Labels

Pages

Minggu, 27 Mei 2012

EKSPLORASI MENGENAI APARAT HUKUM (POLISI)


A.    Pengertian Polisi
Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib (orde) dan hukum. Namun kadangkala pranata ini bersifat militaristis, seperti di Indonesia sebelum Polri dilepas dari ABRI. Polisi dalam lingkungan pengadilan bertugas sebagai penyidik. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Kansil, 1986: 351). Menurut ketentuan dalam UUD 1945 yang berkenaan dengan kepolisian negara adalah pasal 30 ayat (4) yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Istilah polisi berasal dari bahasa Belanda politie yang mengambil dari bahasa Latin politia berasal dari kata Yunani politeia yang berarti warga kota atau pemerintahan kota. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut “orang yang menjadi warga Negara dari kota Athena“, kemudian pengertian itu berkembang menjadi “kota“ dan dipakai untuk menyebut “semua usaha kota“. Oleh karena pada jaman itu kota merupakan Negara yang berdiri sendiri. Yang disebut juga Polis, maka Politea atau Polis diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan Negara, juga termasuk kegiatan keagamaan (http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi). Fungsi polisi antara lain adalah :
a.       Membuat rasa aman masyarakat
b.      Melindungi dan mengayomi masyarakat
c.       Mempertahankan keutuhan Negara dan bangsa Indonesia
d.      Melayani kebutuhan masyarakat. ( Rachmat Dkk., 2002 : 20 )
Esensi pekerjaan polisi adalah menjalankan kontrok sosial. Dalam struktur negara dan hukum modern sekarang ini, kontrol tersebut menjadi bagian dari kontrok sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Sifatnya menjadi birokratis, formal, dan prosedural (Satjipto, 2007: 90).
Hukum memberi kekuasaan yang luas kepada polisi untuk bertindak sehingga polisi memiliki wewenang untuk mengekang masyarakat apabila ada dugaan kuat telah terjadi tindak pidana. Menurut UU kepolisian no2 tahun 2002 dalam pasal 18 dijelaskan bahwa polisi diberi wewenang dalam keadaan tertentu untuk melakukan menurut penilaiannya sendiri atau bisa dikenal sebagai kekuasaan diskresi fungsional yang menemparkan pribadi-pribadi polisi sebagai factor sentral dalam penegakan hukum. Secara lebih rinci pasal 18 UU no 2 tahun 2002 adalah :
1)      Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2)      Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan perundang-ungangan dan kode etik Polri (Syamsul, 2007 : 12).

B.     Lembaga Pendidikan Polri
Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol), bertugas merencanakan, mengembangkan, dan menyelenggarakan fungsi pendidikan pembentukan dan pengembangan berdasarkan jenis pendidikan Polri meliputi pendidikan profesi, manajerial, akademis, dan vokasi. Kalemdikpol saat ini adalah Komjen Pol Oegroseno. Lemdikpol membawahi:
  1. Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sespimpol), adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan pengembangan manajemen Polri. Terdiri dari Sespinma (dahulu Selapa), Sespimmen (dahulu Sespim) dan Sespimti (dahulu Sespati).
  2. Akademi Kepolisian (Akpol), adalah unsur pelaksana pendidikan pembentukan Perwira Polri. Gubernur Akpol dipegang oleh Irjen Pol Muhammad Amin Saleh.
  3. Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian
  4. Sekolah Pembentukan Perwira (SETUKPA)
  5. Pendidikan dan Pelatihan Khusus Kejahatan Transnasional (Diklatsusjatrans)
  6. Pusat Pendidikan (Pusdik)/Sekolah terdiri dari:
    1. Pusdik Intelijen (Pusdikintel)
    2. Pusdik Reserse Kriminal (Pusdikreskrim)
    3. Pusdik Lalulintas (Pusdiklantas)
    4. Pusdik Tugas Umum (Pusdikgasum)
    5. Pusdik Brigade Mobil (Pusdikbrimob)
    6. Pusdik Kepolisian Perairan (Pusdikpolair)
    7. Pusdik Administrasi (Pusdikmin)
    8. Sekolah Bahasa (Sebasa)
    9. Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan)

C.    Kinerja Polisi
Pada era revormasi, polri sangat diharapkan bisa memperbaiki kinerja dan citranya. Karena sampai saat ini kinerja polri masih dinilai kurang memuaskan, apalagi dengan citra polri dimata masyarakat yang masih kurang baik dan belum sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dari berbagai persoalan yang dihadapi polri itu sendiri. Untuk menyebut diantaranya adalah masalah Hak Asasi Manusia, penggunaan kekerasan dalam penyidikan, persengkongkolan polisi dengan penjahat dalam kasusu criminal, sikap militerisme polisi, bidaya korupsi. Selain itu terdapat penyimpanga-penyimpangan didalam tubuh polri. Bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh anggota polri ada dua macam. Pertama, penyimpangan perilaku pada saat melakukan tugas.
Penyimpangan ini dilakukan secara individu dan kelompok, misalnya penyimpangan pekerjaan maupun menyalahgunakan wewenang. Bentuk penyimpangannya contohnya tindakan indisipliner, tidur sewaktu jaga, saling memeras sesame polisi, anggaran tidak sampai ke sasaran. Bentuk pelanggaran yang lebih besar berdasarkan penulisan dan teori yang dilakukan adalah berupa tindakan pidana korupsi, manupulasi, melakukan penggelapan, pemakaian obat-obat terlarang, dan masih banyak yang lainnya. Sedang yang kedua, penyimpangan terjadi diluar kedinasan. Seperti mabuk ditempat umum, berhubungan seks dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, jadi debt collector, backing perjudian, pelacuran, dll (Suwarni, 2009:4).
Komitmen Polri untuk meningkatkan kinerja agar dapat dirasakan masyarakat berupa penguatan institusi, terobosan kreatif (crative breakthrough) dan peningkatan integritas patut diapresiasi. Namun institusi Polri harus memastikan pelaksanaan yang konkret dan terintegrasi dalam komitmen tersebut kepada seluruh 400.000 lebih personelnya. Salah satu indikator yang dapat menjadi acuan dari komitmen Polri tersebut adalah pelaksanaan Perkap No.16/2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Polri beserta SOP pendukungnya. Polri adalah institusi negara pertama yang menyediakan aturan internal merespon UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Kebijakan ini memunculkan harapan besar agar dapat mendorong Polri untuk bekerja secara transparan dan akuntabel dalam memberikan akses publik. Akan tetapi hal ini belum bisa berjalan secara maksimal karena kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari UU KIP dari setiap anggota Polri, problem birokrasi kultural; kurang terintegrasinya relasi antar satuan kerja di kepolisian; serta minimnya perangkat sistem informasi dan dokumentasi yang terpadu. Berikut ini adalah catatan kerja polri pada tahun 2011 :
1.      Jumlah Tindak Pidana Untuk tahun 2010 sebanyak 333.161 Kasus dan       Tahun 2011 sebanyak 296.146 kasus sehingga terjadi penurunan sebesar 37.015 kasus (11,11% ). Penyelesaian Tindak Pidana  Untuk tahun 2010 sebanyak 165.598 kasus dan tahun 2011 sebanyak 156.018 kasus sehingga terjadi penurunan sebesar 9580 kasus   (5,78 %);
2.      Hasil pemantauan selama tahun 2011, Polri telah menangani kasus pidana konvensional seperti curat, curas, curanmor, pengaiayaan, perkosaan dan lain-lain sebagai berikut :
            Untuk tahun 2010 tindak pidana yang terjadi sebanyak 315.087 dan tahun 2011 sebanyak 274.180 kasus, terjadi penurunan sebesar 40.907 kasus (12,98 %). Untuk Penyelesaian Tindak Pidana tahun 2010 sebanyak 151.056 kasus dan tahun 2011 sebanyak 139 177 kasus, terjadi penurunan sebesar 11.879 kasus (7,86 %). Untuk proses Tindak Pidana tahun 2010 sebanyak 164.031 kasus dan tahun 2011 sebanyak 135.003 kasus, terjadi penurunan sebesar 29.028 kasus (17,70 %)
3.      Selama tahun 2011, Polri telah menangani kasus kejahatan bersifat trans nasional seperti money laundering, cyber crime, perdagangan manusia dan lain-lain sebagai berikut :
            Untuk tahun 2010 tindak pidana yang terjadi sebanyak 10.444 dan tahun 2011 sebanyak 16.138 kasus, terjadi kenaikan  sebesar 5.694 kasus (35,28 %). Untuk Penyelesaian Tindak Pidana tahun 2010 sebanyak 9.479 kasus dan tahun 2011 sebanyak 14.369 kasus, terjadi kenaikan sebesar 4.890 kasus (34,03 %)
4.      Untuk Kejahatan Trans nasional Terdapat 3 (tiga) jenis kejahatan yang menonjol, antara lain  :
a.       Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime).
              Terjadi 51 kasus tindak pidana Cyber Crime dan sebanyak 11 kasus sudah dalam proses pengadilan.
b.      Kejahatan Narkoba.
              Kasus narkoba yang ditangani Polri selama tahun 2010 sebanyak 23.531 perkara dan untuk tahun 2011 jumlah perkara yang ditangani sebanyak 26.498 perkara atau naik sebanyak 2.967 perkara (12,61 %). Tersangka yang terlibat dalam kejahatan narkoba yang  berhasil ditangkap sebanyak  32.760 orang. Dari barang bukti yang berhasil disita , jika diuangkan maka uang yang dapat diselamatkan sebesar Rp.920.710.292.657, dan Pemakai pemula (generasi penerus) yang dapat diselamatkan mencapai 93.730.960 orang (http://www.polri.go.id/banner/berita/57)

D.    Masalah-masalah yang menyangkut aparat kepolisian
Salah satu bentuk penyimpangan perilaku polri yang sudah terlanjur menjadi citra negatifnya adalah penggunaan kekerasan sebagai perwujudan power. Kepolisian memang harus punya power untuk dapat menegakkan hukum dan mempertahankan konfornitas, akan tetapi power bisa berbentuk manipulatif (digunakan untuk menguasai orang lain), kompetitif (melawan orang lain), integratif (digunakan bersama orang lain) (Sarlito, 2001:45). Berdasarkan kasus-kasus yang diterima KontraS serta pemantauan yang dilakukan, sepanjang 2010-Juni 2011, telah terjadi terjadi 85 kali peristiwa kekerasan dengan jumlah korban sebanyak 373 orang.
Dua contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Densus anti terror 88 dalam upaya perang melawan terorisme; serta minimnya tindakan penegakan hukum atau pembiaran terhadap tindakan kekerasan oleh kelompok kekerasan (vigilante) dalam merespon kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam catatan KontraS, pendekatan senjata api banyak digunakan aparat Densus 88 sepanjang 2010-Juni 2011. Setidaknya dari 13 operasi anti-terorisme Densus 88, 30 orang tewas tertembak oleh Densus 88, sebanyak 9 orang luka tembak, 30 orang merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam aksi teror yang disangkakan.
Pada kasus-kasus pidana, pengakuan tersangka adalah sesuatu yang harus dikejar penyidik polri. Pengakuan tersangka seakan-akan menjadi satu-satunya alat bukti untuk dijadikan bisa dibawa kepengadilan atau tidak. Akibat dari cara pandang yang mengejar pengakuan tersebut, penyidik kemudian melakukan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan. Keinginan untuk menuntaskan sebuah perkara juga dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar secara hukum (Budiman, 2010:2).
Sementara itu, pembiaran polisi terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kelompok-kelompok agama juga marak terjadi. Berdasarkan pemantauan KontraS, sebanyak 36 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok kekerasan (vigilante) di wilayah Indonesia. Dari keseluruhan peristiwa tersebut, aparat Polri berada di lokasi namun tidak melakukan tindakan hukum yang tegas. Polri bahkan justru “mengamankan” kelompok agama/keyakinan minoritas dengan melarikan mereka dari tempat perisitiwa. Pembiaran juga terjadi pada beberapa indikasi kejahatan yang sebenarnya sudah muncul di kalangan masyarakat dalam konteks penyebaran kebencian hate speech di mesjid-mesjid atau wilayah publik lainnya. Namun, aparat kepolisian tampak gamang dan bahkan memilih untuk membiarkan penyebaran tersebut terjadi di masyarakat. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan bibit-bibit radikalisme akan semakin menguat. (http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351:catatan-evaluasi-kinerja-polri-2010-2011&catid=41:release&Itemid=64)

E.     Tantangan Polisi
Kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akhir-akhir ini semakin terasa menuju pada titik kulminasinya. Sebagai institusi penegak hukum, berbagai tantangan tersebut seakan terus datang silih berganti yang bertujuan untuk mengganggu stabilitas dan ketertiban umum. Penyebabnya, selain faktor lingkungan dan status sosial, hebatnya arus Informasi dan Teknologi (IT) dalam berbagai bidang dan lingkup kehidupan belakangan ini ternyata turut menjadi salah satu faktor eksternal yang memotivasi berbagai tingkah laku sosial dalam kehidupan masyarakat. Sehingga hal tersebut harus mampu turut diimbangi dan dikuasai Polri untuk setidaknya menjawab dan mengapresiasikan segala tuntutan publik serta masyarakat umum tersebut, yaitu menjaga ketentraman dan stabilitas umum. Fakta yang cukup nyata bahwa segala aktifitas publik, baik positif maupun dalam konteks pelanggaran hukum/peraturan (negatif) ternyata terus selalu berkembang mengikuti arus globalisasi zaman.
Apabila kita melihat beberapa kasus kriminalitas yang makin marak akhir-akhir ini terjadi justru telah menggambarkan bahwa berbagai aksi kejahatan tersebut tak lagi memandang batasan umur, status sosial maupun tingkat intelektualitas seseorang. Kini semua kejahatan justru telah memasuki ruang lingkup dan multidimensi yang berbeda. Bahkan beberapa pekan yang lalu situs utama Polri, www.polri. go.id diduga telah diserang oleh peretas. Hingga mengakibatkan tak dapat diakses seperti biasanya dan bahkan halaman-halaman tertentu telah terganti dengan sejumlah artikel-artikel dan konten berbau agama dan sederet link yang terhubung dengan Youtube. (http://www.analisadaily.com/news/read/2011/07/01/4562/tantangan_dan_momentum_perubahan_polri_menuju_arah_yang_lebih_baik/#.T6fac-h7qQI)
F.     Membangun Profesionalisme Polisi
Untuk mengukur profesionalisme, menurut Sullivan pakar ilmu kepolisian dan kriminolog AS dapat dilihat dari tiga parameter, yaitu motivasi, pendidikan dan penghasilan (Syamsul, 2007:17). Sebagai lembaga pengayom dan pelindung masyarakat, sudah waktunya polisi harus bersikap cerdas, cermat dan elegan dalam menangani setiap permasalahan bukan sebaliknya, gampang terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Terkait dengan profesionalisme, setidaknya ada dua catatan bagi Polri untuk secepatnya dijadikan prioritas dalam menjalankan tugasnya. Pertama, arogansi polisi harus sudah mulai dihilangkan, bagaimanapun mereka butuh masukan dan kritik membangun dari segenap komponen bangsa. Di sisi yang lain mereka juga harus sudah meninggalkan gaya represifnya. Kedua, sudah saatnya polisi merangkul masyarakat dan tidak menjadikanya sebagai subordinate dari Polisi. Hal ini bisa dilakukan dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam setiap menjalankan tugasnya. Karena tanpa dukungan dari masyarakat, maka polisi tidak akan pernah mempunyai arti apa-apa. (http://citizennews.suaramerdeka.com).
Memang Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang professional, efektif, efisien, dan modern. Tetepi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalan Etika Kepolisian. Etika Kepolisian yang tidak mantap, merupakan factor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan. Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Membangun masyarakat
b. Membentuk polisi yang baik
c. Membentuk pimpinan polisi yang baik




DAFTAR PUSTAKA

Budiman Tanuredjo. 2010. Elegi Penegakan Hukum. Jakarta. Kompas Media Nusantara
Fatkhuri (2009). Menanti Peran Profesional Polisi. Diakses dari http://citizennews.suaramerdeka.com pada tanggal 4 Mei 2012
Irfan A (2011). Tantangan dan Momentum Perubahan Polri Menuju Arah yang Lebih Baik. Diakses dari http://www.analisadaily.com/news/read /2011/07/01/4562/tantangan_dan_momentum_perubahan_polri_menuju_arah_yang_lebih_baik/#.T6fac-h7qQI pada tanggal 5 Mei 2012
Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar ilmu hukum dan tata hukum indonesia. Jakarta. Balai Pustaka
Rachmat dkk. 2002. Kewarganegaraan (Citizenship). Jakarta : Grasindo
Satjipto Raharjo. 2007. Membangun Polisi Sipil Perspektif hokum Sosial dan Kemasyarakatan. Jakarta. Kompas Media Nusantara
Sarlito Wirawan Sarwono. 2001. Dari premanisme ke boss-isme. Jurnal Kepolisian Indonesia. Vol 3, hal. 45
Syamsul Bakhri. 2007. Hukum kepolisian (profesionalisme dan reformasi polri). Surabaya. Laksbang Madiatama
Suwarni. 2009. Perilaku Polisi (Studi Atas Budaya Organisasi Dan Pola Komunikasi). Bandung : Nusa Media

0 komentar:

Posting Komentar