Dominasi Politik
Terhadap Hukum : Suatu Tinjauan Teoritis
JUDUL DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM : SUATU
TINJAUAN TEORITIS
PENULIS ASDIAN SAMSUL ARIFIN
BAB I
PENDAHULUAN
“Hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Adagium dari
Mochtar Kusumaatmadja itu secara sederhana namun tepat menggambarkan betapa
erat kaitan antara kekuasaan dan hukum. Kekuasaan merupakan salah satu unsur
dari politik, yaitu mengenai proses mendapatkannya. Sedangkan hukum merupakan
suatu produk yang diidealkan sebagai konsensus (kecuali hukum dari raja, yang
bukan merupakan suatu konsensus) yang dihasilkan dari proses-proses politik dan
dikukuhkan dengan kekuasaan yang diperoleh juga dari proses politik. Maka dari
itu, tepatlah jika Bintan Regen Saragih mengibaratkan hukum dan politik sebagai
dua sisi dari satu mata uang, dimana sisi yang satu tidak akan lepas dari
(pengaruh) sisi yang lainnya.
Hubungan yang tidak
dapat dipisahkan ini tidak terlepas dari hakikat bahwa hukum dan politik
sama-sama merupakan sub sistem sosial kemasyarakatan, yang merupakan sistem
yang terbuka, sistem yang satu mempengaruhi sistem lainnya. Melihat hubungan
politik dan hukum dari sudut pandang hukum, maka adagium yang dicetuskan oleh
Moh. Mahfud MD, yaitu dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus
tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa
hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya, patut dicermati.
Tulisan ini menggunakan
asumsi yang berakar dari “das sein” bahwa hukum merupakan produk politik.
Dengan asumsi ini maka dalam menjawab hubungan antar keduanya itu hukum
dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangka politiik
diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh) dan akan mencoba
menjawab pertayaan-pertanyaan mengapa politik dominan terhadap hukum? Dan
bagaimana politik mendominasi hukum?
BAB II
POLITIK, HUKUM DAN
HUBUNGANNYA DALAM ABSTRAKSI
Dalam Bab ini, akan
diuraikan mengenai tinjauan teoritis mengenai politik dan hukum dalam otonomi
segi keilmuan masing masing, serta hubungan antara politik dan hukum dalam satu
kesatuan sistem sosial.
A. Politik
Sebagai salah satu
cabang dari ilmu sosial atau ilmu tidak pasti, politik mempunyai banyak
definisi sebanyak jumlah manusia (quot homines, tot sententiae). Namun, dalam
tulisan ini, penulis mencari pengertian politik yang sesuai dengan hubungannya
dengan hukum, yaitu mengenai penyelenggaraan negara. Politik, dalam Black’s Law
Dictionary diartikan sebagai The science of the organization and administration
of the state (ilmu pengetahuan tentang organisasi dan penyelenggaraan negara
(Bryan A Garner, 1999 : 1179). Dalam ilmu politik banyak sekali definisi-definisi
mengenai politik. Salah satunya sebagaimana dicetuskan oleh Miriam Budiharjo,
yang menyatakan bahwa pada umumnya politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan sistem tersebut (Miriam
Budiharjo, 1988 : 8).
Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (legal
policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation) dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan
kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun
untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara yang
dipakai dapat bersifat persuasi dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa paksaan,
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Miriam Budiharjo,
1988 : 8). Jadi, dalam uraian teoritis diatas, kita dapat mengabstraksi unsur-unsur
dari suatu politik, menyangkut penyelenggaraan negara oleh organisasi negara,
(yang diberikan) kekuasaan, (untuk menentukan) kebijaksanaan dalam
penyelenggaraan negara. Unsur-unsur pokok dalam pengertian politik diatas
adalah :
1. Negara
Konsep negara sebagai
organisasi kekuasaan dicetuskan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa negara
dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat, yang hidup dalam satu bagian
permukaan bumi tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu, hingga membentuk
satu negara, satu teritorial, satu kekuasaan dan satu rakyat (Hans Kelsen ,
2006 : 360).
2. Kekuasaan
Hobbes mendefinisikan
kekuasaan sebagai sarana yang ada sekarang untuk mendapatkan kebaikan yang
nyata di masa mendatang (Carl Joachim Friedrich, 2008 : 107). Dalam lingkup
kenegaraan, kekuasaan berarti validitas dan efektivitas tatanan hukum yang dari
kesatuannya diperoleh validitas territorial dan validitas rakyat (Hans Kelsen,
2006 : 360). Kekuasaan merupakan salah satu tujuan dari politik.
3. Kebijaksaaan
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kebijaksanaan (beleid) diartikan sebagai rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990 :
115).
B. Hukum
Menurut Utrecht, hukum
adalah himpunan petunjuk hidup (yang biasanya disebut norma atau kaidah)
perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan,
oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh
pemerintah atau penguasa (Utrecht, 1983 : 2, 3 dan 8). Pandangan ini merupakan
pandangan normatif dari hukum, sedangkan hukum secara filosofis dan sosiologis,
juga terkait dengan perkembangan hubungan antar masyarakat dalam suatu sistem
sosial.
Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan bahwa jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak
saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi juga lembaga-lembaga dan
proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam kenyataan
(Mochtar Kusumaatmadja, 1970 : 11). Jika Utrecht mendefinisikan hukum dari
sudut pandang normative, maka Mochtar melihat hukum tidak hanya dari sudut
pandang normatif, tetapi juga empiris atau realisme.
Dalam pandangan
realisme, maka hukum bukan merupakan sistem yang tertutup dan tidak dapat
dipengaruhi, melainkan sebaliknya sebagai sistem terbuka, yang dapat
dipengaruhi oleh sistem lainnya dalam sistem sosial kemasyarakatan. Misalkan,
dalam kaitan dengan hubungan hukum dan kekuasaan negara, John Austin menyatakan
bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara, dan hakikat hukum itu
terletak pada unsur perintah itu (Shidarta Darji Darmodiharjo, 2002 : 128).
Perintah itu merupakan suatu simpul luar dari simpul dalam kekuasaan, yang
diperoleh politik, maka hukum tidak terbebas dari pengaruh sistem politik.
Sebagaimana yang
dikatakan Jarome Frank, tujuan utama kaum realisme hukum adalah untuk membuat
hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk
mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan “bidang-bidang yang memiliki
keterkaitan secara hukum” sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat mencangkup
pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan
resmi para aparat hukum (Phillipe Nonet dan Phillip Selznick, 2008 : 83). Maka
dari itu, hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu aturan yang kaku dan
bersifat dogmati, tetapi hendaknya dilihat sebagai suatu kesatuan komprehensif
dengan sistem sosial lainnya.
C. Hubungan Antara Politik dan Hukum
Langkah pertama
penyaluran/pengarahan perkembangan sosial menuju ke kemajuan sosial ialah
meyakini bahwa kejadian-kejadian politik-ekonomi-teknik-administrasi tidak
merupakan kejadian yang lepas satu sama lain, melainkan merupakan kejadian yang
mutual-interdependent (Astrid S Susanto, 1983 : 161). Hal ini terjadi karena
kesemua itu hidup dalam satu sistem sosial kemasyarakatan.
Dalam bukunya, Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Mochtar Kusumaatmadja membuat adagium
“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman” (R. Otje Salman, 1992 : 31). Adagium ini sederhana namun tepat
menggambarkan betapa erat kaitan antara kekuasaan dan hukum.
Dalam hubungan
kekuasaan dan hukum, juga dipandang perlu untuk mencermati pendapat dari
Sutandyo Wijnsubroto, yang menyatakan bahwa bukanlah menurut idealnya (yang
dinamakan konstitusionalisme), apa yang disebut kosntitusi selalu dimaksudkan
untuk mengatur hubungan yang fungsional antara “kekuasaan” (yang dipercayakan
ke tangan para pejabat penyelenggara negara) dan “kebebasan” (yang tetap diakui
sebagai bagian dari eksistensi kodrati manusia-manusia warga negara). Itu berarti
bahwa besar kecilnya kekuasaan yang akan dipercayakan ke tangan para pejabat
penyelenggara negeri itu amat ditentukan oleh luas-sempitnya ranah kebebasan
yang tetap dikukuhkan para warga (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002 : 415).
Pandangan Sutandyo Wijnsubroto sesuai dengan konsep filsafat hukum ditinjau
dari segi negara yang lahir sebagai produk perjanjian bersama oleh masyarakat
yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes dan J.J Rosseau. Maka, memperluas pandangan
filsuf ini, menurut Sutandyo, konstitusi sebagai hukum tertinggi merupakan
suatu kehendak bersama warga masyarakat mengenai luas atau sempitnya kebebasan
yang diingini oleh para warga tersebut.
Dalam prespektif
keilmuan, maka Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai pohon, maka filsafat
merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian
melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata,
hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan sebagainya
(Moh. Mahfud MD, 1998 : 7-8). Jadi, sebagai suatu kesatuan pohon, jenis atau
perbuatan akar akan mempengaruhi batang pohon yang kemudian juga mempengaruhi
cabang dan ranting pohon.
Jika ada pertanyaan
tentang hubungan kausalitas anatara hukum dan politik atau pertanyaan tentang
apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum,
maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum
determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh
dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas
hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik
dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya
seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan
produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada, maka kegiatan politik harus
tunduk pada aturan-aturan hukum (Moh. Mahfud MD : 1998 : 7-8). Salah satu unsur
penting dalam politik dan hukum yang menentukan hubungan antara keduanya adalah
dalam hal pencapaian tujuan negara. Tujuan negara ditentukan oleh proses
politik pada masa kemerdekaan dan dirumuskan dalam pembukaan konstitusi, yang
merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia (UUD 1945).
Pola hubungan diatas
kemudian disistematisasi menjadi suatu ajaran baru, suatu ilmu pengetahuan yang
dinamakan politik hukum. Padmo Wahyono mendefinisikan politik hukum sebagai
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk. Abdul Hakim Garuda Nusantara mendefinisikan politik hukum sebagai
kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh
suatu pemerintahan negara tertentu yang dapat meliputi : 1) pelaksanaan secara
konsisten ketentuan hukum yang telah ada; 2) pembangunan hukum yang berintikan
pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru; 3)
penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya; dan 4)
peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elite pengambil
kebijakan. Atas beragam definisi politik hukum, rumusan sederhana dibuat oleh
Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa politik hukum itu adalah arahan atau
garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan
hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan
bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian
tujuan negara(Moh. Mahfud MD, 2006 : 13. Menurut penulis, definisi yang diberikan
oleh Moh. Mahfud MD adalah definisi yang paling menjelaskan hubungan antara
politik dan hukum dalam suatu ilmu yang dinamakan politik hukum.
Hal penting lainnya
dalam perumusan hubungan antara politik dan hukum adalah bahwa keduanya
merupakan sub sistem dari masyarakat. Politik pada segi idea merupakan kehendak
masyarakat. Dari proses politik, dihasilkan suatu consensus (kecuali dalam
hukum raja, yang bukan merupakan suatu konsensus) yang mengatur masyarakat
melalui hukum. Sedangkan hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk merubah
masyarakat.
BAB III
DOMINASI POLITIK
TERHADAP HUKUM
Setelah mengurai
mengenai hubungan antara politik dan hukum, maka penulis mengambil satu asumsi
determinan, yaitu politik yang determinan terhadap hukum, karena penulis
berpendapat bahwa asumsi inilah yang secara nyata menggambarkan kondisi di
Indonesia saat ini.
A. Tinjauan Teoritis Mengenai Dominasi Politik
Selain pendekatan
yuridis normatif dalam pengkajian hukum, hukum juga masih mempunyai sisinya
yang lain, yaitu hukum dalam kenyataannya dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Dalam kenyataan sosial itulah hukum menemukan kenyataannya yang
paling hakiki, bahwa sebagai salah satu dari sub sistem sosial, hukum tidak
lepas dari pengaruh sub sistem sosial lainnya, termasuk politik.
Dalam Black’s Law
Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or
something) or to control (someone or something))(Bryan A Garner : 502).Yaitu,
keadaan menguasai seseorang atau sesuatu.
Tanpa disadari oleh
manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan
sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan
tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan
dominasi dalam sistem sosial.
Pada awal abad ke-21 ini
semakin banyak orang menyadari bahwa politik merupakan hal yang melekat pada
lingkungan hidup manusia. Politik hadir di mana-mana di sekitar manusia, sadar
atau tidak mau, politik ikut mempengaruhi kehidupan manusia sebagai bagian dari
kelompok masyarakat. Politik akan berlangsung sejak kelahiran sampai kematian
manusia, maka dari itu, aristoteles pernah mengatakan bahwa politik itu
merupakan master of science dan merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat dalam suatu negara (Abdul Manan, 1999 : 101). Hal yang
terpenting diatas adalah bahwa politik berpengaruh pada modernisasi.
Modernisasi adalah proses menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perubahan
demi kemajuan. Ditinjau dari segi politik, modernisasi dengan berpegang pada
demokrasi sangat sukar diwujudkan, yaitu karena sistem demokrasi sendiri
tergantung dari konsensus. Berbeda halnya dengan negara totaliter, di mana
perubahan dapat diadakan dengan dipaksakan dari atas, tanpa menghiraukan
manusianya (Astrid S Susanto : 180). Jadi, secara teoritis, politik dapat
mengubah sendi-sendi kehidupan sosial suatu bangsa.
B. Politik Dominan Terhadap Hukum
Max steiner,
mengutarakan idiom bahwa “sejemput kekuasaan lebih bermanfaat daripada sekarung
hak” (L.J. Van Appledoorn, 2008 : 57). Hal ini menggambarkan betapa besarnya
pengaruh politik pada hukum. Secara politis historis, terbuktikan bahwa
perkembangan masyarakat dapat dihambat oleh beberapa negara yang mampunyai
pemerintahan absolut atau pemerintahan colonial (Astrid S Susanto : 163). Seperti
Indonesia pada masa 200 tahun pertama pemerintahan Hindia Belanda, pada masa
tersebut, masyarakat cederung bersifat keaderahan, belum menyadari kesatuannya
karena dijejali politik devide et impera, sehingga belum bersatu padu.
Adanya perbedaan jawaban
atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan diantara keduanya, terutama
perbedaan antara alternatif jawaban yang pertama dan kedua pada baba terdahulu,
disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem
kemasyarakatan tersebut. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das
sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum
harus merupakan pedoman dalam segala tingkatan hubungan antar anggota
masyarakat termasuk daam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang
memandang hukum dari segi das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris
melihat secara realistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik,
bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya
(Moh. Mahfud MD, 1998 : 8).
Karena subsistem
politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika
harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah
(Moh. Mahfud MD, 1998 : 13). Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik,
maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di
Indonesia ini diintervensi oleh politik.
Konstatasi ini dapat
dilihat fakta bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan
penegakkan hukum tidaklah berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya.
Dikatakan bahwa jika program kodifikasi dan unifikasi hukum dijadikan ukuran
maka pembangunan struktur hukum telah berjalan cukup baik dan stabil karena
dari waktu ke waktu ada peningkatan produktivitas (Moh. Mahfud MD, 2006 : 64 ).
Teori-teori yang
melengkapi khasanah pengetahuan mengenai dominasi politik terhadap hukum adalah
sebagai berikut :
1. Pascal menyatakan bahwa : La justice est
sujette a dispute, la force est tres reconnaissable et sans dispute. Ainsi on
n’a pudonner la force a la justice, parce que la force a contredit la justice
et a dit qu’elle etait injuste, et a dit que c’etait elle qui etait juste. Et
ainsi ne pouvant faire que ce qui etait juste fut fort, on a fait que ce est
fort fut juste (L.J. Van Appledoorn : 57-58). Yang artinya kurang lebih adalah
keadilan menimbulkan pertentangan, kekuasaan tampak nyata dan tidak menimbulkan
pertentangan. Keadilan tidak dapat disetarakan dengan kekuasaan, karena
kekuasaan dapat menyangkal keadilan dan menyatakan bahwa keadilan itu tidak
adil. Sehingga kemudian dapat membuat apa yang benar itu adalah kekuatan dan
kekuatan itu benar.
2. Lassalle, seorang teoritis aliran hukum alam,
menyatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis
dan hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan
yang nyata dalam suatu negara (L.J. Van Appledoorn : 57-58).
3. Ludwig Gumplowicz menyatakan bahwa negara
adalah eine organisation der herrschaft einer minoritat uber eine majoritat
(yaitu, organisasi berdasarkan dominasi kaum minoritas terhadap kaum
mayoritas). Hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat
untuk mempertahankan kekuasaannya (L.J. Van Appledoorn : 57-58).
4. Anton Menger memperoleh kesimpulan : alle
bisherigen rechtsordnungen sind in letzter reihe aus machtverhaltnissen
entstanden und haben deshalb immer den zweck verfolgt den nutzen der wenigen
machtingen auf kosten der breiten volkmassen zu fordern (L.J. Van Appledoorn :
59). Kesimpulan dari pendapat Menger adalah bahwa semua ketentuan hukum berada
pada garis akhir dari keseimbangan kekuasaan yang dikembangkan and oleh karena
itu tujuannya selalu akan mengejar penggunaan alat kekuatan negara untuk
meredam tuntutan masyarakat.
5. Para aliran positivis menarik kesimpulan
bahwa kepatuhan kepada hukum itu tak lain daripada tunduknya orang-orang yang
lebih lemah pada kehendak orang-orang yang lebih kuat. Jadi, hukum adalah “hak
orang terkuat” (L.J. Van Appledoorn : 59).
6. John Austin mendefinisikan hukum sebagai
peraturan yang diadakan untuk member bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh
makhluk yang berakal yang berkuasa diatasnya (Wolfgang Friedmann, 1990 : 149).
Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan tidak atas
gagasan-gagasan tentang baik dan buruk, namun didasarkan atas kekuasaan yang
lebih tinggi.
Menggunakan asumsi
dasar kedua dalam hubungan antara politik dan hukum, yaitu politik determinan
terhadap hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Sebagai
produk politik bisa saja hukum itu memuat isi yang lebih sarat dengan
kepentingan politik kelompok dan jangka pendek yang secara substansial
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya (Moh. Mahfud MD,
2006 : 37). Di dalam sistem demokrasi di Indonesia, masyarakat berhak, bahkan
wajib berpolitik untuk menentukan haluan negara, membuat undang-undang, dan
mengawasi pelaksanaan kekuasaan negara. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil
proses politik dalam masyarakat. Setelah hukum dibentuk dalam wujud
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain, maka setiap orang yang
mendiamiwilayah republik Indonesia harus tunduk kepadanya, tidak terkecuali
organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh politik yang semula ikut menyusun hukum
(Zainuddin Ali, 2007 : 34).
C. Konfigurasi Politik dan Karakter Hukum
Jadi, meskipun dari
segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan
hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam
kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya (Moh.
Mahfud MD, 2006 : 65). Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah
kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan eksis dalam suatu sistem politik.
Konfigurasi politik ini biasanya terwujud dalam partai politik. Bila
partai-partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang
berlaku dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan
lainnya,maka disebutkn bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik
yang demokratis. Jika partai-partai politik yang ada itu tidak berperan secara
nyata dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan
lainnya, maka dikatakan bahwa konfigurasi itu adalah konfigurasi politik yang
non-demokratis (Bintan Regen Saragih, 2006 : 33).
Di dalam negara yang
konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter
responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka
produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis (Moh. Mahfud MD, 1998 :
15). Dari pernyataan tersebut, maka Moh. Mahfud MD membagi dua variabel antara
konfigurasi politik dan karakter produk hukum yang dipengaruhi konfigurasi
tersebut, yang dibuat berdasarkan penelitian beliau atas konfigurasi politik
dan karakter hukum di Indonesia.
Hubungan tersebut dapat
dilihat pada bagan berikut (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15):
No Konfigurasi Politik Karakter Hukum
Demokratis Otoriter Responsif Konservatif
1 Parpol dan parlemen berperan aktif
menentukan kebijakan negara Parpol dan
parlemen lemah dan fungsinya lebih sebagai rubber stamps Pembuatannya partisipatif bagi masyarakat Pembuatannya sentralistik di lembaga eksekutif
2 Eksekutif bersifat netral sebagai pelaksana Eksekutif bersifat intervensionis Isinya aspiratif atas tuntutan
masyarakat Isinya positivis instrumentalis
3 Pers bebas Pers
terpasung, terancam pembredelan Cakupannya
bersifat limitative (close interpretative) Cakupannya
cederung open interpretative
Dapat diakatakan bahwa
politik hukum pada konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk menciptakan
hukum yang mendekatkan tata hukum pada realitas sosial, sedangkan pada
konfigurasi politik yang non-demokratis umumnya menciptakan hukum untuk
mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata hukum
dengan realitas soosial (Bintan Regen Saragih : 34). Konfigurasi politik, baik
demokratis maupun non demokratis telah menjadi bagian dalam kehidupan bernegara
bangsa Indonesia. Konfigurasi politik demokratis tercermin sejak masa
kemerdekaan, dengan sistem multipartai, menciptakan produk-produk hukum yang
menhapus dominasi colonial dan mengutamakan kebebasan rakyat Indonesia. Hal ini
merupakan euphoria kemerdekaan dan kebebasa Indonesia dari belenggu penjajah.
