KONTROVERSI
FATWA HARAM MEROKOK
Munculnya fatwa haram
merokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah
menimbulkan kontroversi dan pro kontra ditengah masyarakat, walaupun fatwa
tersebut diklaim dikeluarkan sudah berdasarkan surat dalam Al Qur’an, sudah
sesuai dengan UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No 36 tahun 2006
tentang Kesehatan. Kontroversi ini semakin menghangat ketika sejumlah tokoh
utama Muhammadiyah sendiri antara lain Amien Rais mengaku terkejut dengan fatwa
ini. Bahkan, sejumlah kalangan memprediksi fatwa ini bisa menimbulkan
kerawanan, gejolak sosial dan gangguan Kamtibmas ke depan.
·
Pro
Kontra
Setelah keluarnya
fatwa haram rokok sejak tanggal 8 Maret 2010, telah menimbulkan kontroversi dan
pro kontra ditengah masyarakat dengan berbagai kepentingannya. Kelompok yang
pro seperti Kabid Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah,
Sudibyo Markus mengatakan dikeluarkannya fatwa haram merokok ini sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UUD 1945, UU No 39
tahun 1999 tentang HAM dan UU No 36 tahun 2006 tentang Kesehatan dan PP
Muhammadiyah berharap pemerintah dapat menjalankan masalah ini secara bertahap
dan untuk sementara berlaku di kalangan internal Muhammadiyah.
Kemudian, Ketua PP
Muhammadiyah, Yunahar Ilyas berpendapat Pimpinan Pusat Muhamadiyah melalui
Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa merokok hukumnya haram, dimana
keputusan ini diambil dalam halakah tentang pengendalian dampak tembakau yang
diselenggarakan di Yogyakarta pada 7 Maret 2010.
“Ada sejumlah alasan mengapa PP
Muhammadiyah mengharamkan merokok yaitu merokok termasuk kategori perbuatan
melakukan khaba’is yang dilarang dalam Al Qur’an (QS 7: 157), perbuatan merokok
mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan merupakan perbuatan
bunuh diri secara perlahan, sehingga bertentangan dengan Al Qur’an (QS 2:195
dan 4:29). Pelaksanaan fatwa haram merokok ini di lingkungan Muhammadiyah
segera ditindaklanjuti dengan larangan merokok di seluruh jajaran organisasi,
lembaga-lembaga amal usaha seperti sekolah, universitas, rumah sakit, masjid
dan berbagai fasilitas Muhammadiyah di seluruh Indonesia,” ujarnya
Sementara itu, Ketua
Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan Komnas Perlindungan Anak
menyampaikan apresiasi kepada pengurus PP Muhammadiyah, sebab jutaan anak
Indonesia berterima kasih karena diselamatkan dari asap rokok. Angka perokok
anak terus mengalami peningkatan. Bahkan, sebuah survey menunjukkan anak
diindikasi menjadi perokok sejak usia 5 tahun.
Sedangkan, kelompok yang kontra
seperti Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Muhammad Sinol yang
berpendapat fatwa haram merokok ini jelas akan merugikan kalangan petani
tembakau dari hulu sampai hilir yang anggotanya mencapai 6,1 juta orang.
Disamping itu, kalau fatwa ini diberlakukan maka pajak yang disumbangkan dari
industri rokok ke keuangan negara sebesar Rp 55 trilyun akan berkurang.
Meskipun demikian, kami tetap yakin bahwa fatwa haram merokok ini tidak akan
berpengaruh banyak kepada masyarakat pengguna rokok, karena banyak ulama di
daerah-daerah yang masih menyatakan merokok adalah perbuatan mak’ruh dan sikap
ulama ini masih diikuti ummatnya.
Kemudian, Amien Rais
di Banjarnegara, menyatakan terkejut dengan keluarnya fatwa haram merokok dari
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, karena merokok adalah perbuatan yang
mak’ruh. Majelis Dakwah Muhammadiyah sendiri juga kurang setuju dengan
dikeluarkannya fatwa haram merokok ini.Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah
Yusuf mengatakan, jika fatwa itu benar-benar diterapkan, maka perekonomian Jawa
Timur akan mengalami kemerosotan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi,
mengingat nilai investasi industri olahan tembakau di Jawa Timur sangat besar,
karena pabrik rokok banyak kontribusinya dalam menampung tenaga kerja.
Bagaimanapun juga
merokok adalah gaya
hidup atau life style tidak hanya bagi masyarakat pedesaan tetapi juga bagi
masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, adanya fatwa haram merokok ini sudah
pasti akan mengagetkan mereka, sehingga tidaklah mengherankan jika fatwa ini
bisa menimbulkan berbagai bentuk kerawanan ataupun gejolak sosial seperti
melalui aksi unjuk rasa ataupun bentuk reaksi lainnya yang dilakukan kalangan
petani tembakau, buruh pabrik rokok, kalangan perokok sampai pengusaha rokok
itu sendiri.
Oleh karena itu,
kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan fatwa ini juga menyakini bahwa
fatwa ini akan berlaku di tingkat “lokal” Muhammadiyah sendiri, karena
sebelumnya MUI juga pernah mengeluarkan fatwa haram merokok dengan kondisi
khusus yaitu pada ibu yang sedang hamil, anak-anak dan merokok di lingkungan
umum, tapi setelah dikeluarkannya fatwa tersebut ternyata masih banyak anggota
masyarakat yang merokok di tempat-tempat umum serta tidak mendapatkan sanksi
apapun juga. Pelajaran penting yang bisa diambil dari keluarnya fatwa ini
adalah ke depan beberapa ormas keagamaan sebaiknya berhati-hati dalam
mengeluarkan fatwa atau peraturan sebelum mengkajinya secara mendalam tidak
hanya dari sudut keagamaan saja, melainkan sudut-sudut lainnya secara
komprehensif.
Sementara itu, sikap
yang perlu dilakukan pemerintah adalah “distancing/mengambil jarak” dengan
tidak mengomentari atau mengambil keputusan apapun tentang hal ini, karena
masalah ini bukan kompetensi pemerintah. Ini penting ditegaskan agar masalah
ini tidak menjadi blunder politik dan “bola panas” bagi pemerintah di kemudian
hari.
Kontroversi Ujian Nasional
Ujian Nasional
merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna
mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya
menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang
setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian
nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan
sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian
yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara
sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara,
di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap
bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan
kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita
kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk
menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi
dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual,
dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula
bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes
tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek
kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan
di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model
pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan
usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar
pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan
atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran
dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus
kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan
siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Terlepas dari kontroversi yang ada
bahwa sampai saat ini belum ada pola baku
sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan
pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut
berganti rupa.
·
Periode
1950-1960-an
Ujian akhir disebut
Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal
dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam
bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di
pusat rayon.
·
Periode
1965-1971
Semua mata pelajaran
diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh
pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah
pusat pula yang menentukan waktu ujian.
·
Periode
1972-1979
Pemerintah memberi
kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian
sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah
atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat
umum.
·
1980-2000
Mulai
diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini
menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA
untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan
EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua
evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
·
2001-sekarang
Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar