A. HUKUM TANAH YANG DUALISTIK DAN PLURALISTIK
Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, didalam masyarakat adat telah terdapat penguasaan dan pemilikan tanah yang diatur sesuai dengan ketentuan hokum adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Setelah Belanda menjajah bangsa Indonesia, belandamendatangkan peraturan hokum pertanahan yang berlaku di negaranya ke Indonesia, yang kemudian diberlakukan terhadap masyarakat Indonesia.
Selain kedua peraturan mengenaihukum tanah berada diindonesia diatas, pemerintahan belanda menciptakan pula hokum tanah seperti agrarisch eigendom. Disamping itu, pemerintahan Swapraja menciptakan pula hokum atas tanah yang berlaku didaerahnya, seperti grat sultan. Dengan adanya tiga peraturan tersebut, timbulah “pluralistik” hak atas tanah yang terdapat diindonesia.1 Menurut budi harsono bahwa dengan adanya hak-hak tanah adat, hak atas tanah ciptaan pemerintah swapraja, hak atas tanah ciptaan pemerintah belanda, bisa kita sebut tanah hak Indonesia, yang cakupan pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat. 2
B. SEJARAH PENGATURAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
1 Supriadi, Hukum Agrarian, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 41
2 Boedi Harsono, Hokum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agrarian, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994, hal 48
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870.
a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi. Menurut Urip Santoso, beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1) Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2) Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak.
3) Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian. (2005:16) 3
b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah
3 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005, hlm. 16.
dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Menurut Urip Santoso, hak pertuanan antara lain :
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala kampung/desa;
b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya. (2005:19) 4
c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pahak bumi.5 Tujuan rafles dalam menata system administrasi pertanahan dengan system domain, yaitu ingin menerapkan system penarikan pajak bumi seperti apa yang dipergunakan oleh inggris di India.6
4 Ibid. , hal. 19.
5 Ibid. , hal. 21.
6 Wiradi, dalam Noer Fauzi dkk., Prinsip-Prinsip Reforma Agrarian, Jalan Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat, LAPERA Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 6.
d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Van den bosch dalam menjalankan system tanam paksa ini, tetap mengacu kepada teori yang dilakukan oleh raffles sebelumnya,yaitu tanah adalah nilik pemerintah, para kepala desa dianggap menyewa kepada pemerintah, dan selanjutnya kepala desa meminjamkan kepada petani. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.7
2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).
a. Agrarische Wet (AW) 1870.
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin. Tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.
7 ibid
b. Agrarische Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutan dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118. AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;
1) Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;
2) Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;
3) Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.
3. Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni :
1) Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;
2) Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain-lain;
3) Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia. 8
Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang sudah diuraikan di atas :
1) Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2) Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis.
4. Sesudah Tahun 1942.
Pada periode sesudah tahun 1942, keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangkan mengenai hak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat;
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yayasan; 5) Hak imbal jabatan;
2) Hak wenang pilih, hak mendahulu; 6) Hak wenang beli.
3) Hak menikmati hasil;
4) Hak pakai;
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak. 9
5. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut:
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. 10
9 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 19.
10 ibid
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
a. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960. Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
Pada tanggal 24 september RUU yang disusun oleh kerjasama antara Sajarwo sebagai panitia, departemen agrarian, panitia ad hoc DPR, universitag Gadjah Mada diterima dan disahkan oleh DPR-GR, dan diundangkan sebagai UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kehadiran ini merupakan suatu penantian yang panjang dari bangsa Indonesia akan asanya hokum agrarian yang merupakan buatan dari bangsa sendiri. Pada tahun 1960 ini pulalah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Prp nomor 56 Tahun 1960 yang lazim dikenal dengan Undang-Undang Landreform).11
Dengan mulai berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada hokum agrarian Indonesia, terutama hokum di bidang pertanahan. Perubahan ini bersifat mendasar dan fundamental, karena baik mengenai struktur perangkat hiukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan dalam bagian “Berpendapat” UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluan menurut permintaan zaman. 12
11 Supriadi, op. cit, hlm. 45
12 Boedi Harsono, Hokum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agrarian, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994, hal 48
memperbaiki kesalahan pengajaran Hukum Agraria oleh Gouw Giok Siong dan Boedi Harsono, dalam menegakkan UUPAgraria 1960 serta UUPKehutanan 1967 jo UU No. 40/1999 agar menjadi sesuai dengan HPNI-NKRI, sebagai Konstitusi Indonesia-NKRI ketiga.
BalasHapus¬HPNI-NKRI ADALAH KONSTITUSI DASAR NEGARA INDONESIA KE III http://soesangobeng.com/product/%c2%achpni-nkri-adalah-konstitusi-dasar-negara-indonesia-ke-iii/
soesangobeng.com