Kerjasama yang
dilakukan oleh Indonesia dan IMF di tuangkan pada Letter Of Intent. IMF dicetuskan pada saat konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat bulan Juli
1944, yang dihadiri 45 negara yang dirancang untuk menghindari kebijakan
ekonomi yang buruk pada tahun 1930. Setelah perang dunia kedua, tanggal 27
Desember 1945 melalui konfrensi Bretton Woods yang menyepakati perjanjian dalam
pengawasan sistem moneter internasional dan mempromosikan penghapusan pembatasan
pertukaran valuta asing karena perdagangan barang/jasa, dan stabilitas nilai
tukar yang ditandatangani tahun oleh 29 negara.
International Monetary Fund (IMF)
adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem
finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk
membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara.
Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan
ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan
melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik
Negara (http://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Moneter_Internasional).
Salah satu misinya IMF adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan
ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan
melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik
negara. Menurut Ball dkk (2004) tujuan secara umum didirikan sejak waktu
pendiriannya sampai sekarang IMF adalah membantu perkembangan untuk :
1.
Tertib pengaturan devisa
2.
Memonitor kebijakan nilai tukar uang
negara anggota
3.
Mempersingkat masa dan mengurangi
derajat ketidak seimbangan neraca pembayaran
Pada tahun 1997 bangsa Indonesia
mengalami krisis, dan untuk mengatasinya Indonesia meminta bantuan pada IMF
yang diharapkan dapat membantu program pemerintah dalam mengatasi krisis. LOI
pertama ditandatangani secara resmi olah presiden Soeharto dengan disaksikan
oleh Michel Camdessus pada 15 januari 1998 (Hadi dkk, 2005: 26). Letter of
intent (LOI) sebenarnya adalah suatu dokumen yang menjelaskan berbagai program
dan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah suatu Negara dalam konteks
permintaan bantuan keuangan dari lembaga moneter internasional (IMF).
Akan tetap kebijakan yang
ditetapkan ileh IMF diambil secara sepihak dan tanpa dengan meminta persetujuan
DPR-RI. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa secara materiil dan secara
formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau
ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI,
sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
Misalnya saja mengenai pembuat
Undang-Undang Bank Indonesia seperti yang diminta oleh IMF, dan akhirnya
pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud. Maka lahirlah
Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Bank Indonesia merupakan
dasar perekonomian Negara Indonesia yang mengatur tentang moneter diindonesia.
Hal ini dikarenakan mengenai mata uang, nilai tukar rupiah, dan lain sebagainya
diatur oleh bank Indonesia. Apabila bank Indonesia Indonesia saja yang
mengikuti kemauan IMF, dan IMF tidak begitu mengetahui keadaaan Indonesia
secara pasti maka hal ini akan berdampak luas pada masyarakat Indonesia secara
umum.
Dalam salah satu pasal Articles of
Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau
berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no
23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Dengan begitu timbul pertanyaan
besar mengenai siapa yang mengendalikan uang di negeri ini. Dengan
Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang
penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk
Pemerintah Indonesia. Tetapi masalahnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas
dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF
seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :
1. Article
V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau
institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
2. Article
IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti
aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan
menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.
3. Article
IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan
moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota
terhadap aturan IMF.
4. Article
VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF
untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas,
neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya. (http://ilovecassava.multiply.com/journal/item/7/Dokumen_LOI_Indonesia_IMF)
Sungguh ironis memang, di negara
yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia masalah perbankan dan moneter
harus tunduk dan dikendalikan oleh pihak asing (IMF). Hal ini merupakan dampak
dari ketidakmampuan Negara Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi di
Negara Indonesia. Selain itu pemerintah diharuskan membuat perubahan
Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah
go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai
perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
Disamping itu pemerintah harus
menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal
hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi
domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam
waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan
perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat (http://kelompokdiskusi.multiply.com/ journal/item/4661).
Akibat Letter
of Intent (LoI)
dengan IMF, pemerintah Indonesia membuat kebijakan
yang tidak menguntungkan
petani. Kebijakan itu diantaranya:
penghapusan dan atau
pengurangan subsidi, penurunan tarif impor
komoditi pangan yang
merupakan bahan kebutuhan pokok misalnya beras, terigu,
gula dan ini yang lebih parah yaitu pengurangan peran
pemerintah dalam perdagangan dengan Badan Urusan Logistik (BULOG). Badan
pemerintah urusan pangan ini tak lagi
mampu mengontrol stok
beras dan menentukan
harga, karena hampir
93% dikontrol oleh korporasi swasta. Sementara, sektor pertanian
pangan yang berorientasi ke dalam
negeri masih dibuat
tergantung dengan mekanisme
asupan faktor produksi
dari perusahaan multinasional, sebagai warisan
periode kelam revolusi
hijau di tahun
1970-an. Pembukaan lahan
perkebunan berakibat semakin menyusutnya luas
areal pertanian pangan. Pada saat yang sama terjadi
proletarisasi petani kecil di perdesaan yang di
Indonesia rata-rata kepemilikan
lahannya terus menyusut.
Ketergantungan sektor pangan
berkorelasi dengan ketergantungan finansial (utang luar negeri dan investasi asing), IPTEK, dan pasar telah mengakibatkan terus tersedotnya sumber daya negara
berkembang seperti Indonesia ke perusahaan
multinasional di negara-negara
maju. Relasi sub-ordinan
inilah yang kiranya
tepat disebut sebagai
neokolonialisme pangan. Bentuk neokolonialisme yang makin mengecilkan
peran dan kemampuan Negara dalam
mengurusi sektor pangan untuk rakyatnya. Disamping itu keberanian pemerintah
untuk membuat kebijakan sesuai dengan konstitusi, bahwa “Cabang-cabang produksi
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.
Indonesia sebagai Negara agraris
dan memiliki lahan yang subur seharusnya bisa mengatur dan juga memanfaatkan
kekayaan yang adadi Indonesia sendiri. Hal ini akan mendorong kesejahteraan
masyarakat Indonesia dalam hal keuangan dan perekonomian. Sebagai Negara yang
besar dan kaya akan hasil alamnya Indonesia seharusnya bisa memanfaatkannya
sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, tidak mengikuti kemauan pihak asing (IMF)
dalam mengatur perekonomiannya.
Beberapa kebijakan yang disarankan
sangat tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat itu, misalnya pencabutan
subsidi bahan-bahan pokok termasuk BBM. Kebijakan subsidi di dalam sistem
perdagangan internasional sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebenarnya
memiliki tendensi sebagai tirai pengamanan daya saing produk dalam negeri atas
berbagai produk impor, sebagai bentuk hambatan perdagangan non tarif. Umumnya
subsidi ini diberikan sebagai bantuan dalam proses produksi kepada produsen
dalam negeri sehingga produsen dapat menciptakan produk secara lebih murah.
Dengan subsidi ini konsumen dapat memperoleh produk dengan harga yang relatif
lebih rendah ketimbang keseluruhan nilai biaya produksi.
Secara internasional, ketika
produk yang disubsidi ini diekspor, dengan sendirinya akan memiliki daya saing
yang cukup kuat. Sebaliknya berbagai produk impor, tentu akan diproduksi
berdasar nilai biaya produksi riil yang sudah tentu dalam bentuk pemasarannya
akan memiliki nilai/harga jual lebih besar. Di satu sisi, kondisi ini memiliki
implikasi politis berdasar kacamata kebijakan perdagangan internasional yang
memang dapat dikatakan telah menjadi tendensi negara maju, meskipun secara fair
akan mampu menciptakan sistem pasar yang lebih sehat dan berkeadilan serta
mampu menciptakan efisiensi perdagangan internasional. Muara efisiensi ini
adalah meningkatnya daya beli konsumen yang berarti meningkatnya derajat
kesejahteraan.
Pencabutan subsidi bahan pokok dan
BBM, secara ideal akan mendorong sistem perdagangan Indonesia dalam konteks
ekonomi makro menjadi lebih efisien untuk jangka panjang. Namun realitas
perekonomian rakyat tidak memungkinkan untuk itu. Daya beli masyarakat dalam
situasi krisis saat ini sedemikian rendah, tentu akan terus menurun apabila
subsidi untuk memperoleh bahan kebutuhan pokok dan BBM ini dicabut. Akhir dari
merosotnya daya beli masyarakat ini tentu rasa frustasi masyarakat di mana pada
gilirannya dapat membuahkan keresahan sosial dan justru dalam kondisi seperti
saat ini justru akan memperparah kondisi krisis.
Proses pemulihan ekonomi meskipun
berjalan lambat namun tetap mengalami kemajuan, sehingga pada tahun 2004
ekonomi Indonesia dapat dikatakan sudah kembali normal dan pulih dari krisis
ekonomi, meskipun pada tahun 2005 ekonomi makro Indonesia mengalami goncangan
terutama pasca kenaikan harga BBM pada oktober 2005. Program reformasi ekonomi
telah berhasil membangun kembali Indonesia sehingga memiliki dasar yang lebih
baik bagi perkembangan ekonomi Indonesia kedepan. Meskipun demikian perubahan
besar yang terjadi tidak dapat menjamin bahwa perekonomian Indonesia akan
selalu terjaga stabilitas ekonomi makronya denganlaju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi (Andiningsih dkk, 2008: 19).
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini (2011). “Penjajahan
ekonomi” ala IMF kepada bangsa Indonesia mirip dengan VOC seperti catatan
sejarah kita 400 tahun lalu. Diakses dari http://kelompokdiskusi.multiply.com/journal/item/4661 pada
tanggal 18 Mei 2012
Hadi
dkk. 2005. Pemikiran Dan Permasalahan
Ekonomi Di Indonesia Dalam Setengan Abad Terakhir. Yogyakarta. Kanisius
Narliswandi (2012). Dokumen LOI Indonesia IMF. Diakses dari http://ilovecassava.multiply.com/journal/item/7/Dokumen_LOI_Indonesia_IMF
pada tanggal 18 Mei 2012
Sri
Adiningsih, dkk. 2008. Satu Dekade
Pasca-Krisis Indonesia (Badai Pasti Berlalu ?). Yogyakarta. Kanisius
0 komentar:
Posting Komentar