Dasar
hukum penyelenggaraan Pilkada adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Akan tetapi dalam UU ini, Pilkada belum dimasukkan dalam rezim
pemilihan umum (Pemilu). Baru sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga
secara resmi
bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam perkembangannya, muncul peraturan baru mengenai
penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam
undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota.
Menurut
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat
Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah
Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan
adanya berbagai sumber hukum tersebut tidak menyebabkan pemilu lancar dan tanpa
penyelewengan. Contohnya adalah yang terjadi dikabupaten Bangli. Dua masalah
hukum mendasar yang terjadi selama proses pemungutan dan penghitungan suara
dalam Pemilukada Kabupaten Bangli Tahun 2010 yang berdampak pada cacat hukum
dan tidak sahnya Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara yang dilakukan
Termohon, yaitu:
1.
Petugas KPPS di TPS-TPS
tertentu/bermasalah membiarkan oknum-oknum tertentu mewakili pemilih yang tidak
datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya dan/atau membiarkan pemilih
menggunakan hak pilihnya (mencoblos surat suara) lebih dari satu kali;
2.
Ketua KPPS di TPS-TPS
tertentu/bermasalah tidak memberikan salinan Daftar Pemilih Tetap (DPT) kepada
masing-masing saksi yang hadir/bertugas di TPS. Tindakan tersebut diduga untuk
mengelabui saksi-saksi untuk tidak dapat melakukan kontrol terhadap pemilih
yang menggunakan hak pilih, yaitu apakah warga masyarakat yang datang di TPS
merupakan pemilih terdaftar atau tidak dalam DPT;
Hal-hal
ini mengakibatkan validnya perolehan suara masing-masing pasangan calon, karena
KPPS telah secara sadar melakukan tindakan yang mengakibatkan pasangan calon
tertentu mendapatkan tambahan suara atau sebaliknya pasangan calon lain mengalami
pengurangan suara. Munculnya gejolak pilkada di Bangli dan Tabanan tak terlepas
dari kinerja dari pengawas pilkada dan KPUD sebagai penyelenggara pilkada. Tim
Sukaja-Ngurah Anom mempersoalkan perolehan suara Sukaja-Ngurah Anom, sesuai
hasil KPUD paket Sukaja-Anom hanya meraih 116.153 suara. Padahal catatan
pemohon tim Sukaja-Ngurah Anom meraih suara 126.403.
Sementara
paket Eka-Jaya yang meraih suara 134.441 oleh KPUD Tabanan, menurut catatan
pemohon ke MK adalah 124.191. Ada 10.200 suara Eka-Jaya adalah milik pasangan
pemohon Sukaja-Anom. Selain penyelewengan tersebut, hal lain adalah pengakuan
Sekda Tabanan Judiada mencairkan bansos pada saat pilkada. Padahal jauh
sebelumnya sudah ada Surat Edaran Mendagri yang mengingatkan bahwa dana APBD
hanya dilegalkan untuk penyelenggaraan pilkada. Bansos tak boleh digunakan
untuk kepentingan bernuansa politik.
Kasus
ini telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi, dan telah diputuskan untuk dilakukan
pemilu ulang dibeberapa daerah, antara lain :
A. Kecamatan
Kintamani
1)
Desa Serai TPS 01,
2)
Desa Serai TPS 02,
3)
Desa Satra TPS 08,
4)
Desa Selulung TPS 02,
5)
Desa Pengejaran TPS 01,
|
6)
Desa Sukawana TPS 08,
7)
Desa Bantang TPS 01,
8)
Desa Bantang TPS 02,
9)
Desa Binyan TPS 01,
|
B.
Kecamatan Bangli
1. Desa
Pengotan TPS 08,
C.
Kecamatan Tembuku
1. Desa
Yang Api TPS 13,
2.
Desa Yang Api TPS 14,
Pelaksanaannya dalam
waktu selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah hari pengucapan
putusan. Selain itu Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli diperintahkan untuk melaporkan
hasil pemungutan suara ulang tersebut selama 45 (empat puluh lima) hari setelah
hari pengucapan putusan.
Hal
tersebut diatas menurut saya merupakan suatu penyelewengan yang serius mengenai
pemilu yang LUBERJURDIL. Bagaimana tidak, KPUD yang tugasnya mewujudkan pemilu
yang Luber dan Judil malah bertindak tak netral. KPUD terkesan membela salah
satu pihak. Tujuan utama dengan dilakukannya pemilihan secara langsung, tidak
lain adalah apresiasi terhadap kedaulatan itu sendiri. Rakyat dalam pemilihan
memiliki hak dan kewenangan penuh untuk menentukan sikap dan pilihannya,
tentang siapa yang akan mereka pilih. Di sinilah kedaulatan rakyat sangat
menentukan. Rakyat bebas memilih, bebas menentukan sikap. Dalam pilkada
langsung, rakyat betul-betul berdaulat.
Dengan
kedaulatannya tersebut, masyarakat juga harus menjunjung tinggi asas dalam
pemilu, yaitu Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia, Jujur dan Adil. Tapi
kenyataannya, masyarakat yang tidak begitu paham dengan apa yang dimaksud
dengan pemilu mudah sekali di manfaatkan dan dibodohi oleh orang lain untuk
melakukan kecurangan dalam pemilu. Bahkan bisa dikatakan suatu kecurangan yang
dilakukan secara missal. Bagaimana tidak, masih terdapat masyarakat yang
mencoblos lebih dari sekali. Selain dari masyarakatnya, panitia penyelenggaraan
pemilu juga ikut andil dalam melakukan kecurangan. Hal ini terlihat dari Petugas KPPS di TPS-TPS tertentu/bermasalah
membiarkan oknum-oknum tertentu mewakili pemilih yang tidak datang ke TPS untuk
menggunakan hak pilihnya dan/atau membiarkan pemilih menggunakan hak pilihnya
(mencoblos surat suara) lebih dari satu kali.
sumbernya???
BalasHapus