Labels

Pages

Kamis, 29 Maret 2012

DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM : SUATU TINJAUAN TEORITIS

Dominasi Politik Terhadap Hukum : Suatu Tinjauan Teoritis

JUDUL  DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM : SUATU TINJAUAN TEORITIS

PENULIS          ASDIAN SAMSUL ARIFIN

BAB I
PENDAHULUAN

“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Adagium dari Mochtar Kusumaatmadja itu secara sederhana namun tepat menggambarkan betapa erat kaitan antara kekuasaan dan hukum. Kekuasaan merupakan salah satu unsur dari politik, yaitu mengenai proses mendapatkannya. Sedangkan hukum merupakan suatu produk yang diidealkan sebagai konsensus (kecuali hukum dari raja, yang bukan merupakan suatu konsensus) yang dihasilkan dari proses-proses politik dan dikukuhkan dengan kekuasaan yang diperoleh juga dari proses politik. Maka dari itu, tepatlah jika Bintan Regen Saragih mengibaratkan hukum dan politik sebagai dua sisi dari satu mata uang, dimana sisi yang satu tidak akan lepas dari (pengaruh) sisi yang lainnya.
Hubungan yang tidak dapat dipisahkan ini tidak terlepas dari hakikat bahwa hukum dan politik sama-sama merupakan sub sistem sosial kemasyarakatan, yang merupakan sistem yang terbuka, sistem yang satu mempengaruhi sistem lainnya. Melihat hubungan politik dan hukum dari sudut pandang hukum, maka adagium yang dicetuskan oleh Moh. Mahfud MD, yaitu dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, patut dicermati.
Tulisan ini menggunakan asumsi yang berakar dari “das sein” bahwa hukum merupakan produk politik. Dengan asumsi ini maka dalam menjawab hubungan antar keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangka politiik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh) dan akan mencoba menjawab pertayaan-pertanyaan mengapa politik dominan terhadap hukum? Dan bagaimana politik mendominasi hukum?

