BAB II
KEDAULATAN
NEGARA DALAM HUKUM
LAUT
INTERNASIONAL
A. Pendahuluan
Dalil yang diungkapkan oleh Bynkershoek melalui bukunya De Dominio Maris Desertatio yang terbit
pada tahun 1730 diatas memperingatkan semua Negara yang memiliki wilayah laut
bahwa kedaulatan suatu Negara dilaut sangat bergantung kepada kemampuan Negara
tersebut melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang
dikuasainya. Semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh suatu Negara akan
semakin besar juga tanggung jawab Negara tersebut untuk mengawasinya.
B. Laut Teritorial Dan Jalur Tambahan
Untuk membahas sejauh mana perkembangan kedaulatan suatu
Negara di laut, dapat kita telusuri melalui sejarah hokum laut internasional
itu sendiri, dimana menurut Hasyim Djalal terdapat pertarungan dua asas hokum
laut, yaitu Res Nullius dan Res Communis. Menurut penganut asas Res Nullius, laut itu tidak ada yang memilikinya oleh karena itu dapat
dimiliki oleh setiap Negara yang menginginkannya. Para penganut asas Res Communis, berpendapat bahwa laut itu
miliki bersama masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh
setiap Negara. Penguasaan Negara terhadap laut terhadap laut berdasarkan kepada
suatu konsepsi hokum, diawali dengan keluarnya peraturan-peraturan hokum laut
rodhia pada abad ke-2 SM, yang diterima baik oleh semua Negara di Tepi Laut
Tengah.
Konsepsi hokum territorial yang dikemukakan Pontanus di
muka di sempurnakan oleh sarjana belanja lainnya Cornelisvan Bynkershoes
pada tahun 1703 melalui asas tembakan
meriam (cannon shot rule principles)
sebagaimana yang sudah disinggung pada awal tulisan ini. Karena jarak meriam
pantai pada masa itu hanya 3 mil, maka
lebar laut territorial 3 mil yang sejajar dengan bibir pantai yang
diukur pada saat pasang surut (low water
marks) yang juga disebut sebagai garis dasar biasa (normal baselines) dianggap sabagai lebar maksimum laut teritorial. Perkembangan
konsepsi laut territorial ini dalam konfensi kodifikasi internasional yang
diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa di Den hag yang bertujuan untuk membukukan
(kodifikasi) dari berbagai aturan yang ada yang antara lain menghasilkan Final Act tentang Laut Teritorial yang
terdiri atas 13 pasal dan bukan untuk membuat Konvensi hokum laut baru (law making treaties).
C. Negara Kepulauan
Pemikiran mengenai masalah laut territorial Negara
kepulauan sebenarnya sudah dilontarkan oleh seorang ahli hokum internasional
Austria bernama Aubert dalam sidang Institute
de Droit International (IDI) di Hambug pada tahun 1889. Aubet menganjurkan
sidang agar meninjau kembali penentuan batas-batas perairan territorial
Negara-negara yang mempunyai kepulauan didepan pantainya (coastal archipalagos) seperti Norwegia. Usul tersebut tidak
disambut baik, dan kemudian muncul lagi
pda sidang International Law Association
(ILA) di Hamburg pada tahun 1924 yang disampaikan oleh Alvares yang mengusulkan
memperlakukan suatu kepulauan sebagai suatu kesatuan, dengan laut marginal
selebar 6 mil yang diukur dari pulau-pulau yang terletar pada posisi paling
jauh dari kepulauan. Untuk memperkuat konsepsi Kepulauan , pemerintah sejak
tahun 1969 telah mengadakan persetujuan dan perjanjian bilateral dan trilateral
dengan Negara-negara tetangga (kecuali dengan Filipina dan Vietnam), mengenai
garis-garis batas Landas Kontinen dan Laut Teritorial.
D. Landas Kontinen
Secara geologis, daratan itu berlanjut sampai kedasar
laut dari pantai, lanjutan ini cukup landai dan inilah yang disebut landas
kontinen (continental shelf),
kemudian agak curam yang disebut Continental
Slope dan kemudian agak landai lagi yang disebut continental rise dan terakhir baru dinamakan dasar laut dalam (abyssal plain). Untuk memanfaatkan
landas kontinen tersenut diperlukan suatu konsepsi hokum laut yang memungkinkan
Negara pantai memperoleh wewenang untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber
alam yang terdapat didasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil).
Adapun Konvensi Hokum Laut 1982 telah memasukan Landasan
Kontinen dalam bab VI (continental Shelf). Dalam pasal 76 dijelaskan bahwa
Landasan Kontinental dari negar pantai terdiri atas dasar laut dan tanah
dibawahnya yang terletak diluar laut territorial yang seluruhnya merupakan
kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai pada batas tepi luar Landasan
Kontinental, atau sampai 200 mil dari laut yang diukur dari batas tepi luar
territorial atau tepi luar dari pinggiran continental itu tidak mencapai jarak
200 mil. Kesulitan umum yang dihadapi oleh Negara-negar pantai yang mempunyai
Landasan Kontinen, adalah bagi Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan
yang menyangkut batas-batas landas kontinen yang merupakan juridiksi nasional
mereka masing-masing.
E. Zona Ekonomi Eksklusif
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) lahir dari praktik-praktik
yang dilakukan oleh Negara-negara Amerika Latin yang dimaksudkan untuk
memberikan yurisdiksi secara eksklusif terhadap Negara pantai untuk
kepentingan-kepentingan tertentu pada wilayah laut yang berbatasan dengan laut
teritorial mereka. Negara-negara Afrika yang tergabung dalam OAU telah
mengeluarkan resolusi pada bulan Desember 1971. Resolusi ini merupakan
rekomendasi agar Negara-negar Afrika memperluas laut teritorialnya sampai 200
mil. Selain itu pada bulan Juni 1972 konferensi regional hokum laut bagi
Negara-negara Amerika latin. Dalam pasal 55 dan 57 konvensi ini menyatakan
bahwa Zona Eksklusif adalah jalur laut yang terletak diluar dan berbatasan
dengan laut territorial suatu Negara yang lebarnya 200 mil diukur dari garis
dasar yang dipergunakan untuk mengukur lebar laut teritorial. Dalam ZEE ini
Negara pantai mempunyai kedaulatan secara penuh untuk melakukan eksploitasi,
eksplorasi, mengatur dan melindungi sumber-sumber alam baik sumber hayati
maupun non hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawah ZEE itu serta
perairan disekitarnya. Dalam ZEE ini semua Negara atau bangsa lain bebas untuk
berlayar dan terbang diatasnya serta
meletakkan kabel-kabel laut dan pipa-pipa di bawah laut. Bagi Negara-negara
tidak berpantai akan berhak pula untuk mengambil bagian dalam melakukan
eksplorasi dan eksplorasi sumber-sumber alam pada ZEE Negara didekatnya.
Istilah dan kondisi partisipasi Negara tidak berpantai itu akan ditentukan
melalui perjanjian-perjanjian baik secara bilateral, subregional ataupun secara
regional (pasal 69).
F. Laut Lepas Dan Dasar Samudera
Karena Dasar Samudera berada diluar yurisdiksi nasional
semua, maka para Negara Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 menyerahkan
pengelolaannya kepada Otorita Dasar Laut Internasional (international Seabed Authority) yang bermarkas di Kingston,
Jamaika. Laut lepas yang berada diluar yurisdiksi nasional suatu Negara, setiap
Negara pantai juga memiliki kepentingan yang sangat besar dalam memelihara
kelangsungan sumber-sumber hayatinya di ZEE khususnya yang menyangkut jenis
perikanan yang mengembara dan beremigrasi secara jauh seperti ikan tuna.
0 komentar:
Posting Komentar