Labels

Pages

Kamis, 29 Maret 2012

Politik Hukum


1. Intro
Salah satu pengertian politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Pengertian itu mengungkapkan adanya pokok-pokok penting dalam politik hukum, dimana memberikan suatu arti yang esensial dalam pembentukan hukum. Pokok-pokok itu diantaranya: tujuan apa yang hendak dicapai, metode yang tepat yang akan digunakan, waktu dilaksanakan, dan perumusan hukum yang bagaimana supaya tujuan negara tercapai.
Pengertian-pengertian politik hukum, menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Artinya hukum yang diberlakukan dipergunakan sebagai alat oleh negara untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, politik hukum juga dijadikan alat untuk membentuk hukum; baik dalam rangka menciptakan hukum yang baru, maupun mengganti dan/atau merubah hukum yang lama. Hukum yang dibentuk tersebut kemudian secara politis diakui dan diberlakukan kepada masyarakat. Dengan demikian, politik hukum yang oleh Sudarto diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, menjadikan politik hukum sebuah langkah bagi pemerintah untuk membentuk sistem hukum demi mencapai tujuan negara.
Politik hukum di Indonesia sendiri memiliki dua sifat, yakni : (a) sifat permanen atau jangka panjang, dimana sifat ini merupakan prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD, yang selanjutnya berlaku sebagai politik hukum; (b) sifat periodik, dimana politik hukum dibuat pada situasi dan kondisi pada periode tertentu, yang dimaksudkan untuk memberlakukan atau mencabut hukum tertentu.
Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilihat dan diteliti. Politik hukum lebih bersikap formal pada kebijakan resmi, sedangkan studi politik hukum mencakup kebijakan resmi dan kaitannya dengan hal-hal yang lainnya. Sebagai sebuah studi terhadap perkembangan politik hukum, maka studi politik hukum memiliki cakupan tertentu, yakni :
a) Kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan dan hukum yang tidak diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara;
b) Latar belakang lahirnya sebuah produk hukum;
c) Penegakan hukum pada kenyataannya di lapangan.
2. Politik Hukum sebuah Urgensitas
Politik dan hukum dalam konteks ilmu sosial dan humaniora adalah variabel-variabel yang memiliki keterkaitan erat dalam sebuah hubungan kausalitas yang masing-masing memberikan pengaruh. Secara konseptual, keduanya memiliki kekuatan untuk saling mempengaruhi. Dengan demikian bilamana politik dan hukum dipisahkan dan berdiri sendiri, maka keduanya tidak memiliki arti bagi pemakainya. Dalam melihat hubungan di antara keduanya, maka akan muncul banyak asumsi yang digunakan demi medapatkan visi tertentu. Asumsi-asumsi yang muncul adalah asumsi-asumsi yang menempatkan politik dan hukum sebagai variabel yang saling bertumbukan.
Munculnya asumsi-asumsi dilatarbelakangi oleh pengenaan das sollen dan das sein dalam melihat politik dan hukum. Apabila menggunakan pemikiran yang berlandaskan pada analisis das sollen maka hukum akan menjadi dominan atas politik. Sementara itu, jika berlandaskan pada das sein maka yang terjadi adalah hukum didominasi oleh politik. Karena hukum dan politik adalah variabel, maka dengan landasan yang demikian, maka kedudukan sebagai independent variable dan dependent variable akan sangat ditentukan olehnya. Pada kerangka yang lain, das sollen-das sein menjadi perspektif-perspektif untuk memandang politik dan hukum, yang terbagi atas beberapa pendapat, diantaranya :
• Hukum determinan atas politik
• Politik determinan atas hukum
• Politik dan hukum determinasinya seimbang
Di dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kebenaran yang ada adalah kebenaran relatif. Artinya bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak yang ditemukan secara ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kedua asumsi di atas, menemukan tujuannya masing-masing. Asumsi pertama politik adalah produk hukum, bukanlah kesimpulan yang salah mengingat landasan asumsi yang dipergunakan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Demikian sebaliknya, bilamana hukum merupakan produk politik, maka secara ilmiah kesimpulan itu dapat dipertanggungjawabkan pula.
Studi politik hukum merupakan sebuah studi yang masih diperdebatkan letaknya secara ilmiah. Politik hukum dianggap sebagian orang sebagai bagian dari ilmu hukum, sementara ada yang menganggap sebagai bagian dari ilmu politik. Sebagai bagian dari ilmu hukum, politik berakar dari filsafat. Politik kemudian menghasilkan berbagai produk hukum (hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, dan lain sebagainya), yang kemudian mengisi kehidupan masyarakat.
Studi politik hukum di Indonesia, terkait erat dengan pengertian atau definisi politik hukum. Akan tetapi ada perlunya untuk memperhatikan kesamaan-kesamaan substantif antar berbagai pengertian yang ada. Umumnya politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang mana yang sifat dan arahnya hukum akan dibangun dan ditegakkan. Secara khusus, studi politik hukum di Indonesia cenderung pada pengertian politik hukum sebagai legal policy yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional di Indonesia, yang meliputi : (1) pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan (2) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
3. Hukum sebagai Produk Politik
Mahfud MD dalam bukunya ini, menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. Hal ini berarti bahwa politik sebagai independent variable menjadi variabel yang berpengaruh bagi terbentuknya hukum, dimana hukum diletakkan sebagai dependent variable. Hukum dalam tulisannya Mahfud tersebut adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara politis. Realitas bahwa hukum di Indonesia tergantung atas politik yang berkembang, yakni politik determinan atas hukum, dapat dilihat dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing satu dengan yang lainnya, kemudian mengkristalisasi membentuk peraturan-peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif).
Pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik dikarenakan di Indonesia peraturan perundangan merupakan hasil dari kontestasi kepentingan dan aspirasi politik dari pihak-pihak yang secara bersama-sama membentuk undang-undang. Undang-undang yang terbentuk merupakan hasil dari upaya akomodasi dari kekuatan politik dan aspirasi politik. Maka dengan demikian hukum sendiri adalah produk politik.
Sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti undang-undang yang merupakan produk politik, tetapi juga hukum yang mencakup konstitusi atau undang-undang dasar. Dalam kerangka keluasan arti hukum tersebut, nampak bahwa konstitusi merupakan resultante yang sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat pembuatannya. Inilah kemudian yang dikenal dengan konfigurasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, yang mempengaruhi pembentukan hukum.
Konsentrasi pada ‘hukum sebagai produk politik’ mengesampingkan konfigurasi-konfigurasi yang lain, sebab asumsi yang dipakai menyatakan bahwa hukum merupakan produk dari perkembangan politik. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa dalam suatu keadaan politik yang menimbulkan pemerintahan dan hukum baru, dapat sah menjadi pemerintah dan konstitusi baru bila pemerintah tersebut secara politik bisa mempertahankan dan memberlakukannya.
Determinasi politik terhadap hukum menyebabkan politik menjadi independent variable yang dibedakan menjadi politik yang otoriter dan politik yang demokratis. Sementara hukum yang berkedudukan sebagai dependent variable dibedakan menjadi hukum yang ortodoks dan hukum yang responsif.
4. Konfigurasi Politik
Dalam perkembangan politik dikenal dengan adanya konfigurasi politik. Konfigurasi politik dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni; peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan media dan pers, serta peranan eksekutif. Adapun dinamisasi indikator tersebut menyebabkan hukum menjadi salah satu produk bagi perkembangan konfigurasi politik itu sendiri. Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yakni konfigurasi politik yang otoriter dan konfigurasi politik yang demokratis. Pada kenyataannya, konfigurasi politik ini sangat tergantung pada penyelenggaraan negara, baik demokratis maupun yang otoriter. Hal ini karena beragamnya variasi pelaksanaan demokratisasi dan otoriterisme, bahwa secara teoritis yang demokrasi tidak selalu murni dilaksanakan, ataupun yang otoriter juga tidak selalu murni otoriter.
a. Konfigurasi politik demokratis
Yakni susunan sistem politik yang membuka kesempatan/peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Demokratis dalam pengertian ini adalah demokratis dimana ada pembatasan-pembatasan kewenangan pemerintah untuk melindungi individu dan kelompok melalui tata cara pergantian pemimpin secara berkala, tertib, dan damai yang diselenggarakan dengan menggunakan efektivitas alat-alat perwakilan rakyat. Selain itu, nampak adanya toleransi terhadap sikap oposisi, tuntutan akan fleksibilitas, dan kegiatan-kegiatan eksperimental di bidang politik. Kemudian, demokrasi juga menekankan pada penghargaan terhadap kaum minoritas, dimana partisipasi mereka tidak didiskriminasi.
Dalam konfigurasi politik demokratis, dapat ditemukan bahwa kedudukan parpol dan parlemen sangat menentukan kebijakan negara. Selain itu lembaga eksekutif (pemerintah) memiliki posisi yang tidak berpihak, sehingga pers dapat terselenggara secara bebas, sensor yang akomodatif, serta anti pembredelan.
b. Konfigurasi politik otoriter
Yakni susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir semua inisiatif dalam membuat kebijaksanaan negara. Dalam konteks ini, negara mendorong untuk memaksakan persatuan, penyamaan persepsi (dengan menghilangkan oposisi), dengan percaya diri menjalankan kebijaksanaan pemerintah tanpa mendengar kritikan, dan mempertahankan status quo (elite tertentu). Untuk melaksanakan itu semua, negara menyusupkan doktrin-doktri pembenaran atas tindakan negara (termasuk kehendaknya sendiri) demi tujuan-tujuan tertentu yang diasumsikan sebagai sejarah. Akibatnya, muncul perilaku-perilaku untuk menghilangkan perbedaan pendapat, kritik, dan mengusahakan suatu ide mengenai masyarakat sosial yang homogen dan seragam.
Dalam konfigurasi ini, partai politik dan parlemen seringkali berada dalam kontrol pemerintah, sehingga menjadi susah bergerak. Intervensi-intervensi pemerintah menyebabkan pers tidak berkembang sesuai dengan asas-asas kebebasan media, dan penuh dengan ancaman-ancaman sensor.
5. Karakter Produk Hukum
Dalam studi politik hukum yang dituangkan oleh Mahfud, maka dapat ditarik sebuah keadaan dimana hipotesa awal yang digunakan adalah konfigurasi politik diasumsikan sebagai independent variable dan karakter produk huku sebagai dependent variable. Berdasarkan pembahasan di atas, serta dampak dari pengaruh konfigurasi politik dalam upaya pembentukan hukum, maka produk hukum yang dihasilkan terdiri dari dua karakter, yaitu :
responsif/populistik:
- Definisi: hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat
- Proses pembuatan mengikutsertakan masyarakat (sebanyak-banyaknya) yang diwakili melalui individu-individu, atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
- Aspiratif : memuat materi-materi yang umumnya sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarakat
- Limitative : artinya bahwa peluang untuk menafsirkan suatu materi sangat dibatasi karena kedetailan isi dan tujuannya (peraturan pelaksana hanya bersifat teknis)
konservatif/ortodoks/elitis
- Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara
- pembuatannya didominasi oleh elite-elite politik tertentu, atau lembaga negara terutama oleh pemegang kekuasaan eksekutif
- Positivis-instrumentalis : substansinya memuat materi-materi demi mewujudkan keinginan dan kepentingan program pemerintah saja
- Open interpretative : peluang untuk ditafsirkan sangat terbuka, karena isi hukumnya singkat, hanya pokok-pokoknya saja sehingga cenderung dijadikan alat untuk mengatur sesuai visi dan misinya sendiri

0 komentar:

Posting Komentar