Labels

Pages

Senin, 05 Maret 2012

ikn 2


KONTROVERSI FATWA HARAM MEROKOK
Munculnya fatwa haram merokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menimbulkan kontroversi dan pro kontra ditengah masyarakat, walaupun fatwa tersebut diklaim dikeluarkan sudah berdasarkan surat dalam Al Qur’an, sudah sesuai dengan UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No 36 tahun 2006 tentang Kesehatan. Kontroversi ini semakin menghangat ketika sejumlah tokoh utama Muhammadiyah sendiri antara lain Amien Rais mengaku terkejut dengan fatwa ini. Bahkan, sejumlah kalangan memprediksi fatwa ini bisa menimbulkan kerawanan, gejolak sosial dan gangguan Kamtibmas ke depan.
·         Pro Kontra
Setelah keluarnya fatwa haram rokok sejak tanggal 8 Maret 2010, telah menimbulkan kontroversi dan pro kontra ditengah masyarakat dengan berbagai kepentingannya. Kelompok yang pro seperti Kabid Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, Sudibyo Markus mengatakan dikeluarkannya fatwa haram merokok ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No 36 tahun 2006 tentang Kesehatan dan PP Muhammadiyah berharap pemerintah dapat menjalankan masalah ini secara bertahap dan untuk sementara berlaku di kalangan internal Muhammadiyah.
Kemudian, Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas berpendapat Pimpinan Pusat Muhamadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa merokok hukumnya haram, dimana keputusan ini diambil dalam halakah tentang pengendalian dampak tembakau yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 7 Maret 2010.
“Ada sejumlah alasan mengapa PP Muhammadiyah mengharamkan merokok yaitu merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khaba’is yang dilarang dalam Al Qur’an (QS 7: 157), perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, sehingga bertentangan dengan Al Qur’an (QS 2:195 dan 4:29). Pelaksanaan fatwa haram merokok ini di lingkungan Muhammadiyah segera ditindaklanjuti dengan larangan merokok di seluruh jajaran organisasi, lembaga-lembaga amal usaha seperti sekolah, universitas, rumah sakit, masjid dan berbagai fasilitas Muhammadiyah di seluruh Indonesia,” ujarnya
Sementara itu, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan Komnas Perlindungan Anak menyampaikan apresiasi kepada pengurus PP Muhammadiyah, sebab jutaan anak Indonesia berterima kasih karena diselamatkan dari asap rokok. Angka perokok anak terus mengalami peningkatan. Bahkan, sebuah survey menunjukkan anak diindikasi menjadi perokok sejak usia 5 tahun.
Sedangkan, kelompok yang kontra seperti Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Muhammad Sinol yang berpendapat fatwa haram merokok ini jelas akan merugikan kalangan petani tembakau dari hulu sampai hilir yang anggotanya mencapai 6,1 juta orang. Disamping itu, kalau fatwa ini diberlakukan maka pajak yang disumbangkan dari industri rokok ke keuangan negara sebesar Rp 55 trilyun akan berkurang. Meskipun demikian, kami tetap yakin bahwa fatwa haram merokok ini tidak akan berpengaruh banyak kepada masyarakat pengguna rokok, karena banyak ulama di daerah-daerah yang masih menyatakan merokok adalah perbuatan mak’ruh dan sikap ulama ini masih diikuti ummatnya.
Kemudian, Amien Rais di Banjarnegara, menyatakan terkejut dengan keluarnya fatwa haram merokok dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, karena merokok adalah perbuatan yang mak’ruh. Majelis Dakwah Muhammadiyah sendiri juga kurang setuju dengan dikeluarkannya fatwa haram merokok ini.Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf mengatakan, jika fatwa itu benar-benar diterapkan, maka perekonomian Jawa Timur akan mengalami kemerosotan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, mengingat nilai investasi industri olahan tembakau di Jawa Timur sangat besar, karena pabrik rokok banyak kontribusinya dalam menampung tenaga kerja.
Bagaimanapun juga merokok adalah gaya hidup atau life style tidak hanya bagi masyarakat pedesaan tetapi juga bagi masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, adanya fatwa haram merokok ini sudah pasti akan mengagetkan mereka, sehingga tidaklah mengherankan jika fatwa ini bisa menimbulkan berbagai bentuk kerawanan ataupun gejolak sosial seperti melalui aksi unjuk rasa ataupun bentuk reaksi lainnya yang dilakukan kalangan petani tembakau, buruh pabrik rokok, kalangan perokok sampai pengusaha rokok itu sendiri.
Oleh karena itu, kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan fatwa ini juga menyakini bahwa fatwa ini akan berlaku di tingkat “lokal” Muhammadiyah sendiri, karena sebelumnya MUI juga pernah mengeluarkan fatwa haram merokok dengan kondisi khusus yaitu pada ibu yang sedang hamil, anak-anak dan merokok di lingkungan umum, tapi setelah dikeluarkannya fatwa tersebut ternyata masih banyak anggota masyarakat yang merokok di tempat-tempat umum serta tidak mendapatkan sanksi apapun juga. Pelajaran penting yang bisa diambil dari keluarnya fatwa ini adalah ke depan beberapa ormas keagamaan sebaiknya berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa atau peraturan sebelum mengkajinya secara mendalam tidak hanya dari sudut keagamaan saja, melainkan sudut-sudut lainnya secara komprehensif.
Sementara itu, sikap yang perlu dilakukan pemerintah adalah “distancing/mengambil jarak” dengan tidak mengomentari atau mengambil keputusan apapun tentang hal ini, karena masalah ini bukan kompetensi pemerintah. Ini penting ditegaskan agar masalah ini tidak menjadi blunder politik dan “bola panas” bagi pemerintah di kemudian hari.



Kontroversi Ujian Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik. Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
·           Periode 1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.
·           Periode 1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian.
·           Periode 1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
·           1980-2000
Mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir  Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
·           2001-sekarang
Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.

0 komentar:

Posting Komentar