Labels

Pages

Senin, 19 Maret 2012

KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL


BAB II
KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM
LAUT INTERNASIONAL
A.    Pendahuluan
Dalil yang diungkapkan oleh Bynkershoek melalui bukunya De Dominio Maris Desertatio yang terbit pada tahun 1730 diatas memperingatkan semua Negara yang memiliki wilayah laut bahwa kedaulatan suatu Negara dilaut sangat bergantung kepada kemampuan Negara tersebut melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya. Semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh suatu Negara akan semakin besar juga tanggung jawab Negara tersebut untuk mengawasinya.
B.     Laut Teritorial Dan Jalur Tambahan
Untuk membahas sejauh mana perkembangan kedaulatan suatu Negara di laut, dapat kita telusuri melalui sejarah hokum laut internasional itu sendiri, dimana menurut Hasyim Djalal terdapat pertarungan dua asas hokum laut, yaitu Res Nullius dan Res Communis. Menurut penganut asas Res Nullius, laut itu tidak ada  yang memilikinya oleh karena itu dapat dimiliki oleh setiap Negara yang menginginkannya. Para penganut asas Res Communis, berpendapat bahwa laut itu miliki bersama masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh setiap Negara. Penguasaan Negara terhadap laut terhadap laut berdasarkan kepada suatu konsepsi hokum, diawali dengan keluarnya peraturan-peraturan hokum laut rodhia pada abad ke-2 SM, yang diterima baik oleh semua Negara di Tepi Laut Tengah.
Konsepsi hokum territorial yang dikemukakan Pontanus di muka di sempurnakan oleh sarjana belanja lainnya Cornelisvan Bynkershoes pada  tahun 1703 melalui asas tembakan meriam (cannon shot rule principles) sebagaimana yang sudah disinggung pada awal tulisan ini. Karena jarak meriam pantai pada masa itu hanya 3 mil, maka  lebar laut territorial 3 mil yang sejajar dengan bibir pantai yang diukur pada saat pasang surut (low water marks) yang juga disebut sebagai garis dasar biasa (normal baselines) dianggap sabagai lebar  maksimum laut teritorial. Perkembangan konsepsi laut territorial ini dalam konfensi kodifikasi internasional yang diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa di Den hag yang bertujuan untuk membukukan (kodifikasi) dari berbagai aturan yang ada yang antara lain menghasilkan Final Act tentang Laut Teritorial yang terdiri atas 13 pasal dan bukan untuk membuat Konvensi hokum laut baru (law making treaties).
C.     Negara Kepulauan
Pemikiran mengenai masalah laut territorial Negara kepulauan sebenarnya sudah dilontarkan oleh seorang ahli hokum internasional Austria bernama Aubert dalam sidang Institute de Droit International (IDI) di Hambug pada tahun 1889. Aubet menganjurkan sidang agar meninjau kembali penentuan batas-batas perairan territorial Negara-negara yang mempunyai kepulauan didepan pantainya (coastal archipalagos) seperti Norwegia. Usul tersebut tidak disambut baik, dan kemudian muncul lagi  pda sidang International Law Association (ILA) di Hamburg pada tahun 1924 yang disampaikan oleh Alvares yang mengusulkan memperlakukan suatu kepulauan sebagai suatu kesatuan, dengan laut marginal selebar 6 mil yang diukur dari pulau-pulau yang terletar pada posisi paling jauh dari kepulauan. Untuk memperkuat konsepsi Kepulauan , pemerintah sejak tahun 1969 telah mengadakan persetujuan dan perjanjian bilateral dan trilateral dengan Negara-negara tetangga (kecuali dengan Filipina dan Vietnam), mengenai garis-garis batas Landas Kontinen dan Laut Teritorial.
D.    Landas Kontinen
Secara geologis, daratan itu berlanjut sampai kedasar laut dari pantai, lanjutan ini cukup landai dan inilah yang disebut landas kontinen (continental shelf), kemudian agak curam yang disebut Continental Slope dan kemudian agak landai lagi yang disebut continental rise dan terakhir baru dinamakan dasar laut dalam (abyssal plain). Untuk memanfaatkan landas kontinen tersenut diperlukan suatu konsepsi hokum laut yang memungkinkan Negara pantai memperoleh wewenang untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber alam yang terdapat didasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil).
Adapun Konvensi Hokum Laut 1982 telah memasukan Landasan Kontinen dalam bab VI (continental Shelf). Dalam pasal 76 dijelaskan bahwa Landasan Kontinental dari negar pantai terdiri atas dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak diluar laut territorial yang seluruhnya merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai pada batas tepi luar Landasan Kontinental, atau sampai 200 mil dari laut yang diukur dari batas tepi luar territorial atau tepi luar dari pinggiran continental itu tidak mencapai jarak 200 mil. Kesulitan umum yang dihadapi oleh Negara-negar pantai yang mempunyai Landasan Kontinen, adalah bagi Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan yang menyangkut batas-batas landas kontinen yang merupakan juridiksi nasional mereka masing-masing.
E.     Zona Ekonomi Eksklusif
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) lahir dari praktik-praktik yang dilakukan oleh Negara-negara Amerika Latin yang dimaksudkan untuk memberikan yurisdiksi secara eksklusif terhadap Negara pantai untuk kepentingan-kepentingan tertentu pada wilayah laut yang berbatasan dengan laut teritorial mereka. Negara-negara Afrika yang tergabung dalam OAU telah mengeluarkan resolusi pada bulan Desember 1971. Resolusi ini merupakan rekomendasi agar Negara-negar Afrika memperluas laut teritorialnya sampai 200 mil. Selain itu pada bulan Juni 1972 konferensi regional hokum laut bagi Negara-negara Amerika latin. Dalam pasal 55 dan 57 konvensi ini menyatakan bahwa Zona Eksklusif adalah jalur laut yang terletak diluar dan berbatasan dengan laut territorial suatu Negara yang lebarnya 200 mil diukur dari garis dasar yang dipergunakan untuk mengukur lebar laut teritorial. Dalam ZEE ini Negara pantai mempunyai kedaulatan secara penuh untuk melakukan eksploitasi, eksplorasi, mengatur dan melindungi sumber-sumber alam baik sumber hayati maupun non hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawah ZEE itu serta perairan disekitarnya. Dalam ZEE ini semua Negara atau bangsa lain bebas untuk berlayar dan terbang  diatasnya serta meletakkan kabel-kabel laut dan pipa-pipa di bawah laut. Bagi Negara-negara tidak berpantai akan berhak pula untuk mengambil bagian dalam melakukan eksplorasi dan eksplorasi sumber-sumber alam pada ZEE Negara didekatnya. Istilah dan kondisi partisipasi Negara tidak berpantai itu akan ditentukan melalui perjanjian-perjanjian baik secara bilateral, subregional ataupun secara regional (pasal 69).
F.      Laut Lepas Dan Dasar Samudera
Karena Dasar Samudera berada diluar yurisdiksi nasional semua, maka para Negara Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 menyerahkan pengelolaannya kepada Otorita Dasar Laut Internasional (international Seabed Authority) yang bermarkas di Kingston, Jamaika. Laut lepas yang berada diluar yurisdiksi nasional suatu Negara, setiap Negara pantai juga memiliki kepentingan yang sangat besar dalam memelihara kelangsungan sumber-sumber hayatinya di ZEE khususnya yang menyangkut jenis perikanan yang mengembara dan beremigrasi secara jauh seperti ikan tuna.

0 komentar:

Posting Komentar