BAB II
POLITIK, HUKUM DAN HUBUNGANNYA DALAM ABSTRAKSI
Dalam Bab ini, akan diuraikan mengenai tinjauan teoritis mengenai politik dan hukum dalam otonomi segi keilmuan masing masing, serta hubungan antara politik dan hukum dalam satu kesatuan sistem sosial.
A.  Politik
Sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial atau ilmu tidak pasti, politik mempunyai banyak definisi sebanyak jumlah manusia (quot homines, tot sententiae). Namun, dalam tulisan ini, penulis mencari pengertian politik yang sesuai dengan hubungannya dengan hukum, yaitu mengenai penyelenggaraan negara. Politik, dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai The science of the organization and administration of the state (ilmu pengetahuan tentang organisasi dan penyelenggaraan negara (Bryan A Garner, 1999 : 1179). Dalam ilmu politik banyak sekali definisi-definisi mengenai politik. Salah satunya sebagaimana dicetuskan oleh Miriam Budiharjo, yang menyatakan bahwa pada umumnya politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan sistem tersebut (Miriam Budiharjo, 1988 : 8).
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (legal policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara yang dipakai dapat bersifat persuasi dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa paksaan, kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Miriam Budiharjo, 1988 : 8). Jadi, dalam uraian teoritis diatas, kita dapat mengabstraksi unsur-unsur dari suatu politik, menyangkut penyelenggaraan negara oleh organisasi negara, (yang diberikan) kekuasaan, (untuk menentukan) kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara. Unsur-unsur pokok dalam pengertian politik diatas adalah :
1.   Negara
Konsep negara sebagai organisasi kekuasaan dicetuskan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa negara dianggap sebagai kumpulan individu, rakyat, yang hidup dalam satu bagian permukaan bumi tertentu dan tunduk pada kekuasaan tertentu, hingga membentuk satu negara, satu teritorial, satu kekuasaan dan satu rakyat (Hans Kelsen , 2006 : 360).
2.   Kekuasaan
Hobbes mendefinisikan kekuasaan sebagai sarana yang ada sekarang untuk mendapatkan kebaikan yang nyata di masa mendatang (Carl Joachim Friedrich, 2008 : 107). Dalam lingkup kenegaraan, kekuasaan berarti validitas dan efektivitas tatanan hukum yang dari kesatuannya diperoleh validitas territorial dan validitas rakyat (Hans Kelsen, 2006 : 360). Kekuasaan merupakan salah satu tujuan dari politik.
3.   Kebijaksaaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijaksanaan (beleid) diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990 : 115).
B.  Hukum
Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (yang biasanya disebut norma atau kaidah) perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa (Utrecht, 1983 : 2, 3 dan 8). Pandangan ini merupakan pandangan normatif dari hukum, sedangkan hukum secara filosofis dan sosiologis, juga terkait dengan perkembangan hubungan antar masyarakat dalam suatu sistem sosial.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi juga lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970 : 11). Jika Utrecht mendefinisikan hukum dari sudut pandang normative, maka Mochtar melihat hukum tidak hanya dari sudut pandang normatif, tetapi juga empiris atau realisme.
Dalam pandangan realisme, maka hukum bukan merupakan sistem yang tertutup dan tidak dapat dipengaruhi, melainkan sebaliknya sebagai sistem terbuka, yang dapat dipengaruhi oleh sistem lainnya dalam sistem sosial kemasyarakatan. Misalkan, dalam kaitan dengan hubungan hukum dan kekuasaan negara, John Austin menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara, dan hakikat hukum itu terletak pada unsur perintah itu (Shidarta Darji Darmodiharjo, 2002 : 128). Perintah itu merupakan suatu simpul luar dari simpul dalam kekuasaan, yang diperoleh politik, maka hukum tidak terbebas dari pengaruh sistem politik.
Sebagaimana yang dikatakan Jarome Frank, tujuan utama kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan “bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum” sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat mencangkup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum (Phillipe Nonet dan Phillip Selznick, 2008 : 83). Maka dari itu, hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu aturan yang kaku dan bersifat dogmati, tetapi hendaknya dilihat sebagai suatu kesatuan komprehensif dengan sistem sosial lainnya.
C.  Hubungan Antara Politik dan Hukum
Langkah pertama penyaluran/pengarahan perkembangan sosial menuju ke kemajuan sosial ialah meyakini bahwa kejadian-kejadian politik-ekonomi-teknik-administrasi tidak merupakan kejadian yang lepas satu sama lain, melainkan merupakan kejadian yang mutual-interdependent (Astrid S Susanto, 1983 : 161). Hal ini terjadi karena kesemua itu hidup dalam satu sistem sosial kemasyarakatan.
Dalam bukunya, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Mochtar Kusumaatmadja membuat adagium “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” (R. Otje Salman, 1992 : 31). Adagium ini sederhana namun tepat menggambarkan betapa erat kaitan antara kekuasaan dan hukum.
Dalam hubungan kekuasaan dan hukum, juga dipandang perlu untuk mencermati pendapat dari Sutandyo Wijnsubroto, yang menyatakan bahwa bukanlah menurut idealnya (yang dinamakan konstitusionalisme), apa yang disebut kosntitusi selalu dimaksudkan untuk mengatur hubungan yang fungsional antara “kekuasaan” (yang dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negara) dan “kebebasan” (yang tetap diakui sebagai bagian dari eksistensi kodrati manusia-manusia warga negara). Itu berarti bahwa besar kecilnya kekuasaan yang akan dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negeri itu amat ditentukan oleh luas-sempitnya ranah kebebasan yang tetap dikukuhkan para warga (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002 : 415). Pandangan Sutandyo Wijnsubroto sesuai dengan konsep filsafat hukum ditinjau dari segi negara yang lahir sebagai produk perjanjian bersama oleh masyarakat yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes dan J.J Rosseau. Maka, memperluas pandangan filsuf ini, menurut Sutandyo, konstitusi sebagai hukum tertinggi merupakan suatu kehendak bersama warga masyarakat mengenai luas atau sempitnya kebebasan yang diingini oleh para warga tersebut.
Dalam prespektif keilmuan, maka Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan sebagainya (Moh. Mahfud MD, 1998 : 7-8). Jadi, sebagai suatu kesatuan pohon, jenis atau perbuatan akar akan mempengaruhi batang pohon yang kemudian juga mempengaruhi cabang dan ranting pohon.
Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas anatara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada, maka kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum (Moh. Mahfud MD : 1998 : 7-8). Salah satu unsur penting dalam politik dan hukum yang menentukan hubungan antara keduanya adalah dalam hal pencapaian tujuan negara. Tujuan negara ditentukan oleh proses politik pada masa kemerdekaan dan dirumuskan dalam pembukaan konstitusi, yang merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia (UUD 1945).
Pola hubungan diatas kemudian disistematisasi menjadi suatu ajaran baru, suatu ilmu pengetahuan yang dinamakan politik hukum. Padmo Wahyono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Abdul Hakim Garuda Nusantara mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu yang dapat meliputi : 1) pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang telah ada; 2) pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru; 3) penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya; dan 4) peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elite pengambil kebijakan. Atas beragam definisi politik hukum, rumusan sederhana dibuat oleh Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara(Moh. Mahfud MD, 2006 : 13. Menurut penulis, definisi yang diberikan oleh Moh. Mahfud MD adalah definisi yang paling menjelaskan hubungan antara politik dan hukum dalam suatu ilmu yang dinamakan politik hukum.
Hal penting lainnya dalam perumusan hubungan antara politik dan hukum adalah bahwa keduanya merupakan sub sistem dari masyarakat. Politik pada segi idea merupakan kehendak masyarakat. Dari proses politik, dihasilkan suatu consensus (kecuali dalam hukum raja, yang bukan merupakan suatu konsensus) yang mengatur masyarakat melalui hukum. Sedangkan hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk merubah masyarakat.

BAB III
DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM
Setelah mengurai mengenai hubungan antara politik dan hukum, maka penulis mengambil satu asumsi determinan, yaitu politik yang determinan terhadap hukum, karena penulis berpendapat bahwa asumsi inilah yang secara nyata menggambarkan kondisi di Indonesia saat ini.
A.  Tinjauan Teoritis Mengenai Dominasi Politik
Selain pendekatan yuridis normatif dalam pengkajian hukum, hukum juga masih mempunyai sisinya yang lain, yaitu hukum dalam kenyataannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam kenyataan sosial itulah hukum menemukan kenyataannya yang paling hakiki, bahwa sebagai salah satu dari sub sistem sosial, hukum tidak lepas dari pengaruh sub sistem sosial lainnya, termasuk politik.
Dalam Black’s Law Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or something) or to control (someone or something))(Bryan A Garner : 502).Yaitu, keadaan menguasai seseorang atau sesuatu.
Tanpa disadari oleh manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan dominasi dalam sistem sosial.
Pada awal abad ke-21 ini semakin banyak orang menyadari bahwa politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup manusia. Politik hadir di mana-mana di sekitar manusia, sadar atau tidak mau, politik ikut mempengaruhi kehidupan manusia sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Politik akan berlangsung sejak kelahiran sampai kematian manusia, maka dari itu, aristoteles pernah mengatakan bahwa politik itu merupakan master of science dan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara (Abdul Manan, 1999 : 101). Hal yang terpenting diatas adalah bahwa politik berpengaruh pada modernisasi. Modernisasi adalah proses menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan. Ditinjau dari segi politik, modernisasi dengan berpegang pada demokrasi sangat sukar diwujudkan, yaitu karena sistem demokrasi sendiri tergantung dari konsensus. Berbeda halnya dengan negara totaliter, di mana perubahan dapat diadakan dengan dipaksakan dari atas, tanpa menghiraukan manusianya (Astrid S Susanto : 180). Jadi, secara teoritis, politik dapat mengubah sendi-sendi kehidupan sosial suatu bangsa.

B.  Politik Dominan Terhadap Hukum
Max steiner, mengutarakan idiom bahwa “sejemput kekuasaan lebih bermanfaat daripada sekarung hak” (L.J. Van Appledoorn, 2008 : 57). Hal ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh politik pada hukum. Secara politis historis, terbuktikan bahwa perkembangan masyarakat dapat dihambat oleh beberapa negara yang mampunyai pemerintahan absolut atau pemerintahan colonial (Astrid S Susanto : 163). Seperti Indonesia pada masa 200 tahun pertama pemerintahan Hindia Belanda, pada masa tersebut, masyarakat cederung bersifat keaderahan, belum menyadari kesatuannya karena dijejali politik devide et impera, sehingga belum bersatu padu.
Adanya perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan diantara keduanya, terutama perbedaan antara alternatif jawaban yang pertama dan kedua pada baba terdahulu, disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkatan hubungan antar anggota masyarakat termasuk daam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari segi das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya (Moh. Mahfud MD, 1998 : 8).
Karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah (Moh. Mahfud MD, 1998 : 13). Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik.
Konstatasi ini dapat dilihat fakta bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan penegakkan hukum tidaklah berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya. Dikatakan bahwa jika program kodifikasi dan unifikasi hukum dijadikan ukuran maka pembangunan struktur hukum telah berjalan cukup baik dan stabil karena dari waktu ke waktu ada peningkatan produktivitas (Moh. Mahfud MD, 2006 : 64 ).
Teori-teori yang melengkapi khasanah pengetahuan mengenai dominasi politik terhadap hukum adalah sebagai berikut :
1.   Pascal menyatakan bahwa : La justice est sujette a dispute, la force est tres reconnaissable et sans dispute. Ainsi on n’a pudonner la force a la justice, parce que la force a contredit la justice et a dit qu’elle etait injuste, et a dit que c’etait elle qui etait juste. Et ainsi ne pouvant faire que ce qui etait juste fut fort, on a fait que ce est fort fut juste (L.J. Van Appledoorn : 57-58). Yang artinya kurang lebih adalah keadilan menimbulkan pertentangan, kekuasaan tampak nyata dan tidak menimbulkan pertentangan. Keadilan tidak dapat disetarakan dengan kekuasaan, karena kekuasaan dapat menyangkal keadilan dan menyatakan bahwa keadilan itu tidak adil. Sehingga kemudian dapat membuat apa yang benar itu adalah kekuatan dan kekuatan itu benar.
2.   Lassalle, seorang teoritis aliran hukum alam, menyatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis dan hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara (L.J. Van Appledoorn : 57-58).
3.   Ludwig Gumplowicz menyatakan bahwa negara adalah eine organisation der herrschaft einer minoritat uber eine majoritat (yaitu, organisasi berdasarkan dominasi kaum minoritas terhadap kaum mayoritas). Hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya (L.J. Van Appledoorn : 57-58).
4.   Anton Menger memperoleh kesimpulan : alle bisherigen rechtsordnungen sind in letzter reihe aus machtverhaltnissen entstanden und haben deshalb immer den zweck verfolgt den nutzen der wenigen machtingen auf kosten der breiten volkmassen zu fordern (L.J. Van Appledoorn : 59). Kesimpulan dari pendapat Menger adalah bahwa semua ketentuan hukum berada pada garis akhir dari keseimbangan kekuasaan yang dikembangkan and oleh karena itu tujuannya selalu akan mengejar penggunaan alat kekuatan negara untuk meredam tuntutan masyarakat.
5.   Para aliran positivis menarik kesimpulan bahwa kepatuhan kepada hukum itu tak lain daripada tunduknya orang-orang yang lebih lemah pada kehendak orang-orang yang lebih kuat. Jadi, hukum adalah “hak orang terkuat” (L.J. Van Appledoorn : 59).
6.   John Austin mendefinisikan hukum sebagai peraturan yang diadakan untuk member bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa diatasnya (Wolfgang Friedmann, 1990 : 149). Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang baik dan buruk, namun didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.
Menggunakan asumsi dasar kedua dalam hubungan antara politik dan hukum, yaitu politik determinan terhadap hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Sebagai produk politik bisa saja hukum itu memuat isi yang lebih sarat dengan kepentingan politik kelompok dan jangka pendek yang secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya (Moh. Mahfud MD, 2006 : 37). Di dalam sistem demokrasi di Indonesia, masyarakat berhak, bahkan wajib berpolitik untuk menentukan haluan negara, membuat undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan kekuasaan negara. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil proses politik dalam masyarakat. Setelah hukum dibentuk dalam wujud undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain, maka setiap orang yang mendiamiwilayah republik Indonesia harus tunduk kepadanya, tidak terkecuali organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh politik yang semula ikut menyusun hukum (Zainuddin Ali, 2007 : 34).

C.  Konfigurasi Politik dan Karakter Hukum
Jadi, meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya (Moh. Mahfud MD, 2006 : 65). Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi politik ini biasanya terwujud dalam partai politik. Bila partai-partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya,maka disebutkn bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Jika partai-partai politik yang ada itu tidak berperan secara nyata dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya, maka dikatakan bahwa konfigurasi itu adalah konfigurasi politik yang non-demokratis (Bintan Regen Saragih, 2006 : 33).
Di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15). Dari pernyataan tersebut, maka Moh. Mahfud MD membagi dua variabel antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum yang dipengaruhi konfigurasi tersebut, yang dibuat berdasarkan penelitian beliau atas konfigurasi politik dan karakter hukum di Indonesia.
Hubungan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15):
No Konfigurasi Politik  Karakter Hukum
Demokratis        Otoriter           Responsif        Konservatif
1    Parpol dan parlemen berperan aktif menentukan kebijakan negara Parpol dan parlemen lemah dan fungsinya lebih sebagai rubber stamps Pembuatannya partisipatif bagi masyarakat    Pembuatannya sentralistik di lembaga eksekutif
2    Eksekutif bersifat netral sebagai pelaksana Eksekutif bersifat intervensionis         Isinya aspiratif atas tuntutan masyarakat            Isinya positivis instrumentalis

3    Pers bebas    Pers terpasung, terancam pembredelan           Cakupannya bersifat limitative (close interpretative)          Cakupannya cederung open interpretative

Dapat diakatakan bahwa politik hukum pada konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk menciptakan hukum yang mendekatkan tata hukum pada realitas sosial, sedangkan pada konfigurasi politik yang non-demokratis umumnya menciptakan hukum untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata hukum dengan realitas soosial (Bintan Regen Saragih : 34). Konfigurasi politik, baik demokratis maupun non demokratis telah menjadi bagian dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Konfigurasi politik demokratis tercermin sejak masa kemerdekaan, dengan sistem multipartai, menciptakan produk-produk hukum yang menhapus dominasi colonial dan mengutamakan kebebasan rakyat Indonesia. Hal ini merupakan euphoria kemerdekaan dan kebebasa Indonesia dari belenggu penjajah. Sedangkan fase politik non demokratis secara visual, walaupun disuarakan secara demokratis, tampak pada masa orde baru. Dengan pemasungan kepada aspek-aspek tertentu, seperti ketidakbebasan pers dan partai.
Pada era reformasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem kentatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralisasi ke sistem otonomi. Perubahan paradigm ini sudah barang tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini, yaitu yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat dan juga prduk-produk hukum yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah (Abdul Manan : 104). Produk hukum yang dihasilkan oleh konstitusi selayaknya harus mengedepankan kepentingan rakyat dan daerah, namun, pada kenyataannya dominasi politik kian kencang dan tidak terkendali. Partai politik yang secara teoritis merupakan penjelmaan kehendak rakyat, malah menjadi ajang perebutan kekuasaan, sedangkan hukum menjadi salah satu alatnya.
Partai politik melalui DPR mempunyai peran penting dalam pembentukan hukum, namun, jika kenyataannya partai politik hanya menjadi ajang mempertahankan maupun memperoleh kekuasaan, maka dengan determinannya politik atas hukum, yang terjadi adalah hukum akan mengikuti arah politik yang keliru, sehingga hukum dapat kehilangan legitimasinya. Seorang dosen pernah berbicara, bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, uang dan kepentingan-kepentingan yang koruplah yang berbicara, dan dalam kenyataannya hal ini terjadi, misalnya tentang pembentukan peraturan mengenai peralihan hutan lindung, yang menjebloskan beberapa anggota DPR ke dalam penjara, atau yang lebih tinggi indikasinya adalah suap dalam pembentukan UU tentang pemekaran daerah. Jika hal ini terjadi, maka dominasi politik terhadap hukum membuka peluang adanya tindak pidana korupsi berupa political bribery maupun political kickback. Mengenai political bribery maupun political kickback, akan dibahas penulis dalam tulisan yang lain.

BAB IV KESIMPULAN
Tanpa disadari oleh manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan dominasi dalam sistem sosial, termasuk pada hukum.
Hubungan antara politik dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das sein. Meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, hal ini terjadi karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.
Politik mempengaruhi hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis.
Pada saat sekarang ini di Indonesia, dominasi politik terhadap hukum semakin menguat. Partai politik yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang hanya terkesan menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan. Hal ini akan berakibat yang sangat serius, karena tentunya akan menghasilkan hukum yang hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa memperhatikan kesesuaiannya dengan tujuan negara
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Appledoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, Cetakan XI, 1988.
Darmodiharjo, Shidarta Darji, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan ke-3, 1990.
Friedmann, Wolfgang, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), CV. Rajawali, Jakarta, 1990, hlm 149. (terjemahan dari Wolfgang Fiedmann, Legal Theory penerjemah : Mohamad Arifin).
Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum; Prespektif Historis, Nusamedia, Bandung, cetakan keduan, 2008
Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group, St.Paul Minn, 1999.
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung, 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipa, Bandung, 1970.
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hlm 7-8
Mahfud MD, Moh., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006
Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005
Nonet, Phillipe dan Selznick, Phillip, Hukum Responsif, Nusamedia, bandung, 2008.
Salman, R. Otje, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992.
Saragih, Bintan Regen, Politik Hukum, CV Utomo, Bandung, 2006
Susanto, Astrid S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, 1983.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, 1983.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar