KONTROVERSI DAMPAK SISTEMIK
BANK CENTURY
1. Lima Alasan Kenapa
Century Berdampak Sistemik
Sumber: infobanknews.com
Jangan sampai, politisasi
terhadap penyehatan bank akan membuat pengambil keputusan takut mengambil
keputusan jika ada bank yang ukurannya lebih besar mengalami kegagalan. Kasus
Bank Century menimbulkan kontroversi dari berbagai pakar apakah berdampak
sistemik atau tidak. Apakah bank tersebut ditutup pada November 2008 lalu?
Berbagai pertimbagan dan latar belakang yang meyikapi keadaan tersebut adalah
Kita lihat dampak pertama, yaitu kondisi sistem pembayaran. Sistem pembayaran boleh jadi berjalan normal, namun dengan gejala segmentasi di pasar uang antarbank (PUAB) yang makin meluas. Bukan hanya itu. Terdapat potensi kerentanan apabila terjadi flight to quality atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah-kecil akan mengalami kesulitan likuditas. Bahkan, terdapat 18 bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas bila hal tersebut terjadi. Di sisi lain, ada lima bank yang memiliki karakteristik mirip Bank Century diduga akan mengalami kesulitan likuiditas.
Kepanikan seperti itu membuat bank-bank cenderung menahan likuiditas, baik rupiah maupun valuta asing (valas), untuk keperluan likuiditasnya masing-masing. Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan
likuiditas yang cukup. Lebih mengerikan lagi, jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai. kegagalan bank dalam settlement kliring/real time gross settlement (RTGS), hal. ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan. berpotensi menimbulkan bank run. Disebut-sebut, dari 23 bank tersebut ada Rp30 triliun yang berpotensi fligt to quality. Dari jumlah itu, ada sekitar Rp18 triliun yang akan menjadi beban LPS jika dilakukan penutupan.
Berbagai pertimbagan dan latar belakang yang meyikapi keadaan tersebut adalah
Kita lihat dampak pertama, yaitu kondisi sistem pembayaran. Sistem pembayaran boleh jadi berjalan normal, namun dengan gejala segmentasi di pasar uang antarbank (PUAB) yang makin meluas. Bukan hanya itu. Terdapat potensi kerentanan apabila terjadi flight to quality atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah-kecil akan mengalami kesulitan likuditas. Bahkan, terdapat 18 bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas bila hal tersebut terjadi. Di sisi lain, ada lima bank yang memiliki karakteristik mirip Bank Century diduga akan mengalami kesulitan likuiditas.
Kepanikan seperti itu membuat bank-bank cenderung menahan likuiditas, baik rupiah maupun valuta asing (valas), untuk keperluan likuiditasnya masing-masing. Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan
likuiditas yang cukup. Lebih mengerikan lagi, jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai. kegagalan bank dalam settlement kliring/real time gross settlement (RTGS), hal. ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan. berpotensi menimbulkan bank run. Disebut-sebut, dari 23 bank tersebut ada Rp30 triliun yang berpotensi fligt to quality. Dari jumlah itu, ada sekitar Rp18 triliun yang akan menjadi beban LPS jika dilakukan penutupan.
Kedua, dampak terhadap
pasar keuangan. Ketika itu, situasi pasar keuangan masih
relatif labil dalam menyerap berita-berita negatif. Waktu itu terdapat potensi sentimen negatif di pasar keuangan,terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan.
Ketiga, dampak kepercayaan publik atau psikologis pasar. Penutupan bank dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik dan diyakini dapat berakibat fatal pada psikologi pasar yang sedang
sensitif. Pada waktu itu rumor kalah kliring dan situasi rawan fligt to quality sedang terjadi dengan isu-isu bank kekurangan likuiditas dan negera-negara tetangga. menerapkan kebijkan penjaminan 100%. Psikologi pasar inilah yang bisa memorak-porandakan sistem keuangan, kendati. bank tersebut berukuran kecil.
Keempat, berdampak pada bank lain. Jujur, harus diakui, jika dilihat dari peran bank memang tidak signifikan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi atau pemberian kredit, ukuran bank, substitutability, dan keterkaitan dengan bank atau lembaga keuangan lain. Namun, dari sisi jumlah nasabah dan jaringan kantor cabang, bank ini
termasuk memiliki jumlah nasabah yang cukup besar (65.000 nasabah) dan jaringan cukup luas di seluruh Indonesia dengan 65 kantor.
Dalam kondisi pasar yang normal, jika bank ini ditutup,diperkirakan relatif tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain. Namun, dalam kondisi pasar yang saat itu cenderung rentan terhadap. berita-berita negatif, penutupan bank berpotensi menimbulkan contagion effect berupa upaya rush terhadap bank-bank lain, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil. Situasinya ketika itu sedang terjadi penurunan kepercayaan masyarakat akibat psikologi pasar yang tidak menentu. Bahkan, akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar dan dapat menyeret bank-bank lain.
Kelima, kondisi sektor riil dan sistem keuangan. Saat itu,menurut data-data, kondisi sistem keuangan mengalami tekanan sejalan dengan kondisi ekonomi dan keuangan global yang terus memburuk. Hal yang sama juga terjadinya penurunan cadangan devisa dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Namun, karena perannya pada pemberian kredit terhadap sektor riil tidak signifikan, kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil
Nah, jika memperhatikan kenyataan pada November 2008, permasalahan yang terjadi pada Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik, terutama melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran, dan pasar keuangan. Psikologi pasar bisa merembet ke bank-bank yang lebih besar sehingga menimbulkan kekacauan (rush).
Itu artinya, kondisi saat pengambilalihan perlu diperhatikan. Tidak bisa dilihat dari kacamata sekarang ini. Hanya, sialnya, dalam situasi yang sistemik dengan psikologi pasar yang tak menentu, celakanya terjadi pada Bank Century, yang sebelum diambil alih dikelola dengan penuh moral hazard. Hal yang sama juga akan dilakukan jika terjadi pada bank lain karena memang situasi pada setahun lalu sangat rawan rush.
Psikologi masyarakat sangat rentan akan terjadinya bank run. Sebab,penyelamatan Bank Century atau sebuah bank gagal bukan semata-mata menyelamatkan satu bank, melainkan menyelamatkan industri
perbankan.
Jangan sampai, politisasi terhadap penyehatan bank akan membuat
pengambil keputusan takut mengambil keputusan jika ada bank yang ukurannya lebih besar mengalami kegagalan. Jika demikian, akan terjadi kiamat perbankan yang akan menghancurkan sistem perbankan. Harapannya, politisasi terhadap penyehatan perbankan
ini tidak akan memakan biaya krisis yang lebih besar lagi. Jangan sampai di masa-masa mendatang jika ada bank gagal yang ukurannya lebih besar dibiarkan hanya karena ketakutan disalahkan dan
diseret-seret setelah menetapkan sebagai bank gagal. Jika demikian, tentunya akan merusak sistem perbankan.
relatif labil dalam menyerap berita-berita negatif. Waktu itu terdapat potensi sentimen negatif di pasar keuangan,terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan.
Ketiga, dampak kepercayaan publik atau psikologis pasar. Penutupan bank dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik dan diyakini dapat berakibat fatal pada psikologi pasar yang sedang
sensitif. Pada waktu itu rumor kalah kliring dan situasi rawan fligt to quality sedang terjadi dengan isu-isu bank kekurangan likuiditas dan negera-negara tetangga. menerapkan kebijkan penjaminan 100%. Psikologi pasar inilah yang bisa memorak-porandakan sistem keuangan, kendati. bank tersebut berukuran kecil.
Keempat, berdampak pada bank lain. Jujur, harus diakui, jika dilihat dari peran bank memang tidak signifikan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi atau pemberian kredit, ukuran bank, substitutability, dan keterkaitan dengan bank atau lembaga keuangan lain. Namun, dari sisi jumlah nasabah dan jaringan kantor cabang, bank ini
termasuk memiliki jumlah nasabah yang cukup besar (65.000 nasabah) dan jaringan cukup luas di seluruh Indonesia dengan 65 kantor.
Dalam kondisi pasar yang normal, jika bank ini ditutup,diperkirakan relatif tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain. Namun, dalam kondisi pasar yang saat itu cenderung rentan terhadap. berita-berita negatif, penutupan bank berpotensi menimbulkan contagion effect berupa upaya rush terhadap bank-bank lain, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil. Situasinya ketika itu sedang terjadi penurunan kepercayaan masyarakat akibat psikologi pasar yang tidak menentu. Bahkan, akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar dan dapat menyeret bank-bank lain.
Kelima, kondisi sektor riil dan sistem keuangan. Saat itu,menurut data-data, kondisi sistem keuangan mengalami tekanan sejalan dengan kondisi ekonomi dan keuangan global yang terus memburuk. Hal yang sama juga terjadinya penurunan cadangan devisa dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Namun, karena perannya pada pemberian kredit terhadap sektor riil tidak signifikan, kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil
Nah, jika memperhatikan kenyataan pada November 2008, permasalahan yang terjadi pada Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik, terutama melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran, dan pasar keuangan. Psikologi pasar bisa merembet ke bank-bank yang lebih besar sehingga menimbulkan kekacauan (rush).
Itu artinya, kondisi saat pengambilalihan perlu diperhatikan. Tidak bisa dilihat dari kacamata sekarang ini. Hanya, sialnya, dalam situasi yang sistemik dengan psikologi pasar yang tak menentu, celakanya terjadi pada Bank Century, yang sebelum diambil alih dikelola dengan penuh moral hazard. Hal yang sama juga akan dilakukan jika terjadi pada bank lain karena memang situasi pada setahun lalu sangat rawan rush.
Psikologi masyarakat sangat rentan akan terjadinya bank run. Sebab,penyelamatan Bank Century atau sebuah bank gagal bukan semata-mata menyelamatkan satu bank, melainkan menyelamatkan industri
perbankan.
Jangan sampai, politisasi terhadap penyehatan bank akan membuat
pengambil keputusan takut mengambil keputusan jika ada bank yang ukurannya lebih besar mengalami kegagalan. Jika demikian, akan terjadi kiamat perbankan yang akan menghancurkan sistem perbankan. Harapannya, politisasi terhadap penyehatan perbankan
ini tidak akan memakan biaya krisis yang lebih besar lagi. Jangan sampai di masa-masa mendatang jika ada bank gagal yang ukurannya lebih besar dibiarkan hanya karena ketakutan disalahkan dan
diseret-seret setelah menetapkan sebagai bank gagal. Jika demikian, tentunya akan merusak sistem perbankan.
Awal Mula Keributan
“Sistemik”
Keributan kembali terjadi
dalam sidang Panitia Khusus Angket Century DPR. Kali ini yang ribut adalah
Politisi Gayus Lumbuun mengaku telah berdamai dengan Benny K Harman. “Apakah
Anda mengerti teori sistem? Saya tanyakan ini karena menurut teori sistem, Bank
Century adalah subsistem dari sistem ekonomi nasional, yang akan berpengaruh
terhadap sistem keuangan nasional. Ini juga ada kaitannya dengan status Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik,” demikian Benny K Harman melontarkan
pertanyaan kepada para ahli ekonomi yang diundang pansus dalam rapat Pansus
Angket Century di Gedung DPR RI, 21 Januari 2010. Pertanyaan itulah yang
menjadi awal keributan “sistemik” di Pansus.
Kata “sistem” dan
“sistemik” memang kini seolah menjadi trend sejak kasus Century mengemuka.
Tercatat, tak kurang dari lima kali Benny mengucapkan kata “sistem” maupun
“sistemik” dalam satu kali lontaran pertanyaan. Namun pertanyaan tersebut
berbuah masalah, ketika Benny tak puas dengan jawaban para ahli, yang ia rasa
bukan merupakan ahli teori sistem. Benny pun mulai mempertanyakan bidang
keahlian dan kompetensi para pakar tersebut. “Anda ahli apa?” tanya Benny
kepada salah satu ahli, Ichsanuddin Noorsyi. “Saya disebut ahli ekonomi
politik,” jawab Ichsanuddin. “Siapa yang menyebut Anda ahli ekonomi politik?”
tanya Benny lagi. “Surat Rektor UGM,” jawab Ichsanuddin kalem. Namun keterangan
ini rupanya tak memuaskan Benny. Ia kemudian mengawali pertanyaannya kepada
Ichsanuddin dengan kalimat “Kepada Anda yang mengaku-aku ahli ekonomi politik.”
Sontak perilaku Benny ini diprotes Gayus Lumbuun selaku pimpinan rapat, karena
dianggap tak patut. Gayus mengingatkan Benny untuk menghormati para ahli
ekonomi tersebut. Menanggapi peringatan Gayus itu, Benny hanya sedikit merubah
pola kalimatnya menjadi “Kepada Anda yang disebut-sebut ahli ekonomi politik.”
Melihat kebandelan ini, Gayus pun berang. “Kita harus menghormati para ahli.
Kita sendiri yang sepakat untuk mengundang mereka kemari,” tegas Gayus. Namun
Benny tampak tidak sepaham dengan Gayus, sehingga mereka berdua pun terlibat
adu mulut.
Di tengah adu mulut
tersebut, anggota Pansus dari Fraksi Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, melakukan
interupsi. “Saya keberatan dengan cara Saudara Benny meminta keterangan kepada
ahli. Kita sendirilah (Pansus) yang sudah mengklasifikasikan, men-declare, dan
mengakui mereka sebagai ahli, sehingga mereka diundang ke sini,” tegas Agun.
Bagai gayung bersambut, anggota Pansus dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari,
juga menyambung dengan interupsi senada. “Saya mendukung Pak Agun. Kita di sini
tidak sedang uji kebijakan moneter. Mohon fokus pada substansi masalah,”
tandasnya. Melihat keberatan serupa dari sejumlah anggota Pansus, Gayus pun
kembali meminta Benny agar menghargai para ahli sebagai tamu, tanpa perlu
mempertanyakan kapasitas mereka. “Mereka di sini karena kita ingin meminta
keterangan mereka. Kalau tidak butuh keterangan mereka, ya tidak apa-apa. Biar
yang lain yang butuh saja,” ujar Gayus kepada Benny. Terdesak, Benny pun tidak
lagi meributkan soal kompetensi para ahli. Namun, baru beberapa detik Benny
mulai melontarkan pertanyaan kembali kepada mereka, ia lagi-lagi diprotes
karena menyebut para ahli sebagai “saksi ahli.” Gayus kembali memotong kalimat
Benny, dan mengingatkan bahwa para undangan adalah “ahli,” dan bukan “saksi
ahli.” Gayus menjelaskan, “saksi” dan “ahli” memiliki posisi yang berbeda.
Tapi, lagi-lagi Benny tidak
menerima penjelasan Gayus, dan tetap ngotot memanggil “saksi ahli.” Akhirnya
Gayus membacakan UU terkait Pansus. Dalam salah satu pasal UU tersebut,
disebutkan bahwa yang ada adalah istilah “saksi-saksi” dan “ahli-ahli.” Jadi,
tegas Gayus, tidak ada istilah “saksi ahli,” yang ada adalah “saksi” dan “ahli.”
Tetap saja, Benny tidak sependapat dan bersikukuh memangggil para ahli dengan
sebutan “saksi ahli.” Ia meminta Gayus untuk menghargai perbedaan pendapatnya.
Namun Gayus tidak mau kompromi. “Saya larang Saudara menggunakan kata-kata yang
bertentangan dengan UU, atau Saudara keluar,” tukas Gayus naik pitam. Keributan
pun kembali melanda keduanya. Untunglah, kali ini rekan sefraksi Benny, Ruhut
Sitompul — yang biasanya menjadi biang onar, justru bertindak sebagai juru
damai. Ia meminta Gayus dan Benny berdamai, dan bersedia untuk melakukan lobi
guna mencari solusi terbaik. Rapat Pansus pun diskors selama lima menit, dan
perwakilan tiap fraksi maju ke meja pimpinan rapat untuk melakukan lobi kecil.
Tidak sampai lima menit, lobi tercapai. Dalam lobi tersebut, Fraksi Demokrat
menjamin untuk tidak lagi mengeluarkan kata-kata yang melanggar ketentuan UU.
Akhirnya, skors dicabut dan rapat pun dilanjutkan kembali. Namun, kali ini
Benny tampak sudah tak ingin lagi bertanya kepada para ahli, meskipun saat itu
masih gilirannya untuk bertanya. “Saya tak butuh jawaban Anda,” tukasnya
singkat
2. Pengamat Indef yakin
Kasus Century Berdampak Sistemik
Pengamat ekonomi Aviliani
mengatakan secara aset Century tidak mempengaruhi perbankan, tapi berdampak
sistemik. Dia mensejajarkan posisi Century dengan penutupan 16 bank pada krisis
1998 sehingga kepercayaan pasar jatuh dan bank-bank lain akan ikut jatuh.
Pasalnya, Indonesia tidak
memiliki blanket guarantee yang menjamin dana nasabah. Penjaminan dibatasi Rp 2
miliar. Berbeda dengan negara-negara tetangga yang menjamin hingga 100 persen.
Kejatuhan perbankan merupakan mimpi buruk perekonomian. “Sembilan puluh persen
transaksi ekonomi dunia terjadi di perbankan,” katanya dalam diskusi Analasis
Bank Century di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (10/12). Dia menilai langkah
pemerintah penggulirkan talangan Rp 6,7 triliun tepat. Aksi demonstrasi yang
marak belakangan ini dinilainya hanya menguntungkan elit politik dan merugikan
masyarakat. Ketidakstabilan politik memicu hengkangnya investasi asing.
Investasi turun bisa mengakibatkan pemutusan hubungan kerja.
Dia menilai kebanyakan
pihak yang kontra pengguliran dana talangan tidak mengerti pokok masalah. Hal
itu terlihat dari berkembangnya wacana perampokan uang rakyat untuk Century.
“Perlu tempatkan institusi pada perannya,” ujar ekonomo Institute for
Development Economy and Finance (Indef) itu. Lembaga Penjamin Simpanan yang
mengeluarkan dana talangan merupakan lembaga yang pemangku kepentingannya
adalah bank. “Mereka sebagai nasabah yang bayar premi,” katanya. Premi yang
terkumpul digulirkan untuk bantuan bagi bank yang bermasalah untuk
menyelamatkan ekonomi, layaknya asuransi. Dia mendukung upaya Dewan Perwakilan
Rakyat dalam mengungkap aliran dana Bank Century. “Tapi bukan pada keputusannya,”
kata Aviliani. Pasalnya tidak ada yang salah pada proses pengambilan keputusan
penalangan Bank Century. Aviliani menyayangkan panitia khusus Bank Century yang
hanya berbekal audit Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut dia, hasil pemeriksaan
tersebut hanya didasarkan perhitungan angka. “Tidak ada unsur situasi (krisis)
saat itu,” ujarnya. Kisruh ini bisa mempengaruhi investasi. Aviliani mengatakan
Indonesia harusnya memanfaatkan 2010 sebagai masa mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Sebab diperkirakan pada 2011 negara lain mulai keluar dari krisis dan
sulit bagi Indonesia bersaing jika tidak memacu ekonominya lebih dahulu.”PAda
2010 harusnya jadi era ekspansi perbankan,” kata Komisaris Bank Rakyat
Indonesia itu. Hal itu terlihat dari obligasi bank Indonesia yang sangat
diminati investor dalam dan luar negeri. “Tapi itu sulit terjadi jika kasus ini
bergulir terus,” ujar Aviliani.
3. BPK Ragukan Penilaian
Dampak Sistemik Century
Alasan penyelamatan Bank
Century (BC) sampai menelan Rp 6,7triliun adalah karena bank tersebut
dikhawatirkan berdampak sistemik, namun alasan ini diragukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) karena tidak memiliki kriteria yang jelas dan terukut.
Dalam laporan hasil audit investigasi soal bailout Bank Century, BPK meragukan
penilaian Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK)
tentang dampak sistemik BC. Laporan Hasil Pemeriksaaan Investigasi Atas Kasus
BC yang dikeluarkan BPK menyatakan 3 hasil analisis proses assessment terhadap
dampak sistemik oleh BI menunjukkan: Terdapat inkonsistensi dalam penerapan Mou
Uni Eropa yaitu dengan penambahan satu aspek berupa aspek psikologi pasar dalam
pembuatan analisis dampak sistemik BC yang dilakukan oleh BI. Selain itu, BI
juga tidak menggunakan indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian terhadap
dampak selain dampak pada institusi keuangan. Assessment pada masing-masing
aspek lebih banyak didasarkan pada judgement dan mengandung sejumlah kelemahan
dalam penentuan indikatornya. Proses pembuatan analisis dampak sistemik BC
terkesan tergesa-gesa karena hanya dibuat dalam waktu dua hari dengan
menggunakan suatu metode yang baru pertama kali digunakan dan belum pernah
diujicobakan sebelumnya. Data yang digunakan adalah data yang tidak mutakhir
karena menggunakan data per 31 Oktober 2008 bukan data yang paling dekat dengan
tanggal penetapan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik
(pada 20 November 2008). Sementara posisi CAR yang digunakan untuk menetapkan
BC sebagai bank gagal berdampak sistemik adalah posisi tanggal 31 Oktober 2008.
“KSSK juga tidak mempunyai suatu kriteria yang terukur untuk menetapkan dampak
sistemik BC, tetapi penetapannya lebih didasarkan kepada judgement,” ujar
laporan tersebut seperti dikutip detikFinance , Senin (23/11/2009).
BPK juga menilai, dari
aspek institusi keuangan, terlihat bahwa size BC tidak signifikan dibandingkan
dengan industri perbankan secara nasional. Namun KSSK lebih memperhatikan aspek
psikologis pasar yang diperkirakan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
stabilitas ekonomi dan keuangan. Maka KSSK menetapkan BC sebagai bank gagal
yang berdampak sistemik. “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KSSK
menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik serta menetapkan
penanganannya kepada LPS mengacu pada Perpu No.4 Tahun 2008. Tetapi proses
pengambilan keputusan tersebut tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank
yang lengkap dan mutakhir, serta tidak berdasarkan data pada kriteria yang
terukur,” tutur laporan tersebut.
Sumber : detik.com
4. Darmin Bantah Kalla Soal
Sistemik Century
Bekas anggota Dewan
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Darmin Nasution berbeda pendapat dengan
pernyataan Jusuf Kalla soal kondisi Bank Century. Meskipun kolaps karena
dirampok pemiliknya, penutupan Bank Century, kata Darmin, tetap berpotensi
merembet ke perbankan lainnya. “Yang dikatakan Pak Jusuf Kalla itu sumber
persoalan, tapi saat itu yang dibicarakan akibat-akibat persoalan,” kata Darmin
saat pemeriksaan Panitia Khusus Angket Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat, di
gedung DPR, Jakarta, Senin (18/1). Menurut Darmin, meskipun sumber persoalan
Bank Century lebih disebabkan dirampok pemiliknya, dalam situasi saat itu
penutupan Bank Century tetap berpotensi sistemik kepada bank-bank lainnya.
Karena itu dia mengatakan penyelamatan Bank Century tetap perlu dilakukan.
Darmin menganalogikan situasi penyelamatan Bank Century saat itu seperti
menangani rumah yang terbakar. “Kalau rumah terbakar, kan kita harus melindungi
rumah-rumah tetangga agar tidak ikut terbakar,” kata Darmin.
Senada dengan Darmin,
mantan anggota Dewan Komisioner lainnya Fuad Rahmany juga menyatakan penutupan
Century bisa berdampak sistemik. Dia mengakui jika Century termasuk bank kecil,
begitu juga dari sisi finansial yang tidak terlalu besar.
“Tapi ini ibarat api dan minyaknya sudah menyebar,” ujar Fuad. Karena itu, dalam rapat KSSK, kata Fuad, setelah mempertimbangkan berbagai hal, KSSK menyadari bahwa penutupan Bank Century berpotensi sistemik.
“Tapi ini ibarat api dan minyaknya sudah menyebar,” ujar Fuad. Karena itu, dalam rapat KSSK, kata Fuad, setelah mempertimbangkan berbagai hal, KSSK menyadari bahwa penutupan Bank Century berpotensi sistemik.
Sumber : korantempo
5. Skandal Century, Jusuf
Kalla Tak Setuju Dampak Sistemik
Dalam kesaksiannya di depan
pansus hak angket DPR, mantan wakil presiden Jusuf Kalla kembali menegaskan,
ketua KSSK saat itu Sri Mulyani tidak melaporkan secara resmi kepada dirinya
mengenai keputusan Bailout Bank Century. Jusuf Kalla juga menyatakan tidak
setuju putusan bailout Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Keterangan mantan wakil presiden di pansus hak angket DPR tidak hanya membuat
anggota dewan, pengunjung serta wartawan segar karena celotehan, dan
pendapatnya yang lugas akan tetapi juga mematahkan semua argumentasi dan
pendapat mantan gubernur BI Budiono dan mantan ketua KSSK Sri Mulyani. Yang
mengatakan proses bailout Bank Century dikarenakan alasan ekonomi yang akan
berdampak sistemik. Kalla juga mengatakan, dirinya juga tidak pernah membaca
tembusan SMS dari Sri Mulyani pada tanggal 21 November 2008. JK mengaku, Sri
Mulyani datang kepadanya tanggal 25 November 2008, menemui dirinya di kantor
wapres untuk melaporkan telah dikeluarkan Bailout Bank Century. JK juga sudah
memerintahkan Budiono untuk segera melaporkan kepada kapolri untuk menangkap
Robert Tantular. Namun perintah tersebut tidak digubris oleh Budiono dengan
alasan tidak ada dasar hukum.
Sumber : indosiar
6. LPS: Jika Century
Ditutup, Negara Langsung Rugi Rp 5,4 Triliun
Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) menyatakan, jika pemerintah memutuskan untuk menutup Bank Century, maka
dana yang akan dikeluarkan dan langsung menjadi kerugian negara nilainya
mencapai Rp 5,4 triliun. Namun jika bentuknya bailout melalui dana Penyertaan
Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 6,7 triliun seperti saat ini, maka dana itu
masih dimungkinkan kembali setelah penjualan bank yang saat ini bernama Mutiara
tersebut. Demikian dikatakan oleh Kepala Eksekutif LPS, Firdaus Djaelani ketika
diperiksa Pansus Hak Angket di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (19/01/2010).
“Kami menggunakan data Bank Indonesia (BI), jika Century harus ditutup nilai
kerugiannya bisa mencapai Rp 5,4 triliun,” ujar Firdaus. Ia menjelaskan,
berdasarkan data tersebut nasabah dengan simpanan di bawah Rp 2 miliar tercatat
sebanyak Rp 5,4 triliun. “Itu sudah pasti kami tanggung,” tegasnya. Kemudian,
lanjut Firdaus, nasabah di atas Rp 2 miliar sekitar Rp 5 triliun yang terdiri
atas 500 rekening. “Sekitar Rp 1 triliun nasabah di atas Rp 2 miliar yang
sesuai suku bunga penjaminan saat itu yakni sebesar 10 persen, akan dibayar Rp
2 miiliar,” tambahnya.”Yang melampuai suku bunga 10 persen itu Rp 1 triliun.
Jadi Rp 6,4 triliun dikurangi Rp 1 triliun, sehingga Rp 5,4 triliun,”
ungkapnya. Ditambah lagi, LPS mencatat penjualan aset Bank Century hanya
sekitar Rp 500 miliar. “Belum lagi proses likuidasi yang bisa memakan waktu
hingga 5 tahun. Ini sangat lama dan tidak lupa jika ada efek domino yang
ditimbulkan kepada bank lain. Tetapi, Firdaus mengatakan dengan diselamatkannya
Bank Century berikut dana PMS sebesar Rp 6,7 triliun masih ada kemungkinan
besar untuk kembali. “Masih ada harapan menjual bank. Paling rendah saja
diprediksikan bisa laku Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun dalam waktu 5 tahun.
7. Demokrat Minta JK Ikut
Bertanggungjawab
Mantan Wakil Presiden Jusuf
Kalla harus ikut bertanggungjawab atas kebijakan pemerintah menetapkan Bank
Century sebagai bank gagal berdampak sistemik pada November 2008. “JK sebaiknya
bersikap negarawan. Jangan karena kalah Pilpres membuka kembali perbedaan
pendapat di internal pemerintah saat itu ia sebagai wakil presiden,” tegas
anggota Pansus Angket Century dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman,
saat ditemui di gedung DPR, Jakarta, Rabu petang (20/1). Benny mengingatkan,
para pembuat kebijakan saat itu adalah jajaran bawahan JK di pemerintahan.
Kesaksian JK di hadapan Pansus yang terkesan menyalahkan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) atas bailout Century, dinilainya tidak mencerminkan
sikap kesatria. “Dia harus membela keputusan itu. Bukan salahkan keputusan itu
apalagi para mantan pembantunya, karena itu sikap yang tidak kesatria. Jangan
lupa, persoalan ini muncul setelah Pemilu,” jelasnya
8. Pansus Dua Kali Ribut
Gara-gara ‘Sistemik’
Sumber : VIVAnews –
Rapat Panitia Khusus
(Pansus) Hak Angket Century mengundang tiga pakar ekonomi, Hendri Saparini dari
econit, Chatib Basri yang juga staf ahli Menko Perekonomian, dan Ichsanuddin
Noorsy dari UGM. Setidaknya, terdapat dua kali keributan sistemik dalam
pertemuan pansus kali ini. Keributan sistemik yang pertama terjadi pada rapat
sesi pagi ini di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 21 Januari 2010. Di sini, Hendri
Saparini ekonom dari econit dan Chatib Basri memegang dua pendirian yang
berbeda terkait proses bail-out atau penalangan dana Century. “Kebijakan
bail-out sudah tepat,” tegas Chatib Basri di dalam forum pansus.
Chatib berpendapat, dalam
kasus bail-out ini, permasalahannya bukanlah sekedar soal Century. “Kebetulan
saja obyeknya Century,” kata Chatib. Menurut dia, dalam kondisi saat itu, bank
sekecil apapun yang kolaps harus diselamatkan agar tidak mengganggu sistem
perbankan secara keseluruhan. “Bahwa kemudian bank itu ternyata bermasalah, ya
silahkan berproses secara hukum,” ujar Chatib. Di sisi lain, Hendri Saparini
mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurut dia, masalah Bank Century sebagai
satu bank berskala kecil, cenderung dibesar-besarkan sehingga gambarannya
berubah menjadi masalah besar dalam sistem perbankan.
Lebih lanjut, Hendri merasa
bahwa alasan penyelamatan Bank Century seperti yang dikemukakan dalam buku
putih Depkeu, sangat tidak tepat. Dalam buku putih itu, kata Hendri, Bank
Century dibandingkan dengan Northern Rock Bank di Inggris yang juga dianggap
sebagai bank kecil yang kemudian diselamatkan oleh pemerintah Inggris. “Padahal
alasan ini salah, karena Northern Rock Bank adalah bank besar — terbesar nomor
8 di Inggris. Northern Rock sama sekali bukan bank kecil,” tandas Hendri. Oleh
karena itu, ia menekankan bahwa kondisi Bank Century sangat tidak bisa
dibandingkan dengan Northern Rock Bank. “Jangan cari justifikasi dengan
membandingkan dengan Northern Rock. Kok seolah-olah cuma ada satu alternatif
sebagai asumsi. Seperti zaman IMF saja,” tukas Hendri. Terlebih, masalah yang
dihadapi Century ialah terkait persoalan perampokan, bukan soal krisis. Jadi,
simpul Hendri, Bank Century bukanlah representasi dari seluruh industri
perbankan.
10. Bankir Setujui Bailout
karena alasan Sitemik :
Pansus Century Harusnya
Minta Pendapat Bankir
sumber : detikcom
Perhimpunan Bank-bank Umum
Nasional (Perbanas) meminta Pansus Hak Angket Kasus Bank Century untuk meminta
pendapat dari para bankir seputar keputusan bailout Century. Karena bankir lebih
merasakan dampak krisis ekonomi global tahun 2008 kemarin. Hal ini disampaikan
oleh Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono ketika ditemui usai acara Dialog
Industri Perbankan Tahun 2010 di Gedung LPPI, Kemang,
Jakarta, Senin (25/01/2010). “Seharusnya mereka (Pansus) menanyakan pendapat bankir pada saat penyelamatan tersebut dilakukan, karena yang merasakan dampaknya ya para bankir,” ujarnya. Sigit mengatakan, Pansus tidak hanya memanggil ahli-ahli ekonomi sebagai ahli dalam penyelidikan kasus bailout Bank Century.
Sampai saat ini , Pansus Century DPR sudah memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wapres Boediono, Gubernur BI Darmin Nasution, dan mantan-mantan pejabat BI untuk dimintai keterangan. Tapi tidak ada satupun bankir yang dimintai keterangan. Menurut Sigit, semua bankir jika ditanyakan soal penyelamatan Century, pasti mereka menyetujui bailout yang dilakukan. “Karena ya memang kami yang merasakan langsung bagaimana mengelola bank sewaktu krisis. Apalagi waktu itu yang terjadi IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) anjlok 50%, kemudian rupiah juga terdepresiasi 30% yang merupakan nilai terendah sejak krisis tahun 1998,” papar Sigit.
Jakarta, Senin (25/01/2010). “Seharusnya mereka (Pansus) menanyakan pendapat bankir pada saat penyelamatan tersebut dilakukan, karena yang merasakan dampaknya ya para bankir,” ujarnya. Sigit mengatakan, Pansus tidak hanya memanggil ahli-ahli ekonomi sebagai ahli dalam penyelidikan kasus bailout Bank Century.
Sampai saat ini , Pansus Century DPR sudah memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wapres Boediono, Gubernur BI Darmin Nasution, dan mantan-mantan pejabat BI untuk dimintai keterangan. Tapi tidak ada satupun bankir yang dimintai keterangan. Menurut Sigit, semua bankir jika ditanyakan soal penyelamatan Century, pasti mereka menyetujui bailout yang dilakukan. “Karena ya memang kami yang merasakan langsung bagaimana mengelola bank sewaktu krisis. Apalagi waktu itu yang terjadi IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) anjlok 50%, kemudian rupiah juga terdepresiasi 30% yang merupakan nilai terendah sejak krisis tahun 1998,” papar Sigit.
Selain itu, Sigit
menambahkan keadaan situasi cukup rawa karena CDS (credit default swap ) yang
naik terus dan diikuti oleh yield (imbal hasil) Surat Utang Negara (SUN) yang
turun. “Hal-hal seperti ini tidak dirasakan langsung oleh orang-orang yang
tidak berhubungan dengan operasi perbankan. Dan mungkin mereka semua tidak ada
rasa khawatir,” jelas Sigit. “Jika diminta (Pansus) Perbanas siap-siap saja,”
ujar Sigit.
Kontroversi dan Dampak Kenaikan Tarif Listrik tahun 2010
Pemerintah Rombak Tarif Dasar Listrik 2010
Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral berencana merombak tarif dasar listrik pada
2010. Perubahan tarif dasar listrik menyangkut pencabutan subsidi listrik,
penerapan tarif regional dan kenaikan tarif dasar listrik. Direktur
Jenderal Listrik dan Pemanfataan Energi J. Purwono mengatakan, rencana
restrukturisasi tarif dasar listrik tersebut akan dibahas pada 2009 dan akan
diterapkan pada 2010. Dia menjelaskan, nantinya, konsumen listrik mampu dan
tidak mampu akan dibedakan. “Pelanggan yang mampu akan dikenakan tarif
keekonomian dan pelanggan tidak mampu disubsidi,” ujarnya, Kamis (12/6).
Selain itu, kata Purwono,
pemerintah berencana menerapkan tarif regional listrik berdasarkan patokan
biaya pokok penyediaan (BPP). Menurut dia, BPP setiap daerah tidak sama.
Pemerintah daerah nantinya akan dilibatkan untuk memberikan subsidi atau
menanggung selisih BPP kepada pelanggan listrik. Purwono mengatakan, selain membuat
perbedaan tarif pelanggan dan tarif regional, pemerintah berencana menaikkan
tarif dasar listrik sekitar 15 persen pada 2010. Menurut dia semua rencana itu
masih dibahas dan akan disesuaikan dengan undang-undang.
Ahli hukum kelistrikan
Yunan Lubis mengatakan, kebijakan pemerintah menetapkan tarif dasar listrik
harus sesuai Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Kelistrikan. “Sesuai
undang-undang itu, tarif dasar listrik ditetapkan oleh Presiden melalui
keputusan presiden atas usulan menteri. Tarif dasar listrik di luar yang
ditetapkan keputusan presiden, illegal,” ujarnya kepada Tempo, Kamis
(12/6).
Yunan menjelaskan, selama
ini PLN telah melanggar undang-undang dengan menetapkan tarif listrik multiguna
atau nonsubsidi kepada pelanggan 6.600 volt ampere (VA). Namun, dia
menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan membiarkan pelanggaran tarif yang
dilakukan manajemen PLN. “Pemerintah diam saja dan tidak bertindak apapun,
padahal itu pelanggaran hukum,” ujar Yunan yang menjabat sebagai Sektretaris
Advokasi Konsumen Listrik Indonesia (Advoklis).
Sebelumnya, Direktur Utama
PLN Fahmi Mochtar mengeluarkan Keputusan Direksi PLN No. 101A.K/DIR/2008
tanggal 3 April 2008. Dalam surat keputusan tersebut disebutkan, PLN akan
memberlakukan tarif subsidi dan nonsubsidi. Tarif subsidi dikenakan kepada
pelanggan dengan pemakaian batas tertentu 80 persen pemakaian rata-rata
nasional). Sedangkan pelanggan yang melewati batas tertentu akan dikenakan
tarif nonsubsidi. Kebijakan itu akan dikenakan kepada pelanggan dengan daya
6.600 VA. Dampak dari kebijakan tarif nonsubsidi tersebut, manajemen PLN
meraup tambahan pendapatan sekitar Rp 250-260 miliar per bulan. Kini PLN
berencana memperluas penerapan tarif nonsubsidi kepada kepada pelanggan rumah
tangga dengan daya 2.200 VA.
Kementrian Negara BUMN
menegaskan bahwa tarif dasar listrik (TDL) untuk daya minimal 6.600VA
dipastikan naik di 2010. Tujuannya agar rumah tangga kaya tidak disubsidi
seperti rumah tangga kecil. Menurut Sekretaris Menneg BUMN Said Didu, TDL
untuk daya 6.600 VA dipastikan semuanya naik menuju harga keekonomiannya.
Namun, untuk daya di bawah itu mungkin tidak akan naik. Meski hingga kini PLN
masih melakukan simulasi untuk kenaikan tersebut karena ada tiga skenario
kenaikan tersebut. ”TDL untuk 6.600 VA harus naik, (sebab tarifnya)
tinggal sedikit kok dari harga keekonomian. Biar adil orang kaya enggak
disubsidi,” kata Said Didu saat ditemui di Jakarta akhir pekan lalu.
Sekarang ini, tarif nonsubsidi pelanggan 6.600 VA ke atas sekitar Rp1.380 per
kwh, sedang tarif subsidi hanya sekitar Rp600 per kWh. Ia juga menegaskan
bahwa rencana kenaikan TDL 20-30 persen di tahun 2010 tersebut bukan dilakukan
sendiri oleh PLN. Namun kenaikan TDL merupakan salah satu upaya menutupi
kekurangan subsidi listrik pemerintah.
Di tahun 2010 subsidi
listrik ditetapkan sebesar Rp37,8 triliun dengan marjin usaha sebesar lima
persen. Besaran subsidi itu terdiri dari subsidi tahun berjalan Rp35,3 triliun
dan pengalihan tahun 2009 ke tahun berikutnya Rp2,5 triliun. Jumlah subsidi
tersebut turun dibandingkan rencana subsidi listrik 2010 yang tercantum di nota
keuangan 2010 senilai Rp40,4 triliun. Di sisi lain Ketua Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa sebelumnya menyatakan dampak
kenaikan TDL akan besar, meski belum dihitung. Sebab dalam empat tahun listrik
sudah tidak naik, pengaruh itu cukup besar, cukup lama pemerintah menahan itu,
lebih lama dari BBM. Menurut Erwin, kenaikan tersebut mungkin akan
melebihi asumsi inflasi 2010 di level 5 persen. Tetapi jika pun tarif naik,
kata dia, yang paling penting pemerintah harus fair. Yakni dengan cara
meningkatkan pelayanan
DPR belum mendapat laporan
resmi dari pemerintah soal rencana menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) Juli
mendatang. DPR meminta rencana itu jangan karena kenaikan margin 8% ditolak
DPR. ”Kenaikkan margin subsidi PLN dari 5% menjadi 8% tidak harus ditukar
dengan menaikkan TDL. Karena ini berarti pindah dari kantong kanan ke kantong
kiri,”kata Anggota DPR Satya W Yudha kepada INILAH.COM,
Jakarta. Rabu (10/3).
Untuk itu, lanjut Satya,
DPR akan mengkaji secara mendalam cara perhitungan Pemerintah mendapatkan angka
15%. Apalagi, pertumbuhan ekonomi hanya ditargetkan 5,5%. Pemerintah harus
memberikan penjelasan yang masuk akal, kenaikkan angka 15% tersebut diperhitungkan
untuk TDL. “Pemerintah harus menjelaskan bagaimana penerapannya nanti. Apakah
dikenakan kepada seluruh pelanggan listrik, atau hanya untuk pelanggan tertentu
saja,” paparnya.
Pemerintah
Menunda ?
Pemerintah meminta
Perusahaan Listrik Negara (PLN) agar menunda rencana kenaikan tarif listrik
pelanggan di atas 6.600 VA. Pertimbangannya adalah bagaimana perlu ada
pembicaraan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terhadap dampak
kenaikan itu. Memang, kata Hatta, PLN diperbolehkan menaikan tarif listrik itu
tanpa harus ada perhitungan yang diajukan ke Pemerintah. Tarif listrik di atas
6.600 VA, adalah listrik yang tidak disubsidi.
Akan tetapi pengumuman
kenaikan tarif listrik secara tidak langsung akan membuat dampak inflasi.
“Bukan berarti tidak bisa dijalankan, tapi perlu pembicaraan dengan dewan,”
kata dia. Permintaan yang sama disampaikan oleh Menteri Perindustrian MS
Hidayat ketika ditanya rencana PLN menaikkan tarif listrik. Hidayat meminta PLN
menunda kenaikan. Hidayat mengatakan listrik menjadi salah satu komponen daya
saing industri nasional. Untuk itu rencana kenaikan, pelru dibicarakan lebih
lanjut ditingkat pimpinan.
Kementerian ESDM menegaskan
kalau rencana kenaikkan TDL 15% pada Juli mendatang akan dilakukan secara
bervariasi disesuaikan dengan kemampuan konsumen/pelanggan. “Soal detail
kenaikkan TDL sedang dipersiapkan, Ibu Menteri Keuangan sudah jelaskan nyatakan
kenaikkan TDL. Kementerian ESDM lagi kalkulasi kenaikkan per golongan.
Pelanggan kecil bisa naik 15%, bisa juga kurang dari 15%,” kata Dirjen Listrik
dan Pemanfaatan Energi Listrik (LPE), Jackobus Purwono di Jakarta, Rabu (10/3).
Jack menambahkan soal rencana kenaikkan tersebut Pemerintah bersama DPR akan
memperhatikan betul kemampuan daya beli masyarakat.
Dia menjelaskan sesuai dalam
UU APBN, salah satu butir menjelaskan khusus pelanggan 6600VA khusus mereka
yang boros lebih dari 50% rata-rata pemakaian listrik nasional akan
diberlakukan tarif keekonomian.Selain itu kata Jack, butir lain dalam UU juga
dijelaskan kenaikkan TDL harus melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah
bersama DPR. Menteri ESDM, Darwin Z Saleh mengatakan rencana menaikkan TDL
harus memikirkan kepentingan rakyat. Nanti disesuiakan dengan daya beli
masyarakat, kelompok mana yang daya beli bagus naikkan lebih tinggi, ada yang
lebih besar ada yang kecil, tergantung exercise.
Pemerintah memutuskan
penundaan tarif baru bagi pelanggan listrik golongan 6.600 volt ampere (VA) ke
atas yang diberlakukan PT PLN (Persero) sejak 1 Januari 2010. Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Saleh mengatakan, penundaan
dilakukan sampai sosialisasi tarif baru oleh PLN dirasakan cukup memadai.
“Pemerintah memandang sosialisasi yang dilakukan PLN belum memadai, sehingga
kebijakan ini ditunda,” katanya.
Selain sosialisasi,
lanjutnya, penundaan juga dilakukan sampai kesimpulan rapat kerja Menteri ESDM
dengan Komisi VII DPR pada April 2008 yang meminta dilakukannya kajian tarif
6.600 VA dan hasilnya disampaikan ke DPR telah terpenuhi. Namun demikian,
Darwin menjelaskan, kebijakan tarif 6.600 VA ke atas pada dasarnya mendorong
penghematan bagi pelanggan yang memiliki kemampuan dan pemakaian listriknya
tinggi. “Mekanismenya adalah pengenaan disinsentif berupa tarif
keekonomian yang tanpa subsidi untuk pemakaian di atas batas tertentu,”
katanya. Dasar hukumnya, tambahnya, adalah UU No 47 Tahun 2009 tentang
APBN 2010 yang mengamanatkan pemakaian listrik pelanggan 6.600 VA ke atas yang
berada di atas batas 50 persen rata-rata nasional dapat dikenakan harga
keekonomian atau nonsubsidi.
Subsidi PT PLN (Persero) berpotensi naik hingga dua
kali lipat, apabila tarif dasar listrik (TDL) batal dinaikkan pada Juli
nanti. ”Jika TDL tetap, perlu ada tambahan subsidi, tambahan subsidinya
bisa dua kali lipat,” kata Dirjen LPE, Jackobus Purwono di Jakarta, Rabu
(10/3). Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh mengatakan, rencana kenaikan TDL
tersebut diperlukan koordinasi antara pemerintah dengan DPR. “Rencananya harus
didiskusikan dulu dengan DPR sehingga kenaikan TDL bisa saja disesuaikan dengan
daya mampu konsumen,” ujarnyA. Sebelumnya, Direktur Utama PLN Dahlan Iskan
mengatakan, kenaikan TDL adalah tanggung jawab pemerintah dan DPR. Sementara
PLN saat ini hanya ingin fokus pada pembenahan distribusi listrik, sebagai
pelayanan terbaik kepada pelanggan. “Namun jika tahun ini TDL tetap, maka
kemungkinan akan ada permintaan tambahan subsidi dari PLN,” ujarnya beberapa
waktu lalu.
Dirut
PLN Pasrah Soal Kenaikan Tarif Listrik 15%
Direktur Utama PT PLN
(Persero) Dahlan Iskan memilih bersikap netral terkait rencana pemerintah untuk
menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) sekitar 15 persen pada bulan Juli nanti.
“Saya terserah kepada pemerintah, mau naikkan terima kasih, tidak naik juga
terima kasih,” ujar Dahlan saat dihubungi, Selasa (9/3/2010). Dahlan menyatakan,
keputusan pemerintah untuk menaikkan TDL, sebenarnya tidak memberikan dampak
yang signifikan terhadap keuangan PLN. Kenaikan TDL dilakukan agar pemerintah
bisa lebih menekan subsidi listrik yang harus dikeluarkannya kepada PLN. “Kalau
PLN kan, naik atau tidak naik pemerintah tetap kasih subsidi,” ungkapnya. Namun
Dahlan berjanji pihaknya akan terus berupaya untuk meningkatkan pelayanan
listrik kepada para pelanggannya yang tersebar di seluruh tanah air. “Itu terus
kita upayakan habis-habisan,” kata dia.
Sementara itu, Pengamat
Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan, sebenarnya rencana kenaikan TDL
tersebut dapat dihindari jika pemerintah berani menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur mengenai
kewajiban pasokan gas dan batubara ke dalam negeri minimal 35 persen dari hasil
produksi para pelaku tambang dan migas.
Gas dan Batubara tersebut,
lanjut dia, harus dijual dengan harga ekspor terendah untuk memasok pembangkit
milik PLN. Dengan digunakannya gas dan batubara untuk pembangkit milik PLN,
maka diperkirakan akan menekan rata-rata biaya pokok produksi listrik (BPP)
sehingga kenaikan TDL dapat dihindari. “Jadi kebijakan hulunya yang harus
diubah, kalau tidak ada keberanian pemerintah untuk menerbitkan aturan DMO ini,
jangan harap TDL tidak naik,” jelasnya. Ia juga menilai kenaikkan TDL sebesar
15 persen yang akan dilakukan pemerintah, tidak menjamin masyarakat bebas dari
ancaman pemadaman listrik karena hingga kini PLN sendiri tidak memiliki dana
yang cukup untuk melakukan investasi pembangkit dan jaringan listrik. “PLN kan
butuh dana Rp 80 triliun untuk berinvestasi setiap tahunnya, tapi kalau dana
itu tidak ada bagaimana pelayanan listrik dapat ditingkatkan,” tandasnya.
Dampak
Kenaikan Listrik
Dampak kenaikan tarif dasar
listrik (TDL) memiliki imbas yang besar di beberapa sektor, meski belum bisa
dihitung kerugiannya. Sebab tarif listrik sudah tidak naik selama empat tahun
belakangan, dan membawa pengaruh cukup besar lebih lama dari bahan bakar minyak
(BBM).
Pengamat ekonomi dari
Econit Hendri Saparini mengatakan, kenaikan tersebut mungkin akan melebihi
asumsi inflasi 2010 di level lima persen. Tetapi jika pun tarif naik, kata dia,
yang paling penting pemerintah harus fair. Yakni dengan cara meningkatkan pelayanan.
“Kenaikan listrik untuk kelas atas seolah-olah sebuah kebijakan adil. Toh untuk
yang kaya. Kenaikan ini diambil karena dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) 2010 terlanjur dipotong subsidi listrik. Sehingga dikatakan untuk
penghematan,” ujarnya, melalui pesan singkatnya yang diterima okezone, di
Jakarta, Selasa (16/2/2010). Tanpa upaya menyelesaikan masalah high cost
production di PLN, jelasnya, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan masalah.
“Saat ini PLN menghadapi tingginya biaya energi akibat kesulitan mendapatkan
pasokan gas dan batu bara,” ujarnya.
Oleh karena itu, akar
masalahnya yaitu sumber energi harus dipecahkan dengan kebijakan prioritas
pemanfaatan energi bagi kebutuhan domestik. Sebelumnya, Menteri Perindustrian
MS Hidayat meminta rencana untuk menaikkan tarif listrik 6.600 volt ampere (VA)
ditunda. Pasalnya, kenaikan tarif listrik tersebut akan semakin memberatkan
industri di tengah kondisi yang belum benar-benar pulih. “DPR sendiri sudah
minta untuk ditunda, kalau dari Kementerian Perindustrian sendiri mengharapkan
tidak ada kenaikan dulu,” pungkasnya.
Sekadar mengingatkan,
pemerintah akan mengusulkan kenaikan subsidi BBM, elpiji, dan bahan bakar
nabati (BBN) sebesar Rp28,1 triliun dari saat ini Rp68,7 triliun. Lalu subsidi
listrik meningkat Rp15,4 triliun dari Rp37,8 triliun menjadi Rp53,2 triliun.
Sementara subsidi beras juga pupuk dari Rp51,3 triliun menjadi Rp59,5 triliun.
Untuk subsidi beras, kenaikannya tidak akan dipermasalahkan, berbeda dengan
subsidi BBM.
Saat ini, belum ada sistem pembagian subsidi secara terarah sehingga subsidi BBM juga dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas yang mestinya tidak pantas menerima.
Saat ini, belum ada sistem pembagian subsidi secara terarah sehingga subsidi BBM juga dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas yang mestinya tidak pantas menerima.
Sebagai informasi,
pemerintah akan menaikkan anggaran subsidi energi untuk BBM, LPG, dan bahan
bakar nabati sebesar Rp28,1 triliun dari yang ada saat ini Rp68,7 triliun.
Kenaikan anggaran tersebut dilakukan karena tidak adanya kenaikan harga BBM,
maka menyebabkan kenaikan subsidi di bidang energi. Hal ini yang kemudian harus
ditampung karena ada perubahan harga minyak internasional.
Ancaman PHK massal
diprediksi bukan isapan jempol belaka. Pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API) mulai khawatir ribuan pekerjanya terkena rasionalisasi sebagai dampak
kebijakan pemerintah menaikkan berbagai tarif. “Banyak pekerja bisa-bisa
dipensiunkan dini, dirumahkan bahkan di PHK,” ungkap Sekjen API, Ernovian,
ketika diminta komentarnya seputar naiknya tarif jalan tol, harga gas elpiji
dan tarif listrik, Selasa (29/9). Akhir tahun 2008 lalu saja, industri tekstil
dan garmen terpaksa mempensiunkan dini, merumahkan dan PHK pekerja lebih dari
40 ribu orang. “Apa ini yang diinginkan pemerintah,” ucapnya. Seharusnya
pemerintah justru menciptakan iklim yang kondusif. Apalagi habis Lebaran
seperti sekarang, kalangan industri baru saja mengucek kantong untuk membayar
THR dan sebagainya. “Belum lagi problem menghadapi derasnya produk impor di
dalam negeri, juga rusaknya pasar ekspor karena menurunnya daya saing,”
katanya.
Padahal, lanjut Ernovian,
kalangan industri saat ini tengah berusaha meningkatkan daya saing, seiring
dengan menurunnya daya beli pasar ekspor akibat ekonomi global. Tapi dengan
menurunnya daya saing tentu berdampak terhadap produksi. Sehingga hanya dua
pilihan yang bisa dilakukan kalangan industri, tutup atau jalan tetapi dengan
PHK. Kalau tak bisa bersaing, kata Ernov lagi, industri akan tutup total.
Sebaliknya kalau tetap jalan, industri bersangkutan pasti merumahkan atau PHK
pekerja agar bisa efisien. “Ini yang kita khawatirkan,” katanya. Ancaman serupa
menimpa pula industri lain lain seperti besi baja, sektor pangan dan
sebagainya.
Sebelumnya Ketua Umum
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, memperkirakan dengan
naiknya berbagai macam tarif, industri tentunya akan menaikkan harga barang.
Dengan naiknya harga menyebabkan daya saing berkurang sehingga pada akhirnya
mengancam nasib ribuan pekerja. Mereka bisa terkena PHK. “Karenanya, kalangan
industri menolak kenaikan tarif atau harga apapun,” tandasnya.
Pengusaha
Tolak Rencana Kenaikan Tarif Listrik di 2010
Meskipun baru rencana dan
masih dalam hitung-hitungan PLN, yang belum mendapat persetujuan DPR dan
Pemerintah. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh PLN? yang
dikabarkan berkisar 20-30% ditolak pengusaha. Ketua Umum Kadin MS Hidayat
mengatakan kenaikan tersebut akan mengganggu ongkos produksi industri dan daya
saing, termasuk memberatkan konsumen umum. Meskipun kondisi PLN yang saat ini
sudah morat-marit sangat dimaklumi oleh Kadin. “Prinsipnya kita menolak
kenaikan TDL. Kalau terjadi ya kita hitung besarannya,” kata Hidayat.
Dalam waktu dekat, pihaknya
mengaku akan diundang oleh PLN untuk bertukar pikiran dalam forum masyarakat
kelistrikan Indonesia (MKI) membahas kenaikan TDL tersebut. “Ini memang masalah
yang dilematis, dari kondisi PLN dari sisi cashflow
dan beban PLN yang berat,” katanya. Meskipun begitu, ia mengingatkan kepada PLN
pada tahun depan beban kelistrikan PLN mulai berkurang sejalan dengan
rampungnya program 10.000 MW tahap pertama. “Prinsipnya pengusaha tidak ingin
kenaikan itu menjadi satu-satunya opsi, karena kenaikan TDL akan menambah biaya
produksi dan memperlemah daya saing kita,” tegasnya. Terlepas dari itu semua,
Hidayat menegaskan pihak Kadin akan sangat bersedia untuk berdialog dengan PLN
sebagai? perwakilan dunia usaha.