Sedangkan fase politik non demokratis secara visual, walaupun disuarakan secara
demokratis, tampak pada masa orde baru. Dengan pemasungan kepada aspek-aspek
tertentu, seperti ketidakbebasan pers dan partai.
Pada era reformasi saat
ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem
kentatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem
demokrasi, dan dari sistem sentralisasi ke sistem otonomi. Perubahan paradigm
ini sudah barang tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini,
yaitu yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada
kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat dan juga prduk-produk hukum
yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan
pemerintah daerah (Abdul Manan : 104). Produk hukum yang dihasilkan oleh
konstitusi selayaknya harus mengedepankan kepentingan rakyat dan daerah, namun,
pada kenyataannya dominasi politik kian kencang dan tidak terkendali. Partai
politik yang secara teoritis merupakan penjelmaan kehendak rakyat, malah
menjadi ajang perebutan kekuasaan, sedangkan hukum menjadi salah satu alatnya.
Partai politik melalui
DPR mempunyai peran penting dalam pembentukan hukum, namun, jika kenyataannya
partai politik hanya menjadi ajang mempertahankan maupun memperoleh kekuasaan,
maka dengan determinannya politik atas hukum, yang terjadi adalah hukum akan
mengikuti arah politik yang keliru, sehingga hukum dapat kehilangan
legitimasinya. Seorang dosen pernah berbicara, bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, uang dan kepentingan-kepentingan yang koruplah
yang berbicara, dan dalam kenyataannya hal ini terjadi, misalnya tentang
pembentukan peraturan mengenai peralihan hutan lindung, yang menjebloskan
beberapa anggota DPR ke dalam penjara, atau yang lebih tinggi indikasinya
adalah suap dalam pembentukan UU tentang pemekaran daerah. Jika hal ini
terjadi, maka dominasi politik terhadap hukum membuka peluang adanya tindak
pidana korupsi berupa political bribery maupun political kickback. Mengenai
political bribery maupun political kickback, akan dibahas penulis dalam tulisan
yang lain.
BAB IV KESIMPULAN
Tanpa disadari oleh
manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan
sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan
tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan
dominasi dalam sistem sosial, termasuk pada hukum.
Hubungan antara politik
dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das sein. Meskipun
dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan
hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam
kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, hal
ini terjadi karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih
besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada
dalam kedudukan yang lebih lemah.
Politik mempengaruhi
hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang konfigurasinya
demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan
di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter
ortodoks/konservatis/elitis.
Pada saat sekarang ini
di Indonesia, dominasi politik terhadap hukum semakin menguat. Partai politik
yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang hanya terkesan
menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan. Hal ini
akan berakibat yang sangat serius, karena tentunya akan menghasilkan hukum yang
hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa
memperhatikan kesesuaiannya dengan tujuan negara
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin,
Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Appledoorn, L.J. Van,
Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008
Budiharjo, Miriam,
Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, Cetakan XI, 1988.
Darmodiharjo, Shidarta
Darji, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
cetakan ke-3, 1990.
Friedmann, Wolfgang,
Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), CV.
Rajawali, Jakarta, 1990, hlm 149. (terjemahan dari Wolfgang Fiedmann, Legal
Theory penerjemah : Mohamad Arifin).
Friedrich, Carl
Joachim, Filsafat Hukum; Prespektif Historis, Nusamedia, Bandung, cetakan
keduan, 2008
Garner, Bryan A, Black’s
Law Dictionary, seventh edition, West Group, St.Paul Minn, 1999.
Kelsen, Hans, Teori
Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media,
Bandung, 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar,
Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipa, Bandung,
1970.
Mahfud MD, Moh.,
Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hlm 7-8
Mahfud MD, Moh.,
Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia,
Jakarta, 2006
Manan, Abdul,
Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005
Nonet, Phillipe dan
Selznick, Phillip, Hukum Responsif, Nusamedia, bandung, 2008.
Salman, R. Otje,
Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992.
Saragih, Bintan Regen,
Politik Hukum, CV Utomo, Bandung, 2006
Susanto, Astrid S,
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, 1983.
Utrecht, Pengantar
Dalam Hukum Indonesia, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, 1983.
Wignjosoebroto,
Soetandyo, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA,
Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar