Labels

Pages

Minggu, 27 Mei 2012

PENYELEWENGAN LETTER OF INTENT YANG DILAKUKAN INDONESIA DAN IMF DALAM BIDANG PEREKONOMIAN NEGARA DENGAN UUD 1945


Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan IMF di tuangkan pada Letter Of Intent. IMF dicetuskan pada saat konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat bulan Juli 1944, yang dihadiri 45 negara yang dirancang untuk menghindari kebijakan ekonomi yang buruk pada tahun 1930. Setelah perang dunia kedua, tanggal 27 Desember 1945 melalui konfrensi Bretton Woods yang menyepakati perjanjian dalam pengawasan sistem moneter internasional dan mempromosikan penghapusan pembatasan pertukaran valuta asing karena perdagangan barang/jasa, dan stabilitas nilai tukar yang ditandatangani tahun oleh 29 negara.
              International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik Negara (http://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Moneter_Internasional). Salah satu misinya IMF adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Menurut Ball dkk (2004) tujuan secara umum didirikan sejak waktu pendiriannya sampai sekarang IMF adalah membantu perkembangan untuk :
1.         Tertib pengaturan devisa
2.         Memonitor kebijakan nilai tukar uang negara anggota
3.         Mempersingkat masa dan mengurangi derajat ketidak seimbangan neraca pembayaran
              Pada tahun 1997 bangsa Indonesia mengalami krisis, dan untuk mengatasinya Indonesia meminta bantuan pada IMF yang diharapkan dapat membantu program pemerintah dalam mengatasi krisis. LOI pertama ditandatangani secara resmi olah presiden Soeharto dengan disaksikan oleh Michel Camdessus pada 15 januari 1998 (Hadi dkk, 2005: 26). Letter of intent (LOI) sebenarnya adalah suatu dokumen yang menjelaskan berbagai program dan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah suatu Negara dalam konteks permintaan bantuan keuangan dari lembaga moneter internasional (IMF).
              Akan tetap kebijakan yang ditetapkan ileh IMF diambil secara sepihak dan tanpa dengan meminta persetujuan DPR-RI. Sebagaimana disebutkan dalam  Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa secara materiil dan secara formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
              Misalnya saja mengenai pembuat Undang-Undang Bank Indonesia seperti yang diminta oleh IMF, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud. Maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Bank Indonesia merupakan dasar perekonomian Negara Indonesia yang mengatur tentang moneter diindonesia. Hal ini dikarenakan mengenai mata uang, nilai tukar rupiah, dan lain sebagainya diatur oleh bank Indonesia. Apabila bank Indonesia Indonesia saja yang mengikuti kemauan IMF, dan IMF tidak begitu mengetahui keadaaan Indonesia secara pasti maka hal ini akan berdampak luas pada masyarakat Indonesia secara umum.
              Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Dengan begitu timbul pertanyaan besar mengenai siapa yang mengendalikan uang di negeri ini. Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi masalahnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :
1.      Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
2.      Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.
3.      Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.
4.      Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya. (http://ilovecassava.multiply.com/journal/item/7/Dokumen_LOI_Indonesia_IMF)
              Sungguh ironis memang, di negara yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia masalah perbankan dan moneter harus tunduk dan dikendalikan oleh pihak asing (IMF). Hal ini merupakan dampak dari ketidakmampuan Negara Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi di Negara Indonesia. Selain itu pemerintah diharuskan membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
              Disamping itu pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat (http://kelompokdiskusi.multiply.com/  journal/item/4661).
              Akibat  Letter  of  Intent  (LoI)  dengan  IMF,  pemerintah Indonesia membuat  kebijakan  yang  tidak  menguntungkan  petani. Kebijakan itu diantaranya:  penghapusan  dan  atau  pengurangan  subsidi,  penurunan tarif  impor  komoditi  pangan  yang  merupakan  bahan  kebutuhan pokok  misalnya beras,  terigu,  gula  dan  ini yang lebih parah yaitu pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan dengan Badan Urusan Logistik (BULOG). Badan pemerintah urusan pangan ini  tak  lagi  mampu  mengontrol  stok  beras  dan  menentukan  harga,  karena  hampir  93%  dikontrol  oleh korporasi swasta. Sementara, sektor  pertanian  pangan  yang berorientasi  ke dalam  negeri  masih  dibuat  tergantung  dengan mekanisme asupan  faktor  produksi  dari  perusahaan  multinasional, sebagai  warisan  periode  kelam  revolusi  hijau  di  tahun  1970-an.  Pembukaan lahan perkebunan berakibat semakin menyusutnya luas  areal  pertanian  pangan. Pada saat yang sama terjadi proletarisasi petani kecil di perdesaan yang di  Indonesia rata-rata  kepemilikan lahannya terus menyusut.
              Ketergantungan sektor pangan berkorelasi dengan ketergantungan finansial (utang luar negeri dan  investasi asing),  IPTEK, dan pasar telah mengakibatkan  terus tersedotnya sumber daya negara berkembang seperti Indonesia  ke  perusahaan  multinasional  di  negara-negara  maju.  Relasi  sub-ordinan  inilah  yang  kiranya  tepat  disebut  sebagai  neokolonialisme  pangan.  Bentuk neokolonialisme yang makin  mengecilkan  peran dan kemampuan  Negara dalam mengurusi sektor pangan untuk rakyatnya. Disamping itu keberanian pemerintah untuk membuat kebijakan sesuai dengan konstitusi, bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh  negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
              Indonesia sebagai Negara agraris dan memiliki lahan yang subur seharusnya bisa mengatur dan juga memanfaatkan kekayaan yang adadi Indonesia sendiri. Hal ini akan mendorong kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam hal keuangan dan perekonomian. Sebagai Negara yang besar dan kaya akan hasil alamnya Indonesia seharusnya bisa memanfaatkannya sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, tidak mengikuti kemauan pihak asing (IMF) dalam mengatur perekonomiannya.
              Beberapa kebijakan yang disarankan sangat tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat itu, misalnya pencabutan subsidi bahan-bahan pokok termasuk BBM. Kebijakan subsidi di dalam sistem perdagangan internasional sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebenarnya memiliki tendensi sebagai tirai pengamanan daya saing produk dalam negeri atas berbagai produk impor, sebagai bentuk hambatan perdagangan non tarif. Umumnya subsidi ini diberikan sebagai bantuan dalam proses produksi kepada produsen dalam negeri sehingga produsen dapat menciptakan produk secara lebih murah. Dengan subsidi ini konsumen dapat memperoleh produk dengan harga yang relatif lebih rendah ketimbang keseluruhan nilai biaya produksi.
              Secara internasional, ketika produk yang disubsidi ini diekspor, dengan sendirinya akan memiliki daya saing yang cukup kuat. Sebaliknya berbagai produk impor, tentu akan diproduksi berdasar nilai biaya produksi riil yang sudah tentu dalam bentuk pemasarannya akan memiliki nilai/harga jual lebih besar. Di satu sisi, kondisi ini memiliki implikasi politis berdasar kacamata kebijakan perdagangan internasional yang memang dapat dikatakan telah menjadi tendensi negara maju, meskipun secara fair akan mampu menciptakan sistem pasar yang lebih sehat dan berkeadilan serta mampu menciptakan efisiensi perdagangan internasional. Muara efisiensi ini adalah meningkatnya daya beli konsumen yang berarti meningkatnya derajat kesejahteraan.
              Pencabutan subsidi bahan pokok dan BBM, secara ideal akan mendorong sistem perdagangan Indonesia dalam konteks ekonomi makro menjadi lebih efisien untuk jangka panjang. Namun realitas perekonomian rakyat tidak memungkinkan untuk itu. Daya beli masyarakat dalam situasi krisis saat ini sedemikian rendah, tentu akan terus menurun apabila subsidi untuk memperoleh bahan kebutuhan pokok dan BBM ini dicabut. Akhir dari merosotnya daya beli masyarakat ini tentu rasa frustasi masyarakat di mana pada gilirannya dapat membuahkan keresahan sosial dan justru dalam kondisi seperti saat ini justru akan memperparah kondisi krisis.
              Proses pemulihan ekonomi meskipun berjalan lambat namun tetap mengalami kemajuan, sehingga pada tahun 2004 ekonomi Indonesia dapat dikatakan sudah kembali normal dan pulih dari krisis ekonomi, meskipun pada tahun 2005 ekonomi makro Indonesia mengalami goncangan terutama pasca kenaikan harga BBM pada oktober 2005. Program reformasi ekonomi telah berhasil membangun kembali Indonesia sehingga memiliki dasar yang lebih baik bagi perkembangan ekonomi Indonesia kedepan. Meskipun demikian perubahan besar yang terjadi tidak dapat menjamin bahwa perekonomian Indonesia akan selalu terjaga stabilitas ekonomi makronya denganlaju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Andiningsih dkk, 2008: 19).
DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini (2011). “Penjajahan ekonomi” ala IMF kepada bangsa Indonesia mirip dengan VOC seperti catatan sejarah kita 400 tahun lalu. Diakses dari http://kelompokdiskusi.multiply.com/journal/item/4661 pada tanggal 18 Mei 2012
Hadi dkk. 2005. Pemikiran Dan Permasalahan Ekonomi Di Indonesia Dalam Setengan Abad Terakhir. Yogyakarta. Kanisius
Sri Adiningsih, dkk. 2008. Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia (Badai Pasti Berlalu ?). Yogyakarta. Kanisius

0 komentar:

Posting Komentar