Pemerintah menjamin
batalnya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun ini tidak akan membuat PT PLN
(Persero) merugi. Tambahan subsidi listrik sebesar Rp 16,7 triliun dalam usulan
APBN-P 2010, dinilai memadai untuk menutupi biaya penyediaan listrik PLN.
“Tambahan subsidi cukup, dan tidak membuat PLN merugi,” ujar Direktur Jenderal
Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian ESDM J. Purwono dalam pesan
singkatnya, Kamis (4/3/2010). Bahkan Purwono berjanji, jika tambahan subsidi
listrik tersebut tidak cukup untuk BUMN listrik itu, maka pemerintah bersedia
untuk menambah lagi alokasi subsidi untuk PLN. “Pastilah, pemerintah akan
selalu menjaga penyediaan tenaga listrik yang cukup untuk masyarakat, yang
artinya selalu menjaga kesehatan korporasi PLN,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur
Utama PT PLN (Persero) Dahlan Iskan menyatakan, tambahan subsidi BBM APBN-P
2010 baru mencukupi jika tidak ada kenaikan pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
yang akan digunakan untuk pengoperasian pembangkit listrik miliknya. “Cukup
asalkan harga BBM tidak naik sepanjang tahun ini. Nilai subsidi lebih banyak
karena faktor harga BBM,” ungkap Dahlan. Seperti diketahui, pemerintah
berencana untuk menambah subsidi listrik sebesar Rp 16,7 triliun dalam APBN-P 2010
karena tidak dilakukannya penyesuaian TDL pada tahun ini. Sebelumnya, subsidi
listrik dalam APBN 2010 dipatok Rp 37,8 triliun.
Posted
on Februari 28, 2010 by alfurqoncell
Menikah Sirri (Nikah ‘Urfi) Antara Hukum Syar’i & Undang Undang Negara
Oleh:
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Akhir-akhir
ini di berbagai media masa kita dihidangkan dengan adanya rancangan
undang-undang (RUU) tentang hukum pidana bagi pelaku nikah sirri yang kini
banyak mengundang kontroversi dari berbagai pihak. Oleh karena itulah kali ini
kami ingin menyajikan pembahasan tentang pernikahan yang tidak tercatat di KUA
ini –terlepas dari kontroversi apakah pelaku pantas diberi
sanksi pidana ataukah cukup dengan sanksi administratif-.
Pembahasan ini kami nukilkan dari majalah al-Furqon edisi 11 th. Ke-8, Jumada
Tsaniyah 1430H/ Juni 2009 dengan tema cover “Nikah Ilegal, Nikah Bermasalah”.
Semoga tulisan ini menjadi sebuah opini fiqih yang dapat membuka wacana kita
sehingga mampu menjadi solusi dan peredam bagi kontroversi yang ada. Wabillahit
taufiq
INDAHNYA PERNIKAHAN YANG SYAR’I LAGI
RESMI[1]
Pernikahan
adalah sebuah akad yang agung. Dibangun di atas dasar hak dan kewajiban
pasangan suami istri kepada sang Kholiq dan kepada sesama. Islam pun
mengaturnya sejak awal proses pemilihan pasangan hidup, prosesi pernikahan itu
sendiri, saat-saat bersama mengayuh biduk maupun ketika terselimuti kabut
fitnah. Bahkan ketika porak poranda sekalipun Islam mengaturnya.
Islam menyaratkan akad dari seorang
wali wanita dengan disaksikan dua orang saksi, serta mensyariatkan agar
diumumkan kepada masyarakat adanya ikatan agung ini. Dan berlayarnya bahtera
ini dibarengi dengan keridhoan dan kebahagiaan, tanpa ada keresahan sosial dan pandangan
curiga dari masyarakat sekitar.
Namun
seiring dengan semakin jauhnya manusia dari cahaya nubuwwah, bermunculanlah
manusia yang melalaikan kewajiban. Suami pura-pura lupa tugasnya atau istri
terlalu berani pegang kendali. Di luar rumahpun ada orang-orang yang mau
bersaksi palsu, muncullah problematika baru yang mungkin belum pernah ada
sebelumnya. Untuk menghindari hal itu dan untuk kebutuhan-kebutuhan penting
lainnya maka dibutuhkanlah sebuah bukti akurat berupa pencatatan akad
pernikahan oleh sebuah lembaga resmi. Pemerintah muslim di seluruh dunia pun
mewajibkan pencatatan pernikahan pada lembaga resmi tersebut. Banyak maslahat
yang diperoleh dan banyak mafsadah yang dihilangkan atau setidak-tidaknya
diminimalkan dengan hal baru ini, pencatatan akad nikah.
Meski
bukan syarat sah sebuah pernikahan, -dan pernikahan tetap sah selama terpenuhi
syarat rukun secara syar’I, -namun karena pencatatan akad nikah diwajibkan oleh
pemerintah maka wajib bagi setiap insan beriman untuk menaati ketetapan ini.
Bukankah
merupakan salah satu pokok aqidah Ahlussunnah yang sudah mapan bahwa wajib
menaati pemerintah selagi bukan untuk maksiat kepada Allah ?
Wallohi, jika
peraturan semacam ini dianggap tidak wajib, lalu peraturan pemerintah macam apa
lagi yang akan menjadi wajib? Renungkanlah waffaqokumullah.
NIKAH ILEGAL, NIKAH BERMASALAH[2]
DEFINISI NIKAH ‘URFI
Masalah
yang sedang kita bahas ini (nikah sirri) dalam fiqih kontemporer dikenal dengan
istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat
pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang
menangani pernikahan (baca: KUA).[3]
Disebut
nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang
berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad
pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka.[4]
Dan
definisi tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang
menonjol antara pernikahan syar’I dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya
hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam
pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali
dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum
tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat. DR. Abdul Fattah Amr
berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan
pernikahan resmi yang sulit digugat”.[5]
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH ‘URFI
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan seorang memilih pernikahan tanpa dicatat di
KUA. Diantaranya adalah:
1.Faktor Sosial
a. Problem Poligami
Syariat
Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu
istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan
sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat
atau undang-undang negara mempersulit atau bahkan melarangnya.
b. Undang-undang usia
Dalam
suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada
seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia
dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.
c. Tempat tinggal yang tidak
menetap.
Sebagian
orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau
selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan
istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model
ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam
sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan
kebanggan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan
dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena
khawatir diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor Agama
Termasuk
faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan
ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam
suatuy pernikahan resmi.[6]
SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH
Kaum
muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan
lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi.
Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, dimana
dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka
diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[7]
Awal
pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau
sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti
pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah[8] mengatakan: “Para sahabat tidak
menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara
langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara
yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan
terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga
catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut
adalah istrinya”.
MANFAAT PENCATATAN NIKAH
Pencatatan
akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali,
diantaranya:
1. Menjaga hak
dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah,
warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak
bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
2.
Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka
berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu
hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena
saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3. Catatan dan
tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah
meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama
menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
4. Catatan
nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan
diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta
penghalang-penghalangnya.
5. Menutup
pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang
hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk
menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu
pernikahan dengan saksi palsu.[9]
BILA UNDANG-UNDANG MEWAJIBKAN
PENCATATAN AKAD NIKAH
Melihat
manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua negara membuat
peraturan agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang ditunjuk
pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i[10] yang
ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat dibaliknya yang sangat
besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.
Kita
tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak
kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelekan pada zaman sekarang
niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian
yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at
kita yang indah.
Jadi
apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad
pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk
mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah ta’ala berfirman:
ÙŠَاأَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا Ø£َØ·ِيعُوا اللهَ ÙˆَØ£َØ·ِيعُوا الرَّسُولَ ÙˆَØ£ُÙˆْÙ„ِÙ‰ اْلأَÙ…ْرِ Ù…ِنكُÙ…ْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS.
an-Nisaa’: 59)
Al-Mawardi
rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”.[11]
Dan
masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kita taat kepada pemimpin
selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[12]
Dalam
sebuah kaidah fiqih dikatakan:
Lantas,
bukankah menjaga kehormatan dan nasab manusia adalah maslahat yang besar?
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga
macam:
1.Perintah
yang sesuai dengan perintah Allah seperti shoal fardlu, maka wajib menaatinya.
2.Perintah
yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh menaatinya.
3.Perintah
yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti
undang-undang lalu-lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak
bertentangan dengan syari’at, maka wajib ditaati juga, bila tidak menaatinya
maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.
Adapun
anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan
perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam
perintah syari’at maka tidak wajib menaatinya, maka ini adalah pemikiran yang
batil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.[14]
APAKAH PENCATATAN AKAD MERUPAKAN
SYARAT SAH NYA NIKAH?
Sekalipun
demikian pentingnya pencatatan akad nikah dalam catatan resmi KUA pada zaman
sekarang –yang penuh dengan fitnah dan pertikaian-, tetap saja bukanlah sebuah
syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, apabila semua syarat telah terpenuhi,
suatu pernikahan hukumnya tetap sah sekali pun tidak tercatat dalam KUA. Hal
ini berdasarkan argumen sebagai berikut:
1.
Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak
apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya
saksi dan mengumumkan pernikahan.
2.
Tidak ada dalil syar’I untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah
syarat sahnya pernikahan.
3.
Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat, dan ulama salaf,
mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.
4.
Dalam persyaratan ini terkadang sulit realisasinya dalam sebagian tempat dan
keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa yang sulit mendapatkan pegawai resmi
pancatatan akad nikah.[15]
HUKUM NIKAH TANPA KUA
Karena
masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran
jika para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat
kita bagi sebagai berikut:
1.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara
mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syariat nikah dan tidak ada pada
zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
dan sahabat.
2.
Sebagai ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh
pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan
melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.
3.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena
semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar
perturan pemerintah yang bukan maksiat.
Setelah
menimbang ketiga pendapat di atas, penulis (Ust. Abu Ubaidah) lebih cenderung
kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya
adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sah pernikahan
sebagaiman telah berlalu. Hanya saja, bila memang suatu pemerintah telah
membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah, maka wajib bagi
kita untuk menaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah
undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan
undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Apalagi, hal itu
bukanlah suatu hal yang sulit bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat
pernikahan yang tak tercatat dibagian resmi pemerintah.[16]
FATWA
Berikut
ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia
yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdurrozzaq Afifi,
Abdulloh al-Ghudayyan, Abdulloh bin Qu’ud:
Soal: Dalam
undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut
datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya datang ke kantor
bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah disana. Apakah ini merupakan
nikah yang syar’i? Bila jawabanya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah
harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? Perlu
diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi
sengketa?
Jawab: Apabila
telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak
ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara
undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai
baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[17]
KESIMPULAN
Dari
keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
1.Nikah
tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah
selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.
2.Pencatatan
nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk
politik syar’I yang tidak bertentangan dengan agama bahkan memiliki banyak
manfaat.
3.Wajib
bagi setiap muslim menaati undang-undang tersebut karena ini termasuk salah
satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.
Demikianlah
pembahasan yang dapat kami tengahkan. Sekali lagi, hati kami (Ust. Abu
Ubdaidah) terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari suadara pembaca
semua demi kebaikan kita bersama.
Referensi:
1.Mustajaddat
Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq karya Usamah Umar Sulaiman al-Asyqor, Dar
Nafais, Yordania, cet. 1425 H.
2.
Az-Zawaj Al-‘Urfi karya Dr. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Darul Ashimah, KSA,
cet pertama 1426 H
3.Dll
_________
Footnote:
_________
Footnote:
[1] Majalah
al-Furqon 11 th. Ke-8, Jumada Tsaniyah 1430H/ Juni 2009, hlm 1.
[2] Ibid, hlm.
37-40. Mulai dari poin ini sampai akhir ditulis oleh Ust.
Abu Ubaidah as-Sidawi. Pada tulisan beliau ini terdapat
mukaddimah yang diakhirnya beliau mengatakan bahwa beliau terbuka untuk
menerima nasehat dan kritikan yang membangun, dan tentunya dengan adab Islami
yang indah (hlm. 37). Secara teknis para pembaca bisa melakukannya melalui
majalah al-Furqon atau langsung melalui web pribadi beliau di http://abiubaidah.com/
[3] Majalah
al-Buhuts al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/ Rojab-Sya’ban-Romadhon 1428 H, hlm,
194
[4] Al-‘Aqdu
Al-‘Urf, oleh Azmi Mamduh hal. 11, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa
Tholaq oleh Usamah al-Asyqor hlm. 130
[5] As-Siyasah
asy-Syar’iyyah fil ahwan Syakhsyiyyah oleh Amr Abdul Fatah hlm. 43.
[6] Lihat
selengkapnya dalam Az-Zawaj Al-‘Urfi hlm. 85-89 oleh Dr. Ahmad bin Yusuf
ad-Daryuwisy
[7] Majalah
Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah edisi 36, hlm. 194
[8] Majmu’
Fatawa 32/131
[9] Lihat
Az-Zawaj Al-‘Urfi. 74-75 oleh DR. Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy
[10] Ketahuilah
bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syariat, bukan
haya yang diperintahkan syariat. Semua undang-undang yang membawa kepada
keadilan dan kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syariat maka itulah
politik syar’i Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6/517 oleh Ibnul Qoyyim
dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-lati Yuriduha Salafiyyun hlm. 14-16 oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Salman
[11] AL-Ahkam
As-Sulthoniyyah hlm.30
[12] Lihat buku
yang bagus tentang masalah ini “Mu’amalatul Hukkam” oleh Syaikh Abdus Salam
Barjas.
[13] Lihat
Al-Asybah wa Nadhoir oleh Ibnu Nujaim hlm. 123, Al-Asybah wa Nadhoir oleh
As-Suyuthi hlm. 121, Al-Mantsur fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah oleh Az-Zarkasyi
1/309.
[14] Lihat Syarh
Riyadhus Sholihin 3/652-656
[15] Az-Zawaj
Al-‘Urfi hlm.68-71 oleh Ustadz Dr. Ahmad bin Yusuf.
[16] Lihat
beberapa kejadian dan penyesalan tersebut dalam Mustajaddat Fiqhiyyah fii
Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah al-Asyqor hlm. 152-156
[17] Fatawa
Lajnah Daimah 18/87 no. 7910
Sumber:
Majalah al-Furqon edisi 11 th. Ke-8, Jumada Tsaniyah 1430H/ Juni 2009. (Disalin
dari: http://maramissetiawan.wordpress.com)
http://moslemsunnah.wordpress.com
KONTROVERSI HALAL
ADA APA DI BALIK SERTIFIKASI HALAL?
Teman-teman, perkawinan antara Nabi Muhammad dan Khadijah halal atau haram, karena waktu itu ?agama? islam belum ada?? tanya Bapak Anand Krishna ketika menyampaikan kata-kata penutup pada bagian terakhir Diskusi Mahasiswa Bulanan The Torchbearer yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 7 Mei 2005 pada pukul 16:00 WIB di One Earth, Ciawi.
Diskusi bulan ini, yang mengangkat tema : Ada Apa Di Balik Sertifikasi Halal?, menghadirkan 3 orang pembicara, yaitu (1) Ahmad Yulden Erwin ? Koordinator Nasional Gerakan Rakyat Anti-Korupsi, (2) Bapak Suroso ? Forum Komunikasi Pangan Indonesia, dan (3) Mujtaba Hamdi ? Pemimpin Redaksi Majalah Syi?rah.
Sebenarnya masih ada pembicara satu lagi, yaitu dari bagian Sertifikasi MUI yang diundang, tetapi karena satu dan lain hal berhalangan untuk hadir.
Acara dimulai dengan pembacaan doa bersama dari 4 agama besar di Indonesia dan kemudian Mas Wandy sebagai moderator membuka diskusi dengan memberikan pengantar tentang RUU Produk Halal yang sedang digodok oleh elite kekuasaaan. RUU ini berusaha mengatur seluruh produk-produk makanan, minuman dan obat-obatan yang beredar di Indonesia baik produksi dalam negeri maupun luar negeri untuk ditelaah oleh Badan yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Dengan demikian apapun yang beredar haruslah mendapatkan ijin dari Badan tersebut.
Erwin sebagai Pembicara Pertama berusaha melihat RUU ini dari aspek persyaratan berlakunya suatu Undang-Undang di Indonesia. Setiap RUU yang akan diberlakukan di Indonesia harus memenuhi 4 aspek filosofis, sosiologis, politik dan formal. Kebanyakan UU di Indonesia hanya melewati proses politik dan formalisasi tanpa memenuhi aspek filosofis dan sosiologis secara semestinya. Jadi banyak produk UU di Indonesia, tiba-tiba, berlaku dan tiap warga Indonesia baik di dalam maupun luar negeri harus mematuhi UU itu tanpa kecuali.
Yang menarik dari RUU Produk Halal ini sebagaimana yang tertuang pada bagian pembukaannya adalah bertujuan untuk melindungi orang Islam di Indonesia dari produk-produk makanan, minuman, kosmetik yang haram. Tapi bila RUU ini menjadi UU yang ditetapkan, UU akan berlaku mengikat untuk seluruh rakyat Indonesia, baik Islam maupun non-Islam. Ini konsekwensi dari suatu UU yang diterapkan kecuali ada TAP MPR yang memberikan perbedaan seperti UU Syariat Islam di Aceh.
Kemudian bila dilihat dari aspek filosofisnya, apakah RUU ini tidak bertentangan dengan dasar negara ini berdiri, yaitu Pancasila ? Dari aspek sosiologisnya, apakah RUU ini akan mencapai ketertiban dan keadilan bagi masyarakat atau malah menimbulkan gejolak ketidakpuasan di dalam masyarakat ?
Aspek politis biasanya terjadi di lembaga seperti DPR. Apakah RUU ini menyentuh substansi dari Islam atau sebenarnya sekedar formalisasi hukum Islam ? Seorang Professor Deliar Noer menolak ikut dalam parpol-parpol Islam karena beliau menyadari bahwa para parpol Islam ini hanya mencari formalisasi hukum Islam sebagai bargain politik dan bila ini terjadi hancurlah negara ini.
Aspek terakhir adalah formal hukum. Apakah antara UU yang baru tidak bertentangan dengan UU yang sudah ada ?
?Yang jadi pertanyaan, apakah RUU Produk Halal ini sudah memenuhi ke-4 aspek dasar ini? Kalo belum ini akan menjadi masalah? kata beliau menambahkan bahkan bila belum berarti UU akan melanggar keabsahan berlakunya suatu UU dan bisa dipermasalahkan di kemudian hari di Mahkamah Konstitusi.
Kemudian beliau juga melihat RUU lebih fokus pada pasal per pasal. Ternyata banyak pasal yang ?tidak jelas? sehingga beliau khawatir bahwa pasal ini akan menjadi pasal ?karet? yang bila semakin tidak jelas akan makin enak ?dipermainkan? oleh penguasa.
Praktek penerapan UU ini pun akan menjadi rumit karena semua produk harus diteliti satu per satu oleh laboratorium penguji yang semua biayanya harus dikeluarkan dari APBN yang sekarang ini pembiayaannya lebih didominasi oleh hutang daripada penerimaan pajak. Jadi apakah biaya akan lebih besar dari manfaat yang diperoleh atau sebaliknya ?
Secara substansi, sebagai orang Islam, beliau juga sering mendiskusikan dengan para teman tentang kenapa daging babi dan minuman keras dilarang oleh Nabi. Kesimpulannya bahwa pasti ada pikiran rasional yang melatar belakangi semua larangan-larangan tersebut. Dan bila peraturan dari Tuhan dirasakan tidak rasional, Nabi pun bisa protes seperti yang terjadi pada hukum Islam tentang sholat 50 kali sehari menjadi hanya 5 kali sehari. Sehingga jika ada aturan yang tidak jelas dari lembaga manapun, sebagai umat beriman dan taat kepada Negara, berhak mengajukan pertanyaan dan protes.
Sebagai pembicara ke-2, Bapak Suroso menerangkan peraturan Label Halal yang sekarang sudah berlaku dan kisah di balik masalah kenapa Label Halal diperlukan. Secara ringkas, beliau menerangkan bahwa sekarang ini peraturan tentang Halal diatur berdasarkan UU No.7/1996 tentang Pangan, yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Urusan Pangan melalui Peraturan Pemerintah tentang Label dan pengaturannya yang dituangkan ke dalam Surat Keputusan Menteri Bersama ? Menteri Agama dan Menteri Kesehatan bersama MUI.
Label Halal ini diberlakukan karena pada tahun 1988 seorang dosen, Tri Susanto dari Univ. Brawijaya menemukan lemak babi dari berbagai produk makanan yang dianalisa di Malang. Peristiwa ini menjadi heboh dan meluas pada hampir semua produk makanan dan membuat masyarakat menolak untuk membeli produk makanan yang termasuk dalam daftar yang entah siapa yang membuatnya.
Akibatnya masyarakat menuntut kepastian halal dan haram dan tahun 1989, MUI berinisiatif untuk membuat Lembaga Pengajian Pangan Obat & Kosmetika (LPPOM). Dan pada awalnya MUI hanya mengeluarkan sertifikat Halal. Baru tahun 1996, produsen yang sudah mendapatkan sertifikat Halal dari MUI, diwajibkan mengeluarkan Label Halal dan bertanggung jawab penuh atas kebenaran pernyataan halal tersebut.
Penganalisaan dan pemeriksaan produk halal dilakukan oleh LPPOM UI, sebagai lembaga yang berwenang menguji, yang hasilnya akan diteruskan kepada Komisi Fatwa MUI sebelum dikeluarkan pernyataan halal. Kriteria pemeriksaan produk halal termasuk bahan baku, bahan tambahan dan proses pembuatan bahan menjadi produk jadi. Ada sanksi pidana dan denda atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Kemudian PP 69/1999 adalah peraturan tambahan yang mengatur Label dan Iklan. Pencantuman halal harus merupakan bagian dari label dan produk dan harus diuji oleh Lembaga Pemeriksa yang sudah terakredisasi. Sedangkan pedoman dan tata cara pemeriksaan ditentukan oleh Menteri Agama.
Kemudian Mas Mujtaba membahas halal-haram dari kapasitas beliau sebagai seorang muslim. Menurut pemahaman beliau, di Al-quran dikatakan bahwa hal-hal yang baik adalah halal. Dan Halal itu bukan hanya substansi/materinya, tapi juga bagaimana substansi/materi itu diperoleh. Sesuatu yang dihalalkan oleh MUI atau Kementerian Agama tapi diperoleh dengan cara tidak baik adalah haram hukumnya bagi seorang muslim.
Jadi bila menentukan Label Halal/Haram secara materi/substansi cenderung sedikit lebih mudah, tapi bagaimana menentukan Label Halal/Haram dari cara memperolehnya ?
Mas Mujtaba juga merasakan sesuatu problematik bila halal-haramnya suatu produk ditentukan oleh suatu lembaga yang dianggap paling otoritatif seperti MUI. Apakah kehendak Tuhan atau kehendak MUI dalam menentukan sesuatu halal atau haram ? Apakah hanya MUI yang paling berhak menafsirkan ayat-ayat Al-quran ?
Dan menurut beliau, bukankah di Islam melarang memakan sesuatu yang haram ? Jadi mestinya yang diidentifikasikan adalah produk-produk yang haram bukan malah membuat label halal bagi suatu produk.
Sesi berikutnya, Mas Eko ketua Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia mengingatkan bahwa yang benar tidak selalu yang umum dan yang paling banyak. Beliau mengajak bangsa Indonesia untuk tidak terprovokasi dengan issu label halal/haram ini.
Budayawan Soetanto Mendut malah mempertanyakan batasan halal atau haram ini. Beliau mengambil contoh merokok di One Earth itu haram, tapi ketika beliau keluar pintu gerbang One Earth, merokok menjadi halal. Jadi batasannya merokok halal-haram di One Earth adalah pintu gerbang. Apakah itu yang dicari dari Label Halal-Haram ini ?
Nini, seorang mahasiswi Pasca Sarjana UI, mengungkapkan bahwa label halal akan memberikan rasa nyaman kepada umat muslim, jadi kenapa ?status quo? yang sudah memberikan kenyamanan dan kepastian mesti dirubah ?
Agung, seorang mahasiswa UIN, mempertanyakan kemana saja dana yang didapatkan MUI dari praktek mengeluarkan label halal-haram?
Ibu Norma sharing tentang pengalaman beliau bekerja pada sebuah perusahaan yang mengimpor makanan dari luar negeri dan salah satu cara perusahaan memenuhi prosedur sertifikasi halal adalah dengan menggunakan radio tape yang memutar kaset ?Bismillah? berulang-ulang pada produk impor. Dan menurut beliau, rumah pemotongan hewan di luar negeri jauh lebih bersih daripada pemotongan hewan di dalam negeri. Padahal dalam Islam, kebersihan dalam memotong hewan sangat diharuskan.
Erwin menjelaskan bahwa halal di Islam memang harus dilihat dari segi rohani dan jasmani. Tidak bisa salah satunya saja.
Pak Suroso menjelaskan bahwa bila pangan untuk dikonsumsi sendiri memang tidak ada aturan yang mengatur tapi bila pangan diperjual-belikan atau didistribusikan dari satu daerah ke daerah lain, selalu ada aturannya yang disebut Codex Elementary Commission ? suatu aturan standar International di mana masalah halal pun telah diatur secara international di dalam Codex tersebut.
Membandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand ? bukan negara islam, sudah punya lembaga tersendiri yang menangani masalah label halal ini. Kepastian seperti ini memang sangat diperlukan dalam dunia perdagangan makanan.
Kemudian menanggapi masalah kebersihan dalam proses pemotongan hewan di dalam negeri, Pak Suroso berpendapat bahwa masalah Halal & Thoyib harus dipisahkan. Halal adalah urusan Dept. Agama sedangkan Thoyib adalah urusan Badan POM di bawah naungan Dept. Kesehatan. Beliau setuju dengan Nini bahwa Label Halal suatu produk akan memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi umat muslim.
Mujtaba hanya berkomentar singkat bahwa beliau merasa bahwa urusan agama adalah urusan pribadi seorang muslim bukan urusan publik yang diwakili oleh suatu lembaga agama seperti MUI, sehingga bila MUI merasa mewakili umat muslim, hal inilah yang harus diluruskan. Sedangkan bila urusan bisnis, memang semua keputusan selalu berada pada pihak konsumen.
Menanggapi pertanyaan Agung dari UIN, Erwin berpendapat bahwa memang MUI harus bisa dan wajib mempertanggung jawabkan dana yang diperoleh dari pengeluaran sertifikat halal selama ini. Bila selama ini produk mie instant dari satu perusahaan terbesar di Indonesia saja bisa memproduksi 600 milyar bungkus pertahun dengan biaya label Halal Rp 25,- rupiah per bungkus, jadi per tahun dari satu perusahaan saja, MUI sudah mendapatkan Rp 15 triliun rupiah per tahun. Ini berdasarkan data tahun 1999. Jika 4 tahun saja berjalan, dana yang terkumpul mencapai 60 triliun rupiah. Ke mana saja dana ini mengalir ? Dan publik berhak untuk mengaudit MUI karena dana tersebut berasal dari publik juga.
Justru bila MUI tidak bisa membuktikan aliran dana tersebut, maka bukankah label halal itu akan menjadi haram ? Dan bila hal ini terjadi, apakah Label Halal akan menjadi bumerang bagi produk instant mie itu sendiri karena produk itu akan menjadi haram secara otomatis ?
Pada akhir diskusi, Bapak Anand Krishna mengatakan bahwa memang masalah yang paling mendasar bagi semua pemeluk agama adalah kemalasan. Kemalasan terjadi karena umat terlalu nyaman dengan label-label halal ini. Kita malas memeriksa sendiri apakah produk yang kita nikmati adalah halal atau haram bagi diri kita sendiri. Kita lebih suka mewakilkan setiap keputusan pada orang lain biarpun kita harus mengeluarkan dana ekstra untuk itu.
Padahal segala yang nyaman akan selalu berakhir dengan kecelakaan termasuk peradaban manusia dan juga agama-agama kuno di dunia. Semua ini sebenarnya tercatat dalam sejarah seperti yang terjadi di Yunani, Romawi serta Mesir, dan ulama-ulama kita tidak sadar bahwa mereka sedang mengiring umat Islam menuju kehancuran peradaban Islam.
Maksud Tuhan menyuruh umat untuk Sholat 50 kali sehari adalah Kesadaran atau akhlak manusia; bahwa tiap manusia harus sadar apa yang dilakukan (termasuk apa yang dimakan) setiap saat. Karena Tuhan tidak begitu goblok untuk menyuruh 50 kali sholat dalam sehari sedangkan waktu sehari hanya 24 jam, sehingga bila sudah dikurangi dengan waktu tidur saja, maka mungkin 15 menit sekali kita harus sholat. Kapan kita bekerja ? Sedangkan Sholat 5 kali sehari mewakili peraturan agama. Bila belum mampu sadar tiap saat, ikuti peraturan.
Demikian pula dengan masalah Label Halal ini. Sadarkah kita bahwa Label Halal ini akan membebani rakyat banyak yang sekarang ini sedang mengalami krisis secara ekonomi.
Bila Thailand yang penduduk muslimnya minoritas dan Malaysia sudah mempunyai labelisasi halal yang rapi, karena ke-2 negara ini adalah pengekspor produk pangan di mana memang sertifikasi halal adalah salah satu cara untuk memasarkan produk pangan mereka ke negara-negara muslim lainnya. Hingga yang terbebani adalah rakyat negara lain, bukan rakyat negara mereka sendiri. Sedangkan hal ini menjadi masalah dan membebani bangsa kita. ?Hal ini harus dipahami dan disadari? demikian kata Pak Anand Krishna.
Seperti pendapat Erwin tentang dana yang terkumpul, adalah bagaimana mengetahui kemana uang hasil penjualan sertifikasi halal selama ini yang jumlahnya sangat besar itu. Bila dana digunakan untuk kenikmatan duniawi misalnya, masih sedikit lumrah. Tapi bagaimana bila ternyata dana itu malah digunakan untuk membiayai kegiatan terror di Indonesia atau praktek pembodohan kepada masyarakat supaya para elite kekuasaan itu terus bisa berkuasa ? ? Jadi marilah kita melihat masalah ini dari sisi yang lebih besar, ke mana uang itu digunakan. Dan sudah menjadi tugas kita untuk mengetahui hal ini? ujar Bapak Anand Krishna.
Tapi hal terpenting adalah bukan masalah halal atau haram, tapi apakah masalah ini mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ? Kalau RUU ini malah membuat bangsa Indonesia menjadi terkotak-kotak atau terpecah, RUU ini harus dilawan karena tidak sesuai dengan semangat bangsa Indonesia yang pluralis.
Masalah ini sebenarnya adalah cara yang diciptakan rezim orde baru untuk membodoh-bodohi masyarakat tapi menciptakan comfort zone bagi rakyat. Dan kita memberikan secara tak sadar ?dukungan? dengan menyetujui dan membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Padahal Islam menjadi lebih besar di Indonesia dibandingkan Hindu karena Islam memberikan kesempatan kepada umat untuk beristijihad, untuk merenungkan sendiri dan memaknai sendiri apa yang terbaik dan paling tepat untuk kita sendiri. Tidak perlu ada lembaga atau individu yang menjadi perantara antara umat dan Tuhan.
?Kalau hal ini dilupakan, saya khawatir, Islam bisa punah? kata Pak Krishna. Para Ulama berusaha ?memisahkan? umat Islam dari dunia. Islam dibikin kotak tersendiri terpisah dari dunia, padahal mapping DNA membuktikan bahwa semua manusia, bahkan hewan pun punya mapping DNA yang sama. Seluruh kehidupan di alam semesta ini adalah satu kesatuan yang utuh yang tak terpisahkan di mana ketidakberesan sesuatu akan mempengaruhi yang lainnya. Apalagi bila ?pengkotakan-kotakan dan pemisahan yang ? terjadi karena dalam rangka memperkaya diri. Ini sangat menguntungkan segelintir orang tapi akan menghancurkan Islam.
Islam sudah memberikan sentuhan peradaban pada Eropa dan kontribusi Islam pada dunia sangatlah besar. Jangan kontribusi itu dilupakan dan Islam hancur seperti agama-agama kuno lain di dunia. ?Islam bisa bangkit dan akan bangkit di Indonesia, bukan di Arab sana? kata Pak Krisha, ?Dan kalian-kalian inilah yang akan membangkitkannya.?
ADA APA DI BALIK SERTIFIKASI HALAL?
Teman-teman, perkawinan antara Nabi Muhammad dan Khadijah halal atau haram, karena waktu itu ?agama? islam belum ada?? tanya Bapak Anand Krishna ketika menyampaikan kata-kata penutup pada bagian terakhir Diskusi Mahasiswa Bulanan The Torchbearer yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 7 Mei 2005 pada pukul 16:00 WIB di One Earth, Ciawi.
Diskusi bulan ini, yang mengangkat tema : Ada Apa Di Balik Sertifikasi Halal?, menghadirkan 3 orang pembicara, yaitu (1) Ahmad Yulden Erwin ? Koordinator Nasional Gerakan Rakyat Anti-Korupsi, (2) Bapak Suroso ? Forum Komunikasi Pangan Indonesia, dan (3) Mujtaba Hamdi ? Pemimpin Redaksi Majalah Syi?rah.
Sebenarnya masih ada pembicara satu lagi, yaitu dari bagian Sertifikasi MUI yang diundang, tetapi karena satu dan lain hal berhalangan untuk hadir.
Acara dimulai dengan pembacaan doa bersama dari 4 agama besar di Indonesia dan kemudian Mas Wandy sebagai moderator membuka diskusi dengan memberikan pengantar tentang RUU Produk Halal yang sedang digodok oleh elite kekuasaaan. RUU ini berusaha mengatur seluruh produk-produk makanan, minuman dan obat-obatan yang beredar di Indonesia baik produksi dalam negeri maupun luar negeri untuk ditelaah oleh Badan yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Dengan demikian apapun yang beredar haruslah mendapatkan ijin dari Badan tersebut.
Erwin sebagai Pembicara Pertama berusaha melihat RUU ini dari aspek persyaratan berlakunya suatu Undang-Undang di Indonesia. Setiap RUU yang akan diberlakukan di Indonesia harus memenuhi 4 aspek filosofis, sosiologis, politik dan formal. Kebanyakan UU di Indonesia hanya melewati proses politik dan formalisasi tanpa memenuhi aspek filosofis dan sosiologis secara semestinya. Jadi banyak produk UU di Indonesia, tiba-tiba, berlaku dan tiap warga Indonesia baik di dalam maupun luar negeri harus mematuhi UU itu tanpa kecuali.
Yang menarik dari RUU Produk Halal ini sebagaimana yang tertuang pada bagian pembukaannya adalah bertujuan untuk melindungi orang Islam di Indonesia dari produk-produk makanan, minuman, kosmetik yang haram. Tapi bila RUU ini menjadi UU yang ditetapkan, UU akan berlaku mengikat untuk seluruh rakyat Indonesia, baik Islam maupun non-Islam. Ini konsekwensi dari suatu UU yang diterapkan kecuali ada TAP MPR yang memberikan perbedaan seperti UU Syariat Islam di Aceh.
Kemudian bila dilihat dari aspek filosofisnya, apakah RUU ini tidak bertentangan dengan dasar negara ini berdiri, yaitu Pancasila ? Dari aspek sosiologisnya, apakah RUU ini akan mencapai ketertiban dan keadilan bagi masyarakat atau malah menimbulkan gejolak ketidakpuasan di dalam masyarakat ?
Aspek politis biasanya terjadi di lembaga seperti DPR. Apakah RUU ini menyentuh substansi dari Islam atau sebenarnya sekedar formalisasi hukum Islam ? Seorang Professor Deliar Noer menolak ikut dalam parpol-parpol Islam karena beliau menyadari bahwa para parpol Islam ini hanya mencari formalisasi hukum Islam sebagai bargain politik dan bila ini terjadi hancurlah negara ini.
Aspek terakhir adalah formal hukum. Apakah antara UU yang baru tidak bertentangan dengan UU yang sudah ada ?
?Yang jadi pertanyaan, apakah RUU Produk Halal ini sudah memenuhi ke-4 aspek dasar ini? Kalo belum ini akan menjadi masalah? kata beliau menambahkan bahkan bila belum berarti UU akan melanggar keabsahan berlakunya suatu UU dan bisa dipermasalahkan di kemudian hari di Mahkamah Konstitusi.
Kemudian beliau juga melihat RUU lebih fokus pada pasal per pasal. Ternyata banyak pasal yang ?tidak jelas? sehingga beliau khawatir bahwa pasal ini akan menjadi pasal ?karet? yang bila semakin tidak jelas akan makin enak ?dipermainkan? oleh penguasa.
Praktek penerapan UU ini pun akan menjadi rumit karena semua produk harus diteliti satu per satu oleh laboratorium penguji yang semua biayanya harus dikeluarkan dari APBN yang sekarang ini pembiayaannya lebih didominasi oleh hutang daripada penerimaan pajak. Jadi apakah biaya akan lebih besar dari manfaat yang diperoleh atau sebaliknya ?
Secara substansi, sebagai orang Islam, beliau juga sering mendiskusikan dengan para teman tentang kenapa daging babi dan minuman keras dilarang oleh Nabi. Kesimpulannya bahwa pasti ada pikiran rasional yang melatar belakangi semua larangan-larangan tersebut. Dan bila peraturan dari Tuhan dirasakan tidak rasional, Nabi pun bisa protes seperti yang terjadi pada hukum Islam tentang sholat 50 kali sehari menjadi hanya 5 kali sehari. Sehingga jika ada aturan yang tidak jelas dari lembaga manapun, sebagai umat beriman dan taat kepada Negara, berhak mengajukan pertanyaan dan protes.
Sebagai pembicara ke-2, Bapak Suroso menerangkan peraturan Label Halal yang sekarang sudah berlaku dan kisah di balik masalah kenapa Label Halal diperlukan. Secara ringkas, beliau menerangkan bahwa sekarang ini peraturan tentang Halal diatur berdasarkan UU No.7/1996 tentang Pangan, yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Urusan Pangan melalui Peraturan Pemerintah tentang Label dan pengaturannya yang dituangkan ke dalam Surat Keputusan Menteri Bersama ? Menteri Agama dan Menteri Kesehatan bersama MUI.
Label Halal ini diberlakukan karena pada tahun 1988 seorang dosen, Tri Susanto dari Univ. Brawijaya menemukan lemak babi dari berbagai produk makanan yang dianalisa di Malang. Peristiwa ini menjadi heboh dan meluas pada hampir semua produk makanan dan membuat masyarakat menolak untuk membeli produk makanan yang termasuk dalam daftar yang entah siapa yang membuatnya.
Akibatnya masyarakat menuntut kepastian halal dan haram dan tahun 1989, MUI berinisiatif untuk membuat Lembaga Pengajian Pangan Obat & Kosmetika (LPPOM). Dan pada awalnya MUI hanya mengeluarkan sertifikat Halal. Baru tahun 1996, produsen yang sudah mendapatkan sertifikat Halal dari MUI, diwajibkan mengeluarkan Label Halal dan bertanggung jawab penuh atas kebenaran pernyataan halal tersebut.
Penganalisaan dan pemeriksaan produk halal dilakukan oleh LPPOM UI, sebagai lembaga yang berwenang menguji, yang hasilnya akan diteruskan kepada Komisi Fatwa MUI sebelum dikeluarkan pernyataan halal. Kriteria pemeriksaan produk halal termasuk bahan baku, bahan tambahan dan proses pembuatan bahan menjadi produk jadi. Ada sanksi pidana dan denda atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Kemudian PP 69/1999 adalah peraturan tambahan yang mengatur Label dan Iklan. Pencantuman halal harus merupakan bagian dari label dan produk dan harus diuji oleh Lembaga Pemeriksa yang sudah terakredisasi. Sedangkan pedoman dan tata cara pemeriksaan ditentukan oleh Menteri Agama.
Kemudian Mas Mujtaba membahas halal-haram dari kapasitas beliau sebagai seorang muslim. Menurut pemahaman beliau, di Al-quran dikatakan bahwa hal-hal yang baik adalah halal. Dan Halal itu bukan hanya substansi/materinya, tapi juga bagaimana substansi/materi itu diperoleh. Sesuatu yang dihalalkan oleh MUI atau Kementerian Agama tapi diperoleh dengan cara tidak baik adalah haram hukumnya bagi seorang muslim.
Jadi bila menentukan Label Halal/Haram secara materi/substansi cenderung sedikit lebih mudah, tapi bagaimana menentukan Label Halal/Haram dari cara memperolehnya ?
Mas Mujtaba juga merasakan sesuatu problematik bila halal-haramnya suatu produk ditentukan oleh suatu lembaga yang dianggap paling otoritatif seperti MUI. Apakah kehendak Tuhan atau kehendak MUI dalam menentukan sesuatu halal atau haram ? Apakah hanya MUI yang paling berhak menafsirkan ayat-ayat Al-quran ?
Dan menurut beliau, bukankah di Islam melarang memakan sesuatu yang haram ? Jadi mestinya yang diidentifikasikan adalah produk-produk yang haram bukan malah membuat label halal bagi suatu produk.
Sesi berikutnya, Mas Eko ketua Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia mengingatkan bahwa yang benar tidak selalu yang umum dan yang paling banyak. Beliau mengajak bangsa Indonesia untuk tidak terprovokasi dengan issu label halal/haram ini.
Budayawan Soetanto Mendut malah mempertanyakan batasan halal atau haram ini. Beliau mengambil contoh merokok di One Earth itu haram, tapi ketika beliau keluar pintu gerbang One Earth, merokok menjadi halal. Jadi batasannya merokok halal-haram di One Earth adalah pintu gerbang. Apakah itu yang dicari dari Label Halal-Haram ini ?
Nini, seorang mahasiswi Pasca Sarjana UI, mengungkapkan bahwa label halal akan memberikan rasa nyaman kepada umat muslim, jadi kenapa ?status quo? yang sudah memberikan kenyamanan dan kepastian mesti dirubah ?
Agung, seorang mahasiswa UIN, mempertanyakan kemana saja dana yang didapatkan MUI dari praktek mengeluarkan label halal-haram?
Ibu Norma sharing tentang pengalaman beliau bekerja pada sebuah perusahaan yang mengimpor makanan dari luar negeri dan salah satu cara perusahaan memenuhi prosedur sertifikasi halal adalah dengan menggunakan radio tape yang memutar kaset ?Bismillah? berulang-ulang pada produk impor. Dan menurut beliau, rumah pemotongan hewan di luar negeri jauh lebih bersih daripada pemotongan hewan di dalam negeri. Padahal dalam Islam, kebersihan dalam memotong hewan sangat diharuskan.
Erwin menjelaskan bahwa halal di Islam memang harus dilihat dari segi rohani dan jasmani. Tidak bisa salah satunya saja.
Pak Suroso menjelaskan bahwa bila pangan untuk dikonsumsi sendiri memang tidak ada aturan yang mengatur tapi bila pangan diperjual-belikan atau didistribusikan dari satu daerah ke daerah lain, selalu ada aturannya yang disebut Codex Elementary Commission ? suatu aturan standar International di mana masalah halal pun telah diatur secara international di dalam Codex tersebut.
Membandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand ? bukan negara islam, sudah punya lembaga tersendiri yang menangani masalah label halal ini. Kepastian seperti ini memang sangat diperlukan dalam dunia perdagangan makanan.
Kemudian menanggapi masalah kebersihan dalam proses pemotongan hewan di dalam negeri, Pak Suroso berpendapat bahwa masalah Halal & Thoyib harus dipisahkan. Halal adalah urusan Dept. Agama sedangkan Thoyib adalah urusan Badan POM di bawah naungan Dept. Kesehatan. Beliau setuju dengan Nini bahwa Label Halal suatu produk akan memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi umat muslim.
Mujtaba hanya berkomentar singkat bahwa beliau merasa bahwa urusan agama adalah urusan pribadi seorang muslim bukan urusan publik yang diwakili oleh suatu lembaga agama seperti MUI, sehingga bila MUI merasa mewakili umat muslim, hal inilah yang harus diluruskan. Sedangkan bila urusan bisnis, memang semua keputusan selalu berada pada pihak konsumen.
Menanggapi pertanyaan Agung dari UIN, Erwin berpendapat bahwa memang MUI harus bisa dan wajib mempertanggung jawabkan dana yang diperoleh dari pengeluaran sertifikat halal selama ini. Bila selama ini produk mie instant dari satu perusahaan terbesar di Indonesia saja bisa memproduksi 600 milyar bungkus pertahun dengan biaya label Halal Rp 25,- rupiah per bungkus, jadi per tahun dari satu perusahaan saja, MUI sudah mendapatkan Rp 15 triliun rupiah per tahun. Ini berdasarkan data tahun 1999. Jika 4 tahun saja berjalan, dana yang terkumpul mencapai 60 triliun rupiah. Ke mana saja dana ini mengalir ? Dan publik berhak untuk mengaudit MUI karena dana tersebut berasal dari publik juga.
Justru bila MUI tidak bisa membuktikan aliran dana tersebut, maka bukankah label halal itu akan menjadi haram ? Dan bila hal ini terjadi, apakah Label Halal akan menjadi bumerang bagi produk instant mie itu sendiri karena produk itu akan menjadi haram secara otomatis ?
Pada akhir diskusi, Bapak Anand Krishna mengatakan bahwa memang masalah yang paling mendasar bagi semua pemeluk agama adalah kemalasan. Kemalasan terjadi karena umat terlalu nyaman dengan label-label halal ini. Kita malas memeriksa sendiri apakah produk yang kita nikmati adalah halal atau haram bagi diri kita sendiri. Kita lebih suka mewakilkan setiap keputusan pada orang lain biarpun kita harus mengeluarkan dana ekstra untuk itu.
Padahal segala yang nyaman akan selalu berakhir dengan kecelakaan termasuk peradaban manusia dan juga agama-agama kuno di dunia. Semua ini sebenarnya tercatat dalam sejarah seperti yang terjadi di Yunani, Romawi serta Mesir, dan ulama-ulama kita tidak sadar bahwa mereka sedang mengiring umat Islam menuju kehancuran peradaban Islam.
Maksud Tuhan menyuruh umat untuk Sholat 50 kali sehari adalah Kesadaran atau akhlak manusia; bahwa tiap manusia harus sadar apa yang dilakukan (termasuk apa yang dimakan) setiap saat. Karena Tuhan tidak begitu goblok untuk menyuruh 50 kali sholat dalam sehari sedangkan waktu sehari hanya 24 jam, sehingga bila sudah dikurangi dengan waktu tidur saja, maka mungkin 15 menit sekali kita harus sholat. Kapan kita bekerja ? Sedangkan Sholat 5 kali sehari mewakili peraturan agama. Bila belum mampu sadar tiap saat, ikuti peraturan.
Demikian pula dengan masalah Label Halal ini. Sadarkah kita bahwa Label Halal ini akan membebani rakyat banyak yang sekarang ini sedang mengalami krisis secara ekonomi.
Bila Thailand yang penduduk muslimnya minoritas dan Malaysia sudah mempunyai labelisasi halal yang rapi, karena ke-2 negara ini adalah pengekspor produk pangan di mana memang sertifikasi halal adalah salah satu cara untuk memasarkan produk pangan mereka ke negara-negara muslim lainnya. Hingga yang terbebani adalah rakyat negara lain, bukan rakyat negara mereka sendiri. Sedangkan hal ini menjadi masalah dan membebani bangsa kita. ?Hal ini harus dipahami dan disadari? demikian kata Pak Anand Krishna.
Seperti pendapat Erwin tentang dana yang terkumpul, adalah bagaimana mengetahui kemana uang hasil penjualan sertifikasi halal selama ini yang jumlahnya sangat besar itu. Bila dana digunakan untuk kenikmatan duniawi misalnya, masih sedikit lumrah. Tapi bagaimana bila ternyata dana itu malah digunakan untuk membiayai kegiatan terror di Indonesia atau praktek pembodohan kepada masyarakat supaya para elite kekuasaan itu terus bisa berkuasa ? ? Jadi marilah kita melihat masalah ini dari sisi yang lebih besar, ke mana uang itu digunakan. Dan sudah menjadi tugas kita untuk mengetahui hal ini? ujar Bapak Anand Krishna.
Tapi hal terpenting adalah bukan masalah halal atau haram, tapi apakah masalah ini mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ? Kalau RUU ini malah membuat bangsa Indonesia menjadi terkotak-kotak atau terpecah, RUU ini harus dilawan karena tidak sesuai dengan semangat bangsa Indonesia yang pluralis.
Masalah ini sebenarnya adalah cara yang diciptakan rezim orde baru untuk membodoh-bodohi masyarakat tapi menciptakan comfort zone bagi rakyat. Dan kita memberikan secara tak sadar ?dukungan? dengan menyetujui dan membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Padahal Islam menjadi lebih besar di Indonesia dibandingkan Hindu karena Islam memberikan kesempatan kepada umat untuk beristijihad, untuk merenungkan sendiri dan memaknai sendiri apa yang terbaik dan paling tepat untuk kita sendiri. Tidak perlu ada lembaga atau individu yang menjadi perantara antara umat dan Tuhan.
?Kalau hal ini dilupakan, saya khawatir, Islam bisa punah? kata Pak Krishna. Para Ulama berusaha ?memisahkan? umat Islam dari dunia. Islam dibikin kotak tersendiri terpisah dari dunia, padahal mapping DNA membuktikan bahwa semua manusia, bahkan hewan pun punya mapping DNA yang sama. Seluruh kehidupan di alam semesta ini adalah satu kesatuan yang utuh yang tak terpisahkan di mana ketidakberesan sesuatu akan mempengaruhi yang lainnya. Apalagi bila ?pengkotakan-kotakan dan pemisahan yang ? terjadi karena dalam rangka memperkaya diri. Ini sangat menguntungkan segelintir orang tapi akan menghancurkan Islam.
Islam sudah memberikan sentuhan peradaban pada Eropa dan kontribusi Islam pada dunia sangatlah besar. Jangan kontribusi itu dilupakan dan Islam hancur seperti agama-agama kuno lain di dunia. ?Islam bisa bangkit dan akan bangkit di Indonesia, bukan di Arab sana? kata Pak Krisha, ?Dan kalian-kalian inilah yang akan membangkitkannya.?
Kontroversi Ujian Nasional
Ujian Nasional
merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna
mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya
menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang
setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian
nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan
sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian
yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara
sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara,
di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap
bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan
kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita
kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk
menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi
dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual,
dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula
bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes
tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek
kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan
di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model
pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan
usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, Ujian
Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti
kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan
ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam
pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus
kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan
siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Terlepas dari kontroversi yang ada
bahwa sampai saat ini belum ada pola baku
sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan
pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut
berganti rupa.
·
Periode
1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.
·
Periode
1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian.
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian.
·
Periode
1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
·
1980-2000
Mulai
diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini
menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA
untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan
EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua
evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
·
2001-sekarang
Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Ujian
Nasional juga merubah tujuan kita sekolah dari untuk mendapat ilmu menjadi
untuk Lulus Ujian.Guru-guru dan kepala sekolah yag tadinya adalah pahlawan
berubah menjadi kriminil biasa dengan adanya UN dengan mencuri soal demi
kelulusan murid2nya.
benar-benar parah.
benar-benar parah.
MASALAH KONTROVERSI FACEBOOK
Surabaya (SuaraMedia) –
Menjalin pertemanan dalam dunia maya dengan memanfaatkan sarana jejaring
sosial, seperti Facebook semakin marak. Namun para ulama di Jawa Timur
disebut-sebut berencana akan memfatwakan Facebook.
Berdasarkan data internal
yang dimiliki lembaga Independen pusat operasional Facebook, Palo Alto
California, Amerika Serikat menyebutkan dari 235 juta masyarakat Indonesia,
sekira 813.000 pengguna Facebook.
Melejitnya para pengguna
Facebook di Indonesia ini menyulut kekhawatiran sekira 700 tokoh muslim di
Surabaya, Jawa Timur untuk segera mengeluarkan fatwa terhadap Facebook. Mereka
menilai menjamurnya jejaring sosial tersebut dirasa akan memberikan dampak
negatif bagi umat Muslim di Indonesia, dan dapat digunakan untuk transaksi seks
terselubung.
“Para tokoh muslim atau
Imam di Indonesia berpandangan sebaiknya ada fatwa atau batasan aturan dalam
jejaring sosial maya, di mana dalam pandangan mereka pergaulan terbuka mampu
mengundang birahi atau hasrat yang di dalam ajaran Islam diharamkan,” ujar juru
bicara Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur Nabil Haroen seperti dilansir
Assosiation Press, Jumat (22/5/2009).
Sesuai ajaran muslim, cara
mengantisipasi dari hal yang tidak diinginkan, pihak pesantren masih
memperbolehkan para siswanya terdaftar sebagai pengguna Facebook, namun dengan
batasan penyaringan dari situs yang berbau porno atau yang mengundang syahwat
birahi.
Senada dengan Nabil,
anggota Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengatakan, dengan bertambahnya
pengguna Facebook memungkinkan peluang terbukanya pembicaraan pornografi, dan
meningkatnya tingkat perselingkuhan di Indonesia yang tidak sesuai dengan
ajaran budaya timur.
Sementara itu, menanggapi
kontroversi keberadaan Facebook, juru bicara Facebook Debbie Frost menyatakan,
keberadaan situs pertemanan itu adalah jejaring sosial maya yang memudahkan
para penggunanya untuk selalu berkomunikasi dan berhubungan satu sama lain,
dalam agenda yang positif.
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) hingga kini belum membicarakan maupun membahas mengenai jejaring sosial,
Facebook. Termasuk mendengar rencana ulama di Jawa Timur yang akan memfatwakan
Facebook.
“MUI di beberapa rapat
pengurus harian belum membicarakan masalah Facebook,” ujar anggota MUI
Amidhan ,
Menurutnya, apa yang sedang dibahas para ulama di Jawa Timur mengenai Facebook merupakan semacam keprihatinan para ulama karena timbulnya hal-hal di dunia maya.
Menurutnya, apa yang sedang dibahas para ulama di Jawa Timur mengenai Facebook merupakan semacam keprihatinan para ulama karena timbulnya hal-hal di dunia maya.
Secara pribadi, Amidhan
menilai situs pertemanan itu tidak selalu berdampak negatif. Dengan catatan,
tergantung kepada penggunanya. “Kalau digunakan murni untuk kebaikan, saya kira
tidak ada masalah tapi kalau menimbulkan hal-hal tidak baik dan negatif ya
harus ditindak,” tuturnya.
Jika nantinya kontroversi
mengenai Facebook ini terus mengemuka, lanjutnya, MUI akan membahasnya lebih
lanjut. Namun diakuinya, MUI tidak bisa berbuat banyak.
“Kita kembali ke pemerintah
untuk membatasi hal-hal negatif itu, MUI hanya bisa mencegah,” pungkasnya.(okz)
SuaraMedia.Com
Menurut pendapat saya
bermain facebook boleh saja asalkan berpositif dan jangan gampang terpengaruh
dan terbujuk oleh orang yang baru kenal.. dan jangan gampang percaya sama orang
yang baru dikenal..
0 komentar:
Posting Komentar