita melihat beberapa kasus
kriminalitas yang makin marak akhir-akhir ini terjadi justru telah
menggambarkan bahwa berbagai aksi kejahatan tersebut tak lagi memandang batasan
umur, status sosial maupun tingkat intelektualitas seseorang. Kini semua
kejahatan justru telah memasuki ruang lingkup dan multidimensi yang berbeda.
Bahkan beberapa pekan yang lalu situs utama Polri, www.polri. go.id diduga telah diserang
oleh peretas. Hingga mengakibatkan tak dapat diakses seperti biasanya dan bahkan
halaman-halaman tertentu telah terganti dengan sejumlah artikel-artikel dan
konten berbau agama dan sederet link yang terhubung dengan Youtube. (http://www.analisadaily.com/news/read/2011/07/01/4562/tantangan_dan_momentum_perubahan_polri_menuju_arah_yang_lebih_baik/#.T6fac-h7qQI)
F.
Membangun Profesionalisme
Polisi
Untuk
mengukur profesionalisme, menurut Sullivan pakar ilmu kepolisian dan kriminolog
AS dapat dilihat dari tiga parameter, yaitu motivasi, pendidikan dan
penghasilan (Syamsul, 2007:17). Sebagai lembaga pengayom dan pelindung
masyarakat, sudah waktunya polisi harus bersikap cerdas, cermat dan elegan
dalam menangani setiap permasalahan bukan sebaliknya, gampang terprovokasi oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Terkait
dengan profesionalisme, setidaknya ada dua catatan bagi Polri untuk secepatnya
dijadikan prioritas dalam menjalankan tugasnya. Pertama, arogansi polisi harus
sudah mulai dihilangkan, bagaimanapun mereka butuh masukan dan kritik membangun
dari segenap komponen bangsa. Di sisi yang lain mereka juga harus sudah
meninggalkan gaya represifnya. Kedua, sudah saatnya polisi merangkul masyarakat
dan tidak menjadikanya sebagai subordinate dari Polisi. Hal ini bisa dilakukan
dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam setiap menjalankan
tugasnya. Karena tanpa dukungan dari masyarakat, maka polisi tidak akan pernah
mempunyai arti apa-apa. (http://citizennews.suaramerdeka.com).
Memang
Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang professional,
efektif, efisien, dan modern. Tetepi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak.
Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan
dan pengamalan Etika Kepolisian. Etika Kepolisian yang tidak mantap, merupakan
factor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat
pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan
gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan. Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan,
dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalah dengan
cara-cara sebagai berikut:
a. Membangun masyarakat
b. Membentuk polisi yang
baik
c. Membentuk pimpinan
polisi yang baik
DAFTAR PUSTAKA
Budiman Tanuredjo. 2010. Elegi
Penegakan Hukum. Jakarta. Kompas Media Nusantara
Fatkhuri (2009). Menanti Peran Profesional Polisi. Diakses dari http://citizennews.suaramerdeka.com pada tanggal 4
Mei 2012
Irfan A (2011). Tantangan
dan Momentum Perubahan Polri Menuju Arah yang Lebih Baik. Diakses dari http://www.analisadaily.com/news/read
/2011/07/01/4562/tantangan_dan_momentum_perubahan_polri_menuju_arah_yang_lebih_baik/#.T6fac-h7qQI pada tanggal 5 Mei 2012
Isw
(2011). Catatan Evaluasi Kinerja Polri
2010-2011. Diakses dari http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351:catatan-evaluasi-kinerja-polri-2010-2011&catid=41:release&Itemid=64 pada tanggal 4 Mei 2012
Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar
ilmu hukum dan tata hukum indonesia. Jakarta. Balai Pustaka
Rachmat dkk. 2002. Kewarganegaraan (Citizenship). Jakarta : Grasindo
Satjipto
Raharjo. 2007. Membangun Polisi Sipil Perspektif hokum Sosial dan
Kemasyarakatan. Jakarta. Kompas Media Nusantara
Sarlito
Wirawan Sarwono. 2001. Dari premanisme ke
boss-isme. Jurnal Kepolisian Indonesia. Vol 3, hal. 45
Syamsul
Bakhri. 2007. Hukum kepolisian
(profesionalisme dan reformasi polri). Surabaya. Laksbang Madiatama
Suwarni. 2009. Perilaku Polisi (Studi Atas
Budaya Organisasi Dan Pola Komunikasi). Bandung : Nusa
Media
0 komentar:
Posting Komentar